β
Buku adalah sahabat paling setia
rela mendampingi sepanjang waktu
di mana pun aku berada
tanpa pernah memikirkan dirinya.
β
β
Abdurahman Faiz (Aku Ini Puisi Cinta)
β
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar
β
β
Chairil Anwar
β
Tajam keris raja, tajam lagi pena pujangga.
β
β
Usman Awang
β
Bunda,
engkau adalah puisi abadi
yang tak pernah kutemukan dalam buku...
β
β
Abdurahman Faiz (Untuk Bunda dan Dunia)
β
Di sekolah, anak-anak belajar bahasa Indonesia, tetapi mereka tak pernah diajar berpidato, berdebat, menulis puisi tentang alam ataupun reportase tentang kehidupan. Mereka cuma disuruh menghafal : menghafal apa itu bunyi diftong, menghafal definisi tata bahasa, menghafal nama-nama penyair yang sajaknya tak pernah mereka baca.
β
β
Goenawan Mohamad (CATATAN PINGGIR 3)
β
JARAK
dan Adam turun di hutan-hutan
mengabur dalam dongengan
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit; kosong sepi
β
β
Sapardi Djoko Damono (Hujan Bulan Juni)
β
Kita perlu jatuh cinta atau patah hati untuk dapat membuat puisi yang bagus.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Bagian terbaik dari jatuh cinta adalah perasaan itu sendiri, Kamu pernah merasakan rasa sukanya, sesuatu yang sulit dilukiskan kuas sang pelukis, sulit disulam menjadi puisi oleh pujangga, tidak bisa dijelaskan oleh mesin paling canggih sekalipun. Bagian terbaik dari jatuh cinta bukan tentang memiliki. Jadi, kenapa kamu sakit hati setelahnya? Kecewa? Marah? Benci? Cemburu? Jangan-jangan karena kamu tidak pernah paham betapa indahnya jatuh cinta.
β
β
Tere Liye (Hujan)
β
Dan bibirnya adalah sepotong puisi yang belum selesai. Aku yakin, hanya bibirku yang bisa menyelesaikannya menjadi sebuah puisi yang lengkap.
β
β
Leila S. Chudori (Pulang)
β
Kenapa selama ini orang praktis terlupa akan burung gereja, daun asam, harum tanah: benda-benda nyata yang, meskipun sepele, memberi getar pada hidup dengan tanpa cincong? Tidakkah itu juga sederet rahmat, sebuah bahan yang sah untuk percakapan, untuk pemikiran, untuk puisiβseperti kenyataan tentang cinta dan mati?
β
β
Goenawan Mohamad (CATATAN PINGGIR 2)
β
sekali berarti sesudah itu mati
β
β
Chairil Anwar
β
Tuhan, di dunia dan akhirat
aku ingin mengabdi
pada api Islam abadi
pimpin aku!
berkati perjuanganku!
Tuhan, aku ingin maju
menerjang rintangan engkar
di dadaku biar menggema
Allahu Akbar!
Allahu Akbar!
β
β
Hamka (Cermin Penghidupan)
β
Buku yang kubaca
selalu memberi sayap-sayap baru.
Membawaku terbang ke taman-taman pengetahuan paling menawan,
melintasi waktu dan peristiwa,
berbagi cerita cinta, menyapa semua tokoh yang ingin kujumpai, sambil bermain di lengkung pelangi.
β
β
Abdurahman Faiz (Aku Ini Puisi Cinta)
β
ke Lethe, murung penuh hantu memandang
bintang dan neraka
menjemur mereka dan aku.
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Puisi bisa menjadi semacam magnet yang melekatkan kita pada seseorang, bahkan bila kita membencinya. Puisi yang kita tak tulis tak akan perah mati, bahkan bila kita mati.
β
β
Helvy Tiana Rosa (Risalah Cinta)
β
Cinta seperti penyair berdarah dingin
Yang pandai menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.
β
β
Joko Pinurbo (Kekasihku)
β
Yang indah memang bisa menghibur selama-lamanya, membubuhkan luka selama-lamanya, meskipun puisi dan benda seni bisa lenyap. Ia seakan-akan roh yang hadir dan pergi ketika kata dilupakan dan benda jadi aus.
Tapi apa arti roh tanpa tubuh yang buncah dan terbelah? Keindahan tak bisa jadi total. Ketika ia merangkum total, ia abstrak, dan manusia dan dunia tak akan saling menyapa lagi.
β
β
Goenawan Mohamad (Tuhan & Hal-Hal yang Tak Selesai)
β
Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin.
β
β
Goenawan Mohamad (CATATAN PINGGIR 3)
β
Waktu berjalan ke Barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang.
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan.
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang,
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.
β
β
Sapardi Djoko Damono
β
Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja: Ingin sampai rumah saat senja, supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela.
β
β
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)
β
Betapa pukimak hidup itu! Tuhan-tuhan
timbul-tenggelam mirip popok bayi di sampah,
dan cinta, bila terlalu hanyut kau, maka bisa
membunuh!
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Tuhan yang merdu,
terimalah kicau burung
dalam kepalaku.
β
β
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)
β
Malam adalah ladang pembantaian abadi
Jiwa-jiwa tandus yang digerus sepi
Yang tak menyisakan apa-apa selain puisi
β
β
Sam Haidy (Malaikat Cacat)
β
Kau hampir tak pernah menghubungiku via ponsel, tapi setiap saat aku selalu saja melihat ponsel itu berkali-kali. Berharap ia berbunyi dan namamu yang tertera di sana. Lalu dengan agak menggigil aku berusaha melawan keinginanku sendiri, menyusun rencana-rencana tak selesai... untuk menjawab sapamu sedingin mungkin. Tapi tak ada bunyi. Tak. Kemudian pandanganku beralih pada blackberry dan lagi-lagi berharap kau pecahkan resah dalam sekali bip, padahal kau tak ada dalam kontak-ku. Maka bersama angin aku menggiring jeri, menyekap batin sendiri, memilin-milinnya menjadi puisi yang paling setia pada sunyi.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Kalau kukenang, dulu
tidak mudah untuk bertiarap,
mengengsot, merangkak,
berlunjur.
Alangkah payah
untuk bangun
berdiri menjadi manusia.
Tetapi betapa mudah pula
untuk menjadi tua.
(Sajak 2014, Mengenang Hari Lahir)
β
β
Rosli K. Matari (Hanya Langit Meratap)
β
Aku menulis puisi: karena kesedihan tidak bisa menuliskan dirinya sendiri; karena petaka tidak bisa mengabarkan gaduhnya sendiri.
