β
JARAK
dan Adam turun di hutan-hutan
mengabur dalam dongengan
dan kita tiba-tiba di sini
tengadah ke langit; kosong sepi
β
β
Sapardi Djoko Damono (Hujan Bulan Juni)
β
Tuhan yang merdu,
terimalah kicau burung
dalam kepalaku.
β
β
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)
β
Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja: Ingin sampai rumah saat senja, supaya saya dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela.
β
β
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)
β
Justeru, aku manusia
jiwa ini
tidak akan cukup
dengan bulan, terisi di kolam.
Aku ingin juga
menatap bintang
di tempat lain.
(Dunia Ini Panjang, Jauh)
β
β
Rosli K. Matari (Matahari Itu Jauh)
β
Aku tak ingin seperti hujan
Hanya dirindukan pada waktu tertentu
Dan selebihnya mengganggu
Aku tak ingin seperti matahari
Hanya disukai saat datang dan pergi
Sedang tengah hari disumpah-serapahi
Aku ingin seperti bulan
Penuh atau separuh tetap dicintai
β
β
Sam Haidy (Malaikat Cacat)
β
Dahulu aku sering bertanya sendiri; kalau puisi itu berwujud
akan seperti apakah dia? Matahari? Bulan? Bintang? Gunung?
Laut? Bertahun lalu aku temukan puisi memancar mancar dari matamu,
masuk ke dalam tubuhku. Seperti yang kau duga pada akhirnya
aku tahu puisi tak pernah punya rupa. Ia rasa yang menggenang,
meluap di jemari kenangan. Kenangan bernama engkau
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
kau menjadi bakawali di hatiku
kembang pada malam saat bulan tersenyum
aku - di pasir memohon
untuk menjadi pantai kepada lautmu.
β
β
S.M. Zakir (Kumpulan Puisi: Aroma)
β
Maka jatuhlah puisi ke jiwa sepertimana bulan jatuh ke riba.
β
β
Ridhwan Saidi (Mautopia)
β
Puisi ini akan kulipat menjadi pesawat kertas, silakan kau naik, dan kita akan pergi ke bulan.
β
β
Sobih Adnan (Nyanyian Gagang Telepon)
β
Nada-nadamu berdenting
Menjemput kata-kataku dari hening
Bulan dan bintang perlahan terpejam
Kau dan aku menidurkan malam
β
β
Sam Haidy (Nocturnal Journal (Kumpulan Sajak yang Terserak, 2004-2014))
β
Malam maret, melepas geliat kabisat.
Sebaris kisah kasih kesah,
di ekor Februari mengukir akar.
Bulan romantis itu menyapa.
ia tak butuh kata manja,
namun ia butuh risau rasa!
β
β
Alfin Rizal
β
Bulan pasi. Kuseduh kepedihan dari dua cangkir kopi.
Lalu matamu bernyanyi di mataku, Badi',
"Dan kematian hanyalah jalan menuju keabadian....
β
β
Helvy Tiana Rosa
β
Tubuhku kenangan yang sedang
menyembuhkan lukanya sendiri.
β
β
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)
β
Cinta adalah mahkota puisi
Musim adalah giwang puisi
Hujan adalah kalung puisi
Bulan adalah gelang puisi
Cincin adalah perhiasan
β
β
Andrea Hirata (Ayah)
β
Kukirim kisah yg membuatmu tersenyum tuk menutup malam ini.
Esok masih ada hari cerah penuh Rahmah
Airmataku terjatuh beberapa butir,,
Kuanggap sebagai tanda rasa tulus dariku..
meskipun rasa tulus, sesungguhnya tak nampak dengan mata lahiriyah..
β¦Namun hentikan jari ini dapat membuatmu tersenyum Anggun..
Duhai dirimu yg entah dimana
semoga dapat merapat bersamaku menemani bulan hingga embun mengering..
β
β
Hilaludin Wahid
β
Bulan Merah
lalu ditenggak darah bulan merah
lolongnya yang serigala hingga ujung benua
sebayang lindap sebayang lindap melayar-layar
bulan merah mengucur airmata
dengusnya yang api memunahkan negeri-negeri
sebusur waktu sebusur waktu meluncur-luncur
tatap bulan merah di waktu malam merapat di ubun-ubun
hingga purnamanya penuh sempurna
sebugil bulat sebugil bulan menggigil-gigil
o, bulan merah di puncak sunyi geliat sepi amuknya!
β
β
Nanang Suryadi (Biar!: Kumpulan Puisi Nanang Suryadi)
β
Gadis Peminta-minta
Setiap kali bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda
β
β
Toto Sudarto Bachtiar
β
Kau terhenti.
Tergagu kau bertanya.
Mungkin pada diri sendiri, mungkin kepadaku.
βSiapaβ¦ kamu?β
Namaku Bumi, ketika langitmu perlu wadah untuk menangis.
Namaku Bulan, saat kau terlelap, kujaga duniamu dalam gelap.
Namaku Telaga, kan kubasuh lusuh di sekujur tubuhmu itu.
βUntuk apa?β
Untuk partikel udara yang kau hirup dengan cuma-cuma.
