Ombak Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Ombak. Here they are! All 42 of them:

β€œ
Saat pasir tempatmu berpijak pergi ditelan ombak, akulah lautan yang memeluk pantaimu erat.
”
”
Dee Lestari (Rectoverso)
β€œ
Ternyata hidup tidak membiarkan satu orang pun lolos untuk cuma jadi penonton. Semua harus mencicipi ombak.
”
”
Dee Lestari (Supernova: Petir)
β€œ
karena ombak tak pernah berencana untuk menetap di pantai, ia selalu kembali bergulung ke lautan
”
”
Jia Effendie (Perkara Mengirim Senja)
β€œ
Nahkoda yang tangguh itu tidak lahir di laut yang tenang, tapi lahir di laut yang penuh dengan ombak dan badai.
”
”
Aditya Hadi
β€œ
Mengetahui rahasia orang lain, sama saja dengan memegang amanat suci. Bila berhasil menjaganya, maka engkau telah menunaikan suatu ibadah
”
”
Erwin Arnada (Rumah di Seribu Ombak)
β€œ
Oh! Mengapa manusia harus sombong? Secepat bintang jatuh, awan yang diterbangkan angin, Kilatan petir, ombak yang memecah, Manusia beralih dari hidup ke peristirahatannya di makam.
”
”
William Knox
β€œ
Rasa takut adalah belukar yang siap membelit siapa saja yang membiarkan dirinya dicekam perasaan itu.
”
”
Erwin Arnada (Rumah di Seribu Ombak)
β€œ
Hari ini kupelajari satu hal lagi tentang kehidupan. Bahwa banyak misteri dan hal-hal serba tidak pasti yang harus kita hadapi dalam hidup ini. Detik ini kita bahagia, belum pasti detik berikutnya bahagia itu berlanjut. Kadang-kadang, ada duka yang menunggu di ujung rasa bahagia yang kita rasa.
”
”
Erwin Arnada (Rumah di Seribu Ombak)
β€œ
Laut itu, Asmara, tak hanya terdiri dari ikan cantik dan kuda laut, tetapi juga pada masanya ada badai dan ombak besar yang hanya bisa dijinakkan oleh tembang merdu para nelayan. Alex
”
”
Leila S. Chudori (Laut Bercerita)
β€œ
jangan selalu berfikir jika ombaklah yang bersalah saat menghantam karang, kenapa tak menyalahkan karangnya saja? tak bisakah ia berlari menghindar? kenapa ia tetap diam dan terhantam? mungkin saja sebenarnya mereka saling mencintai, ombak selalu menghantam karang dan karang tak pernah menghindarinya. mungkin seperti itulah cara mereka saling mencintai atau sekedar melepas rasa rindu.
”
”
nom de plume
β€œ
Aku merindukanmu... Seperti tanah kering menanti hujan datang. Aku merindukanmu... Seperti pasir mendamba buih ombak tuk menyapu. Aku merindukanmu... Seperti ujung ranting pepohanan tak sabar menyambut terbitnya fajar. Aku merindukanmu... Seperti biji mati yang merindu musim semi. Aku merindukanmu... Seperti virus mengkristal yang menunggu masa yang tepat tuk kembali hidup. Aku merindukanmu... Seperti.... Seperti.... Seperti... Aku merindukanmu... Kupikir itu sudah lebih dari cukup. Kupikir kamu sudah lebih dari cukup. Kuharap aku sudah lebih dari cukup.
”
”
Devania Annesya (Elipsis)
β€œ
banyak yang bisa aku ceritakan tentang diriku. ketika malam mulai merayap menyapu dingin, aku sering berdiam diri menatap langit dari dalam jendela di kamarku sambil berharap ada bayangmu menatapku dan tersenyum. atau ketika ada suara ombak menerjang kakiku, aku selalu menunduk menyadari bahwa aku sedang berjalan sendiri tanpa ada kamu di sebelahku. tapi satu-satunya yang bisa aku ceritakan tentang diriku adalah kehampaan yang menghantuiku ketika menunggumu. semoga kamu tau.
