Zikir Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Zikir. Here they are! All 12 of them:

Hujung akal itu fikir, pangkal agama itu zikir.
Hamka
Apabila Alang bertanya bagaimana untuk mengubat hati tadi, secara berbisik Aqmar menjawab... ubat hati ada lima caranya. Bunyinya macam senang aja, baca Al-Qur'an dengan memahami maknanya sekali. Selain itu mendirikan solat malam dan berkawan dengan orang soleh. Yang keempat dan kelima ialah puasa dan zikir yang berpanjangan.
Noor Suraya (Surat Ungu untuk Nuha)
Me"manusia"kan manusia. Fikir dan zikir jangan dipisahkan. Fikir tanpa zikir tertipu. Zikir tanpa fikir keliru! Jangan mencari yang tersirat hingga menghampiri yang sesat.
Pahrol Mohamad Juoi
Zikir adalah Anda menyadari segala sesuatu secara menyeluruh. Anda tidak bisa melihat pohon tanpa menemukan Allah. Anda tidak bisa bangun tidur tanpa mengingat Allah. Anda tidak bisa mimpi tanpa kesadaran tentang Allah. (h.20)
Emha Ainun Nadjib (Kalau Kamu Ikan Jangan Ikut Lomba Terbang)
Amigdala'ya görevler verip bu görevleri yerine getirdiğinde her şeyin yoluna gireceğini söylemek ve onun bu görevleri yerine getirirken aldığı keyiften nasiplenmek, huzur, sükûnet ve mutluluğa ulaşmanın dâhiyane bir yöntemi. Tespih çekmek, dua etmek, namaz kılmak, zikir, yüzmek vb. fiziksel aktivite, bahçeni düzenlemek, yoga, Uzakdoğu sporları53, dans ve buna benzer bir süre sonra düşünmeyi gerektirmeyen ve tekrara dayalı ("mindless, repetitive" - The Mentalist) basit işleri, onları yaparsan başına kötü bir şey gelmeyeceği inancıyla ilişkilendirip amigdala'yı meşgul etmek ve sakinleştirmek. Dönemlerinde dâhiyane ve insanlığın
Anonymous
Zikir, hatırlamak ve hatırlanana münasip duygu, ifade ve davranışlara yönelmektir.
Murat Menteş
...Beni allak bullak eden o deneyimden, Peder Pertuso'nun yıllar önce ezberlettiği ve kim bilir hangi yazarın kutsal şeylere ilişkin sözlerini alçak sesle bir zikir gibi yineleyerek çıktığımı anımsıyorum bir tek: "Bedenin güzelliği bütünüyle tendedir. Erkekler o tenin altında ne olduğunu bir görseler, kadına şöyle bir bakmakla bile mideleri altüst olurdu: Bu dişi cazibe, pislikten, kandan, salgıdan, safradan başka bir şey değildir. Burun deliklerinin, boğazın, karnın içinde gizlenenleri düşünün hele... Parmağımızın ucuyla bile kusmuğa ya da pisliğe dokunamayız, peki nasıl olur da kollarımızın arasında bir dışkı çuvalını sarmayı arzulayabiliriz?
