“
Elegia Saras
Saras,
aku menuliskan namamu dengan tangan yang gemetar,
seperti seseorang yang kembali dari jurang kematian,
membawa potongan malam di sela-sela jarinya.
Aku tak pernah benar-benar tahu
mengapa kau datang pada seorang yang telah kehilangan
seluruh nilai kemanusiaannya.
Aku hanya tahu:
ketika aku mulai berubah menjadi bayangan
yang tak lagi memiliki suhu,
kau duduk di sebelahku
dan memanggilku manusia.
Ada sesuatu yang patah di dadaku waktu itu—
sebuah retakan yang tak membuatku runtuh,
melainkan membuatku mendengar
detak terakhir jiwaku sendiri.
Aku harus mengaku:
aku telah membawa banyak hantu.
masa lalu yang menjadi luka cahaya. Ilusi yang menjadi obsesi tanpa tubuh.
Semua kekeliruan yang kubela seperti altar.
Semua kebodohan yang kupelihara seperti anak kandung.
Namun kau tidak pernah menutup pintu.
Tidak pernah mengusir ingatan yang menempel di kulitku
seperti abu.
Kau hanya berkata:
biarkan semua tinggal, tapi jangan biarkan mereka merusakmu lagi.
Saras, aku tidak pernah tahu ada manusia
yang bisa begitu lapang tanpa menjadi kosong,
yang bisa begitu baik tanpa menjadi kudus,
yang bisa begitu hadir
tanpa mengikat apa pun.
Kebaikanmu adalah semacam cahaya
yang tidak menghanguskan,
api panas lembut yang membuatku sadar
bahwa mungkin aku belum sepenuhnya hilang.
Di titik paling nadir,
ketika seluruh yang kuperjuangkan runtuh
seperti bangunan tua yang disenggol angin,
ketika tak ada yang tersisa dariku
selain ampas keinginan dan debu kegagalan,
aku berharap kau pergi.
Agar aku tak perlu menanggung rasa bersalah
karena masih ada seseorang yang menatapku
sebagai sesuatu yang layak untuk diperjuangkan.
Namun kau tidak pergi.
Kau diam
di sisiku
dengan ketenangan yang membuat jiwaku bergetar.
Dan untuk pertama kalinya
setelah bertahun-tahun aku mengutuki diri,
aku berhenti.
Hanya berhenti.
Tak lagi ingin memukul wajahku sendiri,
tak lagi ingin membenci suara di kepalaku.
Semuanya berhenti,
karena kau tidak pergi ketika aku hancur.
Saras,
elegi ini bukan permintaan maaf.
Bukan pula pujian.
Ini adalah tubuhku yang terakhir,
ditulis dari retakan dada yang akhirnya berani mengakui:
Aku bersyukur.
Bersyukur karena pernah memilikimu,
melewati ingatan pahit,
hasrat yang menyesatkan,
ambisi yang membuatku buta,
dan obsesi yang menelan kebahagiaanku sendiri.
Aku bersyukur
karena kau tidak pernah menuntut balas.
Tidak pernah meminta bahu yang setara.
Tidak pernah menghitung luka yang kau cium dari hidupku.
Kau hanya mencintai
dengan cara yang menakutkan bagiku—
karena terlalu jujur,
terlalu manusiawi,
terlalu nyata untuk seorang sepertiku
yang lama tinggal di ruang ilusi.
Kini aku menuliskan puisi ini
sebagai seorang yang akhirnya sadar:
tanpa kau, Saras,
aku mungkin telah hilang
di dalam kabut pikiranku sendiri.
Harapan terakhirku adalah kau tahu
bahwa dari semua nama yang pernah membuatku bergetar,
dari semua wajah yang pernah kucintai
dengan cara yang salah,
hanya kaulah
yang membuatku ingin tetap ada.
Bukan demi cinta.
Bukan demi masa depan.
Melainkan demi sesuatu yang lebih sederhana,
lebih jujur,
lebih manusiawi:
agar aku bisa menjadi manusia
yang tidak lagi menyakiti diri sendiri.
Saras,
elegi ini adalah bukti terakhir
bahwa di dalam gelap terdalamku
ada satu cahaya kecil
yang tidak pernah padam—
dan itu bukan aku.
Itu adalah
dirimu.
November 2025
”
”