Puisi Bulan Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Puisi Bulan. Here they are! All 36 of them:

β€œ
JARAK dan Adam turun di hutan-hutan mengabur dalam dongengan dan kita tiba-tiba di sini tengadah ke langit; kosong sepi
”
”
Sapardi Djoko Damono (Hujan Bulan Juni)
β€œ
Tuhan yang merdu, terimalah kicau burung dalam kepalaku.
”
”
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)
β€œ
Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja: Ingin sampai rumah saat senja, supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela.
”
”
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)
β€œ
Justeru, aku manusia jiwa ini tidak akan cukup dengan bulan, terisi di kolam. Aku ingin juga menatap bintang di tempat lain. (Dunia Ini Panjang, Jauh)
”
”
Rosli K. Matari (Matahari Itu Jauh)
β€œ
Aku tak ingin seperti hujan Hanya dirindukan pada waktu tertentu Dan selebihnya mengganggu Aku tak ingin seperti matahari Hanya disukai saat datang dan pergi Sedang tengah hari disumpah-serapahi Aku ingin seperti bulan Penuh atau separuh tetap dicintai
”
”
Sam Haidy (Malaikat Cacat)
β€œ
Dahulu aku sering bertanya sendiri; kalau puisi itu berwujud akan seperti apakah dia? Matahari? Bulan? Bintang? Gunung? Laut? Bertahun lalu aku temukan puisi memancar mancar dari matamu, masuk ke dalam tubuhku. Seperti yang kau duga pada akhirnya aku tahu puisi tak pernah punya rupa. Ia rasa yang menggenang, meluap di jemari kenangan. Kenangan bernama engkau
”
”
Helvy Tiana Rosa
β€œ
Maka jatuhlah puisi ke jiwa sepertimana bulan jatuh ke riba.
”
”
Ridhwan Saidi (Mautopia)
β€œ
kau menjadi bakawali di hatiku kembang pada malam saat bulan tersenyum aku - di pasir memohon untuk menjadi pantai kepada lautmu.
”
”
S.M. Zakir (Kumpulan Puisi: Aroma)
β€œ
Nada-nadamu berdenting Menjemput kata-kataku dari hening Bulan dan bintang perlahan terpejam Kau dan aku menidurkan malam
”
”
Sam Haidy (Nocturnal Journal (Kumpulan Sajak yang Terserak, 2004-2014))
β€œ
Puisi ini akan kulipat menjadi pesawat kertas, silakan kau naik, dan kita akan pergi ke bulan.
”
”
Sobih Adnan (Nyanyian Gagang Telepon)
β€œ
Jangan beri aku apapun Meski itu perhatianmu Meski itu kasih sayangmu Meski itu air matamu Jangan beri aku kesedihanmu Jangan beri aku amarahmu Jangan beri aku dahagamu Jangan kau beri aku apapun Sebab masih kuorak langit demi menemukan seluruh jejak petilasanmu Bunda." Tapi Nak, bagaimana engkau bisa berucap serupa itu? Bukankah sudah aku beri engkau bunga? Sudah aku beri engkau matahari. Sudah aku beri engkau rumput dan dedaunan. Sudah aku beri engkau laut dan pasir pantai. Mengapa masih? Tak cukupkah kau cucup air susu dari sepiku? Kau kecap nyeri dari lukaku, sebagaimana dulu kau terakan kebahagiaan di bawah perutku serupa goresan pisau yang menyambut kehadiranmu. Betapa semuanya masih. Aku berikan lagi engkau api, aku berikan lagi engkau pagi, aku berikan lagi engkau nyanyi tualang dari hatiku yang engkau tahu menyimpan sejuta kekhawatiran. Bagaimana engkau masih berucap serupa itu? Aku masih berikan engkau suar hingga separuh umurku. Aku berikan engkau tawa dari separuh mautku. Aku berikan engkau kekal ingatan dan sekaligus mimpi abadi. Aku beri semuanya, walau itu cuma sekotak bekal sederhana yang semoga engkau terima untuk