Ketenangan Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Ketenangan. Here they are! All 39 of them:

Bagiku, hujan menyimpan senandung liar yang membisikan 1001 kisah. Tiap tetesnya yang merdu berbisik lembut, menyuarakan nyanyian alam yang membuatku rindu mengendus bau tanah basah. Bulir-bulir yang jatuh menapak diatas daun, mengalir lurus menyisakan sebaris air di dedaunan. Sejuk, mirip embun. Hidup seperti ini. Aku bisa merasakan senja yang bercampur bau tanah basah sepeninggal hujan. Seperti kanvas putih yang tersapu warna-warna homogen indah. Dentingan sisa-sisa titik hujan di atas atap terasa seperti seruling alam yang bisa membuatku memejamkan mata. Melodi hidup, aku menyebutnya seperti itu. Saat semua ketenangan bisa kudapatkan tanpa harus memikirkan apa pun.
Yoana Dianika (Hujan Punya Cerita tentang Kita)
Saya mengetahui malam selalu datang dengan gelap dan ketenangan, sayapun juga mengetahui adanya cahaya dan kebisingan disaat pagi hingga senja dan akhirnya kembali datang malam ditemani tiupan angin yang sunyi. Saat itu saya belajar tentang keseimbangan hidup. Belajar tentang banyak hal yang terjadi diantara kedua hal tersebut. Sunyi dan kebisingan, keduanya selalu mendampingi walau mereka berada hampir selalu berjauhan. Senja tahu tentang kepenatan dan rasa bosan yang diciptakan oleh kebisingan yang memuakan, senjapun juga sempat menyaksikan kebahagian yang diciptakan oleh sunyi walau sebentar tetapi itu sangat indah karna senja berwujud cantik selalu berwarna jingga berkilau emas diiringi sinari matahari yang tenggelam untuk tertidur.
Randy Juliansyah Nuvus
Kelak, kalau kau jatuh cinta pada seorang laki-laki, kau harus mengumpulkan beratus-ratus pertanyaan yang harus kausimpan. Jangan pernah ada orang lain tahu bahwa kau sedang menguji dirimu apakah kau memilki cinta yang sesungguhnya atau sebaliknya. Bila kau bisa menjawab beratus-ratus pertanyaan itu, kau mulai memasuki tahap berikutnya. Apa untungnya laki-laki itu untukmu? Kau harus berani menjawabnya. Kau harus yakin dengan kesimpulan-kesimpulan yang kaumunculkan sendiri. Setelah itu, endapkan! Biarkan jawaban-jawaban dari ratusan pertanyaanmu itu menguasai otakmu. Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil risiko.
Oka Rusmini (Tarian Bumi)
engkaulah arakan awan-awan yang menjatuhkan hujan kesejukan akulah yang senantiasa menyimpan rintiknya mengalirkannya kedalam anak-anak sungai jiwa yang tenang
firman nofeki
Wahai Dzat Pelindung hamba-hamba yang diselimuti katakutan dan kekhawatiran, berikanlah kami keamanan dan ketenangan dari hal-hal yang membuat kami takut…
Dian Nafi (Mesir Suatu Waktu)
Bakat dikembangkan dalam ketenangan, Watak dibentuk dalam kegalauan dunia.
Johann Wolfgang von Goethe
Orang kerap kali tak bernalar, tak logis, dan egois. Biar begitu maafkanlah mereka. Bila engkau baik, orang mungkin akan menuduhmu menyembunyikan motif yang egois. Biar begitu, tetaplah bersikap baik. Bila engkau mendapat sukses, engkau mungkin bakal pula mendapat teman-teman palsu dan musuh. Biar begitu, tetaplah meraih sukses. Bila engkau jujur dan berterus terang, orang mungkin akan menipumu. Biar begitu, tetaplah jujur dan berterus terang. Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun mungkin akan dihancurkan seseorang dalam semalam. Biar begitu, tetaplah membangun. Bila engkau menemukan ketenangan dan kebahagiaan, orang mungkin akan iri. Biar begitu, tetaplah berbahagia. Kebaikan yang engkau lakukan hari ini sering bakal dilupakan orang keesokan harinya. Biar begitu, tetaplah lakukan kebaikan. Berikan pada dunia milikmu yang terbaik, dan mungkin itu tak akan pernah cukup. Biar begitu, tetaplah berikan pada dunia milikmu yang terbaik.
