β
Maruti
Hujan memintaku menari. Maka menarilah aku dalam malam tak berbulan ini. Dan ketika ia menenggelamkan cahaya bintang-gemintang dengan menangkupkan setiap sudu kerlip itu ke dalam genggaman tangannya, malam jadi gelap sempurna dalam bangsal kencana ini.
Sekalipun demikian, kami terus menari. Hanya aku dan hujan. Walau aku tak dapat melihat wajah hujan, dan hujan tak dapat menatap ke dalam mataku. Aku memeluk basahnya seperti ia memeluk basahku dalam dirinya.
Aku bahkan dapat merasakan degup jantungnya, sebagaimana ia dapat merasakan detak jantungku. Dan kami menyatu dalam ritual mabuk tarian hujan. Saling percaya pada apa yang tak kami lihat, menghayati bunyi dari apa yang tak kami dengar.
Ketika bonang, celempung, demung, gender, gambang, gong, gendrum, kempyang, kethuk, kempul, kenong, kendang, ketipung, kecer, kepyak, kemanak, panerus, peking, rebab, saron, slenthem, slentho, siter dan seruling menjelma jadi instrumen hujan.
Kami hanya bisa saling meraba dan saling bertukar getar dalam alunan gamelan senyap. Sebab aku hanya setengah dari apa adanya diriku saat ini. Sebab biru hujan telah mengambil separuh kuning yang aku miliki. Dalam tarian kami, semua menjelma jadi hijau sempurna.
Tanganku adalah tangan hujan dan kakiku adalah kaki hujan. Seluruh tubuhku adalah semesta hujan. Sebagaimana setiap gerakan yang aku mainkan terinspirasi oleh gerakan hujan. Apa yang aku pikirkan menjadi pikiran hujan. Apa yang aku kehendaki menjadi kehendak hujan. Tawa dan tangisku merebak jadi tawa dan tangisan hujan.
Aku mengada untuk hujan. Sedang ia mengada untuk diriku. Hingga kami sama-sama tenggelam dalam basah lautan yang tak seorang pun mampu melihatnya. Kecuali bagi mereka yang memahami hujan, sebagaimana aku telah memahami dirinya.
β
β