β
Buku adalah sahabat paling setia
rela mendampingi sepanjang waktu
di mana pun aku berada
tanpa pernah memikirkan dirinya.
β
β
Abdurahman Faiz (Aku Ini Puisi Cinta)
β
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar
β
β
Chairil Anwar
β
Tajam keris raja, tajam lagi pena pujangga.
β
β
Usman Awang
β
Bunda,
engkau adalah puisi abadi
yang tak pernah kutemukan dalam buku...
β
β
Abdurahman Faiz (Untuk Bunda dan Dunia)
β
Di sekolah, anak-anak belajar bahasa Indonesia, tetapi mereka tak pernah diajar berpidato, berdebat, menulis puisi tentang alam ataupun reportase tentang kehidupan. Mereka cuma disuruh menghafal : menghafal apa itu bunyi diftong, menghafal definisi tata bahasa, menghafal nama-nama penyair yang sajaknya tak pernah mereka baca.
β
β
Goenawan Mohamad (CATATAN PINGGIR 3)
β
JARAK
dan Adam turun di hutan-hutan
mengabur dalam dongengan
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit; kosong sepi
β
β
Sapardi Djoko Damono (Hujan Bulan Juni)
β
Kita perlu jatuh cinta atau patah hati untuk dapat membuat puisi yang bagus.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Dan bibirnya adalah sepotong puisi yang belum selesai. Aku yakin, hanya bibirku yang bisa menyelesaikannya menjadi sebuah puisi yang lengkap.
β
β
Leila S. Chudori (Pulang)
β
Bagian terbaik dari jatuh cinta adalah perasaan itu sendiri, Kamu pernah merasakan rasa sukanya, sesuatu yang sulit dilukiskan kuas sang pelukis, sulit disulam menjadi puisi oleh pujangga, tidak bisa dijelaskan oleh mesin paling canggih sekalipun. Bagian terbaik dari jatuh cinta bukan tentang memiliki. Jadi, kenapa kamu sakit hati setelahnya? Kecewa? Marah? Benci? Cemburu? Jangan-jangan karena kamu tidak pernah paham betapa indahnya jatuh cinta.
β
β
Tere Liye (Hujan)
β
Kenapa selama ini orang praktis terlupa akan burung gereja, daun asam, harum tanah: benda-benda nyata yang, meskipun sepele, memberi getar pada hidup dengan tanpa cincong? Tidakkah itu juga sederet rahmat, sebuah bahan yang sah untuk percakapan, untuk pemikiran, untuk puisiβseperti kenyataan tentang cinta dan mati?
β
β
Goenawan Mohamad (CATATAN PINGGIR 2)
β
sekali berarti sesudah itu mati
β
β
Chairil Anwar
β
Tuhan, di dunia dan akhirat
aku ingin mengabdi
pada api Islam abadi
pimpin aku!
berkati perjuanganku!
Tuhan, aku ingin maju
menerjang rintangan engkar
di dadaku biar menggema
Allahu Akbar!
Allahu Akbar!
β
β
Hamka (Cermin Penghidupan)
β
Buku yang kubaca
selalu memberi sayap-sayap baru.
Membawaku terbang ke taman-taman pengetahuan paling menawan,
melintasi waktu dan peristiwa,
berbagi cerita cinta, menyapa semua tokoh yang ingin kujumpai, sambil bermain di lengkung pelangi.
β
β
Abdurahman Faiz (Aku Ini Puisi Cinta)
β
ke Lethe, murung penuh hantu memandang
bintang dan neraka
menjemur mereka dan aku.
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Puisi bisa menjadi semacam magnet yang melekatkan kita pada seseorang, bahkan bila kita membencinya. Puisi yang kita tak tulis tak akan perah mati, bahkan bila kita mati.
β
β
Helvy Tiana Rosa (Risalah Cinta)
β
Cinta seperti penyair berdarah dingin
Yang pandai menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.
β
β
Joko Pinurbo (Kekasihku)
β
Yang indah memang bisa menghibur selama-lamanya, membubuhkan luka selama-lamanya, meskipun puisi dan benda seni bisa lenyap. Ia seakan-akan roh yang hadir dan pergi ketika kata dilupakan dan benda jadi aus.
Tapi apa arti roh tanpa tubuh yang buncah dan terbelah? Keindahan tak bisa jadi total. Ketika ia merangkum total, ia abstrak, dan manusia dan dunia tak akan saling menyapa lagi.