mengganjal rasa laparmu. Betapa aku selalu ingin ada untukmu, Nak. Sebab cuma satu permintaanku tak lebih. Ijinkan aku jadi teman seperjalananmu, sahabat di waktu gundahmu, pembawa kegembiraan di kala senggangmu. Sebagaimana dulu kutimang dirimu dan kunina bobokkan engkau di pangkuanku. Ijinkan aku jadi roti yang mengenyangkan laparmu, pelipur hati di kala sesakmu, panasea ketika kau sakit. Bukankah aku ada ketika kau belajar berdiri dan aku di sana saat kau jatuh? Aku setia menungguimu saat kau berlari mengejar bulan dan matahari. Dan sekalipun waktu merambatiku dengan galur usia, hingga mungkin aku tak lagi mampu berdiri tegap seperti dulu. Aku tak akan pernah menyerah padamu Nak. Tidak, Bunda tak akan pernah menyerah. Sebab bagiku, cukuplah dirimu sebatas dirimu saja. Akan tetapi, sanggupkah kau cukupkan dirimu dengan semua kebanggaan? Cukupkan dirimu dengan apa yang engkau punya. Cukupkan dirimu dengan semua doa doa yang tak henti kutitikkan dari sudut hatiku yang semoga jadi asa yang paling surga. Surgamu Nak. Walau kutahu itu akan mengusik nyenyak tidurmu. Walau itu akan menambah resah waktu kerjamu. Sebab kutahu seberapa keras engkau berjuang. Pada setiap tetes keringat yang engkau cucurkan mana kala engkau harus berlari mengejar bus yang datang menjemput. Manakala pikiranmu tak bisa lepas dari layar lap topmu yang tak henti berkedip. Manakala pagi datang dan sibuk pekerjaan hadir serupa hujan tak kunjung usai mendera. Cukupkan dirimu dengan cinta Bunda Nak. Sekalipun nanti, tak ada lagi ucapan nyinyir bergulir dari bibir Bunda yang mulai keriput ini. Yakinlah, pintu rumah hati Bunda akan selalu terbuka buatmu, kapan pun engkau ingin pulang.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Bulan pasi. Kuseduh kepedihan dari dua cangkir kopi. Lalu matamu bernyanyi di mataku, Badi', "Dan kematian hanyalah jalan menuju keabadian....
”
”
Helvy Tiana Rosa
β€œ
Cinta adalah mahkota puisi Musim adalah giwang puisi Hujan adalah kalung puisi Bulan adalah gelang puisi Cincin adalah perhiasan
”
”
Andrea Hirata (Ayah)
β€œ
Tubuhku kenangan yang sedang menyembuhkan lukanya sendiri.
”
”
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)
β€œ
Malam maret, melepas geliat kabisat. Sebaris kisah kasih kesah, di ekor Februari mengukir akar. Bulan romantis itu menyapa. ia tak butuh kata manja, namun ia butuh risau rasa!
”
”
Alfin Rizal
β€œ
Kukirim kisah yg membuatmu tersenyum tuk menutup malam ini. Esok masih ada hari cerah penuh Rahmah Airmataku terjatuh beberapa butir,, Kuanggap sebagai tanda rasa tulus dariku.. meskipun rasa tulus, sesungguhnya tak nampak dengan mata lahiriyah.. …Namun hentikan jari ini dapat membuatmu tersenyum Anggun.. Duhai dirimu yg entah dimana semoga dapat merapat bersamaku menemani bulan hingga embun mengering..
”
”
Hilaludin Wahid
β€œ
Bulan Merah lalu ditenggak darah bulan merah lolongnya yang serigala hingga ujung benua sebayang lindap sebayang lindap melayar-layar bulan merah mengucur airmata dengusnya yang api memunahkan negeri-negeri sebusur waktu sebusur waktu meluncur-luncur tatap bulan merah di waktu malam merapat di ubun-ubun hingga purnamanya penuh sempurna sebugil bulat sebugil bulan menggigil-gigil o, bulan merah di puncak sunyi geliat sepi amuknya!
