Sejuk Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Sejuk. Here they are! All 14 of them:

β€œ
Kakeknya berbohong. Cinta tidak seperti air sungai, sejuk, dan menyenangkan. Baginya, sekarang cinta lebih sepert moncong meriam. Sesaat lalu melontarkannya tinggi sekali hingga ke atas awan, tetapi sekejap kemudian menghujamkannya dalam - dalam ke perut bumi.
”
”
Tere Liye (Berjuta Rasanya)
β€œ
Kakek apakah cinta sesejuk air sungai ini?" "Ya. Cinta sejati memang seperti air sungai, sejuk menyenangkan, dan terus mengalir. Mengalir terus ke hilir tidak pernah berhenti. Semakin lama semakin besar karena semakin lama semakin banyak anak sungai yang bertemu. Begitu juga cinta, semakin lama mengalir semakin besar batang perasaannya." "Kalau begitu ujung sungai ini pasti ujung cinta itu?" "Cinta sejati adalah perjalanan, Sayang. Cinta sejati tak pernah memiliki tujuan.
”
”
Tere Liye (Berjuta Rasanya)
β€œ
Bagiku, hujan menyimpan senandung liar yang membisikan 1001 kisah. Tiap tetesnya yang merdu berbisik lembut, menyuarakan nyanyian alam yang membuatku rindu mengendus bau tanah basah. Bulir-bulir yang jatuh menapak diatas daun, mengalir lurus menyisakan sebaris air di dedaunan. Sejuk, mirip embun. Hidup seperti ini. Aku bisa merasakan senja yang bercampur bau tanah basah sepeninggal hujan. Seperti kanvas putih yang tersapu warna-warna homogen indah. Dentingan sisa-sisa titik hujan di atas atap terasa seperti seruling alam yang bisa membuatku memejamkan mata. Melodi hidup, aku menyebutnya seperti itu. Saat semua ketenangan bisa kudapatkan tanpa harus memikirkan apa pun.
”
”
Yoana Dianika (Hujan Punya Cerita tentang Kita)
β€œ
Percayalah, kecantikan sejati bukanlah seperti yang terlihat. Kecantikan sejati ada pada apa yang orang tidak lihat dengan mata telanjang, tapi entah bagaimana mereka bisa merasakannya. Perasaan yang menyentuh, yang mungkin sederhana dan tidak berlebihan tetapi terasa menakjubkan. Seperti hembusan angin sejuk. Sentuhan tangan yang lembut, hati yang selalu gembira. Senyuman yang menggetarkan hati, dan tatapan mata teduh yang tidak akan pernah terlupakan. Semua yang malam itu, aku rasakan ada di dalam dirimu.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Di bangku kayu ada bapa celaka dikerjakan hidup dia tewas menyerah membaca botol bir hijau ada nama anak perempuannya di bangku kayu ada bapa yang sejuk dan kaku double-barrelled dan isi kepalanya tumpah di atas meja selepas semalam dia ke gereja Tuhan tak ada. Bangalore, Mac 2015.
”
”
Faisal Mat Zawi
β€œ
Bagaimana ia bisa mencintai diriku sebegitu rupa. Bukan atas apa yang orang lihat pada diriku. Pada rupa pesona kecantikan yang lugu, polos dan sederhana ini. Pada kecerdasan yang alami, atau kebaikan hati, atau keceriaan yang tidak pernah dibuat buat. Tapi, bagaimana ia bisa merasakannya? Seperti sejuk embun yang mengecup keningnya di waktu subuh. Kehangatan mentari yang bersinar menembus punggung bukit, rimbun dedaunan, dan menembus kisi kisi jendela. Ditingkah riuh suara burung dan kokok ayam jantan menyambut pagi. Perasaan yang barangkali hanya dia yang tahu. Serupa rasa haus yang hanya mungkin terobati oleh kehadiran senyum yang tulus. Yang tidak menjanjikan apa apa, selain daripada cinta dan mungkin juga keabadian. Itulah yang kemudian dinyatakannya padaku lewat sebuah puisi, "Sekiranya kau ijinkan aku mencintai empat orang sekaligus, maka orang itu adalah dirimu, dirimu, dirimu dan dirimu.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Jika ada yang ingin kuberikan untukmu, itu hanyalah sekotak Crayon. . . Untuk mewarnai langitmu yang kelabu. Dipagi hari. . .kamu bisa mewarnainya dengan merah muda yah langit dengan matahari terbit memang indah. Disiang hari buatlah banyak cahaya matahari dengan kuning keemasan dan campurkan juga biru yang menenangkan. Namun jika kau ingin cuaca sejuk segar, kau boleh gunakan warna perak dan putih untuk cahaya kilat dan hujan yang lebat. Ada apa dibalik hujan? kutemukan jawaban. . .mari gunakan semua warna yang kau punya, ciptakan Pelangi. Pita indah warna-warni. Biarkan harimu berseri. Dan senja datang. . . ayo gunakan sang Jingga yang jelita, ucapkan selamat tinggal pada bola cahaya raksasa. Hari menggelap?belum! mari kita torehkan Ungu dengan titik-titik cahaya . . .selanjutnya kau boleh menghitamkannya, biarkan gelap menemani mimpimu tapi jangan lupa simpan sebuah bintang dΓ­bawah bantal, bersama dengan kotak warnamu . . . Esok warnai lagi langitmu dengan warna apapun yang kau mau. . . Berjanjilah jangan biarkan langitmu kelabu!
