Pohon Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Pohon. Here they are! All 100 of them:

tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
Sapardi Djoko Damono (Hujan Bulan Juni)
Barangsiapa muncul di atas masyarakatnya, dia akan selalu menerima tuntutan dari masyarakatnya-masyarakat yang menaikkannya, atau yang membiarkannya naik.... Pohon tinggi dapat banyak angin? Kalau Tuan segan menerima banyak angin, jangan jadi pohon tinggi
Pramoedya Ananta Toer (Child of All Nations (Buru Quartet, #2))
Di jaman ini, yang dapat kau sebut pohon, sebenarnya hanyalah hologram tembus pandang. Pohon-pohon telah digantikan oleh kenangannya saja.
Bagus Dwi Hananto (Jaman dan Kota Imajiner yang tak Memiliki Kita)
Manusia diberitahu petugas tata ruang bahwa pohon pernah hidup dulu, dulu sekali, sebelum mereka habis ditebangi orang-orang jaman dahulu yang entah mengapa selalu merasa tak cukup.
Bagus Dwi Hananto (Jaman dan Kota Imajiner yang tak Memiliki Kita)
Pohon sakura berbunga satu tahun sekali. Calon bunganya mulai terlihat sejak pertengahan Januari, tapi baru akan mekar pada awal April. Sakura yang telah berkembang bertahan selama satu sampai dua minggu, lalu gugur dan kelopak-kelopaknya terbawa angin. Keindahan sakura hanya sebentar, tapi karena itu dia berharga. Sakura adalah ciri kehidupan yang tidak abadi
Windry Ramadhina (Montase)
Tak tahu engkau di mana Tapi, kulihat dirimu, antara bayang pohon willow Kudengar suaramu, dalam riak Sungai Darrow Dan kucium dirimu, dalam angin yang berhembus dari utara
Andrea Hirata
Ketika pohon terakhir ditebang, Ketika sungai terakhir dikosongkan, Ketika ikan terakhir ditangkap, Barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang.
Eric Weiner (The Geography of Bliss: One Grump's Search for the Happiest Places in the World)
Pohon yang besarnya sepelukan, tumbuh dari benih yang kecil saja. Menara setinggi sembilan tingkat, dibangun mulai dari seonggok tanah. Perjalanan seribu li, dimulai dari satu langkah.
Lao Tzu
pohon tidak berbuahkan ilmu sekalipun tumbuh ilmu kita terpaksa memetiknya Catatan Sebelum Tidur
T. Alias Taib (Piramid)
Saya iri ke Menak Jinggo .... Hidup luntang lantung bagai gelandangan di bawah pohon tapi hatinya penuh cinta. Kami hidup enak di ruang AC, bergemilang duit, tapi cinta kami redup bahkan kering kerontang," ungkap seorang anggota dewan
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Ini pohon ketapang menyedihkan itu, tempat kita berjanji akan bertemu kembali, kupersembahkan untuk kayu bakar pesta perkawinanmu.
Eka Kurniawan (Beauty Is a Wound)
Seperti pohon... Di pokok kita masih satu, lantas kita berpisah di cabang. Ada yang ke kiri, ada yang ke kanan, ada yang terus ke atas, ada yang ke depan, ada yang ke belakang. Atau bilapun masih satu di cabang, kita nanti akan berpisah juga di ranting. Ke atas, ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang... Saat kita kecil dulu, kita masih satu, masih anak kecil. Lantas sedikit demi sedikit waktu kita bikin kita beda. Waktunya makin banyak, beda kita tambah banyak. Itulah kita.
Bubin Lantang (Jejak-Jejak (Anak-Anak Mama Alin))
Jadilah pohon dan jangan jadi rumput. Rumput itu tampaknya sama, sering diinjak-injak dan susah dikenali. Kalau pohon, meskipun kecil, tetapi akan tampak, mudah dikenali, dan bisa dijadikan sebagai tetenger atau patokan. Apalagi bila pohon itu besar, bisa menjadi peneduh orang di waktu panas. Bahkan bila sudah demikian besarnya, bisa jadi peneduh di kala hujan. Tambahan lagi, sebuah pohon yang besar selain memiliki daun yang rindang juga akan mempunyai batang yang kokoh dan akar yang kuat mencengkeram, susah dirobohkan sekalipun diterpa angin kencang. Jadilah pemimpin yang mengakar, seperti pohon. Untuk menjadi pohon yang baik seseorang harus terus memperkaya diri dengan ilmu dan kekayaan batin. -Sarwo Edhie Wibowo
Alberthiene Endah (Ani Yudhoyono Kepak Sayap Putri Prajurit)
Barangkali nenek moyang kita mengunyah pohon-pohon itu,” kata seorang guru sekolah pada muridnya. “Kenapa dimakan” tanya seorang bocah, datar. “Karena mereka goblok.” Guru itu menjelaskan bahwa manusia rakus. Kata goblok di jaman kami ini berarti rakus di jaman dahulu. Sekian lama aku hidup, kehidupan hanyalah kontinuitas yang membosankan.
Bagus Dwi Hananto (Jaman dan Kota Imajiner yang tak Memiliki Kita)
Han, memang bukan sesuatu yang baru Jalan setapak setiap orang dalam mencari tempat ditengah-tengah dunia dan masyarakatnya, untuk menjadi diri sendiri, melelahkan dan membosankan untuk diikuti. Lebih membosankan adalah mengamati yang tidak membutuhkan sesuatu jalan, menjangkarkan akar tunggang pada bumi dan tumbuh pada pohon.
Pramoedya Ananta Toer (Child of All Nations (Buru Quartet, #2))
jangan gantungkan harapan pada ranting hati manusia ia terlalu rapuh, seringkali manusia terjatuh dan kecewa gantungkanlah rasa cinta itu pada Sang pemilik pohon kehidupan kalau Allah berkehendak dia layak untuk mu, Allah akan menyatukan dari jalan yang tak pernah kita sangka-sangka Allah akan mempertemukan meski dalam celah sesempit apapun
firman nofeki
Apakah ia memiliki cinta? Tidak. Ia tak pernah mencintai siapa pun. Tak ada burung pelatuk lain yang menarik perhatiannya. Ia burung tanpa cinta. Jika ada cinta, itu hanya cinta kepada pekerjaannya mematuki batang pohon. Tak lebih. Bagi makhluk lain, apa yang dilakukannya terlihat menyedihkan. Tapi siapa kita sehingga berhak menghakimi perasaan makhluk lain?
Eka Kurniawan (O)
pohon masalah selalu menyembunyikan buah yang manis. kadang kita harus menunggu buah itu matang dan jatuh agar dapat merasakan betapa manisnya ia.
firman nofeki
Mengapa mereka mencari kerja jauh dari tempat menguburkan orang tua mereka? Mengapa mereka kabur dari desa tempat mereka disunat? Mengapa mereka lebih menyukai kesejukan pohon yang tumbuh di sana dari pada naungan hutan kita?
Multatuli (Max Havelaar, or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company)
Senja ini, Evan membawaku ke sebuah pohon yang bertepian danau. Evan dan aku saling menggenggam tangan. Tak terasa, kini aku pun menangis
Syifa Syafira
Diperlukan waktu hanya sepuluh tahun untuk menanam dan memelihara sebatang pohon, tapi memerlukan waktu paling sedikit 100 tahun untuk membentuk sebuah karakter jiwa.
Zhuge Liang (Art of War)
seorang guru adalah pengembara yang harus ke bukit belajar mengenal berjuta pohon yang bijak menyimpan rahsia warna kehidupannya di perut rimba.
Awang Abdullah (Sajak-sajak Telegram)
Langit, gerombolan awan, pohon dan kita didalam waktu yang terkadang bisa kita sebut sebagai "PAGI".
nom de plume
Tuhan menciptakan tangan seperti apa adanya, dan kaki seperti apa adanya untuk memudahkan manusia bekerja
Andrea Hirata (Sirkus Pohon)
Dua hal aku benci dalam hidup: September dan pohon mangga. September tidak pernah mau beranjak dari rumah. Betah. Ia sibuk meletakkan neraka di seluruh penjuru. Di ruang tamu. Di ranjang. Di meja makan. Bahkan di dada. Batang pohon mangga tetap selutut persis prasasti batu. Ia berdiri mengekalkan dosa-dosa dan dosa adalah pemimpin yang baik bagi penyesalan-penyesalan.
M. Aan Mansyur (Kukila)
Memasuki taman seperti membuka sebuah buku: ada lorong yang terang, pohon-pohon hijau yang tersusun seperti kalimat-kalimat yang teratur, atau tumbuh-tumbuhan yang liar terbiar, dan kita terpesona dengan warna-warna bunga, permukaan rata yang sedikit curam, pasir halus serta batu keras yang berlumut disalut waktu.
Baharuddin Zainal (Monolog Kecil: Tahun-Tahun Gelora)
Secara harfiah, Evergreen berarti pohon yang selalu berwarna hijau sepanjang tahun. Bisa pula diartikan sebagai selamanya. Aku ingin kafe ini, juga orang-orang di dalamnya, bisa bersahabat selamanya, seperti cemara yang tidak pernah berubah warna.
Prisca Primasari (Evergreen)
Kegembiraan bukan datang dari apa yang kita suka sahaja, tetapi kita akan gembira bila boleh berkongsi sesuatu yang kita suka dengan orang yang kita sayang
Nisyah (Bawah Pohon Sena)
Di manakah adanya semut? Di tempat yang banyak gula Di manakah kumbang bernyanyi? Di pohon yang banyak bunga
Mak Su (Mortar & Pestle)
Kau tahu, pohon-pohon telah jadi batu, masa lalu pun tersapu hujan-gaduh itu. Kepada siapa aku harus menabalkan janji? Selain pada kenangan—mungkin selembar catatan bersamamu. Tapi hujan-rusuh dan angin-hingar, enggan mendengar rayuan. Yang kukatakan cuma gumam. Maka, dekatkan saja hatimu
Ready Susanto
Apa yang mungkin engkau yakini sebagai sebuah hukuman, Kay? Bukankah langkah, semestinya tidak meninggalkan jejak yang di kemudian hari ingin engkau ingkari. Kenangan adalah getah yang menitik dari luka sebatang pohon. Sedang ingatan yang terkubur di halaman, adalah tulang tulang yang digali oleh anjing anjing pencuri di malam hari. Siapa yang akan datang untuk mencintaimu dengan wajah yang carut marut serupa itu? Karena tangkapan layar itu tak akan pernah menyatakan kebohongan yang lain selain dari apa yang sengaja engkau niatkan sejak semula, Kay. Apapun yang coba kau sembunyikan dibalik topeng _masquerade_ berenda renda itu selamanya tak akan pernah pergi. Kau tak mungkin jadi bunglon yang cukup pintar menyamarkan ketelanjanganmu sendiri. Sebagaimana waktu telanjur menyerap seluruh kehadiranmu di detik ini, di hari hari yang lampau atau di tahun tahun yang akan datang. Engkau tak akan pernah bisa berpaling darinya. Bagaimana kau bisa merasa yakin pada dirimu sendiri, Kay? Bahwa semua jejak yang engkau tinggalkan itu bukanlah sebuah petilasan kebodohan dan artefak kebohongan? Seperti buah terlarang yang dipetik Eva dari tengah taman Eden yang hilang itu. Ia telah menjelma menjadi labirin di dalam diri setiap anak keturunannya. Ia telah menjelma jadi Pandora, dan kotak laknat yang kemudian mengutuknya menjadi seorang wanita yang kesepian seumur hidup.