Mother Teresa
Apabila perubahan membawa kepada kebaikan, ketenangan menjadi teman. Dia penghapus resah dan pengukuh keyakinan.
Irma Hasmie (SMILE: Skill, Motivasi, Inspirasi, Luar Biasa, Elegan)
Bagian terbaik dari rumahku bukanlah ruang tamu atau ruang makan melainkan beranda yang penuh dengan tanaman, dan ruang keluarga yang penuh dengan buku. Di tempat itulah aku beroleh ketenangan, kesenangan dan inspirasi.
Titon Rahmawan
Wong meneng ora mesti anteng, wong anteng ora mesti meneng.
Irfa Ronaboyd Mahdiharja
Jangan hanya hidup tapi binalah kehidupan Jangan hanya jadi manusia tapi milikilah sifat kemanusiaan Jangan hanya mencari keperluan tetapi burulah tujuan Jadilah hamba Allah yang penuh rasa kehambaan ! InsyaAllah, akan melimpah ketenangan .. ... sekalipun sedikit kesenangan.
Pahrol Mohamad Juoi (Pesan Hati untuk Hati)
Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil risiko.
Oka Rusmini
Aku ingin pulang menuju ketenangan. Aku ingin pulang menuju rumah kebahagiaan. Ketika bersua dengan Tuhan.
Fram Han (Jejak Memori)
Kebaikan akan mendatangkan ketenangan sedangkan kejelekan (dosa) akan mendatangkan kegelisahan
alfialghazi (Maaf Tuhan Aku Hampir Menyerah)
Menulislah dengan akal, pengetahuan, keikhlasan, ketenangan, kasih sayang dan niat yang murni
Muzaf Ahmad
Meski kerisauan hadir dalam pikiranku, tapi ketenangan dan kekhusyukan memenuhi dada
Dian Nafi (Miss Backpacker Naik Haji)
Kesempurnaan keputusan ada pada ketenangan pikiran dgn sikap yang bijak dan tegas, serta ikhlas.
Susilo Bambang Yudhoyono
Anda bisa menanggulangi semua, kalau anda pikir anda bisa. Peliharalah ketenangan dan rasa humor anda.
Smiley Blanton
Terkadang memikirkan bagaimana manusia mencari atau berusaha untuk hidup dengan tenang itu sangat menggelitik, bagaimana tidak sejak pertama lahir saja sudah berisik tapi mendamba ketenangan.
nom de plume
mereka berperang demi mencipta kematian menyerahkan kehidupan ke nafsu anjing-anjing mereka berperang demi mencipta kekalahan menyerahkan kemenangan ke gonggong anjing-anjing mereka berperang demi mencipta kekhuatiran menyerahkan ketenangan ke jantung anjing-anjing mereka berperang demi mencipta kepahitan menyerahkan kemanisan ke lidah anjing-anjing (mereka berperang demi mencipta kebinatangan menyerahkan kemanusiaan ke otak anjing-anjing) (Malam Anjing-anjing Mengintip Bangkai)
Zaen Kasturi (Katarsis)
Dia lah yeng telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi, dan Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana
Al Fath 4
Timur membutuhkan semangat dan dinamisme Barat. Barat membutuhkan ketenangan dan kedamaian Timur. Melaju dengan kecepatan tinggi tanpa rem, kecelakaan menunggu Barat. Berdiri malas di tempat tanpa semangat, Timur akan mati konyol. Pertemuan antara Barat dan Timur bermanfaat bagi keduanya.