Untuk desau angin yang bisiknya kau halau dengan daun pintu.
Untuk kepul terakhir secangkir kopi yang kau hirup sebelum mendingin.
Kau kembali berjalan.
Aku kembali diam.
Kita tak lagi berbincang.
Aku tetap menjadi bumi, bulan, dan telagamu.
Kau masih menghirup udara, menghalau angin, dan menyeduh kopi.
Kita masih melakukan hal yang sama, masih di tempat yang terpisah.
Dan tak pernah kau pertanyakan lagi keberadaanku.
Sebab bagimu aku selalu ada.
β
β
Devania Annesya (Elipsis)
β
Puisi itu seperti banjir Jakarta yang tak terbendung,
musim kemarau pun mencemaskan tak dapat meniduri
dari luputnya genangan bak hujan di bulan Januari. Hanya saja kata-kata di dalam bait-bait puisi yang menjitak kepalamu, belum juga membuat sadar bahwa cinta yang kau berikan terlalu melimpah sehingga banjir dan menjadi malapetaka.
β
β
Musa Rustam (Melukis Asa)
β
Kembali menggelora akan nestapa
Biarlah tenggelam namun yakinku tak pernah berubah padamu
Saat bulan tersenyum menegur sapa
menampakkan diri saat hangat mulai menyinari secercah cahya dalam hati namamu membias di sanubari
Sela siang mendamba surya panas
memanggang senyummu sirnakan kerontang, basahi jiwa yang sedang meregang sejukkan jiwa yang sedang meradang
Kala senja menutup masa, bersama semburat lembayung di ujung cakrawala, didekap oleh awan kelabu, semoga mengerti akan maksud hati yg meronta.
β
β
silviamnque
β
Pun mentari sudah tiada api
dan bulan yang merdu
sudah sejuk nyanyiannya
di hujung jari jemari embun
kita masih belum terlalu lewat
untuk menerima satu hakikat.
β
β
Yassin Salleh (Kumpulan Puisi: IKAN-IKAN DI KACA)
β
Menafsir Rembulan
Kalau tidak sedang dikejar-kejar mengapa mesti lari terburu-buru?
Kita tidak harus selalu menerjemahkan waktu dengan cara-cara yang menggelikan dan menyebalkan serupa itu.
Bukankah di dunia ini banyak sekali kejadian-kejadian yang tidak kita mengerti?
Sebagaimana halnya kita tak pernah tahu, mengapa rembulan tak pernah lagi menulis puisi? Apalagi puisi tentang cinta dan kerinduan.
Terlalu banyak penyair atau mereka yang mengaku-aku sebagai penyair yang mencatut nama bulan hanya untuk mengungkap perasaan.
Padahal bulan tak perlu pengakuan. Ia sama sekali tak butuh penghargaan, penghormatan, penerimaan atau pengukuhan dari siapa pun.
Kalau selama ini terlalu banyak puisi yang mengumbar nama rembulan, maka itu jelas bukan karena kemauan atau kehendaknya sendiri.
Itu pula sebabnya mengapa bulan lebih sering menyembunyikan diri. Sengaja tak menampakkan batang hidungnya atau memamerkan kemolekannya.
Tapi kita para penyair lancung dan sok pintar ini terlalu sering mengagung-agungkan dirinya lebih dari yang seharusnya.
Bulan memang lembut dan tak segarang matahari. Sesungguhnyalah, ia sosok pemalu yang tak seberapa pintar menyatakan isi hati.
Hanya saja kita terlalu melebihkan apa yang tersirat dari senyumnya yang sering tertahan, atau dari raut wajahnya yang begitu mudah tersipu.
Betapa mudah kita menyalah artikan sendu tatap matanya sebagai kerinduan dari serpihan hati orang yang kita kasihi.
Sementara kita tak pernah berusaha menyelami, apa yang sesungguhnya tersembunyi dalam pikirannya yang naif dan selugu kanak-kanak itu?
β
β
Titon Rahmawan
β
bulan mencemburui kebahagiaan yang kita miliki
tidak mungkin membenahi kita dengan cahayanya
kerana cahaya yang bergemerlap di dada kita
telah membenahi seluruh cahaya bulan itu sendiri
β
β
S.M. Zakir (Kumpulan Puisi: Aroma)
β
BILIK KITA DI A6-12 DAN BILIK-BILIK LAIN BAKAL KITA BERADU
selautan kucing kaliko
langit berwarna kaki mereka
seekor anjing hitam tersengih
burung pipit mulutnya penuh
matahari bersaiz biji-bijian
bulan dalam setiap butir
biji-bijian tadi & secupak
tasik dipenuhi malam:
beginilah cara aku mencintaimu
βdengan seluruh lembut kemungkinan
β
β
Jack Malik (Gampang!)
β
bulan pasrah kuyup dan kita bernaung pada cahayanya di pantai ini, siapa yang sulit kita tepuk, malam yang berlayar atau diri yang telah pada masing-masing.
β
β
Ibe S. Palogai (Menjala Kunang-Kunang)
β
Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa lagi bersama."
"Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?"
"Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.
β
β
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)
β
Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat
kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium
menjadi bekas. Betapa curangnya rindu.
Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.
β
β
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)