β
β
Goenawan Mohamad (Tuhan & Hal-Hal yang Tak Selesai)
β
Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin.
β
β
Goenawan Mohamad (CATATAN PINGGIR 3)
β
Waktu berjalan ke Barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang.
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan.
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang,
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.
β
β
Sapardi Djoko Damono
β
Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja: Ingin sampai rumah saat senja, supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela.
β
β
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)
β
Betapa pukimak hidup itu! Tuhan-tuhan
timbul-tenggelam mirip popok bayi di sampah,
dan cinta, bila terlalu hanyut kau, maka bisa
membunuh!
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Tuhan yang merdu,
terimalah kicau burung
dalam kepalaku.
β
β
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)
β
Malam adalah ladang pembantaian abadi
Jiwa-jiwa tandus yang digerus sepi
Yang tak menyisakan apa-apa selain puisi
β
β
Sam Haidy (Malaikat Cacat)
β
Aku menulis puisi: karena kesedihan tidak bisa menuliskan dirinya sendiri; karena petaka tidak bisa mengabarkan gaduhnya sendiri.
β
β
Lenang Manggala
β
Kau hampir tak pernah menghubungiku via ponsel, tapi setiap saat aku selalu saja melihat ponsel itu berkali-kali. Berharap ia berbunyi dan namamu yang tertera di sana. Lalu dengan agak menggigil aku berusaha melawan keinginanku sendiri, menyusun rencana-rencana tak selesai... untuk menjawab sapamu sedingin mungkin. Tapi tak ada bunyi. Tak. Kemudian pandanganku beralih pada blackberry dan lagi-lagi berharap kau pecahkan resah dalam sekali bip, padahal kau tak ada dalam kontak-ku. Maka bersama angin aku menggiring jeri, menyekap batin sendiri, memilin-milinnya menjadi puisi yang paling setia pada sunyi.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Kalau kukenang, dulu
tidak mudah untuk bertiarap,
mengengsot, merangkak,
berlunjur.
Alangkah payah
untuk bangun
berdiri menjadi manusia.
Tetapi betapa mudah pula
untuk menjadi tua.
(Sajak 2014, Mengenang Hari Lahir)
β
β
Rosli K. Matari (Hanya Langit Meratap)
β
Barangkali takkan bisa kumiliki hatimu
Barangkali mungkin hanya dalam mimpi saja
Namun segala yang lahir dari puisi
Adalah cinta
β
β
Baha Zain (Kumpulan Puisi Terpilih Baha Zain)
β
Cinta adalah puisi. Makna-maknanya keluar dari hati. Keindahannya akan sirna jika dalam nafasnya disisipi akal.
β
β
Tawfiq Al-Hakim
β
Anda boleh menulis puisi
untuk atau kepada siapa saja
asal jangan sampai lupa
menulis untuk atau kepada saya.
Siapakan saya? Saya adalah Kata.
β
β
Joko Pinurbo (Kepada Cium)
β
Aku tak tahu apakah aku sudah membuat jejak atau belum selama hidupku.
Sudah. Kamu membuat bait pertama dari puisi hidupmu. Kamu melawan.
β
β
Leila S. Chudori (Laut Bercerita)
β
Mereka yang terbiasa dengan kekuasaan dan aturan memang umumnya sulit memahami puisi.
β
β
Goenawan Mohamad (CATATAN PINGGIR 3)
β
Memang sulit menulis puisi. Dan untuk apa mempersulit diri sendiri.
β
β
Danarto (Berhala: Kumpulan Cerita Pendek)
β
Kamu sering bertanya: Apakah kegembiraan hidup? Sebuah pesta? Sebotol bir? Sepotong musik jazz? Semangkok bakso? Sebait puisi? Sebatang rokok? Seorang istri? Ah ya, apakah kebahagiaan hidup? Selembar ijazah? Sebuah rumah? Sebuah mobil? Walkman? Ganja? Orgasme? Pacar? Kamu selalu bertanya bagaimana caranya menikmati hidup.
β
β
Seno Gumira Ajidarma (Matinya Seorang Penari Telanjang)
β
Kalau hati ini sekadar mahu kau ramas, berambus! Kau distraksi.