”
”
wasiman waz
β€œ
Perempuan bukanlah makhluk lemah, sebaliknya, ia kuat dan mampu bertahan bagai karang di tengah ombak kehidupan
”
”
Tasniem Fauzia Rais (Malam-malam Terang)
β€œ
Jadilah seperti tebing di pinggir laut yang terus dihujam ombak, tetapi tetap tegar dan menjinakkan murka air di sekitarnya.
”
”
Marcus Aurelius (Meditations)
β€œ
Terkadang Pantai adalah sebuah sinema, hamparan pasir, deru ombak dan semilir angin sebagai tokoh utama dan kita entah pada scene keberapa tak sengaja duduk berdua dan membuat hal yang biasa kita sebut "CERITA".
”
”
nom de plume
β€œ
yang kausangkakan bakat barangkali tidak lebih dari banjiran perasaan yang mengapung kosong bagai sampah-sarap meriak ditolak ombak mendesak dari dalam dadamu atau banjaran impian di puncak gunung dibalut kabut tegak menusuk kulit kepalamu (bakat)
”
”
T. Alias Taib (Opera)
β€œ
MEMINTAL AWAN sayap yang tumbuh pada tubuhku kaurenggut aku melepasnya satu-satu kauwarnai setiap perjalananku dengan bayang-bayang yang tak kupahami di mana para dewa menyembunyikan senjata dan wangi bunga kau lahir dari dunia asing dewa-dewa yang kusembah tidak mengenalmu percintaan apa yang dikeratkan pada urat tangan terbuang dari bumiku tanpa kausadari kunikmati setiap ombak yang kauhamburkan di tubuhku kita mulai pandai memintal awan melilitkannya pada percintaan asing ini menitiskan tanah dan ladang penuh semak 1990
”
”
Oka Rusmini (Patiwangi)
β€œ
Dalam hidup kita kadang terjadi hal seperti itu. Peristiwa yang tak bisa dijelaskan dan tak masuk akal, namun mengacaukan hati kita dalam-dalam. Dalam situasi seperti itu, bukankah tak ada jalan selain memejamkan mata tanpa membayangkan apa pun, tanpa memikirkan apa pun sampai situasi itu berlalu? Seperti merangkak keluar dari bawah ombak besar.
”
”
Haruki Murakami (First Person Singular: Stories)
β€œ
Sebab itu Imam Hamad cuma mengikut ombak sahaja. Biar tidak usah cuba berbuat apa-apa. Biar Kaki Srengenge sekarang seperti Kaki Srengenge dahulu juga. Biar halaman rumah anak buah Kaki Srengenge semuanya jadi sarang puyuh. Biar balai raya jadi kandang kerbau putus jerat. Biar budak-budak muda terus-menerus ayun buah. Bukan sahaja orang lain, anaknya, Jantan, itupun bukan boleh disuruh buat apa-apa. Yang tahu hanya mengayun buah siang-siang. Malam mengatur tapak gayung. Kononnya nak sedia melawan Yahudi. Kononnya hari kiamat sudah tidak lama lagi. Kononnya perang sabil sudah dekat. Dajal nak turun. Biarkan. Biarkan.