Titon Rahmawan
Anggap saja pertemuan di awal huruf dalam doaku adalah sapaan manja untukmu Aku akan mengajakmu menyusuri barisan puisi Kubangun sebuah pohon rindang agar kita bisa berteduh dari jauhnya jarak pandang Setiap waktu hatiku meredamkan gelisah langkahnya Ada gurat rasa yang masih merunduk malu-malu untuk kumengerti Disetiap alur jalan yang Allah hadiahkan Kita masih berpapasan, menatap jawaban, Sebab mata masih enggan bersinggungan Diantara poros takdir, kuingin engkaulah rotasiku Tempat barisan ingatan berputar pada titik yang sama, Terjebak dalam lingkaran bahagia yang tak berjeda Kisah yang belum runtun ini biarkan Allah menata Karena kita telah menitipkannya, maka percayakan ia pada penciptaNya
firman nofeki
Aku adalah airmata yang terlahir dari rahim ibuku. Aku bukanlah kebahagiaan yang terucap dari kehendak Tuhan. Kehendak yang tidak pernah aku ketahui atau sadari keberadaannya. Aku tak pernah menjelma menjadi sungai, danau atau bahkan laut. Aku bukanlah bianglala yang terlukis dari tangan keindahan. Bukan pula keajaiban matahari yang terbit di pagi hari. Aku adalah burung bulbul yang mati mengenaskan di atas pohon kesedihan. Aku adalah cacing yang dipatuk ayam dipekarangan. Aku adalah luka yang tergores di kulit pohon di halaman kelas lima. Aku adalah kesendirian yang duduk di aula sekolah di sore hari. Bola basket yang memantul ke lantai dan tidak pernah masuk ke dalam keranjang. Sapu ijuk yang tiba tiba beruban karena usia. Aku adalah serangkaian kata tanya yang tak pernah menemukan jawaban. Aku adalah laki laki yang terpenjara oleh ilusi dan pikiran pikiran liarnya sendiri. Aku adalah 0, angka yang terasingkan dari seluruh bilangan cacah. Ia adalah id yang menolak rasa sakit dan menjadikan dirinya kuda binal yang ditunggangi oleh nafsunya sendiri. Ia tak bisa memikirkan hal lain selain rasa lapar yang terpancar dari puting ibunya. Akan tetapi, ia juga adalah seorang serdadu yang kalah perang dan tak tahu arah jalan pulang. Ia adalah aku, air mata yang terlahir dari rahim ibuku.
Titon Rahmawan
Orang-orang berbicara tentang segala yang tumbuh, yang ditanam maupun liar, seolah mengenal mereka lebih daripada pokok-pokok itu sendiri mengenal dingin dan matahari, ataupun hangat bumi. Namun binatang tidak menghafal pohon-pohon karena namanya, seperti seekor induk atau sepasang tidak mengenal tetasannya atau susuannya dengan nama. Mereka mengenal tanpa batas.
Ayu Utami (Saman)
ANGAN Kuamati beberapa helai daun tampak gelisah, mungkin karena telah datang waktunya untuk berpisah dari ranting pohon itu, jatuh, kering, terurai, atau membusuk; kemudian menyatu kembali bersama tanah yang telah lama menjadikannya hidup.
Epaphras Ericson Thomas
Sebutir benih yang bertunas di bawah kaki pohon induknya tetap berada di situ sampai ia dipindahkan..Setiap manusia, kalau sudah tiba saatnya, harus pergi dan mewujudkan potensi masing-masing dengan caranya sendiri. [Ramayana-Mahabharata, hal. 28]
R.K. Narayan
Kesedihan telah memaksaku berdiri di ambang kehancuran. Seperti jurang menganga yang setiap hari menelan kemarahanku. Namun aku tidak sedang mengetuk pintu rumah orang hanya untuk meminta belas kasihan. Seperti ibu, aku telah jadi sebatang pohon yang keras kepala. Aku merasa memiliki batang yang kuat dan akar yang kokoh. Walau terkadang, aku masih tergiur untuk menjadi sesuatu yang lain; seperti menara gereja, atau mungkin gapura di pinggir jalan. Ini bukan analogi dari apa yang orang lihat. Karena, tak semua orang bisa memahami kesendirian dan kesedihan orang lain. Walau mungkin orang bisa saja merasakan kehadiran Tuhan saat mereka melihat menara gereja. Dalam sebuah gapura aku melihat gerbang menuju pintu rumah ibu. Ia adalah kerinduan yang tak henti hentinya mengalir. Seperti tetesan hujan yang menitik dari atap yang bocor. Tidak ada satu hal pun yang berubah, kecuali barangkali diriku sendiri. Demikianlah, aku masih berkutat dengan keresahanku sendiri. Memimpikan laki laki perkasa itu terbang ke bulan, menunggangi seekor kuda yang tak lain adalah egonya sendiri. Aku tahu, kesedihan hanya akan memaksaku menjadi orang yang akan aku sesali. Hidup tidak selalu menawarkan kemewahan atau kebahagiaan. Aku hanya ditakdirkan untuk memilih. Dan semoga Tuhan hadir dalam diriku, walau cuma serupa sebatang lilin, dengan kerdip cahaya yang lemah.
Titon Rahmawan
segalanya menderas ke jalan-jalan mimpiku, senjata-senjata menderu. menyiksa pohon, menyiksa tanah, menyiksa langit. gairah matahari menderu tak habis malam tak habis siang. padaku dalam dada yang terbongkar, menyeru tak habis berjuta dunia. aku hidup.
Afrizal Malna (Abad yang Berlari)
Meskipun aku suka sekali pohon ru, kuakui mereka seperti penjajah. Merekalah bukti betapa manusia telah menelantarkan bukit ini pada kuasa alam. Warna mereka hijau gelap, tak seperti pohon zaitun yang hijau kebiruan, dan mereka tinggi besar, seperti berusaha menguasai negeri di mana mereka menancapkan akar, memaksakan diri mereka atas bukit-bukit ini. Seperti pohon zaitun, akar mereka dekat dengan permukaan tanah, bentuknya bersimpul kemudian lurus seperti buku-buku jari. Kedua pohon itu sama-sama mengais demi sepetak tanah yang sama, sehingga sulit bagi keduanya untuk hidup berdampingan.
Raja Shehadeh (Palestinian Walks: Forays into a Vanishing Landscape)
Perlembagaan ibarat batangnya yang teguh tegap itu yang mengandungi seluruh peruntukan dan perkara di dalamnya. Tetapi batang pohon itu dikukuhkan juga oleh dua kekuatan lain, yakni pembuluh kayu dan dapat kita samakan dengan Penerimaan dan teras kayu yang boleh kita ertikan dengan Keadilan Sosial.
Wan Mohd Nor Wan Daud (Budaya Ilmu Dan Gagasan 1Malaysia: Membina Negara Maju Dan Bahagia)
Kulihat peri kecil muram Di keteduhan pohon kertas. Kumengenal peri kecil muram Yang tertiup angin suatu malam.
Khaled Hosseini (And the Mountains Echoed)
semakin tinggi pohon,semakin kencang angin berhembus tapi jangan takut karena pohon yang tinggi memiliki akar yang kuat
TIE
kita hidup bagaikan pohon, tidak bisa tumbuh dengan sendirinya. tapi membutuhkan banyak unsur. sama sepeti manusia, yang tidak bisa hidup sendiri.
Syifa Aulia
Tidak ada pohon perjuangan yang berbuah kesia-siaan.
Lenang Manggala (Negara 100 Kata)
Apakah angin kencang merobohkan, pohon pun terguncang, hatimu pun tumbang, jika saja kau dapat kutanam kembali?
Musa Rustam (Melukis Asa)
selalu ada usaha yang tidak membuahkan hasil. semacam tidak semua pohon perlu berbunga dan berbuah. toh pada akhirnya semua akan berguna.
Rafiqah Ulfah Masbah
Ujub itu pohon berduri tumbuh di tanah diri. (Ujub)
Darma Mohammad (Kumpulan Puisi: Rintik-Rintik Huruf)
Apa yang kau lihat di layar yang berpendar ini, Kay? Serupa senja yang tumbuh dari sebatang pohon di sebuah tempat yang kau bayangkan seperti surga. Cahaya lampu itu menyapu wajahmu dengan warna lembayung dan berkilau seperti sayap kupukupu. Tapi tak ada apapun yang kutemukan pada seri wajahmu selain nafsu yang tertahan dan seulas senyum kemesuman. Persis di puncak penantian dari segala perhatian yang tertuju pada dirimu. Mata yang tak pernah menyadari, bahwa mereka tengah tersesat dalam raga belia yang entah milik siapa. Pada aura kemudaan yang berasa sia sia. Benarkah, telah kau reguk semua kebahagiaan dari wajah wajah tolol yang ditunggangi oleh nafsu alter egonya? Atau barangkali, telah habis kau hirup wangi dari kelopak mawar hitam yang tumbuh di ranjangmu setiap pagi? Sudah lama sekali rasanya waktu berlalu. Seperti ketika kau masih suka nongkrong di cafe sambil meneguk cappucino dari cangkir yang perlahan mulai retak. Sementara laju usia terus mengalir dari tenggorakanmu yang bening bagai pualam. Waktu meninggalkan jejak buta di dalam hand phonemu. Menyisakan tatap mata orang orang yang tak lagi mampu memahami atau menafsirkan apa yang tengah engkau lakukan. Bukankah, mereka tak lagi melihatmu sebagaimana adanya dirimu saat ini atau sepuluh tahun dari sekarang. Tak satu pun dari mereka yang percaya, bahwa saat itu usiamu masih belum lewat dua puluh tahun. Mereka hanya mendamba merah muda anggur kirmizi yang tumbuh di dadamu. Tetapi tak ada satu pun telinga yang sanggup melawan sihir dari gelak tawamu yang terdengar getir. Mata mata bodoh yang tak sanggup melupakan bayangan pisang yang dengan brutal kau kunyah sebagai kudapan di tengah jeda pertunjukan. Benarlah, hidup tak seperti kecipak ikan di dalam aquarium transparan yang tertanam di dinding. Atau air kolam di pekarangan yang seakan menjelma jadi bayangan jemari yang tak henti menggapai gapai. Menjadi gelembung gelembung kekhawatiran yang seakan tak sanggup memahami makna puisi yang sengaja ditulis untuk mengabadikan namamu. Ketauilah Kay, taman yang kau bayangkan itu bukanlah surga yang sesungguhnya. Di sana tak ada sungai keabadian atau pangeran tampan yang sengaja menunggu kehadiranmu. Yang ada cuma kelebat kilat dan hujan airmata hitam. Mengucur seperti lendir laknat yang mengalir dari hidungmu saat kau meradang karena influensa. Di sana tak ada satu hal pun yang menyenangkan, Kay. Hanya sedikit saja tersisa hal hal yang busuk dan menjijikkan, sebagai satu satunya bahan obrolan untuk perintang waktu.
