Ruang Rindu Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Ruang Rindu. Here they are! All 9 of them:

Selamat pagi, kekasih. semalam aku menulis puisi di luar angkasa. Ternyata tempat terbaik menulis puisi bukanlah disana, namun di ruang rindu yang kau cipta setiap kali aku mendoakanmu.
Alfin Rizal (Lelaku)
Rindu: Seluas-luasnya ruang persembunyian memeluk kehilangan.
Ilham Gunawan
KHASIDAH KHAFI Sungguh di dalam atmaku yang paling debu, aku tak layak mendamba dirimu sebagai kekasih hatiku. Karena engkau kelopak angsoka tumbuh kejora di mataku, dalam bius pesonamu aku tidur dan terlelap. Sementara debu, tak kutahu dengan apa aku harus nyatakan diriku kepadamu? Dalam balut ungu kelam sayapmu kau sembunyikan rembulan. Adakah kupahami engkau di balik hijau sihir kata-kata? Adakah kutangkap dirimu dalam misteri hitam sebait puisi? Seperti lenitrik sungai Alkausar menjangkau jerau jantungmu. Mengalunkan barzanji jauh ke dalam lubuk hatiku. Sekiranya ia mencipta rimbun semak lantana, perih luka atau sepoi pawana. Aku insaf, aku tak pernah memintamu jadi halimun atau kelam bayang-bayang. Ia yang dengan sengaja menyamarkan dirimu dari cerlang bintang atau benderang wajah mentari. Betapa cinta di ujung lidahku luluh untuk apa yang mungkin tak terucap. Biarlah engkau tetap menjadi apa yang tak mungkin aku mengerti. Yang tak terganti oleh rangkaian kata atau untaian sajak. Saat hasrat hati menembus nisbi ruang dan waktu. Merengkuh, mencekau sunyi, mengemas rindu atau redam masa lalu. Menjadi mekar mawar ahmar atau jingga semburat fajar.
Titon Rahmawan
yang menjauh dari ceruk hati saat kita jatuh dan saling jauh bukanlah rindu. meski pemalu, ia betah dan tak butuh lagi ruang lain dari orang lain.
Alfin Rizal (Mengunjungi Hujan yang Berteduh di Matamu)
MaghfirahMU Titip rindu untuk RasulMu.. Dengan sejuta shalawat dalam keheningan malam.. Airmataku terlalu keruh untuk diusap... Setidaknya ini sebagai ungkapan taubatku yang tersirat.... Sembari melantunkan kata-kata ini.. Diriku seperti senyap dalam ruang sempit penuh hewan yang tak kukenal... Mungkinkah itu cerminan amalku...??? Ya Rabb........ Betapa congkaknya Aku dalam nestapa.. Sombong menembus atmosfer batas aturan-aturan.... SyariahMu menuntunku .. Kenapa diriku masih bergelayutan dalam hiruk-pikuk hedonisme.. Detik-detik sakral telah Kau buka.. Segenap jiwa dan raga kini kupasrahkan... Aku tak sanggup lagi bersua.. Bahkan berkutik mencari oksigen dunia.. Ya Rabb... Ceburkanlah diriku dalam lautan MaghfirahMu... Astaghfiruka Waatubu ilaik....
Hilaludin Wahid
Aku bicara sama angin, Bertanya mengapa bawa khabar rindu? Aku bicara sama purnama, Mengapa cahaya indah selalu tidak lama? Aku bicara sama langit, Bagaimakah luas ruang tapi terasa sempit? Aku bicara sama laut, Apakah bisa ia melemaskan perenang? Aku bicara sama hujan, Ada insan gembira melihat kau jatuh. Aku bicara sama mentari, Di bawah meraih cahayamu. Aku bicara sama pena, Kubilang sudah bicara sama angin, purnama, langit, laut, hujan dan mentari, Tetap saja yang bicaraku tidak terjawab.