β
β
Lenang Manggala
β
Barangkali takkan bisa kumiliki hatimu
Barangkali mungkin hanya dalam mimpi saja
Namun segala yang lahir dari puisi
Adalah cinta
β
β
Baha Zain (Kumpulan Puisi Terpilih Baha Zain)
β
Cinta adalah puisi. Makna-maknanya keluar dari hati. Keindahannya akan sirna jika dalam nafasnya disisipi akal.
β
β
Tawfiq Al-Hakim
β
Anda boleh menulis puisi
untuk atau kepada siapa saja
asal jangan sampai lupa
menulis untuk atau kepada saya.
Siapakan saya? Saya adalah Kata.
β
β
Joko Pinurbo (Kepada Cium)
β
Aku tak tahu apakah aku sudah membuat jejak atau belum selama hidupku.
Sudah. Kamu membuat bait pertama dari puisi hidupmu. Kamu melawan.
β
β
Leila S. Chudori (Laut Bercerita)
β
Mereka yang terbiasa dengan kekuasaan dan aturan memang umumnya sulit memahami puisi.
β
β
Goenawan Mohamad (CATATAN PINGGIR 3)
β
Memang sulit menulis puisi. Dan untuk apa mempersulit diri sendiri.
β
β
Danarto (Berhala: Kumpulan Cerita Pendek)
β
Kamu sering bertanya: Apakah kegembiraan hidup? Sebuah pesta? Sebotol bir? Sepotong musik jazz? Semangkok bakso? Sebait puisi? Sebatang rokok? Seorang istri? Ah ya, apakah kebahagiaan hidup? Selembar ijazah? Sebuah rumah? Sebuah mobil? Walkman? Ganja? Orgasme? Pacar? Kamu selalu bertanya bagaimana caranya menikmati hidup.
β
β
Seno Gumira Ajidarma (Matinya Seorang Penari Telanjang)
β
Kalau hati ini sekadar mahu kau ramas, berambus! Kau distraksi.
β
β
Fynn Jamal (Puisi Tepi Jalan)
β
Misi yang dimaksud adalah ketika kalian melakukan sesuatu hal positif dengan kualitas sangat tinggi dan di saat yang sama menikmati prosesnya. Bila kalian merasakan sangat baik melakukan suatu hal dengan usaha yang minimum, mungkin itu adalah misi hidup yang diberikan Tuhan. Carilah misi kalian masing-masing. Mungkin misi kalian adalah belajar Al-Quran, mungkin menjadi orator, mungkin membaca puisi, mungkin menulis, mungkin apa saja. Temukan dan semoga kalian menjadi orang yang berbahagia.
β
β
Ahmad Fuadi (Negeri 5 Menara)
β
Kian lama kita mati dalam setia
Kali ini kita hidup dalam durhaka!
β
β
Kassim Ahmad
β
Tuhan tak mesti ada di sana, menulis hidupmu.
jika hanya lingkaran keras kepala yang
menyeru pungtuasi titik, meskipun ia tak
pernah berhenti.
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
tetapi kali ini
maaflah ya,
pintu 40 yang kututup
tak akan kubukakan
kembali
tidak,
untuk sesiapa pun
tidak juga untukmu.
(pintu 40)
β
β
Rahimidin Zahari (Kulukiskan Engkau Biru Dan Engkau Bertanya Kenapa Tidak Merah Jambu Seperti Warna Kesukaanku?)
β
Seseorang pernah mengatakan, guna puisi adalah dengan hadir tanpa guna. Ia tak bisa dijual. Ia menegaskan tak semua bisa dijual.
β
β
Goenawan Mohamad (Pagi dan Hal-Hal yang Dipungut Kembali)
β
Dan akhir adalah permulaan
kau aku tak pernah menapaki mula
juga mungkin tak pernah sampai
pada selesai
seperti puisi yang kutanam
di kuntum hatimu
β
β
Helvy Tiana Rosa (Mata Ketiga Cinta)
β
Barangkali karena sebagian kebahagiaan tak bisa diulang, kita menjadi pecinta rekaman, pengagum kenangan. Barangkali karena kita tak punya kuasa memaku waktu, kita mengenang keindahan yang kita jumpai dalam gambar-gambar, dalam kata-kata - rentetan aksara yang bisa kapan saja kita baca. Maka jangan salahkan siapa-siapa bila diam-diam aku menyimpan gambarmu. Jangan salahkan siapa-siapa bila terlalu banyak sirat namamu dalam puisi-puisiku.
β
β
Azhar Nurun Ala (Tuhan Maha Romantis)
β
Ibuku, hatinya putih. Ia adalah puisi hidupku. Begitu indah. Ia adalah tetesan airmataku.
β
β
Iwan Setyawan (9 Summers 10 Autumns)
β
Kopi dan perempuan, mereka saudara kembar. Dua-duanya keras kepala perihal rasa.
β
β
Ilham Gunawan
β
Waktu kecil saya sering berpikir tentang sesuatu yang bisa melestarikan kenangan. Begitulah mulanya saya mengakrabi musik, aroma dan puisi.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Mencintai itu anugerah, meski tak berbalas. Lewat rasa itu kau bahkan bisa membangun istana megahmu sendiri dari kepingkeping puisi dan prosa.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
tak ubah nya hantu di keramaian,
tatapannya, seolah berkata ;
Setiap perlakuan, ada harga yang harus di bayar anak adam
Walau tuntas pun tak kan membuat surga di hati para pendendam.
.
.
.
.
#andradobing
β
β
andra dobing
β
Kau bilang aku gila. Tapi satu-satunya yang tak akan pernah memisahkan kita dari apapun adalah puisi. Bahkan saat kau pergi, aku tetap bertahan di larik puisi yang kau cabik....
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Puisipuisiku berlari dalam hujan menuju rindu paling deras; kamu.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Aku di sini kamu di sana, tapi kita tetap bisa berpelukan dalam doa dan puisi.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Adakah kupahami engkau di balik hijau sihir kata kata? Adakah kutangkap dirimu dalam misteri hitam sebait puisi?
β
β
Titon Rahmawan
β
Aku memang pergi
Tetapi bukan meninggalkanmu
Aku harus melangkah
Tetapi bukan menjauhimu
Ketahuilah, Cinta:
Tak ada jarak yang mampu
Membuatku beranjak darimu
β
β
Sam Haidy (Malaikat Cacat)
β
sejarah menjadikan orang bijaksana, puisi menjadikan orang fasih lidah, matematika menjadikan orang cerdik, filsafat menyebabkan orang berpikir dalam, moral menjadikan orang bersikap sungguh-sungguh, logika dan ilmu berpidato menjadikan orang berani mengeluarkan pendapat.
β
β
Francis Bacon
β
Tak banyak yang orang mengerti dari puisi. Ia hanya mengekalkan waktu, perasaan cinta menjadi keabadian dan kata kata bertemu dengan jati diri manusia. Tapi ia tak selamanya dimengerti.