β
β
Fynn Jamal (Puisi Tepi Jalan)
β
Misi yang dimaksud adalah ketika kalian melakukan sesuatu hal positif dengan kualitas sangat tinggi dan di saat yang sama menikmati prosesnya. Bila kalian merasakan sangat baik melakukan suatu hal dengan usaha yang minimum, mungkin itu adalah misi hidup yang diberikan Tuhan. Carilah misi kalian masing-masing. Mungkin misi kalian adalah belajar Al-Quran, mungkin menjadi orator, mungkin membaca puisi, mungkin menulis, mungkin apa saja. Temukan dan semoga kalian menjadi orang yang berbahagia.
β
β
Ahmad Fuadi (Negeri 5 Menara)
β
Kian lama kita mati dalam setia
Kali ini kita hidup dalam durhaka!
β
β
Kassim Ahmad
β
Tuhan tak mesti ada di sana, menulis hidupmu.
jika hanya lingkaran keras kepala yang
menyeru pungtuasi titik, meskipun ia tak
pernah berhenti.
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
tetapi kali ini
maaflah ya,
pintu 40 yang kututup
tak akan kubukakan
kembali
tidak,
untuk sesiapa pun
tidak juga untukmu.
(pintu 40)
β
β
Rahimidin Zahari (Kulukiskan Engkau Biru Dan Engkau Bertanya Kenapa Tidak Merah Jambu Seperti Warna Kesukaanku?)
β
Seseorang pernah mengatakan, guna puisi adalah dengan hadir tanpa guna. Ia tak bisa dijual. Ia menegaskan tak semua bisa dijual.
β
β
Goenawan Mohamad (Pagi dan Hal-Hal yang Dipungut Kembali)
β
Dan akhir adalah permulaan
kau aku tak pernah menapaki mula
juga mungkin tak pernah sampai
pada selesai
seperti puisi yang kutanam
di kuntum hatimu
β
β
Helvy Tiana Rosa (Mata Ketiga Cinta)
β
Barangkali karena sebagian kebahagiaan tak bisa diulang, kita menjadi pecinta rekaman, pengagum kenangan. Barangkali karena kita tak punya kuasa memaku waktu, kita mengenang keindahan yang kita jumpai dalam gambar-gambar, dalam kata-kata - rentetan aksara yang bisa kapan saja kita baca. Maka jangan salahkan siapa-siapa bila diam-diam aku menyimpan gambarmu. Jangan salahkan siapa-siapa bila terlalu banyak sirat namamu dalam puisi-puisiku.
β
β
Azhar Nurun Ala (Tuhan Maha Romantis)
β
Ibuku, hatinya putih. Ia adalah puisi hidupku. Begitu indah. Ia adalah tetesan airmataku.
β
β
Iwan Setyawan (9 Summers 10 Autumns)
β
Kopi dan perempuan, mereka saudara kembar. Dua-duanya keras kepala perihal rasa.
β
β
Ilham Gunawan
β
Waktu kecil saya sering berpikir tentang sesuatu yang bisa melestarikan kenangan. Begitulah mulanya saya mengakrabi musik, aroma dan puisi.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Mencintai itu anugerah, meski tak berbalas. Lewat rasa itu kau bahkan bisa membangun istana megahmu sendiri dari kepingkeping puisi dan prosa.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
tak ubah nya hantu di keramaian,
tatapannya, seolah berkata ;
Setiap perlakuan, ada harga yang harus di bayar anak adam
Walau tuntas pun tak kan membuat surga di hati para pendendam.
.
.
.
.
#andradobing
β
β
andra dobing
β
Kau bilang aku gila. Tapi satu-satunya yang tak akan pernah memisahkan kita dari apapun adalah puisi. Bahkan saat kau pergi, aku tetap bertahan di larik puisi yang kau cabik....
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Puisipuisiku berlari dalam hujan menuju rindu paling deras; kamu.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Aku di sini kamu di sana, tapi kita tetap bisa berpelukan dalam doa dan puisi.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Aku memang pergi
Tetapi bukan meninggalkanmu
Aku harus melangkah
Tetapi bukan menjauhimu
Ketahuilah, Cinta:
Tak ada jarak yang mampu
Membuatku beranjak darimu
β
β
Sam Haidy (Malaikat Cacat)
β
sejarah menjadikan orang bijaksana, puisi menjadikan orang fasih lidah, matematika menjadikan orang cerdik, filsafat menyebabkan orang berpikir dalam, moral menjadikan orang bersikap sungguh-sungguh, logika dan ilmu berpidato menjadikan orang berani mengeluarkan pendapat.