”
”
Shahnon Ahmad (Srengenge)
β€œ
Oh kau, gerimis yang jatuh di kala subuh. Dingin yang menggigit tulang. Cahaya lampu yang bergelung di balik selimut yang tebal. Engkaulah, pengharapan dari terbitnya matahari. Keindahan yang bergulir seperti butiran embun di atas dedaunan, lebih cemerlang dari permata. Bagaimana hatiku tak terpikat oleh keceriaanmu kala menyambut pagi? Kelopak kelopak bunga yang bermekaran, gemulai tangkai tangkai mawar tertiup angin. Terpesona oleh tawamu yang renyah, oleh kehangatan pribadimu yang bersinar dari dalam lubuk hati. Bagaimana aku tak jatuh hati pada kecantikanmu yang anggun bersahaja? Betapa kau sebarkan kebahagiaan dengan cara yang tak aku mengerti. Kau getarkan dawai pengharapan di jiwaku yang letih lesu. Dan kau buat diriku tak henti memikirkanmu siang dan malam. Kau balaukan tidurku yang resah gelisah oleh pantulan cahayamu yang menyilaukan serupa lampu neon di seberang jalan. Senyummu terbayang bayang dalam mimpiku serupa layang layang yang terbang di permai langit biru dalam rindu masa kanak kanakku. Kau aduk aduk hatiku seperti biduk yang terombang ambing di atas ombak. Menanti angin pasang yang akan membawaku pulang. Janganlah kau putus pengharapanku untuk sampai ke pantaimu. Ijinkan aku berjalan di atas pasirmu yang lembut. Berlindung di bawah payungmu yang menutupiku dari panas matahari yang melukai. Kau terima diriku dalam pondokmu yang kecil dan sederhana namun tertata rapi penuh oleh bunga bunga. Kau menyambutku dengan penuh suka cita di depan pintumu yang sekokoh kayu jati. Dan kau akan menjamuku bukan lagi sebagai tamu asing dalam rumahmu yang bersih melainkan sebagai diriku sendiri. Dalam cinta yang bersemi oleh penantian, doa dan pengharapan. Dalam penghiburan hati demi untuk mewujudkan mimpi mimpi abadi.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
1967 Di museum kutemukan dahimu penuh kerak timah, meleleh membutakan matamu. Diam-diam kutawarkan tali. Mungkin kau ingin menjerat tubuhku. β€œKujajah tubuh belalangmu. Kita bersembunyi di gua, lari dari topeng-topeng yang kita pentaskan. Jangan kaulempar tali! Ayahku akan kehilangan wujud lelakinya. Ibuku memuntahkan ulat yang telah lama dikandungnya.” Di museum, matamu memecahkan seorang perempuan. Kau terbangun dari kantuk. Kutelan gelap. Kukunyah api. Aku mulai membakar jantung. Mana taliku? Kau ingat di mana telah kutanam impian yang disembunyikan perempuan jalang yang harus kupanggil β€œtante”? Perempuan itu tak lagi memiliki hati. Hidupnya sudah digadaikan untuk orang-orang yang rajin menyapanya di jalanan. Mungkinkah dia ibuku? β€œJangan lilit tubuhku dengan tali. Batang tubuhku buas. Tak ada tali mampu mengikatnya. Jangan hidangkan impian. Mari mereguk kata-kata. Kautahu tumpukan huruf pun kuserap. Tumbuhkanlah anak rambutmu. Ayahku diam-diam menanam kebesaran, tapi aku tak memiliki rangka iga. Mari senggama di batu-batu. Mungkin ingin kaukuliti karang tubuhku?” Kau tampak pandir. Tolol. Uapmu mencairkan satu demi satu bukit yang kusimpan erat di urat tangan. Di museum kau menjadi begitu pengecut. Aku mulai menggantung bayi di ujung rambutmu. Matanya memuntahkan pisau. Kuperingati hidup dengan seratus tahun sunyi Garcia. Ikan-ikan meluncurkan sperma. Betina-betina memuntahkan gelembung karang. Di museum, kesunyian begitu runcing. Tahun-tahun yang pernah kita pinjam kumasukkan dalam api upacara pengabenan. Pulangkah aku? Siapa yang kucari? Diam-diam Garcia sering mengajakku bersenggama di tajam ombak, di museum, dalam mata, jantung, hati dan keliaranmu. Aku tetap gua kecil yang ditenggelamkan dingin. Berlayarlah selagi kau masih ingat laut. Jangan catat namaku. Karena ibuku pun membuangku di buih laut. Mencongkel hatiku dengan lokan. 1999