β
β
Titon Rahmawan
β
Delusi leluasa beranjak dari linimasa, menerka jarak dari lesatnya sang warsa.
Kau tau kenapa kata ingin itu ada?
Itu karena kata butuh masih terasa begitu asing di kepala.
β
β
Robi Aulia Abdi
β
Apakah makna harus ditemukan agar pengertian sampai? Perlukah pengertian dicari agar penghayatan sampai? Mestikah penghayatan diperoleh agar keindahan sampai? Haruskah keindahan diraih agar puisi sampai?
β
β
Titon Rahmawan
β
Senja melarutkanku di batas waktu
Ketika ada dan tiada sejenak menyatu
Ada yang beringsut menjauh
Ada yang perlahan merengkuh
Bayanganku mengais sisa terang
Sebelum terkubur malam panjang
β
β
Sam Haidy (Nocturnal Journal (Kumpulan Sajak yang Terserak, 2004-2014))
β
Kau membuatku percaya bahwa keajaiban itu ada. Kau membuatku merasa bahwa tidak ada salahnya menulis puisi cinta dan menyimpannya dalam botol kaca. Aku datang hanya untuk mengatakan itu. Karena selanjutnya, aku akan selalu membencimu di sisa hidupku.
β
β
Devania Annesya (X: Kenangan yang Berpulang)
β
Hidup terentang antara lahir dan mati. Jarak, hanya sebatas sehembus nafas.
β
β
Titon Rahmawan
β
Tatkala rindu berulah, malam hanyalah film bergenre sepi. Kadang tak sisakan apa-apa, kecuali puisi.
β
β
nom de plume
β
Ku kira kau penyuka kata,
Ribuan puisi pun sudah kurangkai dengannya.
Ku kira kau suka tertawa,
Bercura pun kini ku mahir dibuatnya.
Ku kira kau suka kata " Kita ".
Namun, nyatanya " Kita " pun kini hanya sebatas kata.
β
β
Robi Aulia Abdi
β
penawar
daripada
segala penawar
hanya hidayah
dan makrifat-Mu
menjadi penyembuh
kepada sekalian
penyakit
denyut zikrullah
berdetaklah di pembuluh
jantung hatiku.
(Jantung Hati)
β
β
Rahimidin Zahari (Kumpulan Puisi: Sehelai Daun Kenangan)
β
Di baris ke tujuh sebelah kiri, empat kursi dari
ujung, Tuhan duduk dan menangis. Di
tangannya tergenggam sebuah dadu. Pada
semua sisinya tertulis: dosa.
β
β
Avianti Armand (Perempuan Yang Dihapus Namanya)
β
PERCAKAPAN DUA RANTING
kalau pernah kamu bertemu dulu, apa yang
kau inginkan nanti? sepi. kalau nanti kau
dapatkan cinta, bagaimana kau tempatkan
waktu? sendiri. bila hari tak lagi berani
munculkan diri, dan kau tinggal untuk
menanti? cari. andai bumi sembunyi saat
kau berlari? mimpi. lalu malam menyer-
gapmu dalam pandang tiada tepi? hati.
baik...aku tak lagi memberimu mungkin?
kecuali. baik..baik, aku hanya akan menya-
pamu tanpa kecuali? mungkin. dan jika
tetap seperti itu, embun takkan jatuh dari
kalbumu? sampai. akankah kau patahkan
tubuhmu hingga musim tiada berganti?
mari. lalu kau tumbuhkan bunga tanpa
kelopak tanpa daun berhelai-helai? kemari.
juga kau benamkan yang lain dalam jurang
di matamu? aku. katakan bahwa kau mene-
rimamu seperti aku memberimu?...
kau? ya. kau?...aku.
Besancon, oktober sebelas 1997.
β
β
Radhar Panca Dahana (Lalu Batu: Antologi Puisi)
β
tapi, anakku, hidup senantiasa mengembara
β
β
Usman Awang (Duri Dan Api)
β
Tak ada yang lebih merugi
Dari mereka yang kehilangan pagi
Satu-satunya kesempatan menikmati
Sajian Tuhan yang paling murni
Sembari mengintipNya meracik
Takdir kita hari ini
β
β
Sam Haidy
β
Dahulu aku sering bertanya sendiri; kalau puisi itu berwujud
akan seperti apakah dia? Matahari? Bulan? Bintang? Gunung?
Laut? Bertahun lalu aku temukan puisi memancar mancar dari matamu,
masuk ke dalam tubuhku. Seperti yang kau duga pada akhirnya
aku tahu puisi tak pernah punya rupa. Ia rasa yang menggenang,
meluap di jemari kenangan. Kenangan bernama engkau
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Manakala hidup terasa menjepit
Tengadahlah ke langit
Di sana kau akan melihat
Bebanmu menyusut berjuta kali lipat
β
β
Sam Haidy
β
Aku bercerita kepada malam
Karena hanya ia yang sudi menadah keluh kesah
Para pecinta yang menderita
β
β
Sam Haidy (Nocturnal Journal (Kumpulan Sajak yang Terserak, 2004-2014))
β
Dulu kita pernah tertawa,
bahkan berbagi senja sepiring berdua.
Dulu kita pernah merdu di telinga,
namun kini ia hanya sebatas kata.
β
β
Robi Aulia Abdi
β
Rindu tidak tersusun dari batas peta. Tetapi, dari seberapa luas kau mengingatnya.
Rindu tidak diciptakan oleh jarak. Ia lahir sebab keberadaan. Sedekat apapun jarak kalian, selama tidak pernah tinggal di hati dan ingatan, rindu tidak akan pernah ada.
β
β
Ilham Gunawan
β
Rindu adalah rezim yang tak pernah bisa dikudeta.
β
β
Ilham Gunawan
β
Justeru, aku manusia
jiwa ini
tidak akan cukup
dengan bulan, terisi di kolam.
Aku ingin juga
menatap bintang
di tempat lain.
(Dunia Ini Panjang, Jauh)
β
β
Rosli K. Matari (Matahari Itu Jauh)
β
mistikus pernah berkata begini pada seluruh
patung yang tak bisa diraba:
βdi kehidupan sebenarnya, sesuatu yang kau
torehkan ini hanyalah fana!β
tapi makhluk imajiner apa yang merangkak
dan memiliki tempat-tempat luas seakan
sabana Afrika telah muntah garingnya demi
menangkup ia yang tak berjenis apa-apa.
ia yang dinomori sebagai sang satu. yang
penuh totem warna-warni di sekujur
dagingnya. menebarkan piuh dingin yang amis
dan luka terjerat kekosongan tanda sebelum
bukit pasir menghisap tubuhnya atau warna
pasir yang menggerus tubuhnya?