Titon Rahmawan
Adalah garis panjang di mana kita terbiasa menghitung hari. Bagaimana sebatang buluh bertambah panjang dari waktu ke waktu dan ia jadi semakin bertambah tinggi. Saat hari berganti, umurnya kian bertambah. Tanpa ia sadari ia pun semakin menua. Demikianlah, kita menemukan betapa berharganya hidup sebagai sebuah paradoks. Ia seperti sebatang lilin yang kita nyalakan di atas sepiring kue, kian memendek sebelum akhirnya padam. Sebab hidup bukan cuma sebatas cerita sukacita atau kisah roman yang membahagiakan. Ia kadang tak punya makna apa apa. Seperti rutinitas yang kita jalani sehari hari dan tak menjadikannya istimewa. Lalu Nak, apa yang bisa kau pelajari dari hidupmu? Dari hari hari yang telah engkau lalui? Tak selamanya akan kau temukan pohon rindang yang teduh, atau tempat singgah yang menyenangkan. Tak akan kau temukan teman teman yang baik dan ramah atau rengkuh tangan Bunda yang akan selalu menghangatkan tubuhmu. Jadi janganlah engkau sia siakan waktu, hanya untuk membuang buang waktumu dengan percuma. Sibuk menghitung hari  hanya demi untuk  mengulang ragu dan juga kejemuan. Sebab kebahagiaan tidak datang dari tempat yang jauh, ia tidak bersembunyi di tempat yang engkau cari. Ia ada di dalam lipatan sakumu. Ia ada di dalam genggaman tanganmu. Ia ada di dalam dirimu sendiri. Tepatnya di dalam hatimu. Karena itu, jadikanlah dirimu bahagia karena kau tahu bagaimana memberi arti pada hari hari yang engkau lewati. Buatlah hidupmu bermakna, karena kau meniatkannya demikian. Sebab kita tidak dilahirkan untuk melihat waktu berlalu. Masa hidup kita terlalu singkat kalau cuma untuk disesali. Sekiranya kau diberi kesempatan untuk mendapat sebuah penilaian, mungkin kau akan cukup beruntung mendapat nilai 70. Tapi bila kau tahu arti kata bersyukur, maka mungkin saja kau akan dapat 80 atau bahkan 90. Tapi kebanggaan apa yang engkau peroleh setelah lewat semua penderitaan dan kesulitan? Bukankah pada ujungnya semuanya akan berakhir, dan pada waktunya nanti, kita semua akan berpulang?
Titon Rahmawan
Tak semua kebaikan menunggu kehadiranmu di balik pintu kamar yang terbuka. Semoga saja, ia hadir serupa sepiring nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya. Mungkin ia akan mengingatkanmu pada rumah kecil kita. Pada beranda yang penuh dengan tanaman aglaonema, atau ruang tamu yang penuh dengan rak buku yang memuat ribuan cerita dari masa kanak kanakmu. Tapi tak semua akan selalu berjalan seperti itu, Nak. Tak semua cerita dimulai dengan kalimat yang ceria dan lalu berakhir bahagia. Ada kisah kisah murung nan sedih. Ada banyak roman yang bahkan berakhir tragis. Ada yang serupa misteri tak terselami. Seperti kilau mata pisau dan kisah kisah seram lainnya. Ada Bunda baca sebuah kutipan, "Ketika engkau melihat masalah seperti sebatang paku, maka kau akan berpikir seperti palu." Demikian kutipan itu  Bunda baca, namun lupa entah di mana. Sebab engkau tak harus melihat segalanya lewat matamu sendiri, Nak. Engkau boleh melihatnya dari kaca mata orang lain. Percayalah, itulah cara untuk belajar menjadi bijak. Tidak semua orang bisa mengerti kenapa hujan turun di tengah hari. Tak juga orang paham kenapa kemarau bisa datang sepanjang tahun. Jadi berikanlah kebaikan agar engkau beroleh kebaikan. Walau terkadang terasa pahit dan menyakitkan. Tapi jangan pula simpan sakitmu sebagai duri. Bebaskan dirimu dari prasangka supaya orang juga berbaik sangka pada dirimu. Bila sebuah senyum yang kauberi kembali kepadamu sebagai tawa, maka engkau akan menghargai apa artinya pertemanan. Apapun kesulitanmu, jadikanlah waktu sebagai sahabatmu. Sebab ia akan mengajarimu arti kata bersabar. Ia akan memberi tahumu bagaimana caranya menjadi pemenang. Sebab ia teladan bagi ketekunan dan kegigihan. Sebab ia tidak mengenal kata menyerah. Dalam situasi apapun ia senantiasa fokus mengejar apa yang ia tuju. Ia guru yang keras dan penuh disiplin. Tapi ia juga teman yang baik dan penuh perhatian. Selama kamu mau belajar, ia tak akan pernah mengecewakanmu. Ia mungkin akan membiarkanmu terjatuh, tetapi ia tak akan pernah meninggalkanmu. Dan jadilah terberkati seperti tanah yang subur. Di mana engkau menanam benih dan ia tumbuh menjadi sebuah pohon yang rindang. Tempat di mana orang dapat berteduh di tengah panas yang terik.
Titon Rahmawan
Priyayi zaman dulu kan bekerja dan mengabdi kepada kaum penjajah, bukan bekerja dan mengabdi kepada kaum kawula seperti kita ini. Mereka bersikap ningrat, maunya dilayani. Mereka menjunjung atasan dan tak mau mengerti tangise wong cilik. Mereka maunya membentuk tata nilai sendiri dan malu bergaul dengan rakyat biasa. Dan mereka angkuh tentu saja. Mereka jarang menyadari bahwa gaji yang mereka terima berasal dari wong cilik, setidaknya berasal dari harta milik bersama seluruh rakyat. Pokoknya priyayi zaman dulu itu menurut pohon jengkol demikian tak berharga karena miskin akan nilai kemanusiaan yang sejati.
Ahmad Tohari
Kesedihan seperti telaga yang hening di dinding ibu. Dinding yang terisak dan mengukir lagi masa kecilku. Seberapa sepinya aku saat itu? Sungguh. Aku tak mengerti, mengapa kubuat dinding itu menangis? Ia sudah seperti rumah bagiku. Tempat aku tidur dan terlelap di malam hari. Tempat aku bermain dengan kesendirianku. Lalu, mengapa aku buat ia menangis? Ada hal hal yang ingin kulupa dari waktu kecilku sendiri. Detik detik yang tidak berarti. Kemarahan yang perlahan hangus dan lalu mengabu dalam hatiku. Walau kini, ia sudah bukan lagi api. Ia sudah menjadi dingin. Tapi, mengapa luka itu masih saja ada di sana? Bukankah aku laki laki yang dibesarkan oleh dinding ibuku? Lalu, mengapa aku berpaling daripadanya? Mengapa aku kenakan topeng itu, hanya untuk melihat ia tersenyum? Aku sudah menjadi lelaki yang lain. Lelaki yang bukan kanak kanak yang ia besarkan dulu. Ada banyak topeng yang kini aku kenakan. Salah satunya adalah kesendirian, yang lain adalah amarah. Aku tahu, aku telah membuatnya bersedih. Dinding itu telah lama menjelma jadi sebatang pohon dengan kulit yang renta, mengelupas di banyak tempat. Rantingnya mulai merapuh dan daun daunnya yang gugur, berserakan di mana mana. Ia bukan lagi pohon yang dulu biasa aku panjat. Bukan, ia tidak sedang menjadi pohon yang lain. Melainkan diriku. Akulah yang kini berubah. Seperti langit biru yang mendadak kelam. Seperti mendung yang menaungi hati yang tak hentinya menangis. Apakah untuk menjadi seorang lelaki, aku harus mengorbankan perasaan perasaanku sendiri? Apakah untuk menjadi seorang lelaki aku harus meninggalkan masa kecilku hanya untuk mendengarkan suara suara orang lain; hardikan, umpatan, cemoohan dan teguran teguran yang seringkali menyakitkan hati. Aku sudah lama sekali tenggelam, mungkin sejak terakhir kali aku terlelap di bawah pohon ibu. Pohon di mana dulu jadi tempatku bernaung. Pohon itu masih ada di sana, sunyi dan sendiri. Berasa jauh tapi pun dekat. Aku terkadang ingin menyentuhnya, seperti aku menyentuh dinding ibu untuk pertama kali. Tapi aku tahu, aku sudah bukan yang dulu lagi. Dan ibu seperti rumah yang merindukan kehadiranku. Ia ingin aku pulang padanya. Tapi entahlah, apakah besok masih cukup ada waktu untukku untuk menjadi diriku sendiri?
Titon Rahmawan
... Lelaki adalah anak-anak pohon keramat, diketam dan diupam menjadi kotak coklat, tabah dalam asuhan hujan dan matahari, menyediakan bahu dan dadanya untuk ditangisi Perjuangannya sederhana, mati sebagai pelukan
Syah Sandyalelana
Zikir adalah Anda menyadari segala sesuatu secara menyeluruh. Anda tidak bisa melihat pohon tanpa menemukan Allah. Anda tidak bisa bangun tidur tanpa mengingat Allah. Anda tidak bisa mimpi tanpa kesadaran tentang Allah. (h.20)
Emha Ainun Nadjib (Kalau Kamu Ikan Jangan Ikut Lomba Terbang)
Orang-orang dwasa pasti tidak akan memercayai kalian. Mereka membayangkan dirinya menduduki tempat yang amat luas. Mereka melihat dirinya sendiri sepenting pohon-pohon Baobab. Maka cobalah suruh mereka menghitung. Mereka akan senang saja: mereka gila angka-angka.
