Kegagalan Adalah Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Kegagalan Adalah. Here they are! All 40 of them:

Kegagalan kita untuk memaafkan, kesediaan kita untuk mengakui dendam, adalah penerimaan tentang batas. Setelah itu adalah doa. Pada akhirnya kita akan tahu bahwa kita bukan hakim yang terakhir... Di ujung sana, Tuhan lebih tahu.
Goenawan Mohamad (Catatan Pinggir 1)
Jika kegagalan adalah sukses yang tertunda, berarti bisa kita harapkan kebohongan adalah jujur yang tertunda .... Mengapa kalian pesimistis?
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Kegagalan adalah perasaan yang selalu membayangi langkah seorang pecundang, dan kegagalan yang sama itu pulalah yang dipakai oleh orang-orang sukses sebagai batu pijakan untuk meraih apa yang mereka impikan.
Titon Rahmawan
Ketika kami tidak mengerjakan ujian dengan baik, guru akan mencerca kami, dan mengeluh bahwa ia mengajar kelas berisi siswa-siswa idiot yang tidak berguna. Guru, seharusnya Anda tidak meremehkan kami, karena kegagalan kami adalah awal keberhasilan
Ma Yan
Perang adalah kekalahan semua orang, karena perang memang hanya kegagalan, bagi manusia yang terjajah gagasan menang. Maka perang menjadi gagalnya kemanusiaan.
Seno Gumira Ajidarma (Nagabumi II: Buddha, Pedang dan Penyamun Terbang)
GAGAL ITU BIASA. Yang penting itu adalah bagaimana kita menghadapi kegagalan itu. Nggak diterima, ditolak atau dianggap remeh sama orang itu biasa, jangan dibawa kesel. Perlu kita tau, orang yang menganggap remeh kita adalah guru kita, kenapa? Karena dia membuat kita kesel dan berapi-api untuk membuktikan kepada dia kali kita nggak seperti yang dia bayangkan.
Benazio Putra (Benabook)
Orang yang selalu menunda-nunda niatnya tidak akan mencapai apa-apa. Bertindak memang ada bahayanya, tetapi bila kita duduk saja menunggu rezeki nomplok, yang akan datang adalah kegagalan. Kesampingkan saja keragu-raguan anda dan maju terus.!
Og Mandino
• Latih dirimu untuk selalu yakin pada apa yang kamu kerjakan, dan kerjakanlah sepenuh hati. Kalau kau sudah melakukan ini, maka kesuksesan dan kegagalan adalah konsekuensi yang tak akan mebahayakan kestabilan jiwamu. Kau tak akan mudah terbius oleh kesuksesan, sebagaiman kau tak akan mudah patah oleh kegagalan. Nikmati saja seperti kau menikmati cerahnya siang dan merindukan gelapnya malam.
Akmal Nasery Basral (Imperia)
Antara kegagalan terbesar manusia adalah, apabila dia membuat sesuatu, dia cuba menjaga hati semua orang. Tiada manusia yang mampu menjaga hati semua orang
Bahruddin Bekri (Lelaki Berkasut Merah)
Artinya, kita harus merayakan kegagalan kita hari ini, karena ini adalah pertanda nyata bahwa petualangan kita di dunia penemuan belum berakhir. Dan, mau tidak mau, aku harus mengakui bahwa kesedihan dalam mengakhiri sebuah eksperimen lebih besar daripada perayaan keberhasilannya.
Jacqueline Kelly (The Evolution of Calpurnia Tate (Calpurnia Tate, #1))
Kegagalan bukan karena kita tak berhasil mewujudkan cita-cita masa kecil kita. Kegagalan adalah jika kita berhenti mencoba. Tidak masalah berapa kali kita gagal. Baru menjadi masalah jika kita tak mau bangkit dari kegagalan itu.(hal 27, Ordinary Mom)
Triani Retno A.