”
”
Citra Rizcha Maya
β€œ
Semuanya menjadi sejuk dan indah dalam pandangan orang yang sedang dimabuk asmara.
”
”
Dian Nafi (Just in Love (Mayasmara, #5))
β€œ
SENJA DI PAGI HARI Aku merindukan senja di pagi hari, suasana sejuk yang telah lama memberikanku hangat; sembari aku menjadi bisu, melihat lembaran kering gugur dari asalnya, sampai secangkir kopi telah menjadi sisa; "sebentar", sapa angin; "bukankah dirimu tak menyukai kopi?", lanjutnya lirih; aku hanya mengangguk, tapi karena pahit aku dapat mengenal manis.
”
”
Epaphras Ericson Thomas
β€œ
Kalam Untaian Merjan Pada lagu balada Rendra aku melihat embus pasir Aspahani. Tangan angin yang giat mencangkuli hamparan tanah gembur di kebun buah Rosidi. Dalam kantungnya tersimpan rupa-rupa benih puisi melayu lama. Dari pantun hingga mantra, dari gurindam hingga karmina, dari talibun hingga seloka. Seuntai syair yang rajin menebar tawa Korrie bergirang hati. Merapal doa penawar rindu yang santun menampung embun luruh di telapak tangan Kyai Bisri dan gaung azan subuh di bibir para santri. Di bawah pelupuk langit Timur Sinar Suprabana aku bersujud, serupa lelai rumput Ahmadun. Menyambut lambai tangan hijau kanak-kanak menari bersama Helvy dan Herliany. Memulas kuning gading bulir padi di dada awang telanjang mandi di kali. Bocah-bocah keletah gembira menuai buah tufah berlimpah pada keras bebatuan Calzoum merah. Di balik celana Pinurbo aku jumpai gelisah mimpi Johani. Wajah Sunarta yang gemar menyamar. Mata Wisatsana yang cermat menelisik risik kerikil tajam terserak di taman kawi dunia. Juga jemari tangan Fansuri yang rajin mencabut ilalang di kebun para sufi. Kubaca wajah cuaca dalam bahasa sunyi Isbedi, kueja tagar Dahana, kudaras cahaya Kurnia. Balau debu tertaris gerimis yang lama tersimpan dalam setiap tetesan tinta Taufiq. Pada sajadah yang ia hamparkan dan pisau Takdir penawar risau pada hati yang terempas dan jantung yang putus. Pulau di mana dulu pernah tersemai benih-benih terbaik Chairil muda. Demi memetik buah rindu dendam yang telah lama didambakannya, Ia rela mati berkafan cindai diiringi lagu sunyi nyanyian Hamzah. Tapi justru di dulang kosong itu kutemukan pipih gosong telur Dewanto. Suara pekak mikrofon pecah dalam kamar gelap Afrizal. Leher botol tercekik dari separuh langit yang sengaja menyembunyikan wajah Srengenge di balik dengung nyamuk yang mengamuk dalam benak Rusmini. Sebelum kata-kata berlepasan dari dahan tempatnya bergantung, sebelum kamus jadi ingatan beku yang ditelan rakusnya waktu. Aku berusaha menemu laut. Laut yang dulu pernah melantunkan tembang Ainun dan syair pujian Pane dalam Madah Kelana. Laut yang akan mengizinkan aku mengaji bersama Toto dan Abdul Hadi, pada hampar lembar langit Zawawi yang senantiasa berkabut ini. Di bawah guyuran rintik-rintik hujan Damono yang entah mengapa hanya mungkin turun di pertengahan bulan Juni. Namun pada samar raut wajah Nadjira, jemari tanganku gugup menggali inspirasi di balik pikiran Armand. Dari rupa rupa arsitektur yang dengan cergas ia reka reka menjadi bait puisi. Hasrat yang gesit menimba air di sumur Mansyur. Menapak jejak Saut dan Sitor yang senantiasa hibuk mencari Tuhan. Dan demi tunas mata Subagyo dan sejuk air Zamzam, aku rela menemu jantung hati lapang di