Antoine de Saint-Exupéry (The Little Prince)
Engkau tahu apa artinya Indonesia? Indonesia adalah pohon yang kuat dan indah itu. Indinesia adalah langit yangbiru dan terang itu. Indonesia adalah mega putih yang bergerak pelan itu. Ia adalah udara yang hangat. Saudara-saudaraku yang tercinta, laut yang menderu-deru memukul-mukul ke pantai di waktu senja, bagiku adalah jiwanya Indonesia yang bergolak dalam gemuruhnya gelombang samudera. Bila kudengar anak-anak tertawa, aku mendengar Indinesia. Bila aku menghirup untaian bunga, aku menghirup Indonesia. Inilah arti tanah air kita bagiku.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, Telah meninggal dunia ibu, oma, nenek kami tercinta.... Requiescat in pace et in amore, Telah dipanggil ke rumah Bapa di surga, anak, cucu kami terkasih.... Dalam sehari, Bunda menerima dua kabar (duka cita / suka cita) sekaligus. Apakah kesedihan serupa cucuran air hujan yang jatuh dan mengusik keheningan kolam? Apakah kebahagiaan seperti sebuah syair yang mesti dipertanyakan mengapa ia digubah? Bagaimana kita mesti menjawab pertanyaan tentang kematian orang orang terdekat? Mengapa mereka pergi? Kemana mereka akan pergi? Memento mori, serupa nyala api dan ngengat yang terbakar. Seperti juga lilin yang padam, bunga yang layu, ranting yang kering, pohon yang meranggas. Mereka hanyalah sebuah pertanda, bahwa semua yang hidup pasti akan mati. Agar kita senantiasa teringat pada tempus fugit, bahwa waktu yang berlalu  tak akan pernah kembali. Ketika Bunda masih muda, sesungguhnya Bunda sudah tidak lagi muda, tak akan pernah bertambah muda, tak akan kembali muda. Waktu telah merenggut kemudaan kita pelan pelan. Ketuaan adalah sebuah keniscayaan, dan kematian adalah sebuah kepastian. Tak ada sesuatu pun yang abadi, Anakku. Ingatan tentang mati semestinya memberi kita pelajaran berharga. Jangan pernah menyia nyiakan waktu. Jangan hilang niat untuk bangkit dari ranjang. Jangan terlalu malas untuk bekerja. Jangan terlalu letih untuk menuntaskan hari. Jangan pernah lupa untuk berdoa. Jangan lalai untuk bersyukur. Jadikan hari ini sebagai milikmu. Ketika semua perkara seakan menggiring langkahmu pada kesulitan, kegagalan, ketidakpastian dan rasa sakit. Pikirkanlah siapa yang akan jadi malaikat pelindung dan penolongmu? Bagaimana engkau akan menemukan eudaimonia? Bagaimana engkau hendak memaknai hidup? Dalam sekejap mata hidup bisa berubah. Waktu berlalu dan ia tak akan pernah kembali. Gunakan kesempatan untuk bercermin pada permukaan air yang jernih. Tatap langsung kedalaman telaga yang balik menatap kepada dirimu. Abaikan rasa sakit dan penderitaan, sebab puncak gunung sudah membayang di depan mata dan terbit matahari akan menghangatkan kalbumu. Cuma dirimu yang punya kendali atas pikiran, hasrat dan nafsu, perasaan dan kesadaran inderawi, persepsi, naluri dan semua tindakanmu sendiri. Ketika kita mengingat kematian, kita tidak akan lagi merasa gentar. Sebab ia lembut, ia tak lagi menakutkan. Ia justru menuntaskan segala rasa sakit dan penderitaan. Ia pengejawantahan waktu yang berharga, kecantikan yang abadi, indahnya rasa syukur, dan kemuliaan di balik setiap ucapan terima kasih. Ia mengajarkan kita bagaimana menghargai kehidupan yang sesungguhnya. Ia membimbing kita menemukan pintu takdir kita sendiri. Apapun perubahan yang menghampiri dirimu. Ia adalah pintu rahasia yang menjanjikan kejutan yang tak akan pernah kamu sangka sangka. Yang terbaik adalah menerimanya sebagai berkat. Apa yang ada dalam dirimu adalah kekuatanmu. Engkau akan membuatnya berarti. Bagi mereka yang paham, takdir dan kematian adalah sebuah karunia, seperti juga kehidupan. Sesungguhnyalah kita ini milik Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali.
Titon Rahmawan
Semuanya mengingatkan Sakarya akan sebatang pohon kelapa yang ditiup angin. Bila angin bertiup dari utara pohon itu akan meliuk ke selatan. Bila angin reda pohon itu tidak langsung kembali tegak, melainkan berayun lebih dulu ke utara. Seperti pohon kelapa itu; sebelum kehidupan kembali tenang lebih dulu harus terjadi sesuatu.
Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk)
Ia dan Pohon Siang itu ia meminta maaf kepada satu-satunya pohon di tepi lahan parkir kantornya, yang memayungi mobilnya dari terik. Ia minta maaf untuk kakeknya yang adalah pengusaha kebun sawit, untuk keluarga mereka yang turun-temurun meyakini seorang tukang kayu sebagai anak tuhan. Pohon itu meratap, teringat dengan kawannya yang dicabut dari tanah ketika mereka kanak-kanak, dengan alasan “terlalu dekat dengan bangunan”. Dari kejauhan mereka biasa saling tatap dan berkedip, dan berpikir ketika dewasa kelak dan burung atau kupu-kupu mulai hinggap sebentar pada cabang serta pucuk mereka, mereka bisa saling menitipkan pesan. Pohon itu menyesali tak sempatnya ia mengatakan ia mencintai kawannya itu; ia ingin membawa kawannya itu ke gereja, dan di depan altar mereka bisa dipersatukan di hadapan tuhan yang bercabang tiga—seperti pohon— dan anak-anak mereka bisa memenuhi lahan parkir itu, sepetak demi petak, hingga kelak orang-orang lewat mengira ada hutan di tengah kota. Pria itu pun memeluk pohon itu, dan pohon itu memeluknya.
Norman Erikson Pasaribu (Sergius Mencari Bacchus: 33 Puisi)
meski nafasku telah habis sekalipun, aku tetap mencintaimu, karena aku hujan dan kamu bumi.
Maria Ita (Pancen : Di Bawah Pohon Bintaro, Kisah Ini Berakhir)
Bila kau dengar gemericik berjatuhan, itu bukan hujan, itu rindu yang mewakili aku, menyapamu dalam setiap tetes di atas jendela.
Maria Ita (Pancen : Di Bawah Pohon Bintaro, Kisah Ini Berakhir)
Daun itu kutiupkan untukmu sebagai pertanda atas peranmu yang kian dekat. Ketika kau menyadarinya maka kehidupan terselamatkan.
Haditha (Anak Pohon)
Kata-kata indah adalah seni tertinggi. Kata-kata itu bisa sekaligus bermakna dan juga hampa, tergantung kepada siapakah kata-kata itu dilontarkan.
Haditha (Anak Pohon)
Ajari aku mencinta tanpa hati, sehingga tak perlu sakit hati saat mencintai
Maria Ita (Pancen : Di Bawah Pohon Bintaro, Kisah Ini Berakhir)
Orang - orang yang berkata tentang diri mereka sendiri, melebih - lebihkan. Orang - orang yang berkata tentang orang lain, mengurang - ngurangi.
Andrea Hirata (Sirkus Pohon)
Jangan pernah menangkap kupu-kupu. Mulanya makhluk kecil itu merayap untuk waktu yang lama sebagai ulat di pohon, dan itu bukan kehidupan yang menyenangkan. Kini, dia baru saja punya sayap dan ingin berterbangan di udara dan bersenang-senang, mencari makanan di dalam bunga dan tidak melukai siapapun. Lihat, bukankah lebih enak melihatnya berterbangan di sana?
Multatuli (Max Havelaar, or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company)
POHON HAYAT Demikianlah, ia melekapkan bunga pada malainya, putik pada tangkainya, daun pada rantingnya dan buah-buah berwarna kuning cerah pada setiap cabang dari dahan pohon pengetahuan itu. Sebagaimana ia melekatkan putih yang semenjana pada paras wajah perempuan yang ia ciptakan dari tulang rusukku. Sedemikian rupa, ia pulaskan secebis rona apel merah pada keluk bibirnya untuk menyenangkan hatiku. Lalu ia gabungkan kilau cahaya Sirius, Canopus dan Arcturus pada bening biji matanya agar aku dapat berkaca di kedalamannya yang hijau lumut. Dan kemudian, dibuatnya sepasang lengkung alis mata dari iring-iringan semut gajah agar menjadi taman tempat aku bermain-main. Sementara pada gerai rambutnya dibalutkannya hitam yang berombak seperti laut yang di dalamnya aku bisa bersembunyi. Tapi melampaui semua itu, dibuhulnya rimbun semerbak semak lantana tepat pada pangkal pahanya, yang padanya aku akan jatuh berahi. Dan lalu dipahatnyalah sepasang tempurung pembangkit nafsi yang kenyal mengkal, serupa tatahan sempurna ranum buah mangga pada busung dadanya. Tak lupa ditambahkannya puting anggur kirmizi pada puncak susu perempuan itu, agar nanti ia bisa menjelma sempurna menjadi ibu dari anak-anakku. Namun aku sengaja tak memberinya nama, sampai semua yang lain selesai aku beri sebutan. Pada yang hijau aku beri nama hujan. Pada yang biru aku beri nama langit. Pada yang kelam aku beri nama malam. Pada yang terang aku beri nama siang. Demikian pun pada mereka yang mengeriap. Pada mereka yang berjalan dengan empat kaki. Pada mereka yang melata dengan perutnya. Pada mereka yang terbang di langit. Pada mereka yang berenang di dalam air serta pada segala yang berkilauan di angkasa raya. Bahkan pada semua jenis kerikil dan batu-batu, aku menyematkan nama mereka satu persatu. Begitulah, segala sesuatu memperoleh nama dan sebutannya masing-masing. Supaya kepada setiap nama itu aku dapat memanggil dan di dalam nama itu mereka dapat dikenal. Akan tetapi, khusus bagi perempuan itu (sebab ia adalah satu-satunya yang tercipta dari tulang rusukku) maka aku hendak memberinya nama yang teristimewa. Sebuah nama yang paling indah dari semua nama yang telah aku berikan. Akan tetapi, aku tak kunjung menemukan nama yang sesuai bagi dirinya. Sampai kemudian, tepat di mana bertemu empat buah sungai, kulihat ia sedang memintal air matanya hanya sepuluh langkah dari pohon pengetahuan itu. Aku mendapati perempuan itu tengah duduk bersimpuh mengaduk-aduk tanah dan membuat adonan lempung dengan air matanya. "Apa yang sedang engkau perbuat, wahai Perempuan?" Tanyaku pada dirinya. "Aku sedang membuat ramuan cinta, untuk membuhul ikatan abadi di antara kita berdua..." demikian ia menjawab pertanyaanku. Dan pada saat itulah aku mendapatkan sebuah nama yang tepat untuk dirinya. Eva, itulah nama yang kemudian aku berikan padanya. Sebab ia adalah ibu dari semua kehendak alam dalam diriku. Aku persembahkan baginya nama yang paling indah, tepat di muara pertemuan empat buah sungai; Gihon, Pison, Eufrat dan Tigris. Jadilah ia lelai akar untuk menyempurnakan suratan tangan kami. Ia adalah telur kesunyian di mana aku akan menyemai seribu benih. Semenjak pertama kali aku menatap wajahnya saat aku terjaga dari tidur yang panjang dan mendapati dirinya berbaring telanjang di sebelahku. Aku tahu, ia telah ditakdirkan untuk menjadi pohon kehidupan. Ibu dari semua ibu yang akan melahirkan anak cucu keturunanku.