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Kita adalah sepasang resah yang menyembunyikan hati ke dalam pasrah
Mengoleksi kenangan dan meyelundupkan diri dibalik ingatan
Mengapa kita terus meratapi keadaan dan mengoreksi Tuhan?
Tidak ada cara merevisi takdir jika keterpisahan adalah ketetapan
11/10/2017
β
β
firman nofeki
β
sebentar tadi kaudengar sahabat-sahabatmu
membaca puisi mentah yang mengkhayalkan
sebentar lagi akan kubaca puisi-puisiku
akan kubaca rangkap pedih dalam hidupku
akan kutancap hatimu dengan sebilah pisau
tersimpan dalam kata-kata tajam berkilau
dia pun membaca puisinya penonton terpegun
melihat kertas di tangannya berlumuran darah
(Baca Puisi, 2)
β
β
T. Alias Taib (Petang Condong)
β
Mana yang lebih pahit;
Kopi tanpa cumbuan gula,
atau rindu yang dibiarkan gigil tanpa nama?
β
β
Ilham Gunawan
β
Jangan salahkan hujan saat ia turun dan membuatmu pilu sebab rindu. Hujan sudah menanggung rindu yang lebih berat dan banyaknya melebihi rintiknya sendiri.
β
β
Alfin Rizal
β
Butiran gula larut dalam kopi hitam
Taburan bintang larut dalam kelam malam
Pahit manis kenangan teraduk
Kuhirup semalam suntuk
β
β
Sam Haidy (Nocturnal Journal (Kumpulan Sajak yang Terserak, 2004-2014))
β
Tidak menanti untuk dicinta. Ada yang tak terucap di bibir, cuma separuh nyeri di dada. Demikianlah; awan mendung sarat hujan, kilat menyambar di kejauhan, kabut lindap di malam sunyi.
β
β
Titon Rahmawan
β
Seribu slogan dan sebuah puisi: manakah yang lebih perlu? Kedua-duanya. Tapi apabila kita sadari bahwa yang menjadi tujuan bukanlah sekadar kebersamaan yang dipergunakan untuk kekuasaan, puisi akan lebih berarti. Karena puisi memungkinkan percakapan yang bebas, ia memustahilkan kekompakan yang munafik. Seorang tiran atau seorang Hitler setiap hari bisa saja membuat seribu slogan, tapi ia tidak akan sanggup membuat sajak yang sejati.
β
β
Goenawan Mohamad
β
Saat hujan turun, semua menjelma jadi kenang. Bahkan rintiknya bukan lagi air. Tetapi rindu yang berguguran.
Saat kopiku terseduh, semua menjelma jadi kenang. Bahkan isi cangkirnya bukan lagi air. Tetapi kau yang menggenang.
β
β
Ilham Gunawan
β
Dari Ibu, aku belajar indahnya berbagi.
Berbagi makan dalam kandungannya, berbagi minum dalam pangkuannya.
Dari Ibu, aku belajar indahnya berbagi.
Berbagi nyawa dalam rahimnya, berbagi surga dalam do'anya.
β
β
Ilham Gunawan
β
ditembakkan dari pelir barracuda yang lolos
api, tubuhnya penuh runcing seperti penggaris
16 centi ke atas terus ke atas melewati loronglorong
rusak yang pengap akan tetesan air
amis. terbuka menganga, lurus terus maju
tanpa mundur memasuki sorga yang hilang di
Bermuda kecil warna-warni logo bungabungaan
yang diracuni bensin dan mungkin
sundutan rokok tengik. owalah...rambutrambut
keriting siapa ini disepahkan mulut
lebar ikan lonte di danau sebelah utara?
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Sebiru-birunya biru langit, tak ada yang lebih biru dari menerima rasa sakit. Semerah-merahnya merah darah, tak ada yang lebih merah dari menahan segala amarah. aku mencintai-Mu tanpa warna, sebab Kau lebih berwarna dari segala warna
β
β
Alfin Rizal
β
Apakah aku masih mengharapkan sesuatu dari ibuku selain apa yang sudah ia berikan kini? Tak juga senyum samar, airmata atau kesedihan yang ia sembunyikan dari diriku. Itu seperti kerinduan yang tidak terlukiskan. Kerinduan yang tak bisa terungkap lewat kata, lagu atau bahkan puisi.
Ia selalu seperti itu. Seperti mendung yang tak membawa hujan. Angin sepoi sepoi yang kadang meninabobokkan diriku. Masih ia mengirim cintanya tatakala tahu bila aku terlambat pulang. Atau saat ia termangu di depan pintu ketika aku terlanjur tenggelam dalam lamunan kamar buta.
Ia tetap saja rajin mengoleskan mentega ke atas roti yang aku santap buat sarapan pagi. Dan air panas yang ia jerang di atas kompor tak lebih hangat dari bisikannya menjelang waktu waktu di mana aku tengah sibuk memikirkan diriku sendiri.
Ia tetap saja ibu, lebih dari semua ibu ibu lain yang aku kenal. Hanya kepadanya aku sanggup menangis. Seperti hujan yang tak lagi mengenal musim.
β
β
Titon Rahmawan
β
Aku tak ingin seperti hujan
Hanya dirindukan pada waktu tertentu
Dan selebihnya mengganggu
Aku tak ingin seperti matahari
Hanya disukai saat datang dan pergi
Sedang tengah hari disumpah-serapahi
Aku ingin seperti bulan
Penuh atau separuh tetap dicintai
β
β
Sam Haidy (Malaikat Cacat)
β
Duhai Pemilik waktu
dari arusMu usiaku terlahir dan mengalir
pada muara mautMu aku berakhir dan menyerah''
Engkaulah dermaga
tempat ikrar perjalananku melunasi batas
rantau pulang kala jiwa tersesat di pintu dunia
Engkaulah samudera
tempat senjaku membenamkan usia
melarungkan maut yang membadai di pantai jiwa
Tuhan....
jagalah hati dan jiwa ini
seperti telah Engkau jaga planet-planet yang beredar pada tiap galaksi
menurut keteraturannya
biar tiada berbenturan akhiratku dengan dunia
sebelum akhir masa nyaris menyelesaikan lahat
sebelum aku dan waktu menyeduh pamit dari secangkir hayat
di perahu sepi
kuamini gelombang maghfirahMu
Di kedalaman sujudku
kuselami putihnya do'a
menghanyutkan dosa yang mnghitami muara ruhku
di rimba raka'atku, ada rindu yang merimbun sebagai Kamu
Engkau geriap hujan di kemarau tubuhku
akulah kegersangan angin yang memanjati tebing-tebing grimisMu
Tuhan...