β
β
Francis Bacon
β
Delusi leluasa beranjak dari linimasa, menerka jarak dari lesatnya sang warsa.
Kau tau kenapa kata ingin itu ada?
Itu karena kata butuh masih terasa begitu asing di kepala.
β
β
Robi Aulia Abdi
β
Senja melarutkanku di batas waktu
Ketika ada dan tiada sejenak menyatu
Ada yang beringsut menjauh
Ada yang perlahan merengkuh
Bayanganku mengais sisa terang
Sebelum terkubur malam panjang
β
β
Sam Haidy (Nocturnal Journal (Kumpulan Sajak yang Terserak, 2004-2014))
β
Kau membuatku percaya bahwa keajaiban itu ada. Kau membuatku merasa bahwa tidak ada salahnya menulis puisi cinta dan menyimpannya dalam botol kaca. Aku datang hanya untuk mengatakan itu. Karena selanjutnya, aku akan selalu membencimu di sisa hidupku.
β
β
Devania Annesya (X: Kenangan yang Berpulang)
β
Tatkala rindu berulah, malam hanyalah film bergenre sepi. Kadang tak sisakan apa-apa, kecuali puisi.
β
β
nom de plume
β
Perempuan
tunjangmu dari syurga
nafasmu dari neraka.
β
β
Mohamad Saleeh Rahamad (Puisi Orang Bertujuh)
β
Aku ini lelaki, yang kerap tenggelam dalam secangkir kopi. Yang didalamnya kuaduk sepi, meng-iyakan bahasa hati. Puisiku mati.
β
β
Rohmatikal Maskur
β
dulu aku pernah memiliiki satu rindu utuh dalam diriku
yang separuhnya kini kusimpan dalam puisi
separuhnya lagi kusimpan di hati Tuhanku
β
β
firman nofeki
β
Tak penting kau mengerti atau tidak, tapi puisi adalah caraku membingkaimu dalam sunyi.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Selamat pagi, kekasih. semalam aku menulis puisi di luar angkasa. Ternyata tempat terbaik menulis puisi bukanlah disana, namun di ruang rindu yang kau cipta setiap kali aku mendoakanmu.
β
β
Alfin Rizal (Lelaku)
β
Ku kira kau penyuka kata,
Ribuan puisi pun sudah kurangkai dengannya.
Ku kira kau suka tertawa,
Bercura pun kini ku mahir dibuatnya.
Ku kira kau suka kata " Kita ".
Namun, nyatanya " Kita " pun kini hanya sebatas kata.
β
β
Robi Aulia Abdi
β
penawar
daripada
segala penawar
hanya hidayah
dan makrifat-Mu
menjadi penyembuh
kepada sekalian
penyakit
denyut zikrullah
berdetaklah di pembuluh
jantung hatiku.
(Jantung Hati)
β
β
Rahimidin Zahari (Kumpulan Puisi: Sehelai Daun Kenangan)
β
Di baris ke tujuh sebelah kiri, empat kursi dari
ujung, Tuhan duduk dan menangis. Di
tangannya tergenggam sebuah dadu. Pada
semua sisinya tertulis: dosa.
β
β
Avianti Armand (Perempuan Yang Dihapus Namanya)
β
PERCAKAPAN DUA RANTING
kalau pernah kamu bertemu dulu, apa yang
kau inginkan nanti? sepi. kalau nanti kau
dapatkan cinta, bagaimana kau tempatkan
waktu? sendiri. bila hari tak lagi berani
munculkan diri, dan kau tinggal untuk
menanti? cari. andai bumi sembunyi saat
kau berlari? mimpi. lalu malam menyer-
gapmu dalam pandang tiada tepi? hati.
baik...aku tak lagi memberimu mungkin?
kecuali. baik..baik, aku hanya akan menya-
pamu tanpa kecuali? mungkin. dan jika
tetap seperti itu, embun takkan jatuh dari
kalbumu? sampai. akankah kau patahkan
tubuhmu hingga musim tiada berganti?
mari. lalu kau tumbuhkan bunga tanpa
kelopak tanpa daun berhelai-helai? kemari.
juga kau benamkan yang lain dalam jurang
di matamu? aku. katakan bahwa kau mene-
rimamu seperti aku memberimu?...
kau? ya. kau?...aku.