Titon Rahmawan
...Ibuku rajin meronce air mata. Kemudian ronce itu dimasukkan ke dalam kantung kain kafan. Setiap purnama dia membacakan mantra. Sebutir air mata menetes di ubun-ubunku lalu hilang dilarung asap dupa ke Tukad Cebol. Negeriku tercipta dari air mata ibu yang penuh luka sayatan. Luka ibu akan sembuh bila memandang anak lelakinya tumbuh menghijau seperti pohon pisang di dekat dapur....
Oka Rusmini (Saiban)
terhempas, takluk, digerus dingin angin, suara truk, debu menyelip di mataku betapa dancuk hidup ini! betapa dancuk lonte yang setengah mati kukasihi dan menusukku dari belakang! betapa dancuk Tuhan! bergetar, mabuk bayang-bayang, tuak kegelapan, mabuk keramaian yang kubenci, mengambang, tersesat, terhisap angin, luka menganga, nanah tembaga meleleh dari lutut Apolo emas yang dipenggal sebelum perang meledak; sulap kata-kata Homer dengan mata piceknya. terkutuklah bayangan, pohon-pohon meronta karena tak ada satu pun cuaca baik menawarkan minuman dari langit. aku biarkan itu semua menyalipku, dalam metafora, mata binatang, bibir lebar mirip kemaluan wanita sombong yang merasa imannya takkan tumbang meski dijejali kata-kata jorok nan mesum. bergerak, tenggelam, sinar patah di lingkar air dalam gelas mineral yang kokoh dan kau bilang air abadi dan kau bilang api bisa mati sendiri terkutuklah engkau yang menelan masa laluku dan menghibahkan kehancuran ini lobang nganga di dadaku. oh, kau yang memuntahkan abu tulangku, yang akan tetap kuingat meski Tuhan atau apapun itu menyeretku ke neraka omong kosong di alam kubur dan bertanya bagaimana imanku sebenarnya. oh, terkutuklah engkau!
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
Ayah pernah bilang, manusia ibarat anak yang lupa keluarga dan sanak-saudara. Ia menyangka dirinya yatim piatu di Bumi ini. Ia lupa bersudara jauh dengan orang utan, simpanse, gorila. Ia lupa bersaudara jauh dengan pohon. Satu-satunya yang perlu disembuhkan dari manusia adalah amnesianya. Manusia perlu kembali ingat ia diciptakan dengan bahan baku dasar yang sama dengan semua makhluk di atas Bumi." Partikel (Hal 227)
Dewi Lestari
Rumah itu tak seberapa besar, tapi ada halaman yang luas dan lapang buat kita menanam pohon mangga, asem jawa, rambutan dan juga trembesi. Tempat yang tinggi buat menggantung sarang kutilang, perkutut, tekukur dan murai batu. Kecipak air terjun buatan di mana ikan koi berenang tenang di dalam kolam. Dan sepasang anjing yang berlarian kesana kemari. Rumah itu berkamar tiga dan bercat hijau dan teras yang penuh dengan aglaonema, xanseviera, anthurium, syngonium dan philodendron. Sepasang bangku dari kayu mahoni dan meja sederhana di mana kau bisa meletakkan pinggan berisi ubi dan segelas teh pahit. Di sana kita beranjak menua, dalam rumah hijau yang penuh dengan tanaman dan pintu yang selalu terbuka, menanti harapan yang bakal singgah bersama cucu cucu, menantu dan kedua anakmu. Di sana kita setia menabur cinta dan berharap memetik buahnya sepanjang musim.
Titon Rahmawan
Ya. Menyenangkan bisa terbang melayang. Aku sering mimpi terbang.” Kata Nuansa. “Sekarang terbang menjadi nyata. Terbang adalah wujud dari kebebasan. Ketakberikatan terhadap segalanya akan membuat dirimu mampu terbang.
Haditha (Anak Pohon)
Seorang laki-laki dengan tergesa-gesa datang kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khattab ra, ia berkata: "Wahai Amirul Mukminin, aku melihat si fulan dan fulanah saling berpelukan di belakang pohon kurma." Umar langsung mencengkram kerah bajunya, mengambil tongkatnya dan memukul laki-laki itu dengan tongkat tersebut satu kali.. "Mengapa engkau tidak menutupinya dan engkau berharap dia akan bertaubat?", tegas Umar bin Khattab ra. " Sesungguhnya Rasulullaah SAW pernah bersabda, 'Barangsiapa yang menutupi aib seseorang di dunia, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.'" Di lain waktu Umar bin Khattab ra, berkata: "Beginilah seharusnya kalian berbuat, jika kalian melihat saudara kalian tergelincir langkahnya maka tutupilah dan tolonglah serta berdo'alah kepada kepada Allah agar Dia berkenan mengampuni dosanya. Dan janganlah kalian menjadi pembantu setan untuk mencelakakannya.
Khalid Muhammad Khalid (5 Khalifah Kebanggaan Islam)
kematian yang ia buru kini lesap di matamu, direbahkan tubuhnya dikuburan dangkal jiwa kekasih, yang ia gali dengan tangan-tangan takdirnya sendiri ia adalah musafir malang yang pernah mengistirahkan pengembaraan di negeri anganmu dirahim hatimu,kekasih pernah dirambahnya ladang-ladang luka yang purba kemudian ditanaminya sekebun pohon2 cinta yang rimbun tempat kelak engkau dapat berjalan dibawah rindangnya, meneduhkan rindumu ditiap cabang-cabangnya
firman nofeki
Një studiues gjerman, dr. Herbert Louis, pohon se në Shqipëri nuk ekziston një dukuri e tillë si turma. “Një nga përshtypjet më të forta që më ka lënë kontakti i gjatë me popullsinë shqiptare, thotë dr. Louis, është me siguri kjo që, te çdo shqiptar ka një njeri me vetbesim. Çdo individ, qoftë i zgjuar ose budalla, ka një aftësi të habitshme për të vendosur vetë…”. Mungesa e kësaj fryme të kopesë mund të jetë interesante, por ajo ka pasur pasoja fatale për unitetin e Shqipërisë.
Faik Konica
Demi kezaliman yang terjadi di Palestina, di Kashmir, di Afganistan, di Irak atau di manapun juga ... kenapa mereka rela menyengsarakan saudara-saudaranya yang sebangsa dan setanahair? Berarti ada yang salah dengan rasa kebangsaan mereka. Mereka merasa lebih dekat dengan warga asing, dengan negara asing, ketimbang dengan saudara-saudaranya sendiri, dengan bangsa dan negaranya sendiri. Bagi mereka, padang pasir dan pohon kurma menjadi lebih penting ketimbang bumi yang subur ini.
Anand Krishna (Indonesia Under Attack! Membangkitkan Kembali Jati Diri Bangsa)
Jalan setapak memasuki hutan gempol itu sedikit berair. Anggrek bulan dengan bunga birunya yang sedang mekar menggelantung dibuai angin pagi. Juga jenis anggrek bulan lain dan anggrek merpati ramai bergelantungan pada pohon gempol. Malah serumpun anggrek harimau tenang-tenang mendekam diketinggian cabang. Bunganya yang kuning berbelang coklat serasa hendak meloncat untuk menerkam. Sayang sekali keindahan alam itu masih belum dapat dinikmati orang buangan ini. Juga tidak oleh penghuni kampung-kampung di gunung. Mereka baru bisa bicara tentang lapar.
Pramoedya Ananta Toer (Perawan Dalam Cengkeraman Militer)
Aku tak tahu mengapa hari-hari ini aku begitu sering tersentuh. Oleh pohon, oleh, burung, air sungai. Entah mengapa, hal-hal kecil yang memikat yang pernah diajarkan kepada kita, ketika kita mendekat kepada mereka, mereka tampak begitu besar, nyaris suci. Memang melo-dramatis rasanya mengatakan ini semua tetapi aku tak mengada-ada. Kami tahu aku bukan orang yang religius; dulu aku malah suka menegaskan diri bahwa aku tak beragama justru agar para sejawatku tak mengusikku. Tetapi akhir-akhir ini aku merasa, berteduh dalam kesendirian juga pengalaman religius.
Laksmi Pamuntjak (The Question of Red)
# Dulu, Kini dan Waktu yang Telah Hilang Seperti geletar semu yang kaukirimkan padaku lewat layar ponselmu, haruskah kusambut dengan rasa haru? Sebab dulu, senyummu adalah rembulan yang menumbuhkan cinta di dadaku. Tapi kini, ia tak lagi berseri seperti kelopak melati yang layu di ujung hari. Aku berharap, mungkin masih akan datang lagi waktu yang akan menyambut kehadiranku seperti dulu. Seperti penyair remaja, yang berusaha keras menciptakan beribu ribu mimpi demi menghidupkan cinta yang telah lama mati. Cinta yang pernah jadi milik kita dan kemudian pergi entah kemana? ## Perjalanan, Harapan dan Mimpi yang Tak Pernah Terkubur Tetapi masih kuingat perjalanan itu, yang mengantarkanmu kepadaku. Kepada ciuman musim penghujan yang menumbuhkan pokok pohon kol banda di halaman rumah. Masih serupa mimpi yang datang lagi menghampiri. Penuh, seperti lembut bibirmu yang lekat menempel di bibirku, akankah ia abadi? Tapi itu ternyata cuma ingatan sekilas saja. Sungguh, betapa kita pernah jalan berdua. Dari pintu gerbang sekolah sampai ujung jalan terjauh dari kerinduan kita pada puisi puisi yang ingin kita tulis bersama. Pada lukisan hujan yang akan menghidupkan semua ingatan yang kemudian kita jalin menjadi sebuah novel atau mungkin juga bahtera. Tak sebesar milik nabi Nuh, tapi cukuplah ia mengantarkanmu ke negri jauh. Negri harapan, di mana mimpi itu tak akan pernah terkubur. ### Waktu yang Tiba Tiba Menua dan Mimpi yang Telah Mati Lalu, siapa yang telah menua di antara kita? Cuma kol banda yang masih tegak kokoh di depan rumah. Atau barangkali cuma mimpi, yang terlanjur melupakan semua kisah yang telah dirajutnya sendiri. Mimpi yang dulu pernah menyatukan kita dan lalu mati. Terkubur entah di mana?