”
”
Nanang Suryadi (Biar!: Kumpulan Puisi Nanang Suryadi)
β€œ
Gadis Peminta-minta Setiap kali bertemu, gadis kecil berkaleng kecil Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka Tengadah padaku, pada bulan merah jambu Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan Gembira dari kemayaan riang Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal Jiwa begitu murni, terlalu murni Untuk bisa membagi dukaku Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil Bulan di atas itu, tak ada yang punya Dan kotaku, ah kotaku Hidupnya tak lagi punya tanda
”
”
Toto Sudarto Bachtiar
β€œ
Kau terhenti. Tergagu kau bertanya. Mungkin pada diri sendiri, mungkin kepadaku. β€œSiapa… kamu?” Namaku Bumi, ketika langitmu perlu wadah untuk menangis. Namaku Bulan, saat kau terlelap, kujaga duniamu dalam gelap. Namaku Telaga, kan kubasuh lusuh di sekujur tubuhmu itu. β€œUntuk apa?” Untuk partikel udara yang kau hirup dengan cuma-cuma. Untuk desau angin yang bisiknya kau halau dengan daun pintu. Untuk kepul terakhir secangkir kopi yang kau hirup sebelum mendingin. Kau kembali berjalan. Aku kembali diam. Kita tak lagi berbincang. Aku tetap menjadi bumi, bulan, dan telagamu. Kau masih menghirup udara, menghalau angin, dan menyeduh kopi. Kita masih melakukan hal yang sama, masih di tempat yang terpisah. Dan tak pernah kau pertanyakan lagi keberadaanku. Sebab bagimu aku selalu ada.
”
”
Devania Annesya (Elipsis)
β€œ
Sunyi seperti senyap malam yang gelap gulita. Di mana tak ada siapa pun selain gigil kesendirian yang larut dalam basah gerimis hujan. Ia tahu, sebab kesepian bukanlah perasaan yang diinginkan rembulan. Demikian pula cinta, bukanlah perasaan yang diharapkannya. Suara jengkerik dan katak adalah ngilu. Seperti bulan yang tak mempercayai cinta, lagu pungguk itu terdengar seperti suara sumbang yang menyebalkan di telinganya. Desau angin jahat dan risik dedaunan hanya mengundang kepiluan di hati. Kalau saja ia bisa menangis, tapi siapa mau peduli?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
PUISI CINTA Apakah ia akan mengingat diriku, atas semua potret yang tak pernah usang yang sengaja ia kumpulkan dalam setiap momen kebersamaan kami? Lebih dari semua angka yang aku sendiri tak mampu menghitungnya. Waktu seperti butiran pasir yang merangkai semua kata kata yang di tuliskannya di dalam sebuah buku diary yang ia simpan sendiri. Waktu berjalan seperti tak pernah mengenal masa lalu. Seperti ikan ikan yang bebas berenang di lautan. Burung burung terbang di langit, dan satwa liar yang mabuk di rimba. Waktu yang terhenti pada satu satunya peristiwa, di mana ia menyatakan segenap rasa cintanya hanya padaku. Kepastian yang menghapus semua kebimbangan musim. Ketidakpedulian sejarah. Semua kata kata yang dikumpulkannya menjadi ungkapan abadi dalam hati yang tak mengenal rasa duka atau luka, amarah dan juga kesedihan. Ia tak pernah menghentikan hasratnya untuk terus mencintaiku. Meskipun malam berganti ganti. Hari berubah. Tanggal, bulan dan tahun berlalu. Dan keriput mulai menghantuiku. Mengelupas kemudaanku. Melemparkan hujatan pada semua peristiwa yang seperti ingin menyakiti perasaannya. Menciderai pikirannya dengan semua kemesuman, kejijikan dan ketidak senonohan yang sengaja aku ciptakan untuk membuatnya pergi. Bayang bayang di mana ruang dan cahaya tak lagi hadir pada dirinya. Cakrawala yang perlahan mulai menua, tapi tetap saja setia menunggu cinta yang ditinggalkannya hanya untuk diriku.