Ada luka sumbing serupa gempil bibir poci di hati semua orang. Cacat yang berusaha keras mereka sembunyikan dari dunia. Tapi tak semestinya kita mengenakan topeng hanya demi menutup secebis luka. Tak semua hal mesti kita cerna dengan tatapan mata curiga serupa itu. Maka dari itu, coba dengarkan apa kata Bundamu ini, Nak. Manusia tak perlu harus jadi sempurna agar ia dihargai. Sebagaimana keindahan bisa muncul dari hal kecil dan sederhana. Termasuk apa yang tampak pada selembar kain batik yang lusuh atau cangkir teh yang somplak ujungnya. Kita bisa belajar dari kintsugi, menjadi bijak tanpa harus bergegas menjadi tua; bagaimana menorehkan pernis emas pada sebuah cawan tembikar yang terlanjur retak. Betapa sesungguhnya, sebuah guci porselen yang jatuh, pecah dan bahkan rusak tak berarti kehilangan semua nilai yang dimilikinya. Ketidaksempurnaan tidak akan mengecilkan arti dirimu. Sebab hanya ketangguhanmu melewati bukit penderitaanlah yang akan membuatmu menemukan cahaya kebahagiaan yang sesungguhnya. Bagaimana kamu bisa belajar menghargai kekurangan pada diri sendiri. Bagaimana kamu bisa menerima kesalahan dan bahkan kegagalan. Sebagaimana alam memaknai wabi sabi, ketidak sempurnaan bukan sesuatu yang harus ditolak atau disangkal. Ia mesti disambut sebagai air telaga yang jernih, kesegaran embun di pagi hari, atau aroma petrichor di musim penghujan. Setiap kali engkau jatuh dan menjadi rapuh, engkau bisa merangkaikan kembali serpihan serpihan hatimu. Tak akan pernah kehilangan tujuan yang engkau perjuangkan. Sebab setiap bekas luka seperti juga keringat dan airmata, adalah permata yang lahir dari segenap jerih payahmu. Ia terlalu berharga untuk kamu sia siakan. Manik manik gemerlap yang dapat engkau rangkai menjadi perhiasan unik nan cantik yang akan selamanya jadi milikmu. Jangan pernah takut terantuk batu. Jangan sekalinya jeri dicerca burung. Jangan merasa ngeri terempas badai. Sebab saat nanti engkau sampai ke puncak, kau akan bisa melihat dunia sebagai miniatur lanskap yang permai dan elok untuk dikenang. Karena demikianlah semestinya hidup, ia adalah keindahan yang tercipta dari kekurangan dan ketidaksempurnaan diri kita.
Titon Rahmawan
kebahagiaan terbesar adalah ketika menerima pengakuan dan penghargaan atas kualitas dirimu. sebaliknya, duka terbesar adalah kegagalan menjaga mereka dari pertahananmu.
wasiman waz
Manusia hebat adalah manusia biasa, namun selalu mencoba hal hal yang tidak biasa. Mereka buka yang tak pernah gagal, namun selalu belajar dari setiap kegagalan.
Priyo Sudibyo
Kegagalan untuk bersyukur adalah awal rentetan keluhan dalam hidup
Victoria Tunggono (Gerbang Nuswantara)
Hidup ini adalah perjalanan panjang. Kumpulan dari hari-hari. Di salah satu hari itu, di hari yang sangat spesial, kita dilahirkan. Kita menangis kencang saat menghirup udara pertama kali. Di salah satu hari lainnya, kita belajar tengkurap, belajar merangkak, untuk kemudian berjalan. Di salah satu hari berikutnya kita bisa mengendarai sepeda, masuk sekolah pertama kali, semua serba pertama kali. Dan kini kita penuh dengan kenangan masa kecil yang indah, seperti matahari terbit. Lantas hari-hari melesat cepat. Siang beranjak datang dan kita tumbuh menjadi dewasa, besar. Mulai menemui pahit kehidupan. Maka, di salah satu hari itu, kita tiba-tiba tergugu sedih karena kegagalan atau kehilangan. Di salah satu hari berikutnya, kita tertikam sesak, tersungkur terluka, berharap hari segera berlalu. Hari-hari buruk mulai datang. Dan kita tidak pernah tahu kapan dia akan tiba mengetuk pintu. Kemarin kita masih tertawa, untuk besok lusa tergugu menangis. Kemarin kita masih berbahagia dengan banyak hal, untuk besok lusa terjatuh, dipukul telak oleh kehidupan. Hari-hari menyakitkan. Tapi sungguh, jangan dilawan semua hari-hari menyakitkan itu. Jangan pernah kau lawan. Karena kau pasti kalah. Mau semuak apa pun kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap terbit indah seperti yang kita lihat sekarang. Mau sejijik apa pun kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap memenuhi janjinya, terbit dan terbit lagi tanpa peduli apa perasaanmu. Kau keliru sekali jika berusaha melawannya, membencinya, itu tidak pernah menyelesaikan masalah. Peluklah semuanya. Peluk erat-erat. Dekap seluruh kebencian itu. Hanya itu cara agar hatimu damai. Semua pertanyaan, semua keraguan, semua kecemasan, semua kenangan masa lalu, peluklah mereka erat-erat. Tidak perlu disesali, tidak perlu membenci, buat apa? Bukankah kita selalu bisa melihat hari yang indah meski di hari terburuk sekalipun?
Tere Liye (Pulang)
Benci bukan kontradiktif dari cinta. Domainnya berbeda. Benci adalah submit atas kegagalan menata perasaan. Sementara, kebencian timbul oleh sebab kecemburuan yang tidak mendapatkan tempatnya.
Ilham Gunawan
Kegagalan yang seringkali membayang bayangi seorang penulis adalah ketidak mampuannya memprioritaskan pengalaman dan keterlibatan emosional pembaca atas karya yang ia tulis di atas kepentingannya sendiri. Kagagalan terjadi tatkala sang penulis tak mampu melepaskan diri dari beban egoismenya untuk tampil dan menyuarakan dirinya sendiri. Cerita yang baik tidaklah demikian. Cerita yang baik menciptakan jarak antara jati diri si penulis dengan watak dan karakter tokoh tokoh yang ia ciptakan.