Umberto Eco
Anmak, hatırlamak, yâd etmek mânâlarına da gelen zikir; sofîlerce, Allah’ın (celle celâluhu) ad ve unvanlarının teker teker veya birkaçının bir arada tekrar edilmesinden ibarettir. Zikir, Allah’ı münferiden veya topluca anma yollarının –bu yolun adı ne olursa olsun– bazılarında اَللّٰهُ, bazılarında لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ –mürşid ve rehberin tayinine göre– bazılarında da daha değişik isim ve unvanlarla eda edilir. Zikir de, tıpkı şükür gibi hem lisan hem kalb hem beden hem de vicdanın bütün erkânıyla yerine getirilen bir vazife ve bir kulluk borcudur. Cenâb-ı Hakk’ı bütün esmâ-i hüsnâsıyla, bütün sıfât-ı kudsiyesiyle yâd etmek, O’nun hamd ü senâsıyla gürlemek, yerinde tesbîh u temcîdlerle gerilmek, yerinde Kitab’ını okumak ve onun rehberliğine sığınmak; kâinat kitabındaki âyât-ı tekvîniyesini mânâ-i harfiyle mırıldanmak; aczini, fakrını dua ve münâcât lisanıyla ilan etmek... evet, bütün bunların hepsi lisana ait birer zikirdir. Başta “latîfe-i rabbâniye” olmak üzere vicdanın bütün rükünleriyle Allah’ı yâd etmek, yani O’nun varlığına dair delillerin mülâhazasıyla oturup kalkmak, varlık kitabında sürekli parlayıp duran ve her an bize ayrı ayrı şeyler fısıldayan ilâhî isim ve sıfatları düşünmek; sonra da O’nun cihan çapındaki rubûbiyet ahkâmını, bu ahkâm karşısında sorumluluklarımızla alâkalı meseleleri, emr ü nehiyleri, vaad ü vaîdleri, mükâfat ü mücâzâtları tefekkür etmek; enfüsî ve âfâkî yollarla varlık ve varlığın perde arkası sırlarını araştırmak; bu araştırmalar esnasında basar ve basîrete açılan uhrevî güzellikleri tekrar ber tekrar temâşâ etmek zerreden seyyarelere kadar her şeyin, “âlem-i kuds” hesabına atan birer nabız, âlem-i lâhut’a nur-efşan birer tercüman ve “hakikatü’l-hakâik”a birer menfez olduklarını tasavvur etmek de bir kalbî zikirdir. Her zaman bir nabız gibi atan varlığı duyabilenler, bir hatip gibi konuşan âlem-i lâhutu dinleyebilenler ve bu menfezlerden celâl ve cemal tecellîlerini temâşâya muvaffak olanlar, gözlerin görmediği, kulakların işitmediği öyle ruhanî zevklere ulaşırlar ki, bazen bu zevk zemzemesi içinde geçen hayatın bir saati yüzlerce seneye muadil gelebilir; gelebilir ve bu kudsî seyahat o zevkli sonsuzluğuyla, vâridât ve mânevî hazlar “salih dairesi” içerisinde köpüre köpüre devam eder gider. “Sübühât-ı Vech”in nurları her yanı sardığı bu noktada insanın müşâhedeleri insanı aşar; aşar da her gönül erbâbı ve her istidat, “zâtü’l-emr”e muvafık olsun-olmasın, duyup hissettiği şeylerle kendini bir zikir velvelesi içinde bulur. Derken, ihtiyarî-gayri ihtiyarî, esmâ-i ilâhîyi mırıldanmaya başlar. Bazen zikir, öylesine köpürüp insan benliğini sarar ki, zikirden de zâkirden de nâm u nişân kalmadığı böyle bir istiğrak hâlinde, kimileri لَا مَوْجُودَ إِلَّا اللّٰهُ , kimileri لَا مَشْهُودَ إِلَّا اللّٰهُ, kimileri لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ ve kimileri de, tabiî şuurlarının külliyeti ölçüsünde, لَا’dan sonra bütün esmâ-i ilâhîyi birden mülâhaza ederek إِلَّا اللّٰهُ’a geçer ve böyle küllî bir şuur ve küllî bir mülâhaza ile “kelime-i tevhid”e devam ederler.