Besancon, oktober sebelas 1997.
β
β
Radhar Panca Dahana (Lalu Batu: Antologi Puisi)
β
tapi, anakku, hidup senantiasa mengembara
β
β
Usman Awang (Duri Dan Api)
β
Tak ada yang lebih merugi
Dari mereka yang kehilangan pagi
Satu-satunya kesempatan menikmati
Sajian Tuhan yang paling murni
Sembari mengintipNya meracik
Takdir kita hari ini
β
β
Sam Haidy
β
Dahulu aku sering bertanya sendiri; kalau puisi itu berwujud
akan seperti apakah dia? Matahari? Bulan? Bintang? Gunung?
Laut? Bertahun lalu aku temukan puisi memancar mancar dari matamu,
masuk ke dalam tubuhku. Seperti yang kau duga pada akhirnya
aku tahu puisi tak pernah punya rupa. Ia rasa yang menggenang,
meluap di jemari kenangan. Kenangan bernama engkau
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Manakala hidup terasa menjepit
Tengadahlah ke langit
Di sana kau akan melihat
Bebanmu menyusut berjuta kali lipat
β
β
Sam Haidy
β
Aku bercerita kepada malam
Karena hanya ia yang sudi menadah keluh kesah
Para pecinta yang menderita
β
β
Sam Haidy (Nocturnal Journal (Kumpulan Sajak yang Terserak, 2004-2014))
β
Dulu kita pernah tertawa,
bahkan berbagi senja sepiring berdua.
Dulu kita pernah merdu di telinga,
namun kini ia hanya sebatas kata.
β
β
Robi Aulia Abdi
β
Puisi adalah suara sekaligus kaki bagi hati.
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Rindu tidak tersusun dari batas peta. Tetapi, dari seberapa luas kau mengingatnya.
Rindu tidak diciptakan oleh jarak. Ia lahir sebab keberadaan. Sedekat apapun jarak kalian, selama tidak pernah tinggal di hati dan ingatan, rindu tidak akan pernah ada.
β
β
Ilham Gunawan
β
Rindu adalah rezim yang tak pernah bisa dikudeta.
β
β
Ilham Gunawan
β
Justeru, aku manusia
jiwa ini
tidak akan cukup
dengan bulan, terisi di kolam.
Aku ingin juga
menatap bintang
di tempat lain.
(Dunia Ini Panjang, Jauh)
β
β
Rosli K. Matari (Matahari Itu Jauh)
β
mistikus pernah berkata begini pada seluruh
patung yang tak bisa diraba:
βdi kehidupan sebenarnya, sesuatu yang kau
torehkan ini hanyalah fana!β
tapi makhluk imajiner apa yang merangkak
dan memiliki tempat-tempat luas seakan
sabana Afrika telah muntah garingnya demi
menangkup ia yang tak berjenis apa-apa.
ia yang dinomori sebagai sang satu. yang
penuh totem warna-warni di sekujur
dagingnya. menebarkan piuh dingin yang amis
dan luka terjerat kekosongan tanda sebelum
bukit pasir menghisap tubuhnya atau warna
pasir yang menggerus tubuhnya?
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Kita adalah sepasang resah yang menyembunyikan hati ke dalam pasrah
Mengoleksi kenangan dan meyelundupkan diri dibalik ingatan
Mengapa kita terus meratapi keadaan dan mengoreksi Tuhan?
Tidak ada cara merevisi takdir jika keterpisahan adalah ketetapan
11/10/2017
β
β
firman nofeki
β
sebentar tadi kaudengar sahabat-sahabatmu
membaca puisi mentah yang mengkhayalkan
sebentar lagi akan kubaca puisi-puisiku
akan kubaca rangkap pedih dalam hidupku
akan kutancap hatimu dengan sebilah pisau
tersimpan dalam kata-kata tajam berkilau
dia pun membaca puisinya penonton terpegun
melihat kertas di tangannya berlumuran darah
(Baca Puisi, 2)
β
β
T. Alias Taib (Petang Condong)
β
Mana yang lebih pahit;
Kopi tanpa cumbuan gula,
atau rindu yang dibiarkan gigil tanpa nama?