Titon Rahmawan
Ada kecenderungan untuk meninggalkan kegagalan dan membiarkannya tertimbusdek masa.Jumlah pembelajaran yang amat banyak terbazir begitu saja kerana kegagalan tidak di kupas sepenuhnya.Jadi pembelajaran sebenar adalah apa yg dipelajari drpd kegagalan.
Andrew S. Grove
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, Telah meninggal dunia ibu, oma, nenek kami tercinta.... Requiescat in pace et in amore, Telah dipanggil ke rumah Bapa di surga, anak, cucu kami terkasih.... Dalam sehari, Bunda menerima dua kabar (duka cita / suka cita) sekaligus. Apakah kesedihan serupa cucuran air hujan yang jatuh dan mengusik keheningan kolam? Apakah kebahagiaan seperti sebuah syair yang mesti dipertanyakan mengapa ia digubah? Bagaimana kita mesti menjawab pertanyaan tentang kematian orang orang terdekat? Mengapa mereka pergi? Kemana mereka akan pergi? Memento mori, serupa nyala api dan ngengat yang terbakar. Seperti juga lilin yang padam, bunga yang layu, ranting yang kering, pohon yang meranggas. Mereka hanyalah sebuah pertanda, bahwa semua yang hidup pasti akan mati. Agar kita senantiasa teringat pada tempus fugit, bahwa waktu yang berlalu  tak akan pernah kembali. Ketika Bunda masih muda, sesungguhnya Bunda sudah tidak lagi muda, tak akan pernah bertambah muda, tak akan kembali muda. Waktu telah merenggut kemudaan kita pelan pelan. Ketuaan adalah sebuah keniscayaan, dan kematian adalah sebuah kepastian. Tak ada sesuatu pun yang abadi, Anakku. Ingatan tentang mati semestinya memberi kita pelajaran berharga. Jangan pernah menyia nyiakan waktu. Jangan hilang niat untuk bangkit dari ranjang. Jangan terlalu malas untuk bekerja. Jangan terlalu letih untuk menuntaskan hari. Jangan pernah lupa untuk berdoa. Jangan lalai untuk bersyukur. Jadikan hari ini sebagai milikmu. Ketika semua perkara seakan menggiring langkahmu pada kesulitan, kegagalan, ketidakpastian dan rasa sakit. Pikirkanlah siapa yang akan jadi malaikat pelindung dan penolongmu? Bagaimana engkau akan menemukan eudaimonia? Bagaimana engkau hendak memaknai hidup? Dalam sekejap mata hidup bisa berubah. Waktu berlalu dan ia tak akan pernah kembali. Gunakan kesempatan untuk bercermin pada permukaan air yang jernih. Tatap langsung kedalaman telaga yang balik menatap kepada dirimu. Abaikan rasa sakit dan penderitaan, sebab puncak gunung sudah membayang di depan mata dan terbit matahari akan menghangatkan kalbumu. Cuma dirimu yang punya kendali atas pikiran, hasrat dan nafsu, perasaan dan kesadaran inderawi, persepsi, naluri dan semua tindakanmu sendiri. Ketika kita mengingat kematian, kita tidak akan lagi merasa gentar. Sebab ia lembut, ia tak lagi menakutkan. Ia justru menuntaskan segala rasa sakit dan penderitaan. Ia pengejawantahan waktu yang berharga, kecantikan yang abadi, indahnya rasa syukur, dan kemuliaan di balik setiap ucapan terima kasih. Ia mengajarkan kita bagaimana menghargai kehidupan yang sesungguhnya. Ia membimbing kita menemukan pintu takdir kita sendiri. Apapun perubahan yang menghampiri dirimu. Ia adalah pintu rahasia yang menjanjikan kejutan yang tak akan pernah kamu sangka sangka. Yang terbaik adalah menerimanya sebagai berkat. Apa yang ada dalam dirimu adalah kekuatanmu. Engkau akan membuatnya berarti. Bagi mereka yang paham, takdir dan kematian adalah sebuah karunia, seperti juga kehidupan. Sesungguhnyalah kita ini milik Allah dan kepada-Nyalah kita akan kembali.