di hujan ampunan tak henti kuburu gemuruhMu
kupaku telinga di pintuMu
moga kudengar Kau mengetuk
bertamu ke bilik sepi sunyiku
β
β
firman nofeki
β
anjing-anjing buta melolong menangisi
lobang-lobang di tembok. melodi, tak lebih
dari dalih kesunyian dan cinta. erangan yang
memuakkan. percakapan itu terkesan mewah:
penyair yang lupa membawa topinya, dan
lintingan lisong yang tak mungkin mengerti
puisi bila disandingnya bukanlah kopi. oh,
betapa luka 300.213 centi itu melebar makin
timur, menorehkan nganga tempat nanah
menggembung dengan lapisan perih dan bau
amis.
mobil pikap tua, penuh kangkung dan ibu yang
tidur di atasnya, setenang Buddha. jalan terus
ke kiri, menyempil di antara truk-truk besar
yang tak mau kalah, tetap ngotot meski makin
di pojok. masih saja setenang Buddha: tidur
yang penuh rahma
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Bagaimana ia bisa mencintai diriku sebegitu rupa. Bukan atas apa yang orang lihat pada diriku. Pada rupa pesona kecantikan yang lugu, polos dan sederhana ini. Pada kecerdasan yang alami, atau kebaikan hati, atau keceriaan yang tidak pernah dibuat buat. Tapi, bagaimana ia bisa merasakannya? Seperti sejuk embun yang mengecup keningnya di waktu subuh. Kehangatan mentari yang bersinar menembus punggung bukit, rimbun dedaunan, dan menembus kisi kisi jendela. Ditingkah riuh suara burung dan kokok ayam jantan menyambut pagi. Perasaan yang barangkali hanya dia yang tahu. Serupa rasa haus yang hanya mungkin terobati oleh kehadiran senyum yang tulus. Yang tidak menjanjikan apa apa, selain daripada cinta dan mungkin juga keabadian. Itulah yang kemudian dinyatakannya padaku lewat sebuah puisi, "Sekiranya kau ijinkan aku mencintai empat orang sekaligus, maka orang itu adalah dirimu, dirimu, dirimu dan dirimu.
β
β
Titon Rahmawan
β
KHASIDAH KHAFI
Sungguh di dalam atmaku yang paling debu, aku tak layak mendamba dirimu sebagai kekasih hatiku.
Karena engkau kelopak angsoka tumbuh kejora di mataku, dalam bius pesonamu aku tidur dan terlelap.
Sementara debu, tak kutahu dengan apa aku harus nyatakan diriku kepadamu? Dalam balut ungu kelam sayapmu kau sembunyikan rembulan.
Adakah kupahami engkau di balik hijau sihir kata-kata? Adakah kutangkap dirimu dalam misteri hitam sebait puisi?
Seperti lenitrik sungai Alkausar menjangkau jerau jantungmu. Mengalunkan barzanji jauh ke dalam lubuk hatiku.
Sekiranya ia mencipta rimbun semak lantana, perih luka atau sepoi pawana. Aku insaf, aku tak pernah memintamu jadi halimun atau kelam bayang-bayang.
Ia yang dengan sengaja menyamarkan dirimu dari cerlang bintang atau benderang wajah mentari.
Betapa cinta di ujung lidahku luluh untuk apa yang mungkin tak terucap. Biarlah engkau tetap menjadi apa yang tak mungkin aku mengerti.
Yang tak terganti oleh rangkaian kata atau untaian sajak. Saat hasrat hati menembus nisbi ruang dan waktu.
Merengkuh, mencekau sunyi, mengemas rindu atau redam masa lalu. Menjadi mekar mawar ahmar atau jingga semburat fajar.
β
β
Titon Rahmawan
β
Anggap saja pertemuan di awal huruf dalam doaku adalah sapaan manja untukmu
Aku akan mengajakmu menyusuri barisan puisi
Kubangun sebuah pohon rindang agar kita bisa berteduh dari jauhnya jarak pandang
Setiap waktu hatiku meredamkan gelisah langkahnya
Ada gurat rasa yang masih merunduk malu-malu untuk kumengerti
Disetiap alur jalan yang Allah hadiahkan
Kita masih berpapasan, menatap jawaban,
Sebab mata masih enggan bersinggungan
Diantara poros takdir, kuingin engkaulah rotasiku
Tempat barisan ingatan berputar pada titik yang sama,
Terjebak dalam lingkaran bahagia yang tak berjeda
Kisah yang belum runtun ini biarkan Allah menata
Karena kita telah menitipkannya, maka percayakan ia pada penciptaNya
β
β
firman nofeki
β
Oh Kay kau seperti kunci yang membuka pintu hatiku. Pesonamu meremukkanku.
Seperti golok yang berdencing mengiris ngiris dagingku memotong tipis jantungku. Biar kau tetak leherku dengan rindu yang kau ciptakan tanpa iba dan belas kasihan.
Kay oh Kay tak ada yang menyerupaimu di dunia ini.
Sebab bagimu, aku adalah bocah nakal yang boleh menangis demi sebuah boneka mainan. Kemana kau berlagu, irama musik kan menyertaimu. Dan biarkan lantai dansa mendatangimu, memutar dan meninggikanmu dalam tarian yang membuat semua orang tergila-gila.
Kay oh Kay kau gobang pedang parang celuritku. Kau belati yang menikam nikam, kau rajam aku dengan jarum manis lugu senyumanmu. Kau mulut manis yang mendesah yang mengerang yang tertawa yang membuat jiwaku resah gelisah.
Kau Kay oh Kay. Ludahmu yang manis menetes bagai madu yang paling gula di benakku yang kehausan. Kuhasratkan engkau dari sarang yang paling mesum, jalan yang paling ingkar dan pikiran yang paling lancung. Kuingin kecap nektar bungamu yang paling nikmat.
Oh betapa kau nodai aku dengan apimu. Kau jerat aku dengan kepolosanmu. Dengan ketelanjanganmu yang membuatku sesat. Betapa kau memberi asa yang tak kumiliki. Kau menangkan hati yang tak kuperjuangkan.
Kay oh Kay engkau satu satunya jawaban yang tak pernah kupertanyakan. Tujuan yang tak pernah aku duga tapi menyambutku dengan riang gembira. Kaulah kenyataan yang tak pernah aku mimpikan namun terwujud dengan sendirinya.
Bagaimana aku menerimamu sebagaimana engkau menerimaku dengan segenap pesona kegilaanmu. Kay oh Kay rembulan matahariku. Kaulah sungai sekaligus lautku. Hanya padamu mataku tertuju, hanya padamu hatiku tergetar.
Kau biarkan aku menjadi kunci yang memasuki lobang jiwamu yang paling gelap. Bukan dalam keagunganmu anganku mengembara, melainkan dalam kemolekanmu yang memabukkan. Kau telah memenjara jiwaku yang paling celaka.