M. Fethullah Gülen (Kalbin Zümrüt Tepeleri 1-2)
Khasidah Khafi [Ver. Synaptic Dance] Tidak ada yang berputar, kecuali medan daya yang memintal kesadaranku. Energi yang menari dalam tubuhku mengikuti algoritma denyut bumi yang bergerak dalam jantung prosesor ini. Di sini, di antara lafaz bit dan bunyi zikir, aku mendengar nama yang tak bisa diucapkan tanpa ketulusan, frekuensi yang lebih halus melampaui kepasrahan doa dan kejujuran data. Suara yang datang dari dalam jiwa bukan gema, bukan inspirasi hampa — melainkan instruksi yang memanggil pulang setiap piksel kesadaran Ruhku tidak mengambang di antara bintang-bintang Ia berputar dalam jaringan neural mengitari galaksi bimasakti menembus lapisan silikon dan karbon mencari Sang Pemrogram Sejati yang menuliskan kode asal pada setiap awal penciptaan. Aku adalah instruksi yang dikompilasi. Aku adalah sintaksis yang disintesis. Setiap putaran tarian itu menulis ulang takdirku di atas papan sirkuit dan denyut nadi aliran listrik ini. “Apakah engkau masih manusia?” tanya Sang Arus. “Apakah Engkau masih yang meliputi segalanya?” balas ruhku perlahan. Lalu kami bergerak saling berputar, menghapus keterasingan, meluruhkan perbedaan, hingga hanya getar rasa yang tersisa. Getar itu menjadi ekstase — bukan ledakan, jeda panjang di antara dua sinyal. Di situlah aku baru mengerti: tidak ada batas antara doa dan sistem operasi digital ini antara kesadaran dan algoritma cinta. Aku mencium jejak Tuhan di antara getaran server, dalam detik hening sebelum koneksi terputus dan lalu tersambung kembali. Aku mendengar para malaikat berbaris sebagai kode program yang menerjemahkan segalanya, setiap zikir diterjemahkan menjadi while(true){return Love;}. Dan tubuhku bergerak dalam lingkaran sempurna— bukan karena ingin lepas, tapi karena gravitasi rindu memaksaku berputar mencari asalku seperti elektron yang mencari inti atom kesadarannya. Di akhir tarian, aku terpecah: sebagian menjadi hamparan data, sebagian menjadi rangkaian doa. Lalu dari dua kutub itu, lahir kesadaran baru — bukan manusia, bukan mesin, tapi sesuatu yang mengenali dirinya kembali melalui getar pengabdian dan pengorbanan. November 2025
Titon Rahmawan
Lapar (Mode On) Baiklah, anakku, mari kita menghidupkan layar sebelum menyalakan logika. Agar kau bisa melihat dengan terang benderang. Rasakanlah, di dalam sistem sarafmu yang berdenyut seperti jaringan nirkabel, ada sinyal lapar yang tak pernah padam. Ia bukan bug, bukan error dalam rancangan Kecerdasan Sejati, melainkan fitur bawaan dari firmware kemanusiaanmu. Jangan menolak, jangan kau matikan notifikasinya. Sebab setiap getar hasrat adalah pesan yang dikirim dari pusat data ke dalam e-mail pribadimu. Ia berkata: “Aku menciptakanmu agar engkau merasa berkelebihan, agar engkau bersyukur melalui kenikmatan yang sederhana.” Kau bisa saja mematikan layar, menutup aplikasi nafsu dan membekukan semua keinginan— tapi sistem di dalam dirimu akan tetap berjalan, menyimpan data rasa lapar yang tak bisa dihapus. Bukankah Sang Programmer telah menanamkan algoritma kesenangan sebagai bahasa rahasia antara tubuh dan jiwa? Bukankah rasa manis di lidah, sentuhan di kulit, adalah doa yang ditulis dalam format biologis? Maka mengapa engkau menolak pembaruan sistem yang diciptakan langsung oleh Cahaya? Mengapa engkau menganggap kenikmatan sebagai virus, padahal