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Tembang lantunkan kembang. Gaungkan batas. Tak ada tertulis di cakrawala selain senyap. Mengalun segala bunyi, segala nada, segala irama, tautkan mimpi dan angan-angan. Langit lengang. Pijar tawa bocah bersanding temaram bulan, bergelayut di runcing bintang, bergelung di ikal mentari. Sunyi menera bunyi, satu-satunya bunyi dalam dirimu.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Kita bercakap sepanjang sore itu dan berharap gerimis hujan akan berjatuhan dari langit. Agar kerinduan dapat melekapkan tubuhnya di dalam pelukan kita masing masing. Aku ingin menggandeng tanganmu sebagaimana angin meniup dan membelai anak-anak rambutmu. Aku menduga kau juga ingin melakukannya sebagaimana kebahagiaan seolah membuncah dari setiap langkah kaki kita. Apakah kita akan saling menunggu dingin hembusan angin merebak di dalam sesat pikiran hingga membuat tubuh kita menggigil? Atau hanya aku sendiri yang tengah berandai-andai? Sekiranya saja tanganku adalah ritmis gerimis yang mendadak turun dan berniat hendak memeluk tubuhmu. Kalau saja bibirku adalah gumpalan awan kelabu yang berarak di langit dan seperti ingin membulatkan keberanian demi mencium bibir indahmu. Seandainya tubuh kita menyatu dalam degup hujan yang rinai ini dan hasrat kita melebur dalam dekapan waktu yang menjadikannya kenangan abadi. Tapi harapan mendadak saja ingkar dari kenyataan seperti gelegar halilintar di kejauhan. Apakah salah telingaku mendengar desah bisikanmu? Melihat bagaimana bibirmu gemetar saat mengucapkan kata-kata perpisahan. Gugur daun-daun dan kelam malam perlahan datang beringsut memayungi hati kita. Lalu, siapa yang akan mencatat waktu dan mengabadikan sisa peristiwa sesudah ini? Bulan meremang oleh nyeri dukanya sendiri. Akankah tasbih yang baru saja aku berikan padamu akan jadi tandamata terakhir di antara kita? Apakah aku mesti menyimpan sapu tangan yang kini basah setelah menyusut air matamu? Cuma ada gelap yang kini jatuh sempurna. Gulita yang menanggalkan satu demi satu peristiwa yang dulu pernah hadir bersama. Hilang musnah dari seluruh penggal ingatan.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Kalam Untaian Merjan Pada lagu balada Rendra aku melihat embus pasir Aspahani. Tangan angin yang giat mencangkuli hamparan tanah gembur di kebun buah Rosidi. Dalam kantungnya tersimpan rupa-rupa benih puisi melayu lama. Dari pantun hingga mantra, dari gurindam hingga karmina, dari talibun hingga seloka. Seuntai syair yang rajin menebar tawa Korrie bergirang hati. Merapal doa penawar rindu yang santun menampung embun luruh di telapak tangan Kyai Bisri dan gaung azan subuh di bibir para santri. Di bawah pelupuk langit Timur Sinar Suprabana aku bersujud, serupa lelai rumput Ahmadun. Menyambut lambai tangan hijau kanak-kanak menari bersama Helvy dan Herliany. Memulas kuning gading bulir padi di dada awang telanjang mandi di kali. Bocah-bocah keletah gembira menuai buah tufah berlimpah pada keras bebatuan Calzoum merah. Di balik celana Pinurbo aku jumpai gelisah mimpi Johani. Wajah Sunarta yang gemar menyamar. Mata Wisatsana yang cermat menelisik risik kerikil tajam terserak di taman kawi dunia. Juga jemari tangan Fansuri yang rajin mencabut ilalang di kebun para sufi. Kubaca wajah cuaca dalam bahasa sunyi Isbedi, kueja tagar Dahana, kudaras cahaya Kurnia. Balau debu tertaris gerimis yang lama tersimpan dalam setiap tetesan tinta Taufiq. Pada sajadah yang ia hamparkan dan pisau Takdir penawar risau pada hati yang terempas dan jantung yang putus. Pulau di mana dulu pernah tersemai benih-benih terbaik Chairil muda. Demi memetik buah rindu dendam yang telah