”
”
Oka Rusmini (Pandora)
β€œ
Song for Glenda Nak, bolehkah aku duduk di sini menemanimu, di antara meja dan kursi yang dingin dan senyap ini? Aku tak hendak memulai percakapan tentang hujan, melainkan akan aku ceritakan padamu sebuah mimpi; Adalah seekor tukik yang terpuruk di dalam pasir di sebuah pantai yang tersembunyi. Dia tengah merindukan sebuah rumah nan indah, serupa bayangan laut yang dulu pernah ia tinggali bersama ayah dan ibunya. Tetapi ia lupa di mana. Rumah itu berasa jauh dan tak tergapai dari dalam ingatannya. Jadi, pergilah ia masuk ke dalam sebuah mimpi. Saat ia menggigil kedinginan karena demam dan ayahnya datang mengunjunginya, membawa selembar selimut dari lumut dan terbang bersama angin puting beliung yang berhembus entah dari mana. Ia tahu, ia merindukan semua peristiwa yang mengekalkan ingatannya pada arti kebahagiaan. Ia tidak ingin lagi merasa sedih atau sendirian. Tapi ia tak menemukan apapun di masa lalunya, selain sebuah ceruk berupa lobang menganga yang tidak menawarkan apa apa selain kegelapan. Ia tidak bisa melihat wajahnya sendiri. Bukan seulas senyum atau bahkan mata yang bening menerawang yang tergambar dalam mimpinya. Cuma bayangan muram dari hati yang pedih, rasa sakit dan mungkin juga amarah. Entah mengapa, ia tak ingin lagi menoleh ke belakang, tapi ia tak sanggup melakukannya. Tiap kali ia memalingkan muka, yang ia lihat adalah sebuah bandul jam yang bergerak dari kanan ke kiri dan penunjuk waktu yang berjalan mundur selangkah demi selangkah. Ia jadi ingin menyakiti dirinya sendiri, dengan hunjaman pecahan batu karang dan jarum jarum tajam serupa duri duri bulu babi. Ia kehilangan semua kosa kata cinta yang pernah diajarkan oleh ibunya dulu. Semua kalimat doa yang seakan terpaksa ia panjatkan hanya untuk memahami apa arti keberadaan dirinya sendiri. Mengapa semua makhluk harus hidup, hanya untuk menyelami makna penderitaan? Ia hanya seekor tukik yang tak tahu bagaimana mesti menyikapi alam liar di luar sana. Tak tahu menafsir rasa khawatir di balik ancaman teriakan burung camar, atau barangkali juga resah gersik pasir yang tak mengisyaratkan apa apa selain sunyi. O dunia yang centang perenang ini, mengapa kini jadi begitu menakutkan dan tidak bersahabat. Namun demikianlah, mimpi itu mesti berakhir. Saat ditemuinya senyap mencumbu tepian laut dan ombak yang bergelora tak henti hentinya bernyanyi. Tiba tiba saja, ia tak lagi merasa sendirian. Tiba tiba saja, ia merasa belaian tangan Tuhan menyentuh tempurung rentan di punggungnya. Dan kemudian ia melihat, matahari angslup perlahan, saat Tuhan membelah lautan hanya dengan sebuah senyum.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
OMBAK - Andai aku dapat lantang berteriak. Sampai suara ini serak. Pun, kau tetap menolak. Bias-bias cahaya berwarna perak. Enggan bergerak. Menyeret kenangan yang menyisakan jejak. Dengan congkak. Di sebrang sana ada pejantan gagak. Tertawa menatap mataku yang bengkak. Tergeletak. Sadari kalah telak.
”
”
Karunia Fransiska
β€œ
Kalau Tuhan tidak ada, betapa absurdnya semua ini jadinya. Bagaimana mungkin manusia bisa menahankan kemonotonan laut dan ketiadaan emosinya yang kejam. Kehidupan mereka yang diikat salib dan tersapu ombak sekedar menjadi sebuah drama absurd. Dan misionaris menghabiskan 3 tahun menyeberangi laut untuk datang ke negeri ini, betapa sia-sianya ilusi mereka.