Titon Rahmawan
Betapa banyaknya ketidakadilan di duni ini. Tidak hanya di Inodnesia tetapi di mana-mana di seluruh dunia. Di Guatemala, di Vietnam, di AS, di Rusia, di Ceko, di Afrika, dll. Seolah-olah dunia ini adalah tumpukan sampah dari nafsu dan ketamakan manusia. Kadang-kadang saya berpikir apakah tidak lebih baik meledakan dunia ini agar supaya semuanya berakhir. Tetapi di samping semua itu kita juga melihat manusia-manusia yang bergulat untuk suatu cita-cita. Sebagian mereka berhasil dan jadi orang terhormat Gandhi, Kennedy, tetapi berjuta-juta tenggelam dalam 'sampah-sampah' dan hilang ditelan waktu. Tetapi yang lebih menyedihkan adalah mereka yang menemui kekecewaan-kekecewaan dan kemudian dipenuhi oleh rasa benci pada lawan-lawannya. Bertekad menghancurkan dunia 'lawan' dan kejam terhadapnya. Semuanya. Saya kira idealis-idealis besar apakah dia communist-facist-black power dan lain-lainnya dibakar oleh suatu cita-cita yang sama. Kemuakan pada kemesum-kemesuman dunia dan cinta pada mereka yang tertindas. Berapakah di antara mereka yang tetap bertahan dalam kegagalan? Saya tak tahu masa depan saya. Sebagai orang yang berhasil? Sebagai orang yang gagal terhadap cita-cita idealisme? Lalu tenggelam dalam waktu dan usia? Sebagai orang yang kecewa dan lalu mencoba menteror dunia? Atau sebagai seorang yang gagal tetapi dengan penuh rasa bangga tetap memandang matahari yang terbit? Saya ingin mencoba mencintai semua. Dan bertahan dalam hidup ini.
Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran)
Oleh akibat ketidak-berpihakan, ketidak-beruntungan, ketidak-terpilihan, ketidak-sesuaian, ketidak-terjawaban doa-doa, kegagalan, keterlepasan, isolasi dan kehilangan. Perlahan kamu mulai menyadari sebuah fakta, bahwa kamu ternyata tidak spesial. Simply tidak ada yang spesial dari diri kamu. Biasa saja. Cuma satu dari milyaran organisme yang terserak di perairan purba yang tak berbatas. Biasa. Biasa. Biasa. Biasa. Biasa. Biasa. Dan biasa. Seperti produk massal. Tissue toilet yang diganti setiap hari oleh petugas janitor. Lahir, mengkonsumsi, kerja, mengkonsumsi, berkembang biak, mengkonsumsi, kerja, mengkonsumsi lalu mati. Mati pun tidak pasti apakah tetap mati, ataukah kembali lagi ke bentuk awal, lahir. Begitu seterusnya. Berulang terus dan terus sampai entah kapan. Cuma serangkaian episode dari keberulangan setiap hari. Seperti sebuah roll film yang sama yang digunakan untuk merekam bermacam adegan yang berbeda setiap harinya. Adegan pertama dihapus, lalu ditindih kembali untuk bertukar dengan adegan kedua. Adegan kedua berganti yang ketiga, dan begitu seterusnya. Sebuah keberulangan yang berbeda terus menerus, tetapi tetap pada hakikatnya adalah sebuah roll film yang sama. Dalam satu gulungan besar yang sama. Dalam satu format yang serupa. Sebuah kebeluman yang terus menerus.. Banal dan tanpa makna.. Lalu, apakah sesuatu yang selamanya “belum selesai” masih dapat dikatakan sebagai sesuatu yang spesial? Spesial itu cuma akal-akalan pemasar. Kamu spesial kalau beli produk ini, kalau beli produk itu, kalau pakai parfum ini, kalau pakai kosmetik itu, kamu spesial itu kalau dalam sehari minimal ada satu kali transaksi digerai starbucks, kamu spesial itu kalau kamu pakai iphone 6 bahkan sebelum produknya keluar di pasar lokal, kamu spesial itu kalau kamu member fitness center, tentu kamu lebih spesial lagi kalau pakai personal trainer, kamu spesial kalau kamu fashionable, kalau kamu tech savvy, kalau kamu club hopper, kamu spesial itu kalau kamu kelihatan aktif berkeringat dalam trend lari kekinian yang hampir separuhnya berisi aktivitas narsis dan konsumsi bermacam produk running shoes, kamu spesial itu cuma kalau kamu pakai brand ini, pakai brand itu, kalau ini, kalau itu, kalau, kalau, kalau, kalau dan kalau.. Spesial itu cuma ada dalam quotes-quotes yang dikasih latar gambar pemandangan, kamu bisa comot-comot dari pinterest atau instagram lalu pasang sebagai profile picture di sosial media milikmu. Pun spesial bersemayam dalam kolase omong kosong yang dirangkum buku-buku swa-bantu atau dalam kutipan ayat dari kitab suci dalam status blackberry teman-teman kamu yang berusaha kelihatan religius, tapi jauh sekali dari makna religius dalam perilaku sehari-hari. Jadi, dari pada ngga ada habisnya memikirkan jawaban dari pertanyaan mengapa kamu tidak spesial? Mungkin kamu harusnya berfikir, buat apa jadi spesial? Harus banget ya jadi spesial? Harus banget ya beda dengan yang lain? Apa perlu banget jadi beda? Emang kalau ngga ada satu pun dari kita yang spesial, kenapa? Kalau kita semua ternyata sama, memangnya kenapa? Kalau kita semua berebut jadi spesial, lalu siapa yang mau berada di posisi tidak spesial? kalau semua spesial, apakah masih spesial namanya? Sudah, sekarang terima saja, bahwa ngga ada yang spesial dari diri kamu, dan seluruh kehidupan kamu yang begitu membosankan.. hidup ngga akan pernah repot-repot berusaha untuk menjaga perasaan kamu. Apalagi susah payah menempatkan kamu di posisi yang 'spesial'. Things happen because they need to happen. Spesial itu cuma soal kamu memberi bentuk pada makna. Tentang bagaimana kamu ingin dimaknai, tentang bagaimana kamu ingin diperlakukan, tentang bagaimana (anehnya) kamu ingin menerima kembali perlakuan yang kamu inginkan justru dengan cara memberikan perlakuan itu kepada yang lain diluar diri kamu. Tentang omong kosong soal konsep memberi untuk merima lebih banyak..