lama didambakannya, Ia rela mati berkafan cindai diiringi lagu sunyi nyanyian Hamzah. Tapi justru di dulang kosong itu kutemukan pipih gosong telur Dewanto. Suara pekak mikrofon pecah dalam kamar gelap Afrizal. Leher botol tercekik dari separuh langit yang sengaja menyembunyikan wajah Srengenge di balik dengung nyamuk yang mengamuk dalam benak Rusmini. Sebelum kata-kata berlepasan dari dahan tempatnya bergantung, sebelum kamus jadi ingatan beku yang ditelan rakusnya waktu. Aku berusaha menemu laut. Laut yang dulu pernah melantunkan tembang Ainun dan syair pujian Pane dalam Madah Kelana. Laut yang akan mengizinkan aku mengaji bersama Toto dan Abdul Hadi, pada hampar lembar langit Zawawi yang senantiasa berkabut ini. Di bawah guyuran rintik-rintik hujan Damono yang entah mengapa hanya mungkin turun di pertengahan bulan Juni. Namun pada samar raut wajah Nadjira, jemari tanganku gugup menggali inspirasi di balik pikiran Armand. Dari rupa rupa arsitektur yang dengan cergas ia reka reka menjadi bait puisi. Hasrat yang gesit menimba air di sumur Mansyur. Menapak jejak Saut dan Sitor yang senantiasa hibuk mencari Tuhan. Dan demi tunas mata Subagyo dan sejuk air Zamzam, aku rela menemu jantung hati lapang di dalam inti sebuah poci. Keramik awanama, di antara batu undak-undakan meditasi Goenawan. Ia yang telah menguak rahasia jiwa Landung nan adi Luhung yang bersemi di hutan jati Umbu Paranggi. Tapi sekali-kali, tak akan pernah aku lupakan kesaksian Wiji yang tumbuh dari tangisan sejarah masa lalu. Noda yang tertera pada luka Sambodja. Sekiranya masih ada petilasan senyap dari para pendahuluku. Cabuhan air mata pilu para martir dan tangis para santo. Seruan kelu di bibir para nabi dan kubangan darah para syuhada. Tak akan aku biarkan diriku terpedaya oleh muslihat para penebah jenawi purba, hujah para tukang fitnah, hasutan orator-orator lancung, gonggong penadah puisi kosong. Juga sumpah serapah dan tipu daya para kritikus-kritikus gagap. Igauan busuk plagiator mabuk. Bualan epigon-epigon palsu dan ocehan para dilettante buta. Di mana waktu mengharuskanku mesti belajar lagi.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
bulan mencemburui kebahagiaan yang kita miliki tidak mungkin membenahi kita dengan cahayanya kerana cahaya yang bergemerlap di dada kita telah membenahi seluruh cahaya bulan itu sendiri
”
”
S.M. Zakir (Kumpulan Puisi: Aroma)
β€œ
bulan pasrah kuyup dan kita bernaung pada cahayanya di pantai ini, siapa yang sulit kita tepuk, malam yang berlayar atau diri yang telah pada masing-masing.
”
”
Ibe S. Palogai (Menjala Kunang-Kunang)
β€œ
Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa lagi bersama." "Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?" "Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.
”
”
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)
β€œ
Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium menjadi bekas. Betapa curangnya rindu. Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.
”
”
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)
β€œ
Kembali menggelora akan nestapa Biarlah tenggelam namun yakinku tak pernah berubah padamu Saat bulan tersenyum menegur sapa menampakkan diri saat hangat mulai menyinari secercah cahya dalam hati namamu membias di sanubari Sela siang mendamba surya panas memanggang senyummu sirnakan kerontang, basahi jiwa yang sedang meregang sejukkan jiwa yang sedang meradang Kala senja menutup masa, bersama semburat lembayung di ujung cakrawala, didekap oleh awan kelabu, semoga mengerti akan maksud hati yg meronta.