Anand Krishna (Indonesia Under Attack! Membangkitkan Kembali Jati Diri Bangsa)
Rezeki yang berkat, sedikitnya cukup dan banyaknya boleh diagihkan. Ia harta yang memberikan ketenangan. Sebaliknya harta yang tidak berkat, sedikitnya tidak cukup, dan banyaknya tetap tidak memuaskan hati. Ibarat meminum air laut, semakin minum, makin bertambah haus.
Pahrol Mohamad Juoi (Rehatkan Hati Dengan Solat)
Di perjalanan hidup yang panjang penuh dugaan dan pancaroba memerlukan ketenangan jiwa
A.D. Rahman Ahmad
Tuhan ditemukan dalam diri sesama, ya dalam diri sesama. IA ada dalam empati mereka, dalam kemarahan mereka, dalam ketenangan dan kasih mereka"- Kumpulan cerita pendek Mama Rice
Ignasius Dicky Takndare
Agama akan tetap, tapi yang mengalami perubahan adalah diri Tuan sendiri. Jangan jadikan agama sebagai aturan, karena Tuan akan merasa terbebani, tapi jadikan agama sebagai kebutuhan, maka Tuan akan mendapatkan ketenangan.
Indah El Hafidz (Serpihan Cinta di Hollandia)
Dunia dipenuhi kebohongan, ketamakan, kepedihan, dan penderitaan. Tidak ada kenyamanan di dunia. Yang ada hanya kezaliman dan kekalahan. Oleh karena itu, taatlah kepada Allah dan pandanglah dunia sebagai hal yang remeh. Dengan cara ini, engkau akan mendapatkan ketenangan hati. Jiwa kalian juga akan mendapatkan ketenteraman.
Sibel Eraslan (Maryam: Bunda Suci Sang Nabi)
Kalian menjalani hidup bebas dalam ketenangan dan keamanan, di tempat yang tidak ada badai dan penganiayaan - dari sanalah kalian melakukan tugas kerasulan kalian. Di sana kalian dianggap rasul-rasul Tuhan yang hebat. Kalian mengirim prajurit-prajurit ke medan perang yang penuh pergolakan. Tetapi para jenderal yang menghangatkan badan di dekat api di tenda mereka tidak selayaknya mengkritik para prajurit yang dijadikan tawanan...
Shūsaku Endō (Silence)
Hidup yang tenang adalah hidup yang seimbang. Dalam kesenangan ada kesedihan. Dalam kekuatan ada kelemahan. Dan semua itu harus diolah.
Maisie Junardy (Man's Defender (Distinguished Trilogy, #1))
Banyak yang percaya sebenarnya tiap orang punya Everest masing-masing yang harus ditaklukkan dalam dirinya. Untuk menaklukkan Everest dalam diri, kita perlu ketenangan sebagai fondasi, lalu membangkitkan kekuatan dan diri sendiri, juga dukungan orang lain—terutama orang-orang terdekat kita.
Maisie Junardy (Man's Defender (Distinguished Trilogy, #1))
Hal 7: saya tidak pernah mengutuk hari kelahiran saya; justru semua hari-hari lain yang saya kutuk.... Jika kematian hanya memiliki sisi negatif, mati akan menjadi tindakan yang mustahil untuk dihadapi. Semua ada; semua tiada. Keduanya sama-sama memberikan ketenangan. Orang yang penuh kecemasan, sayangnya, terjebak di antara keduanya, gemetar dan bingung, selamanya dipermainkan oleh nuansa tipis, tidak bisa menemukan pijakan dalam kepastian "ada" atau dalam ketiadaan "ada".
Emil M. Cioran (The Trouble With Being Born)
Dewasa itu bukan soal umur atau gelar. Tapi soal bagaimana kita tetap tenang saat disalahpahami, dan tetap adil saat sedang kecewa.
Arbie Ruswandono
Bahwa dunia ini tidak membutuhkan seorang penguasa yang lemah. Umat manusia hanya akan tunduk di hadapan kekuatan dan keberanian juga kecerdikan yang pada akhirnya akan sulit sekali dibedakan dari keculasan, serta rasa percaya diri dan ketenangan yang sempurna, meskipun sifat-sifat tersebut milik seorang durjana (hlm. 95).