”
”
Shūsaku Endō (Silence)
β€œ
SEPERTI SEBUAH PERCAKAPAN DALAM DIAM Kesunyian mungkin tak pernah menjadi seperih ini. Akan tetapi, kalau ia sungguh hadir bagaimana hendak kutolak? Sekiranya aku temukan airmata pada luka yang terlanjur kutorehkan sendiri, bagaimana hendak kutuntaskan hari hariku dalam kesendirian serupa itu? Senyap angin yang menggigilkan hati. Perahu karam dan ombak yang menyerpih di antara karang dan bebatuan. Seperti temaram yang turun selepas mendung yang menutupi wajah matahari. Amarah yang menjelma jadi seekor naga, bayangan hitam menyapu pelangi yang mengambang di atas laut. Apa yang menahan hujan meninggalkan kenangan di balik kabut? Lalu datanglah esok hari. Tapi mengapa pagi tak selalu seperti angan yang kita rindukan? Seperti juga sisa malam yang senantiasa bermuram durja, terlihat lusuh dan terlalu bersahaja. Ia lebih serupa jelaga yang mengotori pikiran pikiran kita dengan syak wasangka. Siapa di sana bakal menemu wajah sang kekasih? Aku ataukah dirimu? Mengapa bukan kita? Mengapa hanya cuma keluh kesah? Cuma sekedar angan yang tinggal. Pada hari hari kelabu dan seolah tanpa harapan. Siapa yang akan memberi kita semua cinta dan perhatian yang mungkin? Kecuali kita sama sama telah lelah dan terpaksa berhenti di titik ini. Saat ketika kita sudah tak lagi bertegur sapa. Ketika kita menjadi terlalu sibuk dengan pikiran masing masing. Menumpuk kedengkian dan semakin banyak jerat di benak. Semua sisa kenangan yang sempat datang dan pergi. Tak lagi menyisakan percakapan antara dua hati yang mendadak saling membenci. Antara dua perasaan yang kian berkecamuk. Benih cinta yang dulu sempat ada. Yang pernah hadir... Dan lalu pergi entah kemana?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Seperti mengulang frasa yang sama. Roda yang terus menerus berputar sebelum kemudian berhenti. Setiap perjalanan bukan lagi jarak dari diri sendiri. Pada waktunya semua orang akan mengerti. Demikian pula kita. Ada yang masih mencari, ada yang telah menemukan. Sisi lain dari diri sendiri. Menjadi yang terbaik atau tidak sama sekali. Meninggalkan jejak di atas pasir, menera tawa pada desau angin atau gelora ombak. Setiap peristiwa mengukir kenangan. Mungkin sedih mungkin juga bahagia. Walau pada akhirnya semua orang harus pulang.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Pikiran orang bebal seperti sungai yang dangkal, mudah terbawa arus dan tidak mampu menahan ombak.
”
”
Unknown
β€œ
Mencintaimu seperti berharap pada cuaca laut ketika badai hendak terjadi. Kamu tak pernah tahu apa yang ada di dalamnya. Petir, taifun, atau ombak besar yang bisa membuat perompak paling jahil ciut nyali. Aku ingin sekali saja tidak percaya bahwa semesta itu demikian adil, bahwa kesalahanku di masa silam akan dibalaskan setimpal.
”
”
Arman Dhani (eminus dolere)
β€œ
Aku mencintaimu seperti karang yang berharap ombak datang, menimbun rindu, menyimpan syahdu, menanti waktu sampai kau datang membawaku pulang
”
”
Ayyuni Sofiyana
β€œ
Banyak jalan terbuka, bila ada teman yang bahu-membahu, mencari dan menemukan jalan itu! Kita tak dapat memencilkan diri untuk termenung atau berputus asa!
”
”
Nasjah Djamin (Ombak Parangtritis)
β€œ
Pikiran orang bebal seperti sungai yang dangkal, mudah terbawa arus dan tidak mampu menahan ombak.
”
”
unknown author
β€œ
Kenapa laut memiliki ombak, tapi aku tak bisa memiliki dia? Aduhai, kenapa langit punya awan putih bergumpal-gumpal lembut, tapi aku tak punya dia? Kenapa bunga disukai kumbang, tapi dia tak suka aku? Wahai, kenapa kereta berjalan di atas rel, tapi dia tidak mau berjalan di atas kehidupanku? Kenapa cincin berjodoh dengan jari manis, tapi dia tak mau menjadikanku jari manisnya?