mardia
Apa kabarmu Mungil? Sehat-sehat sajakah disana? Kau tahu, sepagi tadi kusempatkan kakiku menyusuri lorong kelas, tempat biasa ku menemuimu. Ya, ritual yang mungkin akan menjadi kebiasaanku beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan kedepan. Oh ya, tidak ada yang berubah dengan kelasmu, bahkan bayangmu masih tertinggal di pojok ruang itu. Mungil, kau tahu! Ada banyak hal yang ingin ku ceritakan padamu saat ini. Tentang rutinitasku sekarang, tentang.. Ya, tentang segala hal, Mungil. Tapi.. Ah sudahlah, kau mungkin bahkan takkan membaca catatan ini. Oya Mungil, Ritual 'itu' masih sering kulakukan, seperti yang kau pesankan setiap saat hujan tiba: "Tengadahkanlah wajahmu saat hujan tiba, lalu hitung setiap rintiknya, percayalah sebanyak itulah rindu ini bersemayam di tiap tetesnya," -setiap hujan tiba bahkan. #usaha gagal menulis cerita random tanpa backspace
Alif~
Jika tak ada puisi hari ini, akan kuisi puisi haru hari ini dengan wajah paling murung di muka bumi. Sampai ia jatuh terperangah di ruang kedap harap. Harapan memilikimu.
Alfin Rizal
Pada Sebuah Malam Minggu Engkau seperti sengaja tidak mengikat kaki sang waktu saat aku bertandang ke rumahmu. Dengan santainya ia leluasa mondar-mandir ke mana saja. Berjalan berlenggang dari teras ke ruang tamu. Berjingkat dari dapur ke ruang makan, lalu berbaring seenaknya di tempat tidurmu. Padahal aku tak datang dengan tangan kosong malam itu. Jauh-jauh hari aku sudah mempersiapkan diri. Sengaja kubawa oleh-oleh sebungkus martabak kesukaanmu, serta banyak buku bacaan tentang hujan demi menyenangkan hatimu. Walau sudah beberapa jenak lamanya kita tidak bercakap-cakap sebagai sepasang kekasih yang saling merindukan. Dalam hati aku ingin sekali memelukmu, menghirup wangi rambutmu. Seperti angin memeluk mesra seekor burung prenjak yang bertengger di atas pohon jambu di luar sana. Sayangnya, ada bidak-bidak catur yang membatasi jarak di antara kita. Secangkir kopi dingin di atas meja, dan pemikiran-pemikiran sepi yang teramat sulit dimengerti. Aku berusaha menafsirkan sikap diammu sebagaimana engkau menerjemahkan awan kelabu yang tercipta dari asap rokok yang dihembuskan bapakmu di balik layar televisi. Kita memang tak sedang menciptakan ingatan lewat lagu-lagu Broery Marantika. Juga tidak melalui sisa-sisa puntung yang memenuhi asbak dan percakapan yang sekadar berbasa-basi. Sebab sudah lama sekali aku mencintaimu dengan caraku sendiri. Aku tak menunggumu semalaman hanya untuk menyambut pelukan atau setidaknya uluran tangan. Aku juga tak mengharap untuk mendapatkan sebuah ciuman. Sudah terlalu lama aku mencurigai kebebalan pikiranku sendiri. Seperti menanti sesuatu yang sesungguhnya aku sendiri tak mampu pahami. Apa yang mungkin ditawarkan langit kosong sepi yang tak mengisyaratkan hujan? Barangkali cuma desah nafas tertahan, atau mimik wajah dan gerak tangan yang memancarkan bosan. Tak kutangkap isyarat rindu dalam matamu. Lalu, mengapa aku mesti sibuk mencarinya pada tumpukan majalah remeh-temeh perintang waktu? Bukankah masih ada sketsa goresan tangan yang sengaja tak engkau tuntaskan di atas meja kaca yang nyata-nyata kesepian? Tatapan mata dingin tanpa ekspresi pada potret keluarga di atas meja credenza dan foto almarhumah ibumu yang terpajang di dinding. Hanya sedikit sisa ampas kopi yang nekat berani menerka-nerka perasaanmu saat itu. Apakah waktu akan terus bersahabat dengan diriku? Apakah waktu, akan mempertemukan hati kita lagi, satu saat nanti?
Titon Rahmawan