“
Memahami sex, bisa berarti memahami dorongan terdalam hidup manusia. Bagi sebagian orang itu bisa berarti segala galanya. Bagi yang lain itu menjadi motif untuk sebuah penaklukkan. Orang berdiri di tengah persimpangan, antara jalan kebebasan atau pengendalian diri. Mereka tak pernah bisa sungguh sungguh berada di antara kedua persimpangan itu tanpa merasa menjadi seorang munafik.
Sex jelas tidak mungkin menjadi sebuah jalan kebajikan yang tanpa pamrih. Di dalamnya terkandung nilai nilai yang ambivalen. Seringkali bertolak belakang. Adakah motif lain dari sex selain dari hasrat untuk memenuhi kesenangannya sendiri? Apakah demi cinta atau apapun itu. Orang tak mungkin menghindari jeratan ego. Mereka tak bisa lepas dari pamrih, sebagai wujud kepastian bahwa mereka diinginkan, dibutuhkan dan pantas untuk dicintai dan dimiliki.
Inilah yang mendorong mereka untuk melepaskan diri dari beban kepura puraan, berdiri sepenuhnya telanjang dan tanpa malu sebagai kesatuan pikiran dan hasrat. Menjadi bagian integral dari spirit, jiwa dan juga tubuh mereka sendiri. Bersiap menerima segala konsekuensi dari kesadaran yang paling banal, imajinasi yang paling liar, pikiran yang paling absurd, dan nilai nilai yang mencerminkan kepribadiannya sendiri yang tak mungkin ditolak atau diabaikan.
Sex adalah panggilan naluriah manusia yang paling mendasar. Seperti magnet yang menarik segala sesuatu. Setiap orang akan terdorong untuk mencari dan menemukan orang lain yang mampu merefleksikan hasrat dan pikiran terdalam dari dirinya sendiri, yang bersedia menerima dan juga memberi dengan motif apapun itu. Oleh karena itu sex bukanlah paksaan. Mereka terlahir dari sebuah kesadaran. Di mana dalam kesadaran kemanusiaannya itu, orang bisa saja menafikan dan mengabaikan batasan batasan dari nilai nilainya sendiri. Bahkan hingga melanggar kata tabu. Namun sebenarnya di situlah letak kontradiksinya.
”
”