“
TONY, AKU MENEMUKANMU DI TEMPAT YANG TIDAK BOLEH ADA MANUSIA”
(Lynchian Reconstruction)
Tony muncul pertama kali bukan di layar,
melainkan di celah gelap antara dua adegan yang seharusnya tidak bersambung.
Sebuah potongan film yang menganga, sebagai luka seluloid.
Kita tidak melihatnya masuk.
Ia sudah ada di sana,
seperti wajah yang muncul dalam mimpi,
setengah ingatan, setengah sengatan listrik.
Ruang itu tidak punya nama.
Lampu-lampunya berkedip seperti mata yang malas percaya pada kenyataan,
dan karpet merahnya terasa basah seperti onggokan daging segar.
Tony tidak bergerak.
Atau mungkin ia bergerak,
tapi gerakannya terjadi di tepi pupil matamu,
di tempat di mana logika mengering
dan kehilangan taring.
Dia mengenakan setelan gelap
yang terlalu rapi,
terlalu bersih untuk dunia yang tidak stabil ini.
Kancing paling atasnya merefleksikan cahaya
yang tidak berasal dari cahaya lampu
“Ini bukan adegan,” katanya,
tanpa benar-benar menggerakkan bibir.
“Ini adalah seseorang yang sedang bermimpi menjadi adegan.”
Aku mencoba berbicara,
tapi suaraku keluar seperti rekaman rusak—
patah, melengking, kembali lagi dari arah lain.
Tony tersenyum kecil:
senyum yang tidak ingin kau tanya asalnya.
Senyum yang seperti berkata:
"Kau tidak seharusnya berada di sini."
Dari belakang tirai biru—
tirai yang tidak pernah berhenti bergoyang meski tidak ada angin—
muncul suara yang sangat lembut:
seperti seseorang sedang memotong kertas foto
dengan gunting yang terlalu tumpul.
Tony melirik ke arah tirai itu
dengan tatapan yang mengandung dua hal:
pengakuan dan ketakutan.
Sekiranya tirai itu mengenalnya lebih baik daripada dirinya sendiri.
“Dulu, aku sudah pernah memainkan peran itu,” katanya pelan.
“Tapi dunia tidak mengembalikanku
ke tempat seharusnya.”
Ketika ia melangkah maju,
lorongnya ikut bergerak,
seolah-olah ruang itu sedang mencoba mengatur ulang dirinya
agar Tony tidak kehilangan pusat gravitasi.
Sebuah telepon berdering.
Tidak ada telepon.
Tidak ada meja.
Tidak ada sumber bunyi.
Hanya dering itu—
jernih, bersih, dingin.
Tony berhenti.
Kita semua berhenti.
Bahkan udara berhenti.
“Jangan angkat,” katanya.
Suaranya kali ini terdengar seperti gema dari bawah sumur.
Aku bertanya kenapa.
Ia menatapku dengan mata yang terlihat normal
hingga kau sadari korneanya tidak pernah berubah ukuran.
Seperti kamera yang terjebak pada satu exposure selamanya.
“Karena kalau kau angkat,” katanya,
“kau akan mendengar seseorang
menjelaskan kenapa kau
tidak pernah ada.”
Ia kembali ke dalam bayangan lorong
yang tiba-tiba memanjang, memutar,
dan membuka diri seperti rahang orca yang kelaparan.
Untuk sesaat aku melihatnya—
hanya sesaat—
menjadi dua orang sekaligus:
Tony sang aktor,
dan sesuatu yang mengenakan wajahnya
dengan terlalu sempurna.
Lalu lorongnya menutup.
Seakan itu semua hanyalah cara dunia
menghapus bukti
bahwa dulu ia pernah ada.
November 2025
”
”