Oh Kay kau pisau dapurku, kapakku, gergajiku, palu obengku. Kau perbudak aku dalam nafsu tak terlerai ini. Padamu aku menghamba bagai seorang pelayan yang bodoh. Kambing tuli dan buta yang cuma mengabdi pada satu tuan. Kaulah majikan dari semua hasrat dan kedegilan ini.
Semua yang aku ketahui tentangmu adalah palsu. Bagaimana engkau berkenan mengijinkan aku mencintai orang lain selain dirimu? Kay oh Kay bila sungguh memujamu akan memberiku makna hakiki sebuah puisi, lalu bagaimana engkau bisa memberiku cinta sejati yang tak pernah engkau miliki?
β
β
Titon Rahmawan
β
Jangan beri aku apapun
Meski itu perhatianmu
Meski itu kasih sayangmu
Meski itu air matamu
Jangan beri aku kesedihanmu
Jangan beri aku amarahmu
Jangan beri aku dahagamu
Jangan kau beri aku apapun
Sebab masih kuorak langit demi menemukan seluruh jejak petilasanmu Bunda."
Tapi Nak, bagaimana engkau bisa berucap serupa itu?
Bukankah sudah aku beri engkau bunga? Sudah aku beri engkau matahari. Sudah aku beri engkau rumput dan dedaunan. Sudah aku beri engkau laut dan pasir pantai. Mengapa masih?
Tak cukupkah kau cucup air susu dari sepiku? Kau kecap nyeri dari lukaku, sebagaimana dulu kau terakan kebahagiaan di bawah perutku serupa goresan pisau yang menyambut kehadiranmu. Betapa semuanya masih. Aku berikan lagi engkau api, aku berikan lagi engkau pagi, aku berikan lagi engkau nyanyi tualang dari hatiku yang engkau tahu menyimpan sejuta kekhawatiran. Bagaimana engkau masih berucap serupa itu?
Aku masih berikan engkau suar hingga separuh umurku. Aku berikan engkau tawa dari separuh mautku. Aku berikan engkau kekal ingatan dan sekaligus mimpi abadi. Aku beri semuanya, walau itu cuma sekotak bekal sederhana yang semoga engkau terima untuk mengganjal rasa laparmu.
Betapa aku selalu ingin ada untukmu, Nak. Sebab cuma satu permintaanku tak lebih. Ijinkan aku jadi teman seperjalananmu, sahabat di waktu gundahmu, pembawa kegembiraan di kala senggangmu. Sebagaimana dulu kutimang dirimu dan kunina bobokkan engkau di pangkuanku. Ijinkan aku jadi roti yang mengenyangkan laparmu, pelipur hati di kala sesakmu, panasea ketika kau sakit.
Bukankah aku ada ketika kau belajar berdiri dan aku di sana saat kau jatuh? Aku setia menungguimu saat kau berlari mengejar bulan dan matahari. Dan sekalipun waktu merambatiku dengan galur usia, hingga mungkin aku tak lagi mampu berdiri tegap seperti dulu. Aku tak akan pernah menyerah padamu Nak. Tidak, Bunda tak akan pernah menyerah. Sebab bagiku, cukuplah dirimu sebatas dirimu saja.
Akan tetapi, sanggupkah kau cukupkan dirimu dengan semua kebanggaan? Cukupkan dirimu dengan apa yang engkau punya. Cukupkan dirimu dengan semua doa doa yang tak henti kutitikkan dari sudut hatiku yang semoga jadi asa yang paling surga. Surgamu Nak. Walau kutahu itu akan mengusik nyenyak tidurmu. Walau itu akan menambah resah waktu kerjamu.
Sebab kutahu seberapa keras engkau berjuang. Pada setiap tetes keringat yang engkau cucurkan mana kala engkau harus berlari mengejar bus yang datang menjemput. Manakala pikiranmu tak bisa lepas dari layar lap topmu yang tak henti berkedip. Manakala pagi datang dan sibuk pekerjaan hadir serupa hujan tak kunjung usai mendera. Cukupkan dirimu dengan cinta Bunda Nak. Sekalipun nanti, tak ada lagi ucapan nyinyir bergulir dari bibir Bunda yang mulai keriput ini. Yakinlah, pintu rumah hati Bunda akan selalu terbuka buatmu, kapan pun engkau ingin pulang.
β
β
Titon Rahmawan
β
Apa yang kau lihat di layar yang berpendar ini, Kay? Serupa senja yang tumbuh dari sebatang pohon di sebuah tempat yang kau bayangkan seperti surga.
Cahaya lampu itu menyapu wajahmu dengan warna lembayung dan berkilau seperti sayap kupukupu. Tapi tak ada apapun yang kutemukan pada seri wajahmu selain nafsu yang tertahan dan seulas senyum kemesuman.
Persis di puncak penantian dari segala perhatian yang tertuju pada dirimu. Mata yang tak pernah menyadari, bahwa mereka tengah tersesat dalam raga belia yang entah milik siapa. Pada aura kemudaan yang berasa sia sia.
Benarkah, telah kau reguk semua kebahagiaan dari wajah wajah tolol yang ditunggangi oleh nafsu alter egonya? Atau barangkali, telah habis kau hirup wangi dari kelopak mawar hitam yang tumbuh di ranjangmu setiap pagi?
Sudah lama sekali rasanya waktu berlalu. Seperti ketika kau masih suka nongkrong di cafe sambil meneguk cappucino dari cangkir yang perlahan mulai retak. Sementara laju usia terus mengalir dari tenggorakanmu yang bening bagai pualam.
Waktu meninggalkan jejak buta di dalam hand phonemu. Menyisakan tatap mata orang orang yang tak lagi mampu memahami atau menafsirkan apa yang tengah engkau lakukan.
Bukankah, mereka tak lagi melihatmu sebagaimana adanya dirimu saat ini atau sepuluh tahun dari sekarang. Tak satu pun dari mereka yang percaya, bahwa saat itu usiamu masih belum lewat dua puluh tahun.
Mereka hanya mendamba merah muda anggur kirmizi yang tumbuh di dadamu. Tetapi tak ada satu pun telinga yang sanggup melawan sihir dari gelak tawamu yang terdengar getir. Mata mata bodoh yang tak sanggup melupakan bayangan pisang yang dengan brutal kau kunyah sebagai kudapan di tengah jeda pertunjukan.
Benarlah, hidup tak seperti kecipak ikan di dalam aquarium transparan yang tertanam di dinding. Atau air kolam di pekarangan yang seakan menjelma jadi bayangan jemari yang tak henti menggapai gapai. Menjadi gelembung gelembung kekhawatiran yang seakan tak sanggup memahami makna puisi yang sengaja ditulis untuk mengabadikan namamu.
Ketauilah Kay, taman yang kau bayangkan itu bukanlah surga yang sesungguhnya. Di sana tak ada sungai keabadian atau pangeran tampan yang sengaja menunggu kehadiranmu. Yang ada cuma kelebat kilat dan hujan airmata hitam. Mengucur seperti lendir laknat yang mengalir dari hidungmu saat kau meradang karena influensa.