β
β
Ilham Gunawan
β
Jangan salahkan hujan saat ia turun dan membuatmu pilu sebab rindu. Hujan sudah menanggung rindu yang lebih berat dan banyaknya melebihi rintiknya sendiri.
β
β
Alfin Rizal
β
Butiran gula larut dalam kopi hitam
Taburan bintang larut dalam kelam malam
Pahit manis kenangan teraduk
Kuhirup semalam suntuk
β
β
Sam Haidy (Nocturnal Journal (Kumpulan Sajak yang Terserak, 2004-2014))
β
Seribu slogan dan sebuah puisi: manakah yang lebih perlu? Kedua-duanya. Tapi apabila kita sadari bahwa yang menjadi tujuan bukanlah sekadar kebersamaan yang dipergunakan untuk kekuasaan, puisi akan lebih berarti. Karena puisi memungkinkan percakapan yang bebas, ia memustahilkan kekompakan yang munafik. Seorang tiran atau seorang Hitler setiap hari bisa saja membuat seribu slogan, tapi ia tidak akan sanggup membuat sajak yang sejati.
β
β
Goenawan Mohamad
β
Saat hujan turun, semua menjelma jadi kenang. Bahkan rintiknya bukan lagi air. Tetapi rindu yang berguguran.
Saat kopiku terseduh, semua menjelma jadi kenang. Bahkan isi cangkirnya bukan lagi air. Tetapi kau yang menggenang.
β
β
Ilham Gunawan
β
Dari Ibu, aku belajar indahnya berbagi.
Berbagi makan dalam kandungannya, berbagi minum dalam pangkuannya.
Dari Ibu, aku belajar indahnya berbagi.
Berbagi nyawa dalam rahimnya, berbagi surga dalam do'anya.
β
β
Ilham Gunawan
β
merdekakan jiwa
merdekakan pikiran
dari penjajahan pribadi yang kita buat sendiri-sendiri
dari amarah dan dendam
maafkan, maafkan, maafkan
lalu mungkin lupakan
β
β
Ahmad Fuadi (Anak Rantau)
β
Ular menyusur banir
tanpa kaki tanpa tangan.
Engkau bakal menyusur
titian sirat
tanpa amalan.
(Permohonan)
β
β
Darma Mohammad (Kumpulan Puisi: Rintik-Rintik Huruf)
β
Hayat bahasa di akal bangsanya
ajal bahasa di keris bangsanya.
β
β
Sahrunizam Abdul Talib (Kumpulan Puisi Suara Bukit kepada Langit)
β
kepada sisa kata mu yang masih bungkam, dan dilema pada ujung pena mu, lirih saja berbisik ; tundukkan segala riuh perkara hati mu
~andra dobing
β
β
andra dobing
β
kukalungkan jua sajak-sajak itu di leher bayanganmu dinda
serupa sepi mengalungi kata-kata di kotaku yang mahatinta.
kota dimana matamu, hatimu, senyummu, berpendar dalam warna yang sama
β
β
firman nofeki
β
ditembakkan dari pelir barracuda yang lolos
api, tubuhnya penuh runcing seperti penggaris
16 centi ke atas terus ke atas melewati loronglorong
rusak yang pengap akan tetesan air
amis. terbuka menganga, lurus terus maju
tanpa mundur memasuki sorga yang hilang di
Bermuda kecil warna-warni logo bungabungaan
yang diracuni bensin dan mungkin
sundutan rokok tengik. owalah...rambutrambut
keriting siapa ini disepahkan mulut
lebar ikan lonte di danau sebelah utara?
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Sebiru-birunya biru langit, tak ada yang lebih biru dari menerima rasa sakit. Semerah-merahnya merah darah, tak ada yang lebih merah dari menahan segala amarah. aku mencintai-Mu tanpa warna, sebab Kau lebih berwarna dari segala warna
β
β
Alfin Rizal
β
Aku tak ingin seperti hujan
Hanya dirindukan pada waktu tertentu
Dan selebihnya mengganggu
Aku tak ingin seperti matahari
Hanya disukai saat datang dan pergi
Sedang tengah hari disumpah-serapahi
Aku ingin seperti bulan
Penuh atau separuh tetap dicintai
β
β
Sam Haidy (Malaikat Cacat)
β
Duhai Pemilik waktu
dari arusMu usiaku terlahir dan mengalir
pada muara mautMu aku berakhir dan menyerah''
Engkaulah dermaga
tempat ikrar perjalananku melunasi batas
rantau pulang kala jiwa tersesat di pintu dunia
Engkaulah samudera
tempat senjaku membenamkan usia
melarungkan maut yang membadai di pantai jiwa
Tuhan....