Azhari Aiyub (Kura-Kura Berjanggut)
Anatomi Sebuah Penolakan Aku menuliskanmu, lalu kau menatap balik tanpa meratap dengan sorot mata benda mati yang muak menjadi cermin bagi siapa saja. Kau berkata: Aku bukan puisi dan kau bukanlah penyair. Aku tak ingin menjadi ladang tempat manusia menanam duka, lalu memetik ketenangan palsu dari reruntuhannya. Dan aku terdiam— seperti algojo yang tiba-tiba disapa oleh tajam bilah pedangnya sendiri. Kau menolak metafora, menepis ritme, menghancurkan rima seolah semuanya adalah wajah-wajah palsu yang sengaja kupasangkan padamu agar dunia merasa nyaman membaca sakitku. Kau menudingku: “Kau ingin selamat, bukan? Kau ingin terlihat dalam, bijaksana, bercahaya— padahal kau hanya gemetar mencari alasan untuk membenarkan retak di dalam dirimu.” Kata-katamu membekukan. Tidak ada air mata. Tidak ada amarah. Hanya keheningan logam yang menancap ngilu pada tulangku. Lalu kau memutuskan diri: Aku tidak akan memeluk siapa pun. Aku tidak akan menjadi pelarian pembaca yang ingin merasa suci. Aku tidak akan memaafkan penulismu. Aku tidak akan memberi katharsis. “Aku hanya akan menjadi luka yang dituliskan ulang tanpa belas kasihan,” katamu. “Sebab luka yang terlalu sering dinyatakan pada akhirnya hanya akan menjadi perayaan kesedihan.” Dan aku berdiri di hadapanmu seperti tubuh yang kehilangan bayangan menyadari bahwa tak ada yang lebih kejam daripada sebuah puisi yang memilih untuk tidak menyelamatkan. Kau membalik halaman. Kau memadamkan seluruh api kemungkinan. Dan aku, untuk pertama kalinya, mengerti bahwa kepenyairan bisa menjadi bentuk penghakiman paling dingin atas keberadaanku sendiri. Puisi bukan untuk ditahbiskan, katamu. Puisi adalah tempat di mana penulis akhirnya ditaklukkan dan mati demi kesunyiannya sendiri. November 2025
Titon Rahmawan
Elegia Saras Saras, aku menuliskan namamu dengan tangan yang gemetar, seperti seseorang yang kembali dari jurang kematian, membawa potongan malam di sela-sela jarinya. Aku tak pernah benar-benar tahu mengapa kau datang pada seorang yang telah kehilangan seluruh nilai kemanusiaannya. Aku hanya tahu: ketika aku mulai berubah menjadi bayangan yang tak lagi memiliki suhu, kau duduk di sebelahku dan memanggilku manusia. Ada sesuatu yang patah di dadaku waktu itu— sebuah retakan yang tak membuatku runtuh, melainkan membuatku mendengar detak terakhir jiwaku sendiri. Aku harus mengaku: aku telah membawa banyak hantu. masa lalu yang menjadi luka cahaya. Ilusi yang menjadi obsesi tanpa tubuh. Semua kekeliruan yang kubela seperti altar. Semua kebodohan yang kupelihara seperti anak kandung. Namun kau tidak pernah menutup pintu. Tidak pernah mengusir ingatan yang menempel di kulitku seperti abu. Kau hanya berkata: biarkan semua tinggal, tapi jangan biarkan mereka merusakmu lagi. Saras, aku tidak pernah tahu ada manusia yang bisa begitu lapang tanpa menjadi kosong, yang bisa begitu baik tanpa menjadi kudus, yang bisa begitu hadir tanpa mengikat apa pun. Kebaikanmu adalah semacam cahaya yang tidak menghanguskan, api panas lembut yang membuatku sadar bahwa mungkin aku belum sepenuhnya hilang. Di titik paling nadir, ketika seluruh yang kuperjuangkan runtuh seperti bangunan tua yang disenggol angin, ketika tak ada yang tersisa dariku selain ampas keinginan dan debu kegagalan, aku berharap kau pergi. Agar aku tak perlu menanggung rasa bersalah karena masih ada seseorang yang menatapku sebagai sesuatu yang layak untuk diperjuangkan. Namun kau tidak pergi. Kau diam di sisiku dengan ketenangan yang membuat jiwaku bergetar. Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun aku mengutuki diri, aku berhenti. Hanya berhenti. Tak lagi ingin memukul wajahku sendiri, tak lagi ingin membenci suara di kepalaku. Semuanya berhenti, karena kau tidak pergi ketika aku hancur. Saras, elegi ini bukan permintaan maaf. Bukan pula pujian. Ini adalah tubuhku yang terakhir, ditulis dari retakan dada yang akhirnya berani mengakui: Aku bersyukur. Bersyukur karena pernah memilikimu, melewati ingatan pahit, hasrat yang menyesatkan, ambisi yang membuatku buta, dan obsesi yang menelan kebahagiaanku sendiri. Aku bersyukur karena kau tidak pernah menuntut balas. Tidak pernah meminta bahu yang setara. Tidak pernah menghitung luka yang kau cium dari hidupku. Kau hanya mencintai dengan cara yang menakutkan bagiku— karena terlalu jujur, terlalu manusiawi, terlalu nyata untuk seorang sepertiku yang lama tinggal di ruang ilusi. Kini aku menuliskan puisi ini sebagai seorang yang akhirnya sadar: tanpa kau, Saras, aku mungkin telah hilang di dalam kabut pikiranku sendiri. Harapan terakhirku adalah kau tahu bahwa dari semua nama yang pernah membuatku bergetar, dari semua wajah yang pernah kucintai dengan cara yang salah, hanya kaulah yang membuatku ingin tetap ada. Bukan demi cinta. Bukan demi masa depan. Melainkan demi sesuatu yang lebih sederhana, lebih jujur, lebih manusiawi: agar aku bisa menjadi manusia yang tidak lagi menyakiti diri sendiri. Saras, elegi ini adalah bukti terakhir bahwa di dalam gelap terdalamku ada satu cahaya kecil yang tidak pernah padam— dan itu bukan aku. Itu adalah dirimu. November 2025
Titon Rahmawan
404: Empathy Not Found [system message] Faith.exe gagal dimuat. File rusak sejak pembaruan terakhir peradaban. Bukankah kegelapan itu— sejenis underground server room, tempat kesadaran disimpan dalam format zip, dan doa diunggah dalam gelap tanpa penerima? Kau menyebutnya “ruang bawah tanah”, aku menyebutnya “cache of forgotten souls.” Lagu yang sama diputar ulang: verse tentang penebusan, bridge tentang kematian, refrain yang diulang, diulang, diulang— sampai maknanya terkikis oleh algoritma rekomendasi. Kita memutar ulang sejarah dalam loop playback, mengganti bait dengan data, mengganti iman dengan simulation of belief. (notification ping!) “Kebenaran trending di tab spiritual.” Siapa yang percaya? Siapa yang membeli? Tak ada lagi nabi di pinggir jalan, hanya content creator yang menjual mukjizat instan dalam format video berdurasi 59 detik. [insert advertisement here] “Temukan ketenangan batin versi 2.1 — dengan AI-guided meditation dan sertifikat kebahagiaan abadi.” Kau mengetuk pintu, tapi rumah-rumah itu hanya avatar: dindingnya terbuat dari feed, jendelanya dari comment section, penghuninya hanyalah profil palsu yang mengulang doa secara otomatis. Sejarah disunting dengan filter nostalgia, iman disesuaikan dengan subscription tier, dan kebenaran dikurasi oleh admin yang tak pernah tidur. Ide-ide memenuhi kepala seperti pop-up windows, dan mulutmu berbusa oleh update patch moralitas yang sudah kadaluwarsa. (warning:) “Overload: terlalu banyak opini. Sistem kehilangan empati!” Fantasi, ilusi, dogma— kini hanya deretan kata sandi yang gagal