”
”
Tere Liye (Dikatakan atau Tidak Dikatakan, Itu Tetap Cinta)
β€œ
Apa yang Bisa Dilakukan Puisi (Sebuah Surat untuk Hati yang Bersedih) Sungguh sangat disayangkan bila tak ada seorang pun yang menunjukkan kepadamu, bahwa kehadiranmu di sini jauh lebih berharga dari apa yang sanggup kamu pikirkan. Barangkali, masalah yang engkau hadapi terlalu berat untuk kau tanggung sendiri. Dan tak ada seorang pun yang datang untuk mendengarkanmu. Sekiranya saja saat itu engkau mengijinkan diriku hadir. Aku akan mengajakmu duduk sejenak. Akan kuminta engkau mengambil selembar kertas dan lalu aku ajari kamu menulis sebuah puisi. Kau bisa memulai dengan memikirkan atau membayangkan sesuatu, bahwa aku adalah temanmu. Aku akan jadi pendengarmu yang setia, pelipur duka laramu. Aku ada untuk membantumu, untuk meringankan bebanmu. Aku adalah sahabatmu yang terbaik, karena aku tidak akan pernah menyalahkanmu atau menghakimi dirimu. Kau tak akan pernah lagi merasa sendirian, sebab aku selalu ada saat engkau membutuhkan. Saat kau letih aku akan jadi penghiburanmu. Saat kau suntuk aku akan menemanimu melepas penat. Alangkah baiknya bila kita bisa jalan-jalan sejenak ke pantai. Di sana kau bisa puas berteriak melawan keras suara ombak. Atau akan kutemani dirimu mendaki perbukitan. Menghitung langkah demi langkah sampai kau merasa lelah. Tapi saat kau tiba di puncak, kau bisa melepas semua beban. Kau bisa melihat dunia dalam perspektif yang sepenuhnya berbeda. Segalanya mengecil di bawah telapak kakimu dan matahari ada di dalam genggaman tanganmu. Adakah kau bisa merasakan sayap-sayap angin tumbuh di punggungmu dan kau terbang bebas menyentuh awan-awan? Tidak lagi dalam balut aura kesedihan, melainkan dengan rasa syukur bahwa semuanya masih bisa engkau nikmati. Namun bila lukamu masih berasa perih sekarang dan hatimu ingin menjerit, maka menjeritlah biar semesta mendengar. Kalau kau ingin menangis maka menangislah biar dunia mengerti. Tak ada yang salah untuk menumpahkan rasa sedih dan kekecewaan. Kadang kita memang tak harus menahan semua lara sendirian. Bila saja kau merasa bahwa dunia bersikap tak adil pada dirimu, coba ingatlah mereka yang tak lebih beruntung daripadamu. Mereka, para pengungsi di Palestina dan Ukraina yang kehilangan semua yang mereka miliki. Yang saudara- saudaranya mati tertembak di jalan. Yang rumahnya di bom hancur berantakan. Jangan berpikir bahwa engkau tak bernasib baik atau bahwa celaka adalah takdirmu. Jangan pernah pedulikan apa kata orang yang buruk tentang dirimu, toh mereka juga tak hendak peduli padamu. Jangan acuhkan dunia kalau mereka juga bersikap tak acuh pada dirimu. Untuk menjadi kuat yang engkau butuhkan hanyalah keyakinan, bahwa kau jauh lebih besar dari masalah yang kau hadapi. Hidup terlalu berharga untuk engkau sia-siakan. Kau bisa memulai darimana terserah pada apa yang kau inginkan. Kalau matamu bengkak habis menangis semalaman, setelah itu semestinya kini kau merasa lega. Bangunlah di pagi hari dan katakan pada dunia, bahwa hari ini adalah milikmu. Tak akan ada lagi yang bisa melukaimu. Tak ada lagi yang bisa membuatmu menderita. Tak ada lagi yang bisa membuatmu bersedih. Karena semua berpulang pada dirimu sendiri. Sebab mulai hari ini kau telah jadi orang yang sepenuhnya berbeda. Karena Tuhan ada bersamamu sekarang. Ada lebih banyak cinta di sekelilingmu. Ada lebih banyak kebahagiaan untuk kau miliki.