jagalah hati dan jiwa ini
seperti telah Engkau jaga planet-planet yang beredar pada tiap galaksi
menurut keteraturannya
biar tiada berbenturan akhiratku dengan dunia
sebelum akhir masa nyaris menyelesaikan lahat
sebelum aku dan waktu menyeduh pamit dari secangkir hayat
di perahu sepi
kuamini gelombang maghfirahMu
Di kedalaman sujudku
kuselami putihnya do'a
menghanyutkan dosa yang mnghitami muara ruhku
di rimba raka'atku, ada rindu yang merimbun sebagai Kamu
Engkau geriap hujan di kemarau tubuhku
akulah kegersangan angin yang memanjati tebing-tebing grimisMu
Tuhan...
di hujan ampunan tak henti kuburu gemuruhMu
kupaku telinga di pintuMu
moga kudengar Kau mengetuk
bertamu ke bilik sepi sunyiku
β
β
firman nofeki
β
pada akhirnya yang pergi akan kembali,
entah pada pelukan, atau pada masing-masing kenangan
β
β
Rian Prasetia, @sekadar_coretan
β
Jangan salahkan waktu
Jika kelak ia mengkhianatimu
Setiap detik yang kau ulur
Akan mencekikmu di sisa umur
β
β
Sam Haidy (Malaikat Cacat)
β
anjing-anjing buta melolong menangisi
lobang-lobang di tembok. melodi, tak lebih
dari dalih kesunyian dan cinta. erangan yang
memuakkan. percakapan itu terkesan mewah:
penyair yang lupa membawa topinya, dan
lintingan lisong yang tak mungkin mengerti
puisi bila disandingnya bukanlah kopi. oh,
betapa luka 300.213 centi itu melebar makin
timur, menorehkan nganga tempat nanah
menggembung dengan lapisan perih dan bau
amis.
mobil pikap tua, penuh kangkung dan ibu yang
tidur di atasnya, setenang Buddha. jalan terus
ke kiri, menyempil di antara truk-truk besar
yang tak mau kalah, tetap ngotot meski makin
di pojok. masih saja setenang Buddha: tidur
yang penuh rahma
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
Kamu menulis: "Kita sudah mengatakan A, maka kita harus menyebutkan seluruh huruf." Namun masalah itu sekarang sudah sedemikian luar biasa hingga aku menjadi ragu. Maka, kukutipkan puisi singkat dari Jan Erik Vold mengenai hal itu:
"Siapa yang mengatakan A
Telah mengatakan A"
Kamu mengerti yang kumaksud, kan? Kalau kamu telah mengatakan A, maka kamu telah mengatakan A dan harus menjalani segala resiko yang mengikutinya. Tapi, itu tak berarti bahwa kamu juga harus mengatakan B.
β
β
Jostein Gaarder (Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken)
β
Anggap saja pertemuan di awal huruf dalam doaku adalah sapaan manja untukmu
Aku akan mengajakmu menyusuri barisan puisi
Kubangun sebuah pohon rindang agar kita bisa berteduh dari jauhnya jarak pandang
Setiap waktu hatiku meredamkan gelisah langkahnya
Ada gurat rasa yang masih merunduk malu-malu untuk kumengerti
Disetiap alur jalan yang Allah hadiahkan
Kita masih berpapasan, menatap jawaban,
Sebab mata masih enggan bersinggungan
Diantara poros takdir, kuingin engkaulah rotasiku
Tempat barisan ingatan berputar pada titik yang sama,
Terjebak dalam lingkaran bahagia yang tak berjeda
Kisah yang belum runtun ini biarkan Allah menata
Karena kita telah menitipkannya, maka percayakan ia pada penciptaNya
β
β
firman nofeki
β
Kekasihku
Kami bertemu lagi di taman.
Dulu ia bilang ia yang menciptakan langit biru,
tukang susu yang setiap pagi lewat depan rumahku,
tukang pos yang tak pernah mampir,
anak-anak kecil yang bermain burung dara bersama senja,
suara anjing hansip di tengah malam sunyi.