Titon Rahmawan
Buat apa pendidikan, aku bertanya .. Mengajarmu kenal yg agung, jawab gunung .. Agar kau tahu kekekalan, kata langit .. Bisa menikmati keindahan, tambah matahari .. Supaya tahu keburukan, seru hutan .. Paham pada diri sendiri, siul burung .. Dan bikin kau dinamis, bisik anggur .. Apa manfaatnya bagiku, aku bertanya .. Supaya pikiranmu jernih, ujar kolam .. Dan jiwamu berseru, tujuh teratas .. Aku tak paham juga mengapa mesti begitu ?? Supaya kau mencintai hidup, bentak pohon .. Tahu kebebasan dan keterbatasan, nasihat bulan .. Tak puas pada semua penjelasan itu, aku tidur .. Esok harinya aku bangun dan bertanya lgy .. Tapi, mengapa engkau tanya ?? Tanya jendela .. Untuk apa kau hidup ?? Desak udara .. Mengapa kau termangu ?? Hardik batu kali .. Kau ingin mati ya ?? Ejek bunga" .. Bagaimana aku bisa menjawab mereka ?? Bapak guru lama bisa bertanya-tanya .. :)
Renungan Bapak Guru
Apakah sawah dan kebun dan pohon pohon di taman berbagi hujan yang sama? Tapi mengapa kita tak lagi saling bicara setelah hujan berlalu, meninggalkan debu dan padang gurun gersang yang kering kerontang? Apakah sungai mempertanyakan kemana muara ia akan pergi? Dan laut, bukankah laut tak pernah merasa kehilangan? Walau setiap hari, matahari menangguk air matanya dan membawanya ke langit. Seperti juga bumi yang tak pernah merasa kekurangan hujan. Walau ia mengerti, akan ada saatnya waktu di mana ia mesti berpuasa dan menahan diri. Mengapa kita selalu berbicara tentang diri kita sendiri dan tak mendengar suara alam menegur dalam bahasa yang santun dan lemah lembut? Mengapa kita selalu merasa, bahwa tak ada yang lebih menyakitkan daripada luka luka yang kita sandang sendiri? Bukankah waktu akan menyembuhkan segala galanya? Termasuk juga kesendirian yang terlahir dari amarah dan sakit hati. Saat kita berdua sama sama jatuh dan terperosok pada sikap acuh tak acuh. Ketika kita memilih untuk tidak saling peduli. Dan cinta yang tak lagi betah, memutuskan pergi meninggalkan rumah yang dulu pernah kita huni bersama.
Titon Rahmawan
PERCAKAPAN DUA DUNIA Dari sepasang ranting aku pernah mendengar percakapan yang seperti ini; Bukankah tak ada yang bersua dulu untuk apa yang kita kehendaki kini? Bagaimana menghadirkan cinta ketika waktu tiba tiba berhenti? Bila cinta tak lagi memiliki ketulusan, apakah hati mesti berkorban? Kepada siapa hati mesti berserah, ketika semua wajah telah berpaling? Saat tak ada makhluk lain yang bakal peduli. Lalu siapa yang akan menimbang semua kesedihan yang ditinggalkannya? Ia yang sejenak mempertanyakan Tuhan ada di mana? Ketika andai tak pernah jadi mungkin. Dan mungkin tak pernah hadir sebagai kenyataan. Menunggu, ya cuma menunggu sampai seseorang atau malaikat atau iblis barangkali akan menyapanya kembali. Hari ini, esok atau entah kapan? Saat musim menghentikan semua ritualnya. Bersikeras membalut luka luka waktu yang diciptakannya sendiri. Waktu yang jadi gamang dan kehilangan arah. Waktu yang tak lagi menuju ke masa depan. Saat biji tak lagi bertunas, daun tak kunjung gugur, ranting tetap menghijau, kuncup tak mampu mekar dan pohon berhenti menua. Tak ada yang berubah kecuali dirinya. Terjerat pada kenisbian waktu. Semacam relativitas, sebuah semesta lain yang tak terlukiskan.
Titon Rahmawan
Jkt 20/12/2012 Bulan ini bulan desember,spt juga desember thn2 sebelumnya pada bulan ini umat kristiani mempunyai hari besar semacam tradisi tahunan yaitu yg di sebut "Natal" atau Natale (italia) atau Christmas,dan sebagai penganut kirstiani sejak lahir saya selalu menikmati bulan2 desember spt ini tiap tiap tahunnya,saya selalu menikmatinya didalam hati saya,apalagi saat saya masih kanak kanak dulu,karena natal identik dengan hadiah untuk anak2,desember adalah menjadi bulan yg paling saya tunggu2 karena pada bulan itu akan ada sebuah kado yang menunggu saya pd bulan itu,akan ada gemerlap cahaya lampu pohon dan hiasan hiasan natal lainnya,saya akan memakai baju baru juga saya akan tampil dipanggung gereja memainkan fragmen dan drama natal bersama anak2 lainnya yang juga memakai baju baru yg menambah kesan natal semakin saya tunggu, Saya lahir di Indonesia saya tinggal di Indonesia saya bersekolah di Indonesia,negara yg mempunyai beragam agama yg mana agama2 itupun mempunyai Hari besar nya masing2,sejak masih kanak2 saya selalu terharu ketika melihat org lain berdoa entah dengan memakai tata cara agama apa mereka berdoa yg jelas saya selalu merasa ada suatu hal yg berbeda dlm hati saya ketika melihat org berdoa itu,saya bersahabat dgn beberapa teman saya orang2 keturunan yg beragama Budha,sy juga punya beberapa sahabat org Bali dan keturunan India yg beragama Hindu,walaupun jumlah mereka tidak sebanyak sahabat2 saya dari kaum Muslim,Muslim adalah mayoritas di negri ini otomatis muslimlah yg hampir 90% dari mereka setiap harinya berinteraksi dengan saya, lebih dalam lagi saya pun mempunyai banyak family sedarah dari kakek saya yg beragama muslim,tidak heran kalau sy pun menikmati hari raya Idul fitri,dan tidak jauh berbeda dengan natal momen Lebaran adalah menjadi hari yg saya tunggu2 juga, karena setiap tahunnya saya akan berkumpul dgn sanak family dan kerabat merasakan ketupat lebaran dan opor ayamnya juga saya bisa meminta maaf dan bersalaman dengan orang yg pernah bertengkar dengan saya dengan ucapan minal aidin walfaidzin,luar biasa hubungan batin saya dengan muslim sepertinya suatu hal yg tidak bisa terpisahkan,tetapi diluar daripada itu semua terjadi dilema dalam hidup saya ketika saya menyaksikan hal2 lain yg "mengusik mesranya hubungan saya dengan muslim,di saat yg sama berita di media masa sebegitu hebatnya memberitakan hal yang menumbuhkan opini2 perpecahan yang semakin hari semakin jauh dari kata "damai" dimana pandangan yg berbeda tentang Tuhan adalah menjadi alasan untuk pendidikan perang! sehingga seolah olah memaksa manusia siaga satu dan siap untuk membenci saat ada kaum yg berbeda dengan mereka,saya muak dengan ini, Keperdulian saya dgn keharmonisan keduanya Membuat saya tertarik utk "mencari tau tentang isi dari kedua agama ini,dgn hati yg bertanya tanya ada apa sebenarnya yg terjadi di dalamnya?,dengan segala keterbatasan saya bertahun tahun saya mencoba mencari titik temu antara perbedaan dan persamaan antara kristen dan islam,rasa ingin tau saya yg membuat saya sedikit demi sedikit menggali keduanya mulai dari sisi sejarah,segi terminologi,sisi tafsir2 atau doktrin (aqidah) nya,dgn mencari sumber2 yg akurat atau dengan cara bertanya,berdiskusi dll,sy tidak terlalu tau apa tujuan dan visi saya tapi yg jelas saya tertarik untuk mengetahuinya dan kadang saya lelah!saya merasa terlalu jauh memikirkan ini semua,saya merasa agama yg seharusnya memproduksi kedamaian dan cinta thd sesama malah membuat saya pusing dan muak karna saya koq malah pusing memikirkan konflik2 dan benturan2 yg justru disebabkan oleh agama itu sendiri Seiring berjalannya waktu pemahaman saya terhadap natal dan bulan desember itupun mulai terpisah,saya sudah mempunyai pemahaman sendiri mengenai natal,Desember hanyalah salah satu bulan dari 12 bulan yg ada,tetapi damai natal itu sendiri harus berada dalam sanubari dan jiwa dan roh saya setiap hari, "Selamat Natal Damai Selalu Beserta Kita Semua" Amien.........
Louis Ray Michael
Dinding Ibu Kesedihan seperti telaga yang hening di dinding ibu. Dinding yang terisak dan mengukir lagi masa kecilku. Seberapa sepinya aku saat itu? Sungguh. Aku tak mengerti, mengapa kubuat dinding itu menangis? Ia sudah seperti rumah bagiku. Tempat aku tidur dan terlelap di malam hari. Tempat aku bermain dengan kesendirianku. Lalu, mengapa aku buat ia menangis? Ada hal hal yang ingin kulupa dari waktu kecilku sendiri. Detik detik yang tidak berarti. Kemarahan yang perlahan hangus dan lalu mengabu dalam hatiku. Walau kini, ia sudah bukan lagi api. Ia sudah menjadi dingin. Tapi, mengapa luka itu masih saja ada di sana? Bukankah aku laki laki yang dibesarkan oleh dinding ibuku? Lalu, mengapa aku berpaling daripadanya? Mengapa aku kenakan topeng itu, hanya untuk melihat ia tersenyum? Aku sudah menjadi lelaki yang lain. Lelaki yang bukan kanak kanak yang ia besarkan dulu. Ada banyak topeng yang kini aku kenakan. Salah satunya adalah kesendirian, yang lain adalah amarah. Aku tahu, aku telah membuatnya bersedih. Dinding itu telah lama menjelma jadi sebatang pohon dengan kulit yang renta, mengelupas di banyak tempat. Rantingnya mulai merapuh dan daun daunnya yang gugur, berserakan di mana mana. Ia bukan lagi pohon yang dulu biasa aku panjat. Bukan, ia tidak sedang menjadi pohon yang lain. Melainkan diriku. Akulah yang kini berubah. Seperti langit biru yang mendadak kelam. Seperti mendung yang menaungi hati yang tak hentinya menangis. Apakah untuk menjadi seorang lelaki, aku harus mengorbankan perasaan perasaanku sendiri? Apakah untuk menjadi seorang lelaki aku harus meninggalkan masa kecilku hanya untuk mendengarkan suara suara orang lain; hardikan, umpatan, cemoohan dan teguran teguran yang seringkali menyakitkan hati. Aku sudah lama sekali tenggelam, mungkin sejak terakhir kali aku terlelap di bawah pohon ibu. Pohon di mana dulu jadi tempatku bernaung. Pohon itu masih ada di sana, sunyi dan sendiri. Berasa jauh tapi pun dekat. Aku terkadang ingin menyentuhnya, seperti aku menyentuh dinding ibu untuk pertama kali. Tapi aku tahu, aku sudah bukan yang dulu lagi. Dan ibu seperti rumah yang merindukan kehadiranku. Ia ingin aku pulang padanya. Tapi entahlah, apakah besok masih cukup ada waktu untukku untuk menjadi diriku sendiri?
