“
Rodan
Luput semestinya adalah kata yang tak harus aku tuliskan di dalam puisi ini. Sayang sekali aku tak memiliki foto dirimu kecuali yang diam-diam kuambil tanpa ijin dari halaman facebookmu. Sungguh sangat disayangkan kau tak sendirian di sana. Seperti
Rengut itu berasa masam perasan limau yang terbit di lidahku atau likat lumpur yang mengendap di kuala, saat kutemukan begitu banyak kebahagiaan yang ingin kau pamerkan dari perjalanan yang dulu pernah aku bayangkan akan hanya jadi milik kita berdua.
Perut laparmu adalah yang semestinya segera kau kenyangkan, ketika kucium aroma rempah dari negeri-negeri jauh di Timur Tengah. Wangi masakan-masakan Itali sebagaimana yang tertera dalam hidangan makan malammu: spaghetti, ravioli, lasagna, pizza atau carbonara yang mengundang selera. Tapi
Kerut yang membekas di dahi dan lebam biru di bawah kelopak matamu itu seperti luka yang tak mampu kau sembunyikan. Aku hanya bisa membayangkan wajah dewi Aphrodite dan pemandangan eksotis puing-puing kuil Yunani yang terbelah. Apakah sengat matahari menjadi terlalu keras padamu akhir-akhir ini atau ada sebab-sebab lain yang tak pernah aku tahu, kecuali kacamata yang tak mungkin menyembunyikan kesedihanmu?
Takut bukanlah selimut buat penghangat tubuh. Bukan karena itu pula aku mendadak saja tersentuh ingin kembali mencintaimu alih-alih membencimu. Untuk sebuah alasan yang tak perlu engkau prasangkakan. Panorama ini sungguh memedihkan mataku. Seperti ada luka yang tiba-tiba saja kambuh dari rodan yang sengaja ingin aku lupakan.
”
”