Ayudhia Virga
Jika kegagalan itu adalah hujan, kejayaan itu pula adalah matahari. Matahari dan hujan sama-sama diperlukan untuk menjadi pelangi. – Qiuzi
Ezza Mysara (Bukan Cinta Secondhand)
Cintailah dirimu sebagaimana dirimu berhak dicintai. Jangan terlalu keras menghukum diri jika melakukan kesalahan atau menemui kegagalan. Beri selamat atau penghargaan kepada dirimu, sekecil apa pun pencapaian yang kamu raih hari ini. Memang pada akhir hari, ketika kamu kembali ke rumah, kamu akan bertemu kembali dengan orang-orang yang mencintaimu dan membuatmu bahagia. Tetapi, bukankah lebih baik jika salah satu dari orang tersebut adalah dirimu sendiri?
Ika Vihara (A Wedding Come True)
Kita harus menerima bahwa kita tidak akan selalu membuat keputusan yang tepat, bahwa kita kadang-kadang akan mengacaukannya – memahami bahwa kegagalan bukanlah lawan dari kesuksesan, itu adalah bagian dari kesuksesan
Ambar Puspa Galuh
Titik kegagalan paling besar dalam hal uang adalah hanya mengandalkan satu gaji untuk mendanai belanja jangka pendek, tanpa tabungan untuk bantalan antara belanja masa kini dan belanja masa depan
Morgan Housel
Akibat ketidak-berpihakan, ketidak-beruntungan, ketidak-terpilihan, ketidak-sesuaian, ketidak-terjawaban doa-doa, kegagalan, keterlepasan, isolasi dan kehilangan. Perlahan kamu mulai menyadari sebuah fakta, bahwa kamu ternyata tidak spesial. Simply tidak ada yang spesial dari diri kamu. Biasa saja. Cuma satu dari milyaran organisme yang terserak di perairan purba yang tak berbatas. Biasa. Biasa. Biasa. Biasa. Biasa. Biasa. Dan biasa. Seperti produk massal. Tissue toilet yang diganti setiap hari oleh petugas janitor. Lahir, mengkonsumsi, kerja, mengkonsumsi, berkembang biak, mengkonsumsi, kerja, mengkonsumsi lalu mati. Mati pun tidak pasti apakah tetap mati, ataukah kembali lagi ke bentuk awal, lahir. Begitu seterusnya. Berulang terus dan terus sampai entah kapan. Cuma serangkaian episode dari keberulangan setiap hari. Seperti sebuah roll film yang sama yang digunakan untuk merekam bermacam adegan yang berbeda setiap harinya. Adegan pertama dihapus, lalu ditindih kembali untuk bertukar dengan adegan kedua. Adegan kedua berganti yang ketiga, dan begitu seterusnya. Sebuah keberulangan yang berbeda terus menerus, tetapi tetap pada hakikatnya adalah sebuah roll film yang sama. Dalam satu gulungan besar yang sama. Dalam satu format yang serupa. Sebuah kebeluman yang terus menerus.. Banal dan tanpa makna. Lalu, apakah sesuatu yang selamanya 'belum selesai' masih dapat dikatakan sebagai sesuatu yang spesial?