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Cinta Ibu Tak Akan Pernah Menyerah Bila langit mendung tak mampu melindungimu dari teriknya matahari. Bila retak perahu tak mampu membuatmu menahan gempuran ombak. Apakah bejana cinta Ibu tak cukup untuk menampung semua duka laramu, duhai anakku? Apakah deras air mata Ibu tak mampu membasuh penderitaanmu? Lalu, bila kini layar-layar ibu terpatah oleh hempasan badai puting beliung. Mengapa kau tega meninggalkan Ibu seorang diri menghadapi cobaan ini? Apakah tali kasih sayang Ibu tak mampu menahan berat beban yang engkau tanggungkan, sehingga engkau memilih pergi dengan cara seperti itu? Bagaimana ibu mesti hidup dengan semua ingatan sedih akan dirimu? Tidakkah kau lihat menderas hujan tercurah dari mata hati Ibu tak akan pernah berhenti? Ia akan terus mengalir serupa sungai menuju laut keabadian. Sejak mula kau masih ada dalam kandungan Ibu. Sejak Tuhan menitipkan dirimu ke pangkuan Ibu. Dengan susah-payah Ibu membesarkanmu. Ibu asuh dirimu dengan seluruh cinta yang aku punya. Dan kini, semua kenangan itu dirampas oleh kejinya waktu seperti gelas yang jatuh dan hancur berkeping. Siapa yang sanggup menyatukan lagi serpihan hati Ibu yang berserakan di jalan? Siapa yang akan menyusut air mata Ibu yang tak akan pernah lagi mengering? Sebab hanya tangan kecilmu itu dululah yang menjadi pelipur lara hati Bunda. Wajahmu yang elok itu pulalah yang membuat Ibu bertahan dari segala kesulitan. Ibu telah lakukan segalanya agar engkau bahagia. Ibu berjuang agar engkau kuat menaklukkan dunia. Semua ibu perbuat hanya untukmu Nak. Hanya untukmu. Kini, siapa yang akan mengobati duka abadi yang terkubur bersama cinta Ibu kepadamu? Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa kita Nak. Karena hanya inilah satu-satunya hal tersisa yang bisa Ibu lakukan. Untuk tidak putus-putusnya mendoakanmu, agar Tuhan berkenan melapangkan jalan. Jalan terakhirmu Nak. Sebab Ibu tahu bahwa Tuhan akan selalu berbelas kasih kepada siapa yang memohon dengan penuh kesungguhan hati. Sebab cinta Ibu kepadamu tak akan pernah menyerah.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Malaikat Kecilku Masih kubaca tawamu senja itu mengabur bersama bayang-bayang rembulan. Waktu yang melebur bersama turunnya hujan mengembalikanmu pada apa yang hilang. Perasaan-perasaan yang pernah engkau miliki; Pohon hayat yang dulu melahirkanmu. Cahaya matahari yang mengasuhmu. Sungai dan laut yang membesarkanmu. Rumput dan padang ilalang yang memberimu pelajaran tentang hidup. Tentang cinta dan kerinduan. Tentang sedih dan kekecewaan. Segala apa yang membuatmu tumbuh tegar dan kuat. Adakah kini engkau mengerti, betapa waktu mencintaimu sebagaimana adanya dirimu saat ini. Waktu yang membawamu menemui mereka yang datang dan pergi dalam perjalanan kehidupan. Waktu yang mendamparkanmu ke puncak gunung demi menatap wajah rembulan. Waktu yang menjejakkan langkahnya di pasir putih bersama tarianmu, demi mendengarkan gelora ombak samudra. Waktu yang membaca gelak tawamu di permukaan telaga dan memberimu kebahagiaan. Musim hujan akan segera tiba aku akan berusaha