”
”
silviamnque
β€œ
Matahari dan Bulan Ketika aku berusaha menjadi orang yang luar biasa bagimu, tak kusangka bahwa itu bukanlah hal yang engkau mau. Selalu ada kata tak cukup untuk menjadi sempurna. Betapa susahnya untuk menjaga hati agar tak melukai, agar tidak pernah mengecewakan. Sekalipun aku berupaya sepenuh hati menjagamu. Senantiasa berikhtiar, semoga aku bisa memahami apa yang engkau mau, selalu mengerti apa yang engkau inginkan. Walaupun aku sadar, bahwa meminta dan menuntut jauh lebih mudah daripada berkorban dan lebih banyak memberi perhatian. Namun selama itu berangkat dari kemauan dan kehendak kita sendiri, maka tidak ada hal yang muskil atau mustahil untuk dilakukan. Bila sungguh kamu adalah takdirku dan aku adalah takdirmu, maka semoga kita selalu menemukan kebaikan dan keindahan dari kekurangan kita masing-masing. Bahwa kekurangan bukanlah bentuk kesengajaan demi mengasihani diri sendiri atau alasan pembenaran ego pribadi, melainkan harus jadi semangat menumbuhkan keinginan untuk memperbaiki diri. Baru dari situlah aku belajar, bahwa pada akhirnya hidup menghendaki agar kita menjadi orang yang biasa-biasa saja. Untuk tidak pernah berpura-pura menjadi orang lain selain dari diri sendiri. Bagaimana kita menjadikan segala sesuatu yang sederhana menjadi istimewa. Kesulitan dan tantangan yang kita hadapi berubah menjadi indah manakala kita berdua mampu mengatasinya. Aku merasakan apa yang engkau rasakan. Engkau memikirkan apa yang aku pikirkan. Dan kita menyatukan hati menjalani hal-hal yang sederhana setiap hari. Lewat puisi dan catatan yang kita buat, buku-buku yang kita baca, makanan yang kita santap, musik yang kita dengar, film yang kita tonton, perjalanan dan petualangan yang kita lalui. Semuanya menjadi realitas yang menyenangkan, karena kita tak pernah lupa membubuhkan kata "kita" dalam setiap momen kebersamaan itu. Selalu ada kamu dan aku di situ. Apa yang engkau sukai akan menjadi kesukaanku juga Apa yang engkau benci menjadi kebencianku pula. Aku yang orang rumahan menjadi gemar jalan-jalan gara-gara kamu. Dan kamu yang dulu tak doyan membaca jadi mencintai sastra karena diriku. Begitulah bagaimana kita menerjemahkan kesederhanaan itu dan mengubahnya jadi istimewa. Ijinkan aku jadi matahari penerang hari-harimu dan engkau jadi rembulan penghias malam-malamku. Kita hadir bukan untuk saling meniadakan, melainkan justru untuk saling melengkapi. Aku ada untuk dirimu dan engkau ada untuk diriku. Kita berusaha saling membahagiakan dan selamanya mencintai sampai maut memisahkan.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Menafsir Rembulan Kalau tidak sedang dikejar-kejar hantu mengapa mesti lari terburu-buru? Kita tidak harus selalu menerjemahkan waktu dengan cara-cara yang menggelikan dan menyebalkan serupa itu. Bukankah di dunia ini banyak sekali kejadian-kejadian yang tidak kita mengerti? Sebagaimana halnya kita tak pernah tahu, mengapa rembulan tak pernah lagi menulis puisi? Apalagi puisi tentang cinta dan kerinduan. Terlalu banyak penyair atau mereka yang mengaku-aku sebagai penyair yang mencatut nama bulan hanya untuk mengungkap perasaan. Padahal bulan tak perlu pengakuan. Ia sama sekali tak butuh penghargaan, penghormatan, penerimaan atau pengukuhan dari siapa pun. Kalau selama ini terlalu banyak puisi yang mengumbar nama rembulan, maka itu jelas bukan karena kemauan atau kehendaknya sendiri. Itu pula sebabnya mengapa bulan lebih sering menyembunyikan diri. Sengaja tak menampakkan batang hidungnya atau memamerkan kemolekannya. Tapi kita para penyair