Di sana tak ada satu hal pun yang menyenangkan, Kay. Hanya sedikit saja tersisa hal hal yang busuk dan menjijikkan, sebagai satu satunya bahan obrolan untuk perintang waktu.
β
β
Titon Rahmawan
β
HIKAYAT ADAM
Sebab bagiku kau masih serupa ibu yang melahirkanku yang menuntunku berjalan dan mengajariku berlari. Namun mengapa tak juga lepas dahagaku daripadamu? Meski telah kureguk engkau hingga tumpas tandas.
Hingga kempis payudaramu hingga perlahan surut laut dan air matamu. Hingga padam langit dan seluruh jagat raya.
Hingga kalam sang malaikat diam-diam merenggut segenap kejahatan dan dosa-dosaku. Meski kutahu belaka, betapa sia-sia seluruh perjalanan ini.
Bukankah engkau sendiri yang waktu itu menghalangi diriku memakan buah yang ranum dari perbendaharaanmu yang sengaja tak kausembunyikan?
Buah syajarah yang kautanam di taman purbawi. Kebun yang telah berabad jadi rumahku tapi tak pernah sungguh-sungguh aku miliki.
Mengapa kaularang aku memetik khuldi yang kausediakan bagiku di taman itu? Apakah demi menguji kesetiaanku pada dirimu? Sementara kauijinkan sabasani itu tumbuh menjulang tinggi dan berbuah lebat.
Sekalipun engkau masih menerimaku sebagai buah kandung yang engkau lahirkan sendiri dengan kedua tanganmu.
Dan tidaklah aku engkau turunkan dari patuk taring si ular beludak. Ia yang telah membuatku terusir dari rumah. Sepetak tanah yang memang kauperuntukkan bagi diriku sejak mula pertama kauhadirkan aku ke dunia ini.
Sungguhpun harus kuarungi samudra duri ini sekali lagi, sebagai si alif dari golongan yang paling daif. Sebagaimana perempuan penerbit nafsi itu kaucuri dari tulang rusukku saat aku lelap tertidur.
Sepanjang pasrah kasrah telah mengubah rambut di kepalaku menjadi setumpukan uban. Sepanjang kematian demi kematian sengaja kau timpakan di atas kepala anak cucuku. Adakah sempat kaudengar aku berkeluh-kesah?
Meski aku mahfum belaka, ya bila karena semua itu aku tak akan pernah kau perkenankan singgah ke rumahmu lagi. Kecuali kau biarkan aku datang sebagai perempuan lecah, jaharu yang paling hina atau fakir papa yang kelaparan.
Sekalipun telah letih jiwaku meretas sepi, hingga percik lelatu itu menitik sekali lagi dari ujung jarimu. Bukan sebagai yang garib, yang gaib atau yang hatif. Melainkan karena semata-mata semesta cinta.
Cinta yang sekalipun tak akan pernah mengubah diriku menjadi zaim, zahid atau zakiah. Namun sungguh, cuma itu satu-satunya cinta yang berani menentang tajam mata pisau sang mair.
β
β
Titon Rahmawan
β
dari tembok tua dan rumah bisu penuh anggota
keluarga: ayah, ibu, kakek,nenek, bayi-bayi
menggelantung kera dengan bau dupa yang
lapar. Dari sorga yang tak mungkin dicapai
kecuali kau Buddha Gautama. Dari Yesus
yang tangannya terkulai dipasak dan menangis
merasa ditinggalkan bapaknya. Dari
Muhammad yang kedinginan menggigil dalam
selimut di goa sunyi berharap ada laba-laba
membikin pintu bagi rumah barunya. Dari
cintaku padamu yang tak pernah renta. Dari itu
semuaβ
kata-kata terus terumbar, jauh melayang
melewati pasar modern jam 5 pagi.
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Waktu, bukan gugur daun daun yang meninggalkan jejak luka pada ranting yang ditinggalkannya. Juga bukan duri yang menusuk jari dan kemudian meneteskan darahnya ke rerumputan. Engkau tak semestinya menyematkan bekas hangat bibirmu di bibirku lalu pergi dan tak pernah kembali. Adakah cinta yang serupa itu?
Masih basah trotoar itu oleh jejak sepatu hujan yang mengenangkan pertemuan kita di alun alun kota. Meski sewindu telah berlalu dan mengubah semua perasaan tersembunyi di dalam lipat sapu tanganmu. Bukankah masih tertera namaku di sana? Tapi sepertinya hujan sudah mengguyur habis semua pikiran, perasaan dan pertanyaan tentang kita.
Tak ada lagi kita. Melainkan aku sendiri saja. Berjalan di atas sepatu hujan, menyusuri jalan jalan lengang di tengah kota. Kota kita yang sunyi. Membaca dinding dinding terjal yang membatasi pandangan. Hanya jarak yang tak lagi menyerupai jembatan yang justru memisahkan engkau dariku. Aku di Utara dan kau jauh di Selatan.
Jembatan yang dulu kita bangun dari pengharapan dan juga mimpi, terlanjur runtuh ke dalam jurang yang tak terselami oleh kata kata dan tak termaknai oleh puisi. Seperti lukisan pagi yang dulu pernah kukirimkan kepadamu, telah kau buang entah kemana? Dan cinta. Adakah cinta yang seperti itu?
β
β
Titon Rahmawan
β
PUISI CINTA
Apakah ia akan mengingat diriku, atas semua potret yang tak pernah usang yang sengaja ia kumpulkan dalam setiap momen kebersamaan kami? Lebih dari semua angka yang aku sendiri tak mampu menghitungnya. Waktu seperti butiran pasir yang merangkai semua kata kata yang di tuliskannya di dalam sebuah buku diary yang ia simpan sendiri.
Waktu berjalan seperti tak pernah mengenal masa lalu. Seperti ikan ikan yang bebas berenang di lautan. Burung burung terbang di langit, dan satwa liar yang mabuk di rimba. Waktu yang terhenti pada satu satunya peristiwa, di mana ia menyatakan segenap rasa cintanya hanya padaku.
Kepastian yang menghapus semua kebimbangan musim. Ketidakpedulian sejarah. Semua kata kata yang dikumpulkannya menjadi ungkapan abadi dalam hati yang tak mengenal rasa duka atau luka, amarah dan juga kesedihan.
Ia tak pernah menghentikan hasratnya untuk terus mencintaiku. Meskipun malam berganti ganti. Hari berubah. Tanggal, bulan dan tahun berlalu. Dan keriput mulai menghantuiku. Mengelupas kemudaanku. Melemparkan hujatan pada semua peristiwa yang seperti ingin menyakiti perasaannya. Menciderai pikirannya dengan semua kemesuman, kejijikan dan ketidak senonohan yang sengaja aku ciptakan untuk membuatnya pergi.