Titon Rahmawan
1. Dari balik tingkap ini aku sengaja mengintaimu, memasang kamera pada jalusi untuk melihatmu mencumbui malam. Seperti gerimis yang baru saja turun, menggiringmu melewati teras rumah tetangga lalu sengaja menggeletakkan tubuhnya di atas sofa abu abu yang dulu engkau beli dari pesta Sri Ratu. Tangan tangan hujan tidak meronai pipimu dengan warna merah jambu melainkan coklat tua agar senada dengan jaket yang dikenakannya. Walau, ia hanya seorang penjaga yang membawa suar kemana mana. Namun ia juga adalah samudra tak bernama yang tak urung menelikung tubuhmu dengan kata luas tak terperi. Sebagaimana kata kata rayuan yang diucapkannya bergema bersama lantunan tembang tembang lawas yang ia rekam sepekan sebelumnya dari sebuah aplikasi di internet. Ia tak menyembunyikan tangannya yang sibuk menggali harta karun jauh ke dalam lubukmu. Membiarkan pikiranmu terbang melayang ke pelataran Sukuh, ke atas puncak arca garuda di Cetha dan lalu melayap jauh hingga ke Khajuraho. Menangkap semburat lidah api yang asyik menyigi setiap detail relief candi yang akan membuat nafas kalian tersengal sengal. Memanggil awan dan memetakan semua rencana perjalanan wisata mimpi kalian ke Thailand, Bhutan, Nepal, Burma, India, Sri Lanka, Maladewa hingga ke China. Pada lukisan Lee Man Fong engkau menjelmakan dirimu menjadi seorang gadis Bali yang bertelanjang dada. Bersimpuh di bawah pohon sambil memantrakan puja. Sementara aku terjatuh dan terjerembab berungkali dari loteng ini dengan kaki yang goyah dan juga patah. Tak sekali kali berani beranjak hanya untuk sejenak menghela nafas. Karena lelaki pembawa suar itu telah menaikkan tubuhmu ke atas kereta berkuda dan menjelmakan dirimu menjadi seorang permaisuri. Seperti paduka Sri Ranggah Rajasa yang menyunting Ken Dedes di balik kejayaan Singosari. Ia sungguh lelaki pemberani yang tak gentar mengajakmu menari. Menjelajahi gunung, lembah, kebun dan persawahan di bawah naungan pohon pohon banyan di pinggiran jalan. Melewati sekumpulan bocah yang tengah bermain gundu, gobak sodor dan sunda manda. Engkau tak menghiraukan mereka dengan bising lagu dangdut di balik suara desahanmu. Menancapkan lembing pada setiap cubitan bibir yang bernafsu menyadap getah dari busung dadamu. Tajam gigi taring dan juga geraham yang menerakan sebuah marka rahasia di atas jenjang lehermu. Sedang mataku terantuk gelap yang berjatuhan di bawah pintu palka yang merapuh ini, saat layar mulai terkembang dan lelaki keturunan nelayan itu menggeser lunas perahumu di atas lidah ombaknya.
Titon Rahmawan
Selalu ada cara lain untuk menafsirkan kebahagiaan," begitu katamu. Seperti mengisi kanvas yang kosong dengan kepenuhan imajinasi, dan membiarkan khayalan bergerak serupa gambar yang hidup di dalam pikiran. Seperti menemukan sebuah kata yang tepat untuk mengawali sebuah puisi. Selalu ada euforia serupa itu yang ingin kau ciptakan dari gairah dan riuh rendah suara bising yang terdengar di dalam benak semua orang. Sudah lama aku curiga, kau bisa menebak apa yang orang lain inginkan hanya dengan membaca gelagat dan ekspresi wajah mereka. Mencoba membuktikan, bahwa waktu tidak cuma menciptakan kekacauan dan kegaduhan. Ia bisa juga menghadirkan semacam kegembiraan walau mungkin semu. Seperti kisah tentang bunga mawar yang tumbuh di tepi jalan yang pernah aku ceritakan kepadamu. Tapi tak semua orang mau menerima realitas seperti itu. Mereka selalu menemukan cara untuk menilai orang lain dengan caranya sendiri. Kebanyakan orang terlalu sibuk dengan kerumitan pikiran yang hilir mudik setiap hari. Mereka tak menghiraukan hal lain selain kepuasan diri. Mereka tak pernah mau mengerti, bahwa kegembiraan kecil tidak selalu harus dimulai dari diri sendiri. Ini seperti melihat dunia dengan sebuah kaca pembesar. Dunia yang retak dan jauh dari kata sempurna. Dunia yang sering absurd dan kadang membingungkan. Tapi kita tidak punya hak untuk mencemooh orang lain dengan cara konyol seperti itu. Dunia yang kita kenal sudah terlampau sering membiarkan orang membuat penilaian lewat satu satunya pandangan dari apa yang ingin mereka percayai. Tak bisa membedakan api dari asap, panas, nyala dan cahaya yang dihasilkannya. Bukankah satu satunya hal yang bisa kita yakini di dunia yang centang perenang ini adalah sebuah kemustahilan? Akan tetapi, bagaimana kita bisa melihat dunia dengan kacamata ambiguitas? Ketika kita menyadari, bahwa realitas tak lebih dari sebuah fatamorgana. Dan ilusi, adalah kenyataan hidup kita sehari hari. Bagaimana kita bisa menyandarkan diri pada sebuah asumsi untuk mampu mencerna apa yang sesungguhnya tidak kita ketahui? Bagaimana kita bisa memastikan, apa yang tidak pernah kita pahami sebagai buah dari pohon pengetahuan? Bahwa kebaikan dan keburukan adalah hasrat yang terlahir dari rasa ingin tahu manusia. Hanya saja, pikiran kita ingin menelan semuanya sendirian. Kerakusan yang membuat manusia kerasukan oleh ego dan ambisi yang membutakan dirinya sendiri. Kerasukan yang pada akhirnya . menciptakan kerusakan. Apa yang bisa memenuhi diri kita dengan pengetahuan yang serba sedikit tentang makna kebenaran yang kita cari selama ini? Bagaimana kita mampu mengidentifikasi kebenaran yang tidak pernah kita kenal? Bukankah tuhan tak mungkin hadir dalam setitik keraguanmu? Apa yang tidak engkau pahami sebagai sebuah paradoks, tidak punya nilai apa pun dibanding dengan kegamangan dan kebodohan dirimu sendiri. Sementara kita masih saja jumawa, dengan kepala dipenuhi oleh hasrat dan juga kesombongan. Dan terus menerus melahirkan ilusi ilusi semu dari pikiran pikiran hampa yang hanya akan mengelabui manusia dengan kepalsuan sejarah. Sejarah yang diam diam kita rekayasa sendiri. Sejarah yang tidak pernah mengenal makna kesejatian. Sejarah yang mengubur peradaban manusia dengan semacam orgasme palsu, yang anehnya terlanjur kita dewa dewakan sebagai satu satunya kebenaran.
Titon Rahmawan
Pada Minggu sore yang tenang itu, aku menikahi Dinda. Aku berpakaian Melayu lengkap persis seperti waktu aku melamarnya dahulu. Dinda berpakaian muslimah Melayu serbahijau. Bajunya berwarna hijau lumut, jilbabnya hijau daun. Dia memang pencinta lingkungan. Itulah hari terindah dalam hidupku. Jadilah aku seorang suami dan jika ada kejuaraan istri paling lambat di dunia ini, pasti Dinda juaranya. Dia bangkit dari tempat duduk dengan pelan, lalu berjalan menuju kursi rotan dengan kecepatan 2 kilometer per jam. Kalau aku berkisah lucu dan jarum detik baru hinggap di angka 7, aku harus menunggu jarum detik paling tidak memukul angka 9 baru dia mengerti. Dari titik dia mengerti sampai dia tersipu, aku harus menunggu jarum detik mendarat di angka 10. Ada kalanya sampai jarum detik hinggap di angka 5, dia masih belum paham bahwa ceritaku itu lucu. Jika dia akhirnya tersipu, lalu menjadi tawa adalah keberuntunganku yang langka. Kini dia membaca buku Kisah Seekor Ulat. Tidak tebal buku itu kira-kira 40 halaman. Kuduga sampai ulat itu menjadi kupu-kupu, atau kembali menjadi ulat lagi, dia masih belum selesai membacanya. Semua yang bersangkut paut dengan Dinda berada dalam mode slow motion. Bahkan, kucing yang lewat di depannya tak berani cepat-cepat. Cecak-cecak di dinding berinjit-injit. Tokek tutup mulut. Selalu kutunggu apa yang mau diucapkannya. Aku senang jika dia berhasil mengucapkannya. Setelah menemuinya, aku pulang ke rumahku sendiri dan tak sabar ingin menemuinya lagi. Aku gembira menjadi suami dari istri yang paling lambat di dunia ini. Aku rela menunggu dalam diam dan harapan yang timbul tenggelam bahwa dia akan bicara, bahwa dia akan menyapaku, suaminya ini, dan aku takut kalau-kalau suatu hari aku datang, dia tak lagi mengenaliku.
Andrea Hirata (Sirkus Pohon)
aku matahari kecil lagi terpencil di pinggir kampung tergantung antara pucuk pohon dan tengkuk kerbau (Autobiografi)
Rahimidin Zahari
Jangan bunuh universiti, kata bapak, dengan fail-fail kuasa dengan surat-surat liar. Fail kuasa bukan minda surat liar bukan korpus fail kuasa dan surat liar tak pernah jadi pohon ilmu.
Nassury Ibrahim (Dongeng Bapak)
Universiti sebuah kebun minda kebun subur kerana pohon intelektual bukan tanah yang dipugar-pugar.