dalam inti sebuah poci. Keramik awanama, di antara batu undak-undakan meditasi Goenawan. Ia yang telah menguak rahasia jiwa Landung nan adi Luhung yang bersemi di hutan jati Umbu Paranggi. Tapi sekali-kali, tak akan pernah aku lupakan kesaksian Wiji yang tumbuh dari tangisan sejarah masa lalu. Noda yang tertera pada luka Sambodja. Sekiranya masih ada petilasan senyap dari para pendahuluku. Cabuhan air mata pilu para martir dan tangis para santo. Seruan kelu di bibir para nabi dan kubangan darah para syuhada. Tak akan aku biarkan diriku terpedaya oleh muslihat para penebah jenawi purba, hujah para tukang fitnah, hasutan orator-orator lancung, gonggong penadah puisi kosong. Juga sumpah serapah dan tipu daya para kritikus-kritikus gagap. Igauan busuk plagiator mabuk. Bualan epigon-epigon palsu dan ocehan para dilettante buta. Di mana waktu mengharuskanku mesti belajar lagi.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Masih adakah lagu yang ingin kau nyanyikan untukku, seperti desah suara angin yang sejuk dan membuatku terlena. Jemari tangan embun yang basah menari nari di atas rambutmu. Dan celoteh riangnya bergema di sela sela rerumputan jauh hingga ke tengah perkebunan tebu. Sudah lama sekali rasanya kuingat kembali perasaan serupa itu. Seperti melupakan himpitan kemarau berdebu yang terlanjur menenggelamkan kita pada pecah tanah rengkah. Melumatkan perasaan perasaan yang dulu pernah membuat kita berdua mengecap rasa bahagia dalam sebongkah batok kelapa. Ingin mengingat kembali manis perjalanan, bahwa kita tidak pernah sendirian. Bagiku, suaramu masih seperti dulu. Serupa ricik air dingin yang mengalir dari belik di perbukitan. Kicauan burung yang menghampiriku seperti desau angin yang berhembus dari hutan menerabas pokok pohon sengon dan dedaunan jati. Menyentuh seluruh pori pori tubuhku dengan kenangan dan kerinduan menyibak selimut mimpi yang merebak saat subuh dini hari. Seperti hangat mentari yang turun ke bilik pemandian. Bening air sendang memeluk sepenuh tubuhku dengan cinta yang selamanya mengalir. Membawa kesenangan kecil, kegembiraan sederhana. Perasaan yang aku tahu, tak akan pernah pergi meninggalkan diriku.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Ada perasaan yang kadang tak sanggup diungkapkan melebihi perasaan perasaanku. Apa yang bahkan tak mampu aku utarakan kepada seorang ibu. Bagaimana aku menyimpan semuanya sendiri, juga tentang mimpi mimpi yang tak pernah aku ceritakan kepada siapapun termasuk kepada ayahku. Demikian aku belajar untuk mengenali diriku sendiri. Ibuku memiliki sebuah taman kecil yang tersembunyi di samping rumah. Taman yang ia sebut sebagai sanctuary. Tempat di mana ia menanam segala macam perasaan yang ia sebut sebagai kebahagiaan. Kebahagiaan yang tumbuh dari hal hal fana yang tidak aku kenal dan mungkin juga tidak sepenuhnya aku mengerti. Seperti tangan yang mengusik lelap tidurku dan berusaha menciptakan sebuah karya seni yang indah. Ibu adalah sebuah lukisan yangΒ  memenuhi seluruh pikiranku. Ia lebih menakjubkan dari lukisan lukisan karya Rembrandt, Gustav Klimt, Claude Monet, Auguste Renoir atau bahkan Van Gogh sekalipun. Jeli matanya adalah kegairahan musim semi yang menumbuhkan rupa rupa tanaman di dalam taman itu. Ulas