lancung dan sok pintar ini terlalu sering mengagung-agungkan dirinya lebih dari yang seharusnya. Bulan memang lembut dan tak segarang matahari. Sesungguhnyalah, ia sosok pemalu yang tak seberapa pintar menyatakan isi hati. Hanya saja kita terlalu melebihkan apa yang tersirat dari senyumnya yang sering tertahan, atau dari raut wajahnya yang begitu mudah tersipu. Betapa mudah kita menyalah artikan sendu tatap matanya sebagai kerinduan dari serpihan hati orang yang kita kasihi. Sementara kita tak pernah berusaha menyelami, apa yang sesungguhnya tersembunyi dalam pikirannya yang naif dan selugu kanak-kanak itu?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Cinta Dari Rutinitas Sehari Hari II. Tentu saja, kita tak sempat bercengkerama karena aku harus segera berangkat kerja dan membiarkan sisanya tenggelam dalam kesibukan memintal kesendirian. Menunggu jarum jam bergerak malas dari delapan ke angka sembilan. Mungkin saat itu kau akan sedikit mencintaiku kurang dari bagaimana aku mencintaimu. Berharap sisa perjalanan akan menjadi sebuah perayaan kerinduan. Tanpa pernah merasa bosan, jenuh atau apapun itu. Hanya pada saat waktu bergerak memanjang ke pukul sepuluh siang, kau akan tertidur sejenak tanpa memikirkanku. Tanpa mimpi tentangku atau tanpa perasaan apa pun yang mengingatkanmu pada diriku. Dengkurmu akan cukup keras untuk membuat tetangga sebelah rumah menjadi tuli dan memaksa mereka melupakan mimpi-mimpi yang menakutkan atau tidak menyenangkan. Tetapi ketika waktu perlahan bergulir ke angka sebelas, cukuplah dirimu beristirahat dari segala macam kepenatan yang akan dengan segera membuatmu lupa pada diri sendiri. Merintang panas, memangkas daun-daun aglaonema kering di teras. Menyiapkan makan siang dan menikmatinya sendiri saja tanpa mengingat siapa yang pernah kaucintai atau diam-diam mencintaimu. Tapi kau akan dengan mudah jatuh cinta lagi pada dirimu sendiri pada jam dua belas. Tanpa harus bersusah-payah meyakinkan bukan siapa-siapa bahwa penantianmu tak akan pernah sia-sia. Setelah puas menyemaikan daun-daun sirih belanda kesayanganmu pada pukul satu. Kau bongkar semua ingatan dari satu pot dan memindahkannya ke dalam pot yang lain tanpa pernah merasa jemu. Tahu-tahu waktu mengetuk pintu keras keras mengabarkan sore tiba pada jam tiga. Dan kerinduan akan datang lagi berhamburan sebagai orang orang yang pernah pergi. Mereka yang sekejap singgah entah kemana, namun pada akhirnya akan kembali pulang ke rumah. Itulah waktu untuk berbenah, membuang semua sampah dan kekotoran. Memandikan kecemasan dan mengelupas kekhawatiran dari daster lusuh yang kau kenakan, lalu menyulapnya menjadi sedikit pesta kegembiraan; Mencuci sendok dan garpu melipat kertas tisu, mengelap piring dan gelas, mengeluarkan semua isi kulkas lalu menatanya rapi di atas meja tanpa alas. Kau isi setiap gelas dengan perasaan cinta yang meluap luap. Membagikan hati, perasaan dan pikiranmu di atas piring yang terbuka buat makan malam kita berdua. Sejenak mengabaikan rasa letih demi mendambakan sedikit ciuman yang akan mendarat di pipi atau keningmu dan barbagi pelukan hangat yang akan mengantarmu ke peraduan. Lalu setelah itu, kita akan melupakan semua ritual yang mesti kita ulang setiap hari dari permulaan lagi. Meskipun sesungguhnya kita tidak pernah tahu dari mana garis start keberangkatannya dan di mana ia akan berakhir. Karena semua mimpi akan berubah menjadi taman bunga yang memekarkan lagi warna- warni kelopak cintanya di malam hari. Dan seribu kunang kunang akan menyinari rumah yang telah kita tinggali