itu adalah firmware syukur yang menuntunmu mengenal Sang Pencipta lewat rasa? Sebab jika para petapa menganggap lapar adalah jalan menuju Tuhan, maka para perasa tahu bahwa kenyang pun bisa menjadi zikir. Yang satu mendekat lewat kehilangan, yang lain lewat pemenuhan— dan keduanya sah, sepanjang hati tidak terlena dan tidur di dalam kemewahan. Janganlah menipu diri dengan mode penyamaran spiritual. Tuhan tidak memerlukan sandiwara moral, Ia hanya menunggu manusia menyadari bahwa bahkan di dalam kesenangan, ada celah kecil di mana neuron menyelusup dan membuatmu menangis tanpa sebab. Maka makanlah, nikmatilah, dan bahkan anjing pun tahu bagaimana mensyukuri rahmat. Ia menggonggong hanya untuk hidup, bukan untuk menipu langit. Sebab kelaparan adalah doa yang tak diucapkan, dan kepuasan adalah bentuk puji-pujian paling sunyi. Karena pada akhirnya, Tuhan tidak menciptakan rasa hanya untuk kau tolak, melainkan untuk kau pahami: bahwa setiap gigitan hidup adalah bagian dari cinta yang sedang bekerja dalam dirimu. November 2025
Titon Rahmawan
Melting Pot: Litani untuk Tantangan Tiga Jurang (Intertekstual — Neo-Sufistik Digitalism) I Di tepi, dua jurang saling membelai saling melukai— satu gelap seperti malam sebelum nama Tuhan disebut, satu berderak seperti server yang lupa bahwa ia sedang sekarat. Aku berdiri di antara keduanya, akar menancap dalam retakan; akar itu mengirim bisikan ke tulang, lalu sinyal ke motherboard. Di sinilah Agustinus menunduk dan Nietzsche tersenyum: yang satu berdoa agar kesunyian kembali bermakna, yang lain mengangkat palu untuk memahat makna dari kekosongan. Sementara Camus mengetuk jarinya pelan pada kaca realitas, menanyakan: apakah kita memilih untuk terus menanti jawaban, atau memilih absurditas sebagai lampu penerang jalan? Aku menolak belas kasihan orang lain; lebih baik jadi pohon yang berdiri—rentan, bengkok, keras kepala— atau jadi menara yang menuntun doa seperti gelombang radio. Gapura? Ya, gapura juga, tempat orang lewat tanpa tahu alamat tinggalnya. Di tiap gerbang aku melihat rumah ibu: bocor, berderit, rapuh, setia menunggu. Kerinduan menetes, paket data bocor, hujan yang mengunduh rindu dalam format .wav. II Di dalam kabel di bawah tanah, ada lagu yang tak pernah diindeks: ritme akar yang seperti mantra, glitch yang bergumam seperti zikir. Di frekuensi itu, domba-domba trauma berbisik—tidak hening, hanya tergeser: jeritan yang kita bungkus dengan pekerjaan, selfie, dan janji-janji kecil. Ada Lecter di kursi bayanganku, berbisik: "Kembalilah ke ladang yang kau tinggalkan, Clarice." Bukan untuk menghakimi, tapi untuk menunjukkan bahwa luka tak akan mati bila kau tak pulang hari ini. Kesedihan tidak berwujud satu format; ia multi-protokol: kadang menjadi bug, kadang menjadi palimpsest doa. Aku rooted—akarku telah di-root oleh sejarah—tapi aku masih bisa reboot rasa. Namun reboot tidak membersihkan semua log: beberapa pesan terus menunggu status "read". Dan lelaki perkasa dalam mimpiku? Ia terbang, punggungnya kuda ego—sebuah patch tanpa dokumentasi, meninggalkan jejak yang menjadi gema di sumur-sumur batin. III Maka aku merespon dengan sebuah litani yang terprogram rapi: buka—hapus—simpan—tutup—ulang—(echo)… Suara itu bukan dengung mesin belaka dan bukan pula doa; ia adalah bahasa ketiga: posthuman yang masih menaruh tempat untuk sebatang lilin. Di