Semuanya dari tiada.
βKenapa kita harus melalui hidup ini sendirian?β tanyaku.
Ia diam. Padahal biasanya langsung
berbicara panjang lebar.
βKamu dan aku. Begini parah kita kesepian.β
Aku ingat ceritanya tentang cinta yang tak berbalas,
yang ia tanggung selama beribu-ribu tahun.
Tentang pengirim pesan yang ditimpuki batu,
dan ia yang kesepian di atas gunung.
Kakiku mulai kesemutan, dan ia tak juga bicara.
βDi gunung, kamu menulis untuk siapa?β
Ia tak juga bicara.
Langit biru agak berawan hari ini.
β
β
Norman Erikson Pasaribu (Sergius Mencari Bacchus: 33 Puisi)
β
dari tembok tua dan rumah bisu penuh anggota
keluarga: ayah, ibu, kakek,nenek, bayi-bayi
menggelantung kera dengan bau dupa yang
lapar. Dari sorga yang tak mungkin dicapai
kecuali kau Buddha Gautama. Dari Yesus
yang tangannya terkulai dipasak dan menangis
merasa ditinggalkan bapaknya. Dari
Muhammad yang kedinginan menggigil dalam
selimut di goa sunyi berharap ada laba-laba
membikin pintu bagi rumah barunya. Dari
cintaku padamu yang tak pernah renta. Dari itu
semuaβ
kata-kata terus terumbar, jauh melayang
melewati pasar modern jam 5 pagi.
β
β
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
β
HIKAYAT ADAM
Sebab bagiku kau masih serupa ibu yang melahirkanku yang menuntunku berjalan dan mengajariku berlari. Namun mengapa tak juga lepas dahagaku daripadamu? Meski telah kureguk engkau hingga tumpas tandas.
Hingga kempis payudaramu hingga perlahan surut laut dan air matamu. Hingga padam langit dan seluruh jagat raya.
Hingga kalam sang malaikat diam-diam merenggut segenap kejahatan dan dosa-dosaku. Meski kutahu belaka, betapa sia-sia seluruh perjalanan ini.
Bukankah engkau sendiri yang waktu itu menghalangi diriku memakan buah yang ranum dari perbendaharaanmu yang sengaja tak kausembunyikan?
Buah syajarah yang kautanam di taman purbawi. Kebun yang telah berabad jadi rumahku tapi tak pernah sungguh-sungguh aku miliki.
Mengapa kaularang aku memetik khuldi yang kausediakan bagiku di taman itu? Apakah demi menguji kesetiaanku pada dirimu? Sementara kauijinkan sabasani itu tumbuh menjulang tinggi dan berbuah lebat.
Sekalipun engkau masih menerimaku sebagai buah kandung yang engkau lahirkan sendiri dengan kedua tanganmu.
Dan tidaklah aku engkau turunkan dari patuk taring si ular beludak. Ia yang telah membuatku terusir dari rumah. Sepetak tanah yang memang kauperuntukkan bagi diriku sejak mula pertama kauhadirkan aku ke dunia ini.
Sungguhpun harus kuarungi samudra duri ini sekali lagi, sebagai si alif dari golongan yang paling daif. Sebagaimana perempuan penerbit nafsi itu kaucuri dari tulang rusukku saat aku lelap tertidur.
Sepanjang pasrah kasrah telah mengubah rambut di kepalaku menjadi setumpukan uban. Sepanjang kematian demi kematian sengaja kau timpakan di atas kepala anak cucuku. Adakah sempat kaudengar aku berkeluh-kesah?
Meski aku mahfum belaka, ya bila karena semua itu aku tak akan pernah kau perkenankan singgah ke rumahmu lagi. Kecuali kau biarkan aku datang sebagai perempuan lecah, jaharu yang paling hina atau fakir papa yang kelaparan.
Sekalipun telah letih jiwaku meretas sepi, hingga percik lelatu itu menitik sekali lagi dari ujung jarimu. Bukan sebagai yang garib, yang gaib atau yang hatif. Melainkan karena semata-mata semesta cinta.
Cinta yang sekalipun tak akan pernah mengubah diriku menjadi zaim, zahid atau zakiah. Namun sungguh, cuma itu satu-satunya cinta yang berani menentang tajam mata pisau sang mair.
β
β
Titon Rahmawan