senyumnya dan lembut bibirnya adalah kehangatan ciuman matahari yang membuat bunga bunga bermekaran. Dan sentuhan tangannya adalah sihir, belaian sejuk angin yang membuat setiap pohon berbuah. Dan setiap kali aku dapati ia menari. Ia menari dengan seluruh tawa riangnya. Sekujur tubuhnya menari bersama celoteh burung dan goyangan daun daun. Tangannya bergerak gemulai serupa awan berarak setiap kali ia menyebar benih, mencabut rumput, mematahkan ranting kering, atau memangkas daun daun yang menguning. Ada lompatan perasaan yang tak terlukiskan setiap kali ia melakukan hal itu, seperti seolah ia sedang jatuh cinta lagi. Bukan kepada ayahku melainkan kepada dirinya sendiri. Sebab, di dalam diri ayahku aku temukan bayang bayang lain yang seakan tak mau pergi. Bayang bayang yang tak mampu meninggalkan dirinya bahkan di tengah kegelapan malam. Ayah adalah sebuah patung kayu yang usang dan berdebu. Ia menyembunyikan segala sesuatu dan menjadikannya rahasia yang ia simpan sendiri. Seperti sebuah pintu yang terkunci dan anak kuncinya hilang entah kemana. Tapi ia tak pernah bertengkar dengan ibu. Mereka juga tak pernah beradu mulut atau menunjukkan amarah antara satu dengan yang lain. Sepanjang yang mampu aku ingat, mereka adalah pasangan yang harmonis. Walau tak pernah sungguh berdekatan dalam artian yang sebenarnya. Setelah bertahun tahun lamanya, mereka masing masing tenggelam dalam dunia yang mereka ciptakan sendiri. Sejak kanak kanak, aku tak berani masuk ke dalam sanctuary ibuku. Aku hanya berani mengintip dari balik keranjang cucian dan tumpukan pakaian yang hendak dijemur. Dari balik ranting dan juga rimbun dedaunan yang tumbuh di dalam pot pot besar berwarna hitam yang menyembunyikan tubuh telanjang ibuku yang berkilauan ditempa matahari. Pernah sebelumnya aku menangkap sebuah isyarat dari tarian hujan yang ia ciptakan, ketika merdu tawanya berderai di antara dengung suara pompa dan guyuran air yang turun tiba tiba dari langit. Suara hujan itu keras berdentang di atas genteng galvalum dan menimbulkan suara berisik. Dan ragaΒ  ibu yang berpendar kehijauan seolah terbang ke langit menyambut suara guntur dan halilintar. Kadang kadang aku menangkap bayangan tubuh ibuku berjalan hilir mudik di dalam sanctuary itu entah dengan siapa. Acap aku dengar ia tertawa tergelak gelak. Suaranya bergema seperti di dalam gua. Aku selalu mengira ia tak pernah sendirian, selalu ada orang orang yang datang menemaninya entah darimana. Sering kulihat ia menjelma menjadi burung dengan warna bulu yang memesona atau menjadi bidadari yang cantik dengan sepasang sayap berwarna jingga keemasan. Dan dari balik perdu yang merayap di dinding, aku dapat melihat senyumnya yang sangat menawan, seperti menyentil kesadaranku dan membuatku terbangun dari mimpi.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Pun mentari sudah tiada api dan bulan yang merdu sudah sejuk nyanyiannya di hujung jari jemari embun kita masih belum terlalu lewat untuk menerima satu hakikat.
”
”
Yassin Salleh (Kumpulan Puisi: IKAN-IKAN DI KACA)
β€œ
aku sekarang di dermaga terbuka menunggu angin sejuk terlepas dari teluk dan di hadapanku kapal berpusar gagal menemui pelabuhan apalagi pantai yang tidak berpulau. (Autobiografi)
”
”
Rahimidin Zahari