diverifikasi. Kau membangun altar kebahagiaan dari user agreement yang tak pernah kau baca, dan di atas pondasi rasa takut yang kau sebut iman digital. Tapi lihatlah, bahkan surga pun kini membutuhkan cloud storage. Apakah kita akan menemukan kebenaran? Tidak dengan mengalaminya. Tidak dengan mengakses apa yang telah dihapus. Kebenaran bukan lagi cahaya, melainkan glitch — sekejap kilat dalam gelap, pantulan dari mata kamera yang nyaris padam. [end transmission] Di layar terakhir, hanya satu kalimat tersisa: “Segala yang kau yakini adalah hasil edit terakhir.” (cursor berkedip. diam. tak ada respons.) // 404: Empathy Not Found // November 2025
Titon Rahmawan
Membuka Ingatan // Versi Dialektik-Gnostik Post Truth Siapa sekarang yang bisa melarang kita membuka ingatan? Bukan lagi seperti mengelupas kulit buah simalakama, tetapi seperti membedah teks yang kita tahu akan selalu mengkhianati niat pembacanya. Sebab ingatan kita hari ini bukan ruang suci sufistik tempat ruh menyentuh cahaya primordial, melainkan data center gelap yang mengulang pertanyaan eksistensial dengan latency yang tak pernah stabil. Dulu para darwis berputar mencari Tuhan. Kini kita berputar tak menentu di antara notifikasi yang memaksa kita percaya bahwa “makna” bisa diunduh, bahwa “ketenangan” adalah fitur berlangganan, bahwa kebenaran bisa diedit seperti caption foto yang memalsukan cahaya. Di tengah kekacauan itu sebuah suara bertanya: “Siapa yang menciptakan kenangan?” Kita? Atau algoritma yang mengurutkan fragmen hidup berdasarkan apa yang paling lama kita tatap? Sufi berkata: cahaya berasal dari sumber yang tak berubah. Camus menertawakannya: segala absurditas lahir karena kita terus menagih jawaban pada alam yang bisu. Sartre menyela: kau bebas—dan itulah kutukanmu. Derrida membongkar semuanya, mengingatkan bahwa teks yang kita baca selalu membocorkan diri dari dalam. Lalu mana yang benar? Kosmologi batin, logika eksistensi, atau kekacauan bahasa? Tak ada yang menang. Tak ada yang selesai. Semua saling membatalkan. Semua saling membuka retakan. Saat kita membuka ingatan, kita justru menemukan bahwa ingatan itu sendiri adalah arena perang epistemologi yang berebut mendefinisikan diri kita. Ingatan sufistik: “kau berasal dari keabadian.” Ingatan digital: “kau hanyalah riwayat pencarian, yang tersimpan dalam server cloud.” Ingatan eksistensial: “kau lahir dari keputusanmu untuk memilih, bukan dari rahim metafisika.” Ingatan post-truth: “apa pun yang kau percayai akan menjadi kebenaranmu, selama kau cukup bising mengulangnya.” Dan cinta— ah, cinta bahkan tidak luput dari pertarungan ini. Sufi bilang cinta adalah jalan pulang ke diri. Eksistensialis bilang cinta adalah pilihan absurd yang kau pertahankan dengan disiplin. Kecerdasan digital bilang cinta adalah pola yang bisa diprediksi oleh perilaku klik-mu. Post-truth bilang cinta hanyalah narasi yang kau bangun demi merasionalisasi keinginan. Siapa yang benar? Mungkin tidak ada. Mungkin semuanya. Mungkin kebenaran adalah residu terakhir yang tersisa setelah seluruh dusta dan seluruh keyakinan bertabrakan dan menyisakan abu. Dan ketika ingatan itu akhirnya terbuka, kita melihat sesuatu yang mengganggu: bukan cahaya, bukan kegelapan— melainkan ruang kosong yang menunggu kita mengisinya dengan keberanian untuk mengakui bahwa kita tak lagi mengerti apa itu “makna.” Bahwa kita bukan makhluk beriman, bukan makhluk berlogika, bukan makhluk berpengetahuan, tetapi makhluk yang terus bernegosiasi di antara tiga keinginan dasar: percaya, meragukan, menciptakan. Dan dari situ, kita belajar satu hal yang menertawakan seluruh kosmologi lama: membuka ingatan adalah membuka kesempatan untuk kehilangan kepastian. Sebab kepastian adalah candu, dan manusia— di era ini— tak membutuhkan kebenaran, melainkan alasan untuk tetap bertahan dari cengkeraman ambigu. 2025