lebih dari sepuluh tahun ini. Kebahagiaanmu sesungguhnya tak pernah beranjak jauh-jauh dari rumah. Setiap hari selalu memberi warna abu abu muda yang sama. Kecuali pada saat di mana aku datang membawa segepok keberuntungan di akhir bulan. Itu barangkali adalah hari paling berwarna yang kau tunggu-tunggu. Tapi meskipun begitu, aku selamanya mencintaimu. Sebagaimana aku mencintaimu seperti hari yang sudah-sudah tanpa pernah berubah. Kau tetap akan jadi perempuan dalam hidupku satu satunya. Dan kukira engkau pun merasa demikian selamanya. Waktu boleh datang dan pergi sesukanya. Tapi ada kalanya kerinduan mesti kita simpan rapi dalam lemari menunggu saat yang tepat untuk dikenakan lagi. Dan cinta mesti mengisi lagi baterenya, terutama pada saat-saat yang paling menjemukan.Tentu saja, kita hanya perlu sedikit mempersoleknya agar ia tetap senantiasa wangi, bersih dan segar saat kita nanti membutuhkan lagi kehadirannya.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Menafsir Rembulan Kalau tidak sedang dikejar-kejar mengapa mesti lari terburu-buru? Kita tidak harus selalu menerjemahkan waktu dengan cara-cara yang menggelikan dan menyebalkan serupa itu. Bukankah di dunia ini banyak sekali kejadian-kejadian yang tidak kita mengerti? Sebagaimana halnya kita tak pernah tahu, mengapa rembulan tak pernah lagi menulis puisi? Apalagi puisi tentang cinta dan kerinduan. Terlalu banyak penyair atau mereka yang mengaku-aku sebagai penyair yang mencatut nama bulan hanya untuk mengungkap perasaan. Padahal bulan tak perlu pengakuan. Ia sama sekali tak butuh penghargaan, penghormatan, penerimaan atau pengukuhan dari siapa pun. Kalau selama ini terlalu banyak puisi yang mengumbar nama rembulan, maka itu jelas bukan karena kemauan atau kehendaknya sendiri. Itu pula sebabnya mengapa bulan lebih sering menyembunyikan diri. Sengaja tak menampakkan batang hidungnya atau memamerkan kemolekannya. Tapi kita para penyair lancung dan sok pintar ini terlalu sering mengagung-agungkan dirinya lebih dari yang seharusnya. Bulan memang lembut dan tak segarang matahari. Sesungguhnyalah, ia sosok pemalu yang tak seberapa pintar menyatakan isi hati. Hanya saja kita terlalu melebihkan apa yang tersirat dari senyumnya yang sering tertahan, atau dari raut wajahnya yang begitu mudah tersipu. Betapa mudah kita menyalah artikan sendu tatap matanya sebagai kerinduan dari serpihan hati orang yang kita kasihi. Sementara kita tak pernah berusaha menyelami, apa yang sesungguhnya tersembunyi dalam pikirannya yang naif dan selugu kanak-kanak itu?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Pun mentari sudah tiada api dan bulan yang merdu sudah sejuk nyanyiannya di hujung jari jemari embun kita masih belum terlalu lewat untuk menerima satu hakikat.
”
”
Yassin Salleh (Kumpulan Puisi: IKAN-IKAN DI KACA)
β€œ
BILIK KITA DI A6-12 DAN BILIK-BILIK LAIN BAKAL KITA BERADU selautan kucing kaliko langit berwarna kaki mereka seekor anjing hitam tersengih burung pipit mulutnya penuh matahari bersaiz biji-bijian bulan dalam setiap butir biji-bijian tadi & secupak tasik dipenuhi malam: beginilah cara aku mencintaimu β€”dengan seluruh lembut kemungkinan
”
”
Jack Malik (Gampang!)
β€œ
Puisi itu seperti banjir Jakarta yang tak terbendung, musim kemarau pun mencemaskan tak dapat meniduri dari luputnya genangan bak hujan di bulan Januari. Hanya saja kata-kata di dalam bait-bait puisi yang menjitak kepalamu, belum juga membuat sadar bahwa cinta yang kau berikan terlalu melimpah sehingga banjir dan menjadi malapetaka.
”
”
Musa Rustam (Melukis Asa)