menulis puisi untukmu setiap hari. Dan engkau bisa membacanya bersama bintang-bintang agar mereka hadir menemanimu. Engkau tak akan lagi dirundung sunyi. Engkau tak akan pernah merasa sendirian. Sebab engkau bisa menjadi apa saja yang engkau inginkan. Berenang gemulai seperti ikan arwana yang elok lembut atau terbang di atas awan seperti burung layang-layang. Sungguh engkaulah malaikat kecilku. Bukan aku yang menjagamu, melainkan sebaliknya. Engkau mewarnai hidupku melebihi indah busur pelangi. Tak ada kebahagiaan yang melampaui keceriaan yang kau berikan lewat senyummu yang bersahaja. Jadi ijinkan aku menyatakan perasaan saat kamu masih terjaga, betapa dalam cinta ayah padamu. Seperti pesona binar tatap matamu yang tak pernah pudar dari ingatan. Terimakasih telah menjadi embun pagiku, penyejuk dahagaku. Selamat malam malaikat kecilku, tidurlah yang nyenyak. Bawalah senyum Tuhan dalam mimpi-mimpi indahmu.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Mencintaimu Adalah mencintai mimpi Dalam lelap tidurku Aku tak pernah Membayangkanmu Selain jadi dirimu Sendiri Kau bukan Gelas kristal Yang mesti kujaga Agar tak retak Kau bukan potret Usang yang aku bongkar Pasang hanya untuk Memastikan di sebelah Mana aku mesti Berdiri Kau bukan buah Dan aku bukan Dahan Tempatmu Bergantung Kau bukan ombak Dan aku bukanlah Pasir pantai Kau bukan rembulan Yang aku rindukan Karena kau selalu Ada untukku Kau adalah perempuan Yang aku lihat di cermin Saat dimana aku melihat Kekurangan dan Kelebihan di dalam Diriku sendiri. Mencintaimu Adalah menerimamu Dengan segala apa Yang engkau Miliki
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Banyak hal yang bisa kita pelajari dari alam, seperti halnya ombak lautan yang mengajarkan kita bahwa masalah akan datang dan pergi dengan sendirinya.
”
”
Arief Subagja
β€œ
kewaspadaan seorang pelaut yang terlatih merampok ombak melarung cinta kita seperti sebatang perahu pembawa nasib buruk berlayarlah ke arahku yang padam terendam pukat.
”
”
Ibe S. Palogai (Menjala Kunang-Kunang)
β€œ
Ada saatnya dimana kita akan berlibur berdua, tidak ada yang mengganggu, tidak ada bising, selain terjangan ombak terhadap karang, kita akan bercengkrama membicarakan komitmen kita berujung dimana. Sesampai senja kita akan berjalan lebih ke tengah mencari karang yang luas dan kita duduk ditengahnya, agar ombak tak mampu membasahi badan. Kita saling menggengam erat, agar ombak dahsyat tidak menjatuhkan kita. Sampai senja hilang, kita juga. Tak ada yang melihat, tak ada yang tau apa yang kita bicarakan dan kita lakukan.
”
”
Nurdin Ferdiansyah
β€œ
Ombak tidak mencari selain pantai untuk berderai. Engkau tidak mencari selain Dia untuk menangis.
”
”
Darma Mohammad (Langit Membuka Lipatan)
β€œ
Sekarang aku tahu bahwa dunia kita sama tidak permanennya dengan ombak yang timbul di lautan. Apapun perjuangan dan kemenangan kita, betapapun kita menderita karenanya, segera saja semuanya akan merembes menyatu, seperti tinta yang tumpah ke kertas.
”
”
Arthur Golden (Memoirs of a Geisha)
β€œ
Kelak ketika kamu dewasa, belajarlah seperti perahu. Mengarungi lautan dengan gigih meski ombak menghantam begitu hebat. Berlayarlah! Teruslah berlayar layaknya hidup yang kita jalani.
”
”
Ilham Aidil (Surat Hujan)