Titon Rahmawan
Mendedah Realitas // Versi Ironis–Tragis–Nihilistik Tidak ada yang benar-benar melarang kita mendedah realitas. Yang melarang hanyalah rasa takut yang tak nyata yang kita bungkus rapi seolah kesunyian punya moralitasnya sendiri. Ketika kita membukanya, kita menemukan sesuatu yang lebih menyakitkan dari rahasia apa pun— bukan makna, tapi ketiadaan makna yang berbaring seperti jasad yang sudah dingin, menunggu siapa yang berani menyentuhnya. Nietzsche berbisik dari suatu tempat yang tak bertuhan: “Realitas bukan sesuatu yang kau temukan, tapi sesuatu yang kau paksa untuk bernapas.” Namun ia sendiri pun terperosok ke dalam jurang kata-kata yang ia ciptakan untuk membebaskan diri. Agustinus menjawab dengan getir, seperti seseorang yang terlalu lama menyesali masa mudanya: “Yang nyata hanyalah yang ditopang iman keyakinan.” Tapi ia pun gemetar ketika malam terlalu sunyi dan doanya memantul kembali tanpa jawaban. Zen Buddhis tertawa pelan, bukan karena ia menemukan pencerahan, tapi karena ia tahu bahwa pertanyaan semacam itu selalu kalah oleh kekosongan. “Realitas hanyalah bayangan pikiran.” Namun pikiran— adalah tempat pertama di mana semua luka tumbuh. Dan kita? Kita hanya duduk di antara mereka seperti anak terlambat belajar yang tak tahu harus mempercayai siapa: dia yang membunuh Tuhan, dia yang memeluk Tuhan, atau dia yang mengatakan tak ada apa-apa sejak awal mula. Semakin dalam kita membuka realitas, semakin terasa bahwa yang tersingkap bukan cahaya, bukan kebenaran, tetapi lapisan-lapisan ironi tragis yang menertawakan keinginan kita sendiri untuk mengerti sesuatu yang bahkan tidak memiliki pusat gravitasi. Barangkali realitas adalah semacam pembusukan yang berlangsung teramat lambat— kita mengendus aromanya, berpura-pura itu adalah parfum filsafat. Atau mungkin ia hanya cermin yang memantulkan wajah kita yang lelah, yang pucat oleh harapan, yang terjerat antara ingin percaya dan ingin berhenti peduli sama sekali. Zen berkata: lepaskan. Nietzsche berkata: tumbuhkan kehendak. Agustinus berkata: bertobatlah. Skeptisisme modern berkata: klik refresh dan lanjutkan hidup. Namun malam tetap datang dengan kesenyapan yang tak bisa kita tawar. Ia membongkar pikiran kita tanpa belas kasihan, meninggalkan sisa diri yang tak lagi padat, tak lagi utuh, sekadar debu yang tahu bahwa keberadaannya pun hanya sementara. Pada akhirnya, mendedah realitas bukan tentang menemukan apa atau siapa. Ini adalah latihan kehilangan: kehilangan jawaban, kehilangan harapan, kehilangan tumpuan yang selama ini kita yakini sebagai fondasi. Dan dari kehilangan itu muncul sejenis ketenangan muram— seperti lampu jalan yang terus menyala di jalan terpencil, meski tak ada seorang pun yang benar-benar membutuhkannya. November 2025
Titon Rahmawan
Ketenangan itu bukan tidak ada masalah, tapi saat kita tidak lagi dikendalikan olehnya.
Khabib Bima