Ayudhia Virga
Akhir adalah sebuah kegagalan meskipun itu berakhir dengan indah. Tetapi untuk mereka yang tetap berjuang, Akhir merupakan Awal Baru yang tak pernah putus, seperti air yang tetap mengalir kemudian menguap dan menjadi hujan dan mengalir kembali mengikuti Alur siklusnya yang telah ditentukan
Harly Umboh
Memaknai Keberhasilan dan Kegagalan Ada keberhasilan yang sesungguhnya adalah candu. Ia tampak seperti nektar madu yang manis di bibir, tetapi diam-diam meracuni nadi dengan kesombongan, membius hati hingga lupa daratan, hingga manusia merasa berjalan di atas awan dan mendadak jatuh justru ketika mengira dirinya tak akan pernah terpeleset. Dan ada kegagalan yang sesungguhnya adalah obat. Terasa pahit di lidah, getir di kerongkongan, namun menyembuhkan jiwa yang lalai, mendidik kesabaran, menajamkan kerendahan hati, menyadarkan bahwa kaki manusia selalu berpijak di bumi, bukan di awang-awang. Ironinya, manusia justru lebih takut pada kegagalan daripada pada keberhasilan yang bisa menyesatkannya. Padahal kegagalan adalah guru yang keras, tetapi setia mengajarkan pelajaran yang tak pernah diberikan oleh pesta kemenangan. Sukses seringkali membuat manusia tuli, tak lagi mau mendengar kritik, menutup mata dari cacat dirinya. Sedang kegagalan membuat manusia membuka telinga, menyisir ulang langkahnya, membaca ulang peta yang salah ia baca. Namun apakah ukuran manusia semata adalah prestasi, harta dan keberhasilan? Adakah nilai seseorang harus dihitung dari seberapa tinggi ia mendaki, atau seberapa banyak ia mengumpulkan emas permata? Jika demikian, maka jiwa yang sederhana, yang bekerja dalam senyap tanpa sorot cahaya, tak akan pernah dinilai berharga. Padahal kebajikan sejati sering berdiam di tempat yang tak disorot kamera, dalam tangan-tangan cekatan yang menolong diam-diam, dalam dada yang ikhlas menerima luka tanpa dendam. Kebahagiaan bukanlah mahkota dari keberhasilan, dan nestapa bukanlah buah dari kegagalan. Bahagia adalah kedewasaan dalam menerima segalanya, menjadi bijak di tengah pasang surut kehidupan, memeluk diri yang kalah tanpa mencaci, mensyukuri diri yang menang tanpa menjadi pongah. Pada akhirnya, yang tersisa bukanlah pujian atau celaan, tetapi seberapa dalam kita belajar dari setiap proses, seperti pasang surut air laut. Adakalanya ia naik, ada saatnya ia akan turun. Seperti putaran roda, seberapa tulus kita memberi makna pada keberhasilan maupun kegagalan yang datang silih berganti seperti siang dan malam yang tak pernah berhenti. Yang lebih penting dari setiap perjuangan adalah, apakah kau tetap bisa tersenyum ketika terjatuh, tetap bisa berbagi ketika berlebih, tetap bisa bersyukur ketika kekurangan. Kebahagiaan sejati bukanlah piala emas di panggung kejayaan, melainkan keheningan hati yang mampu berkata: “Aku sudah berjuang dengan jujur. Aku belajar dari kekalahan dan kemenangan. Dan apa pun hasilnya, aku tetap utuh sebagai manusia.” Semarang, September 2025
Titon Rahmawan
Harapan dan Kejatuhan Ada saatnya kita menggenggam harapan seperti anak kecil yang memeluk balon. Kita jaga ia erat-erat, takut ia terlepas ke udara. Kita bangga memilikinya, mengagumi keindahan warnanya, meski tahu, satu tusukan duri kecil saja bisa membuatnya musna. Harapan seringkali adalah bahan bakar kehidupan: anak muda yang bekerja keras demi membeli rumah impian, orang tua yang menghemat demi pendidikan anak, pekerja yang menahan lelah demi sebuah promosi, atau sekadar seseorang penjaja koran yang percaya, bahwa esok akan lebih baik dari hari ini. Namun realitas tak selalu seindah skenario. Kadang harapan itu berasa kabur, seperti gelas yang jatuh pecah di kaki kita. Gaji tak cukup, cinta ditolak, janji diingkari, mimpi tak terwujud Kita gagal—dan kejatuhan itu membuat dada terasa sesak, seakan semua yang diperjuangkan berakhir sia-sia. Ironinya, di media sosial, kejatuhan makin terasa pahit. Kita membandingkan diri dengan kesuksesan orang lain yang sengaja dipamerkan. Flexing di mana-mana, membabi buta! Dan kita malu karena merasa miskin. Yang kita lihat hanya apa yang orang lain punya bukan proses berdarah-darah di balik layar. Maka kejatuhan bukan sekadar kegagalan, tapi juga merasa tertinggal, tersisih, terpinggirkan, terabaikan, tidak cukup. Namun, bukankah kejatuhan adalah bagian dari perjalanan harapan itu sendiri? Tanpa jatuh, kita tak pernah tahu betapa kuatnya kita bisa bangkit lagi berdiri. Tanpa rasa kecewa, kita tak akan mengerti arti sabar. Tanpa kehilangan, kita tak pernah belajar menghargai apa yang sempat kita