Nassury Ibrahim (Dongeng Bapak)
Gugur bukan berarti sedih. Bagi angsana, gugur adalah kebahagiaan. Bahagia guguran bunganya menjadi berarti. Setidaknya bagi angin yang menghirup harum bunganya. Menggugurkan sesuatu untuk orang lain adalah awal kebahagiaan jika didasari dengan ketulusan. Seperti pohon angsana yang tulus menggugurkan bunganya untuk dinikmati manusia. Bagi manusia, menikmati guguran bunga angsana merupakan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, karena memang banyak hal di dunia ini yang tak dapat dijelaskan. Hanya bisa dirasakan.
Anggrek Lestari (Cermin)
Ketika daun dari pohon itu berguguran, nyawa kita akan semakin berkurang setiap waktunya. Hingga pada akhirnya kita telah tiada didunia ini. Yang ada hanyalah jasad yang semakin membusuk ditelan zaman.
Maulana Ihsan Ghiffary Julistyan
Aku pernah dinikahkan dengan laut. Ketika tubuh kanak-kanakku mengelupas, upacara besar digelar. Sesaji, bunga, tujuh mata air diurapkan ke tubuh kurusku. Mataku dirajah. Ubun-ubun ditancapi mantra. Kepala bertabur aneka bunga. Kulitku dibakar cairan kuning. Dengan tubuh dililit kain-kain kuno, aku menjelma bidadari. Berenang di rimba semesta. Seorang perempuan meninggalkan anaknya di altar ditemani sebatang pohon. Udara dingin dan senyap tak henti menyuapkan api. Membakar kakiku... (Saiban, 2014: 3)
0ka Rusmini
Po ashtu edhe për të gjitha ditët e një jete pa shkëlqim, koha na merr me vete. Por gjithmonë vjen një çast kur duhet ta mbajmë. Jetojmë në të ardhmen: "nesër", "më vonë", "kur të rregullohesh", "kur të rritesh do ta kuptosh". Këto inkonsekuenca janë të admirueshme, sepse në fund të fundit bëhet fjalë kur të vdesësh. Megjithatë vjen një ditë dhe njeriu vëren se thotë se është tridhjetë vjeç. Kështu ai pohon rininë e vet. Por njëherësh përcaktohet në raport me kohën. Zë vend aty. Pranon se gjendet në një çast të dhënë të një kurbe që e pranon se duhet ta përshkojë. Ai i përket kohës dhe te tmerri që e ka pushtuar ai sheh armikun e vet më të madh. Nesër, ai priste të nesërmen, kur gjithçka tek ai duhej ta kundërshtonte. Kjo revoltë e trupit është vetë absurdi.
Albert Camus (The Myth of Sisyphus and Other Essays)
Dengarkan pepohonan saat mereka bergoyang tertiup angin. Daun mereka menceritakan rahasia. Kulit mereka menyanyikan lagu-lagu masa lalu saat tumbuh di sekitar batang. Dan akarnya memberi nama untuk semua hal
Vergi Crush
Tapi, setinggi apapun melompat. Ingat Teori Plato, ingat Teori Atom, ingat Teori Darwin, ingat Hukum Gravitasi ; kalo semuanya akan kembali jatuh. Selama masih di Bumi, derajat manusia tetap sama seperti daun mengkudu yang jatuh di bawah pohon.
Vergi Crush
Ketika lidah berfungsi sebagaimana mestinya, itu laksana musim semi yang menyengarkan dan pohon buah yang memberi sari - sari makanan untuk pertumbuhan yang sehat.
Levi Lusko (I Declare War: Four Keys to Winning the Battle with Yourself)
Kita harus berterimakasih padanya, karena dengan sentuhannya kita menjadi hidup. Ia adalah ibu yang telah melahirkan kita lewat cara yang menyakitkan. Seperti tunas tunas yang tumbuh di tengah tengah padang tandus, bukan oleh karena tetesan hujan melainkan karena air mata. Karena duri yang memaksa kita keluar dari cangkang telur yang mengungkung diri. Meskipun di antara yang terlahir itu ada yang menilai dirinya lebih tinggi dan lebih mulia dari yang lain. Mereka yang menganggap kita saudaranya sebagai pendusta, pengkhianat dan yang ingkar janji. Mereka yang tak segan menganggap kita sebagai orang kafir dan orang kufur. Orang yang darahnya halal untuk dibunuh. Sekalipun kita terlahir dari ibu yang sama yang telah lama tinggal di dalam taman kemuliaan itu. Dan dari laki laki yang sama, yang telah memetik buah dari pohon pengetahuan dan kemudian memberi nama segala apa yang ada di langit dan di bumi. Namun mereka tiada melihat hikmah yang menyebabkan manusia terusir dari surga, melainkan ular berbisa yang telah mematuk tumitnya dan meremukkan kakinya hingga berdarah darah. Mereka yang kemudian hanya bisa menghujat, dan tak putus putusnya mengutuk dunia serta menyalahkan anak keturunan syaitan hingga akhir zaman.
Titon Rahmawan
Masih adakah lagu yang ingin kau nyanyikan untukku, seperti desah suara angin yang sejuk dan membuatku terlena. Jemari tangan embun yang basah menari nari di atas rambutmu. Dan celoteh riangnya bergema di sela sela rerumputan jauh hingga ke tengah perkebunan tebu. Sudah lama sekali rasanya kuingat kembali perasaan serupa itu. Seperti melupakan himpitan kemarau berdebu yang terlanjur menenggelamkan kita pada pecah tanah rengkah. Melumatkan perasaan perasaan yang dulu pernah membuat kita berdua mengecap rasa bahagia dalam sebongkah batok kelapa. Ingin mengingat kembali manis perjalanan, bahwa kita tidak pernah sendirian. Bagiku, suaramu masih seperti dulu. Serupa ricik air dingin yang mengalir dari belik di perbukitan. Kicauan burung yang menghampiriku seperti desau angin yang berhembus dari hutan menerabas pokok pohon sengon dan dedaunan jati. Menyentuh seluruh pori pori tubuhku dengan kenangan dan kerinduan menyibak selimut mimpi yang merebak saat subuh dini hari. Seperti hangat mentari yang turun ke bilik pemandian. Bening air sendang memeluk sepenuh tubuhku dengan cinta yang selamanya mengalir. Membawa kesenangan kecil, kegembiraan sederhana. Perasaan yang aku tahu, tak akan pernah pergi meninggalkan diriku.
Titon Rahmawan
Ada perasaan yang kadang tak sanggup diungkapkan melebihi perasaan perasaanku. Apa yang bahkan tak mampu aku utarakan kepada seorang ibu. Bagaimana aku menyimpan semuanya sendiri, juga tentang mimpi mimpi yang tak pernah aku ceritakan kepada siapapun termasuk kepada ayahku. Demikian aku belajar untuk mengenali diriku sendiri. Ibuku memiliki sebuah taman kecil yang tersembunyi di samping rumah. Taman yang ia sebut sebagai sanctuary. Tempat di mana ia menanam segala macam perasaan yang ia sebut sebagai kebahagiaan. Kebahagiaan yang tumbuh dari hal hal fana yang tidak aku kenal dan mungkin juga tidak sepenuhnya aku mengerti. Seperti tangan yang mengusik lelap tidurku dan berusaha menciptakan sebuah karya seni yang indah. Ibu adalah sebuah lukisan yang  memenuhi seluruh pikiranku. Ia lebih menakjubkan dari lukisan lukisan karya Rembrandt, Gustav Klimt, Claude Monet, Auguste Renoir atau bahkan Van Gogh sekalipun. Jeli matanya adalah kegairahan musim semi yang menumbuhkan rupa rupa tanaman di dalam taman itu. Ulas senyumnya dan lembut bibirnya adalah kehangatan ciuman matahari yang membuat bunga bunga bermekaran. Dan sentuhan tangannya adalah sihir, belaian sejuk angin yang membuat setiap pohon berbuah. Dan setiap kali aku dapati ia menari. Ia menari dengan seluruh tawa riangnya. Sekujur tubuhnya menari bersama celoteh burung dan goyangan daun daun. Tangannya bergerak gemulai serupa awan berarak setiap kali ia menyebar benih, mencabut rumput, mematahkan ranting kering, atau memangkas daun daun yang menguning. Ada lompatan perasaan yang tak terlukiskan setiap kali ia melakukan hal itu, seperti seolah ia sedang jatuh cinta lagi. Bukan kepada ayahku melainkan kepada dirinya sendiri. Sebab, di dalam diri ayahku aku temukan bayang bayang lain yang seakan tak mau pergi. Bayang bayang yang tak mampu meninggalkan dirinya bahkan di tengah kegelapan malam. Ayah adalah sebuah patung kayu yang usang dan berdebu. Ia menyembunyikan segala sesuatu dan menjadikannya rahasia yang ia simpan sendiri. Seperti sebuah pintu yang terkunci dan anak kuncinya hilang entah kemana. Tapi ia tak pernah bertengkar dengan ibu. Mereka juga tak pernah beradu mulut atau menunjukkan amarah antara satu dengan yang lain. Sepanjang yang mampu aku ingat, mereka adalah pasangan yang harmonis. Walau tak pernah sungguh berdekatan dalam artian yang sebenarnya. Setelah bertahun tahun lamanya, mereka masing masing tenggelam dalam dunia yang mereka ciptakan sendiri. Sejak kanak kanak, aku tak berani masuk ke dalam sanctuary ibuku. Aku hanya berani mengintip dari balik keranjang cucian dan tumpukan pakaian yang hendak dijemur. Dari balik ranting dan juga rimbun dedaunan yang tumbuh di dalam pot pot besar berwarna hitam yang menyembunyikan tubuh telanjang ibuku yang berkilauan ditempa matahari. Pernah sebelumnya aku menangkap sebuah isyarat dari tarian hujan yang ia ciptakan, ketika merdu tawanya berderai di antara dengung suara pompa dan guyuran air yang turun tiba tiba dari langit. Suara hujan itu keras berdentang di atas genteng galvalum dan menimbulkan suara berisik. Dan raga  ibu yang berpendar kehijauan seolah terbang ke langit menyambut suara guntur dan halilintar. Kadang kadang aku menangkap bayangan tubuh ibuku berjalan hilir mudik di dalam sanctuary itu entah dengan siapa. Acap aku dengar ia tertawa tergelak gelak. Suaranya bergema seperti di dalam gua. Aku selalu mengira ia tak pernah sendirian, selalu ada orang orang yang datang menemaninya entah darimana. Sering kulihat ia menjelma menjadi burung dengan warna bulu yang memesona atau menjadi bidadari yang cantik dengan sepasang sayap berwarna jingga keemasan. Dan dari balik perdu yang merayap di dinding, aku dapat melihat senyumnya yang sangat menawan, seperti menyentil kesadaranku dan membuatku terbangun dari mimpi.
Titon Rahmawan