β
Peristiwa - Peristiwa yang Aku Alami Sendiri Hari ini Tanpa Kehadiranmu
Aku menyelami pagi seperti menelusuri rutinitas sehari-hari yang menyakitkan seluruh panca inderaku.
Sudah beberapa saat lamanya sejak aku tak lagi dapat melihat realitas, tak bisa mendengar kebenaran dan tak mampu berbicara fakta.
Segala hal berubah toksik dan menakutkan. Aku terpaksa harus mengenakan kacamata dan masker kemana-mana.
Aku memaknai siang seperti menjalani momen yang sama berulang-ulang. Tak ada kutemukan kegembiraan atau keceriaan di situ. Seperti dipaksa minum jamu yang pahit rasanya dan membuat kerongkonganku terbakar.
Sudah sebulan ini aku mencerna sore hari tak lebih menyenangkan dari membaca koran pagi, menyeruput segelas kopi dan lalu berdiam diri seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Aku menakrifkan malam seperti mengeja kata-kata yang berloncatan dari balik kaca jendela yang terbuka menghadap ke langit yang gelap gulita. Kata-kata berguguran menjelma nir makna, bermula dari kekosongan berjalan beriringan menuju kehampaan.
Demikianlah, tak aku temukan jejakmu dari semua liputan berita di televisi, tayangan drama sinetron, panorama senja yang berlarian dari laju kendaraan yang bersicepat di jalan atau dari kabar-kabar hoax yang bertebaran di mana-mana.
Namamu tak aku dapati di antara butiran partikel yang berterbangan di udara, di dalam hembusan asap rokok atau dalam lembaran pamflet yang
tertempel di dinding-dinding kota.
Sudah lama sekali aku tidak pernah lagi merasakan getaran hatimu sebagai kerinduan yang ditawarkan kegelapan yang terbaring mati di luar sana.
Entah mengapa aku merasa, ada semacam ironi dari rintik hujan yang baru saja turun sebagai isyarat yang selalu gagal kutangkap maknanya saat aku sedang sendirian memikirkan keberadaanmu.
Bukankah kita sudah tidak pernah menangis lagi seperti dulu? Sebagaimana kita tak pernah bertengkar lagi setelah masing-masing merasa kehilangan perasaan yang dulu pernah sama-sama kita percayai.
Malam ini adalah malam terakhir aku memutuskan untuk menunggu kepulanganmu. Aku melihat troli-troli berjalan sendiri di pusat perbelanjaan bersama sarat beban kemarahan yang mesti ditanggungnya.
Seperti ingatan yang tak mampu melupakan beberapa petikan kalimat yang dulu pernah kamu pertanyakan;
1. Menunggu kedatangan kereta adalah sebuah pekerjaan yang membosankan, tapi mengapa tetap saja engkau lakukan?
2. Waktu adalah hal yang paling artifisial di era digital ini. Apa yang mesti kita bantah dari pernyataan serupa itu?
3. Benarkah cinta sudah menjadi komoditi yang sangat murah, tak ubahnya barang kodian yang banyak dijajakan di pinggir jalan?
4. Apakah ada puisi yang sengaja ditulis melulu hanya untuk mempertanyakan eksistensinya sendiri?
5. Kebahagiaan, apa itu kebahagiaan? Entahlah!
Marilah kita sama-sama rehat sejenak dan melupakan semua masalah yang hanya menghadirkan kesedihan ini.
β
β