Bayang bayang di mana ruang dan cahaya tak lagi hadir pada dirinya.
Cakrawala yang perlahan mulai menua, tapi tetap saja setia menunggu cinta yang ditinggalkannya hanya untuk diriku.
β
β
Titon Rahmawan
β
Kita bercakap
sepanjang sore itu
dan berharap gerimis hujan
akan berjatuhan dari langit.
Agar kerinduan dapat melekapkan tubuhnya
di dalam pelukan
kita masing masing.
Aku ingin
menggandeng tanganmu sebagaimana angin
meniup dan membelai
anak-anak rambutmu.
Aku menduga
kau juga
ingin melakukannya sebagaimana kebahagiaan seolah membuncah
dari setiap langkah
kaki kita.
Apakah kita
akan saling menunggu
dingin hembusan angin merebak di dalam
sesat pikiran
hingga membuat
tubuh kita
menggigil?
Atau hanya aku
sendiri yang tengah
berandai-andai?
Sekiranya saja
tanganku adalah
ritmis gerimis
yang mendadak turun
dan berniat hendak
memeluk tubuhmu.
Kalau saja
bibirku adalah
gumpalan
awan kelabu
yang berarak
di langit
dan seperti ingin
membulatkan
keberanian
demi mencium
bibir indahmu.
Seandainya
tubuh kita
menyatu dalam
degup hujan
yang rinai ini
dan hasrat kita
melebur dalam
dekapan waktu
yang menjadikannya
kenangan abadi.
Tapi harapan
mendadak saja
ingkar dari kenyataan
seperti gelegar halilintar
di kejauhan.
Apakah salah
telingaku mendengar
desah bisikanmu?
Melihat bagaimana
bibirmu gemetar saat mengucapkan
kata-kata
perpisahan.
Gugur daun-daun
dan kelam malam
perlahan datang beringsut memayungi
hati kita.
Lalu, siapa yang akan mencatat waktu
dan mengabadikan
sisa peristiwa
sesudah ini?
Bulan meremang oleh
nyeri dukanya sendiri.
Akankah tasbih
yang baru saja
aku berikan padamu
akan jadi
tandamata terakhir
di antara kita?
Apakah aku
mesti menyimpan
sapu tangan
yang kini basah
setelah menyusut
air matamu?
Cuma ada gelap
yang kini
jatuh sempurna.
Gulita
yang menanggalkan
satu demi satu peristiwa
yang dulu pernah
hadir bersama.
Hilang musnah
dari seluruh
penggal ingatan.
β
β
Titon Rahmawan
β
POHON HAYAT
Demikianlah, ia melekapkan bunga pada malainya, putik pada tangkainya, daun pada rantingnya dan buah-buah berwarna kuning cerah pada setiap cabang dari dahan pohon pengetahuan itu. Sebagaimana ia melekatkan putih yang semenjana pada paras wajah perempuan yang ia ciptakan dari tulang rusukku.
Sedemikian rupa, ia pulaskan secebis rona apel merah pada keluk bibirnya untuk menyenangkan hatiku. Lalu ia gabungkan kilau cahaya Sirius, Canopus dan Arcturus pada bening biji matanya agar aku dapat berkaca di kedalamannya yang hijau lumut.
Dan kemudian, dibuatnya sepasang lengkung alis mata dari iring-iringan semut gajah agar menjadi taman tempat aku bermain-main. Sementara pada gerai rambutnya dibalutkannya hitam yang berombak seperti laut yang di dalamnya aku bisa bersembunyi.
Tapi melampaui semua itu, dibuhulnya rimbun semerbak semak lantana tepat pada pangkal pahanya, yang padanya aku akan jatuh berahi. Dan lalu dipahatnyalah sepasang tempurung pembangkit nafsi yang kenyal mengkal, serupa tatahan sempurna ranum buah mangga pada busung dadanya. Tak lupa ditambahkannya puting anggur kirmizi pada puncak susu perempuan itu, agar nanti ia bisa menjelma sempurna menjadi ibu dari anak-anakku.
Namun aku sengaja tak memberinya nama, sampai semua yang lain selesai aku beri sebutan. Pada yang hijau aku beri nama hujan. Pada yang biru aku beri nama langit. Pada yang kelam aku beri nama malam. Pada yang terang aku beri nama siang.
Demikian pun pada mereka yang mengeriap. Pada mereka yang berjalan dengan empat kaki. Pada mereka yang melata dengan perutnya. Pada mereka yang terbang di langit. Pada mereka yang berenang di dalam air serta pada segala yang berkilauan di angkasa raya. Bahkan pada semua jenis kerikil dan batu-batu, aku menyematkan nama mereka satu persatu.
Begitulah, segala sesuatu memperoleh nama dan sebutannya masing-masing. Supaya kepada setiap nama itu aku dapat memanggil dan di dalam nama itu mereka dapat dikenal. Akan tetapi, khusus bagi perempuan itu (sebab ia adalah satu-satunya yang tercipta dari tulang rusukku) maka aku hendak memberinya nama yang teristimewa. Sebuah nama yang paling indah dari semua nama yang telah aku berikan.
Akan tetapi, aku tak kunjung menemukan nama yang sesuai bagi dirinya. Sampai kemudian, tepat di mana bertemu empat buah sungai, kulihat ia sedang memintal air matanya hanya sepuluh langkah dari pohon pengetahuan itu.
Aku mendapati perempuan itu tengah duduk bersimpuh mengaduk-aduk tanah dan membuat adonan lempung dengan air matanya.
"Apa yang sedang engkau perbuat, wahai Perempuan?" Tanyaku pada dirinya.
"Aku sedang membuat ramuan cinta, untuk membuhul ikatan abadi di antara kita berdua..." demikian ia menjawab pertanyaanku.
Dan pada saat itulah aku mendapatkan sebuah nama yang tepat untuk dirinya. Eva, itulah nama yang kemudian aku berikan padanya. Sebab ia adalah ibu dari semua kehendak alam dalam diriku. Aku persembahkan baginya nama yang paling indah, tepat di muara pertemuan empat buah sungai; Gihon, Pison, Eufrat dan Tigris.
Jadilah ia lelai akar untuk menyempurnakan suratan tangan kami. Ia adalah telur kesunyian di mana aku akan menyemai seribu benih. Semenjak pertama kali aku menatap wajahnya saat aku terjaga dari tidur yang panjang dan mendapati dirinya berbaring telanjang di sebelahku. Aku tahu, ia telah ditakdirkan untuk menjadi pohon kehidupan. Ibu dari semua ibu yang akan melahirkan anak cucu keturunanku.
β
β
Titon Rahmawan