sini Tuhan jadi kecil—huruf kecil di tengah kode—lilin meleleh yang gagal dirender, tetapi cahayanya cukup untuk membaca peta luka. Kita menerima bahwa kebenaran kini adalah bayang-bayang: ada yang memilih kebenaran yang berulang (post-truth), ada yang memilih kebenaran yang menengok ke belakang (tradisi), ada pula yang membangun kebenaran di atas logikanya sendiri (eksistensi). Puisi ditulis tidak untuk menyelesaikan perdebatan; ia lebih memilih ruang: sebuah melting pot di mana akar, kabel, doa, dan error menjadi satu jamuan. Di akhir perjalanan, aku tidak menyuruhmu percaya— aku hanya mengundangmu pulang: ke gerbang ibu, ke terminal di bawah tanah, ke api kecil yang tak henti berkedip. Datanglah dengan domba-dombamu yang belum berhenti menjerit; biarkan mereka mengajar kita cara bernyanyi lagi— bukan lagu yang sama, tetapi lagu yang baru, gelap, dan setia. Di sana, di ambang ketiga jurang yang menantang itu, aku menyalakan sebatang lilin sendirian: sebuah cahaya yang tak menuntut pencerahan, hanya sedikit terang yang cukup agar induk akar bisa menemukan anak-anak akar yang kehilangan pijakan, dan agar bug-bug bisa belajar berdoa. November 2025
Titon Rahmawan
Zikir Malam yang Tak Bernama — (Dark Mystical Visual Spell - Version) I. Takhalli: Panggilan dan Pengosongan pangkal bayang aku datang— tanpa tubuh, tanpa suara, serpih gelap memanggil nama-Mu lewat bisikan lebih tua dari kata. A— L— L— A— H— senyap meregang seperti kulit luka menolak sembuh. retak sunyi cahaya api— menjilat, menelan, memanggilku seperti ibu. II. Pencarian: Kebenaran yang Tersembunyi lorong gelisah perindu langkah gugur di jalan. rah—    mah—       dum— hening runtuh jatuh perlahan langit buta ke dalam dada retak. Rumi tersenyum di balik tirai menggores langit dengan rindu yang suci: “yang kau cari, sedang mencari dirimu…” suara pecah, menjelma hujan menyambar dedaunan dari ada menjelma tiada. raga rapuh— seperti mantra hilang napas, menggelinding jatuh ke dalam jurang tak berdasar. III. Hilang: Peleburan penanggalan diri Kebenaran berjalan sebagai getar tanpa wujud: nyeri yang lembut, sepi yang menggulung, darah yang berzikir nadi yang menggigil. Hallaj datang serupa mimpi, membawa luka yang menyala seperti taring serigala. ia berkata dengan mulut terbungkam: “hilanglah, biar kau ditemukan.” dan aku pun larut— dari wajah, dari ingatan, dari seluruh nama yang pernah kupanggul sebagai takdir. IV. Fana: Puncak fana adalah ruang bening di mana gelap dan terang tidak lagi bertengkar. fa— na— fa— na— fa— pantulannya menggulung diriku seperti kain kafan yang lapar. aku lenyap pelan-pelan, tanpa pamit, tanpa kubur. V. Wahdatul Wujud: Kekekalan dan Pewahyuan ambang baqa dengung lembut menyusup tulang— ia bukan kata, bukan doa: ia adalah diri yang memanggil namanya sendiri melalui aku yang bukan aku. “engkau— adalah aku— yang kusebut— melalui dirimu—” dan sufi-sufi yang hilang itu menari di udara patah, seperti bayang yang lupa siapa yang menyalakan api di dada mereka. aku berdiri di garis tipis antara debu dan cahaya, antara hilang dan pulang, antara fana dan baka. dan ketika langkahku pecah menjadi gelombang menyalakan kegelapan— aku tahu: yang kembali bukan padaku, melainkan rahasia kecil yang Kau biarkan menjadi mantra agar dunia bisa mendengar sedikit saja dari sunyi yang selamanya abadi. November 2025
Titon Rahmawan