miliki. Kejatuhan, jika direnungkan, justru menguji: apakah harapan kita seperti angin; angan yang sejuk bertiup atau realitas yang benar-benar nyata? Apakah mimpi kita hanya ilusi, atau sesuatu yang layak diperjuangkan. Mungkin inilah rahasia kecil yang sering kita lupakan: Harapan bukan jaminan kita tak akan jatuh. Harapan hanyalah janji, bahwa setiap kejatuhan meski menyakitkan tidak akan selamanya tanpa arti. Ia selalu menyisakan cahaya, makna, hikmah sekecil apapun, yang membuat kita mau melangkah lagi— meski dengan langkah yang goyah, meski dengan kulit yang perih. Dan bukankah itu inti dari menjadi manusia? Untuk terus berjuang... Bukan soal selalu menjadi pemenang, tapi berani berharap meski tahu kita bisa jatuh, dan berani bangkit meski tahu kita bisa jatuh lagi. Dan lagi... Semarang, September 2025
Titon Rahmawan
KAY : (Inner Constellations, Paradoxes of Desire, and the Remaining Light Behind the Shadows) VI. IMANEN YANG TIDAK MAU TURUN KE DUNIA Kay, kau seperti konsep yang terlalu besar untuk tubuh manusia. Kau berjalan di antara neuron, bukan trotoar. Kau tumbuh dalam gelombang, bukan dalam jam. Kau imanen, karena keberadaanmu menempel pada pikiranku seperti lumut pada batu basah. Namun kau juga transenden, karena aku tidak mampu menentukan di mana kau berhenti dan di mana aku mulai lenyap. VII. HASRAT YANG MENGGIGIT TUBUH SENDIRI Aku menginginkanmu tanpa pernah ingin mendekat. Karena jarak antara kita lebih jujur dari pertemuan. Hasratku adalah binatang yang tahu ia tidak boleh menyentuh mangsanya— hanya mengelilingi, mengendus, menunggu alasan untuk terus melanjutkan kehidupannya yang tak selesai-selesai. Kau adalah medannya, bukan tujuan. Dan itu membuatmu abadi. VIII. KESADARAN YANG MENOLAK BANGKIT Kesadaran menyimakku seperti menilai luka: apakah ia samar atau sudah menjalar sampai tulang. Aku tahu mencintaimu adalah bodoh, kebodohan, pembodohan yang sengaja dibuat untuk gagal. Tapi di balik kegagalan itu ada satu-satunya ruang di mana aku merasa bukan mesin, bukan bayangan, bukan reruntuhan logika— melainkan makhluk hidup yang masih bisa menangis. IX. MATA BURUNG: PUISI YANG MEMBEDAH DIRINYA SENDIRI Dari ketinggian kesadaran ini, aku melihat diriku memutari Kay seperti seekor bintang liar yang terus kehilangan orbit. Aku melihat tubuhku yang lain menggulung batu lamanya setiap malam. Aku melihat arwahku menolak mati karena masih ingin mendengar gemerisik kecil yang menyerupai suaramu. Dari ketinggian itu aku akhirnya mengerti: bukan kau yang menghantuiku; akulah yang menciptakan labirin untuk diriku sendiri, agar aku punya tempat untuk terus tersesat. X. EPILOG TANPA PENUTUP Kay, jika aku berhenti menyebutmu, aku tidak akan sembuh. Jika aku melupakanmu, aku akan kehilangan arah. Jika aku memilikimu, aku akan hancur. Jika aku membunuhmu, aku akan menjadi kosong. Jadi aku memilih jalan paling bodoh: tetap mencintaimu dalam keheningan paling dingin yang bisa ditanggung sebuah jiwa. Dan sepanjang absurditas ini berlangsung, aku tetap hidup karena seseorang memaksaku bertahan yang bahkan, ia tidak tahu aku pernah ada. November 2025
Titon Rahmawan
Elegia Saras Saras, aku menuliskan namamu dengan tangan yang gemetar, seperti seseorang yang kembali dari jurang kematian, membawa potongan malam di sela-sela jarinya. Aku tak pernah benar-benar tahu mengapa kau datang pada seorang yang telah kehilangan seluruh nilai kemanusiaannya. Aku hanya tahu: ketika aku mulai berubah menjadi bayangan yang tak lagi memiliki suhu, kau duduk di sebelahku dan memanggilku manusia. Ada sesuatu yang patah di dadaku waktu itu— sebuah retakan yang tak membuatku runtuh, melainkan membuatku mendengar detak terakhir jiwaku sendiri. Aku harus mengaku: aku telah membawa banyak hantu. masa lalu yang menjadi luka cahaya. Ilusi yang menjadi obsesi tanpa tubuh. Semua kekeliruan yang kubela seperti altar. Semua kebodohan yang kupelihara seperti anak kandung. Namun kau tidak pernah menutup pintu. Tidak pernah mengusir ingatan yang menempel di kulitku seperti abu. Kau hanya berkata: biarkan semua tinggal, tapi jangan biarkan mereka merusakmu lagi. Saras, aku tidak pernah tahu ada manusia yang bisa begitu lapang tanpa menjadi kosong, yang bisa begitu baik tanpa menjadi kudus, yang bisa begitu hadir tanpa mengikat apa pun. Kebaikanmu adalah semacam cahaya yang tidak menghanguskan, api panas lembut yang membuatku sadar bahwa mungkin aku belum sepenuhnya hilang. Di titik paling nadir, ketika seluruh yang kuperjuangkan runtuh seperti bangunan tua yang disenggol angin, ketika tak ada yang tersisa dariku selain ampas keinginan dan debu kegagalan, aku berharap kau pergi. Agar aku tak perlu menanggung rasa bersalah karena masih ada seseorang yang menatapku sebagai sesuatu yang layak untuk diperjuangkan. Namun kau tidak pergi. Kau diam di sisiku dengan ketenangan yang membuat jiwaku bergetar. Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun aku mengutuki diri, aku berhenti. Hanya berhenti. Tak lagi ingin memukul wajahku sendiri, tak lagi ingin membenci suara di kepalaku. Semuanya berhenti, karena kau tidak pergi ketika aku hancur. Saras, elegi ini bukan permintaan maaf. Bukan pula pujian. Ini adalah tubuhku yang terakhir, ditulis dari retakan dada yang akhirnya berani mengakui: Aku bersyukur. Bersyukur karena pernah memilikimu, melewati ingatan pahit, hasrat yang menyesatkan, ambisi yang membuatku buta, dan obsesi yang menelan kebahagiaanku sendiri. Aku bersyukur karena kau tidak pernah menuntut balas. Tidak pernah meminta bahu yang setara. Tidak pernah menghitung luka yang kau cium dari hidupku. Kau hanya mencintai dengan cara yang menakutkan bagiku— karena terlalu jujur, terlalu manusiawi, terlalu nyata untuk seorang sepertiku yang lama tinggal di ruang ilusi. Kini aku menuliskan puisi ini sebagai seorang yang akhirnya sadar: tanpa kau, Saras, aku mungkin telah hilang di dalam kabut pikiranku sendiri. Harapan terakhirku adalah kau tahu bahwa dari semua nama yang pernah membuatku bergetar, dari semua wajah yang pernah kucintai dengan cara yang salah, hanya kaulah yang membuatku ingin tetap ada. Bukan demi cinta. Bukan demi masa depan. Melainkan demi sesuatu yang lebih sederhana, lebih jujur, lebih manusiawi: agar aku bisa menjadi manusia yang tidak lagi menyakiti diri sendiri. Saras, elegi ini adalah bukti terakhir bahwa di dalam gelap terdalamku ada satu cahaya kecil yang tidak pernah padam— dan itu bukan aku. Itu adalah dirimu. November 2025
Titon Rahmawan
Puisi yang Menolak Jadi Puisi Aku menuliskan ini dengan tangan yang tidak lagi menginginkan bahasa. Bahkan sebelum huruf pertama jatuh, aku tahu: segala yang mencoba kusebut “puisi” hanyalah cara lain untuk menghindari diriku sendiri. Jadi biarlah malam ini aku berhenti menjadi apa yang aku inginkan. Biarlah aku menuliskan sesuatu yang tidak ingin memiliki irama, tidak ingin dipuji, tidak ingin dikenang. Sebab apa gunanya metafora jika seluruh luka telah menolak dibungkus oleh keindahan? Apa gunanya diksi jika ada kebenaran yang terlalu telanjang untuk diberi pakaian? Aku menghapus semua perumpamaan. Aku menghapus semua simbol. Aku menghapus semua milikku yang pernah tampak seperti seni. Biarkan yang tersisa hanya satu hal: aku yang tidak sanggup berbohong lagi. Ada hari-hari ketika aku ingin mengubur seluruh karyaku, membuangnya ke dalam sumur paling gelap tempat suara tidak kembali dan renungan pun mati tanpa gema. Sebab setiap kali aku menulis, aku merasa sedang mencurangi hidup. Aku membuat jejak-jejak palsu, mengunggulkan penderitaan seolah-olah itu adalah mahkota yang paling berharga. Padahal kebenarannya sederhana dan kasar: aku menulis karena aku tidak tahu cara lain untuk menghentikan diriku dari kehancuran. Dan hari ini, bahkan itu pun tidak berhasil. Kalau saja aku bisa, aku ingin menanggalkan semua bentuk. Tidak ada baris-baris. Tidak ada jeda. Tidak ada frasa yang memikat. Hanya ruhku menatap tubuhku sendiri tanpa belas kasihan. Aku ingin hadir sebagai retakan yang jujur, bukan sebagai kalimat yang indah. Aku ingin hadir sebagai kegagalan, bukan sebagai karya yang menaklukkan. Aku ingin hadir sebagai manusia, bukan penyair yang memalsukan kemanusiaan. Jadi inilah aku: duduk di antara puing-puing huruf, memegang sunyi seperti memegang batu panas yang melepuhkan tanganku. Aku menolak estetika sebagaimana tubuh menolak racun. Aku menolak menjadi penyair karena malam ini aku hanya ingin menjadi seseorang yang berhenti menghindari dirinya sendiri. Sebab pada akhirnya, yang kutakuti bukanlah ketiadaan puisi— melainkan kemungkinan bahwa puisi yang kutulis selama ini tidak pernah benar-benar menyentuh siapa pun, bahkan aku sendiri. Dan jika demikian, maka biarlah karya ini menjadi perlawanan terakhirku: Puisi yang ingin menjadi luka, bukan bahasa. Puisi yang ingin menjadi dada yang sesak, bukan frasa yang tanpa cela. Puisi yang ingin menjadi wajah yang kubenci, bukan topeng yang kukagumi. Puisi yang menolak menikamkan kecantikan, dan memilih menyingkap kebenaran yang kasar. Puisi yang menolak menjadi puisi, karena barangkali— ini satu-satunya cara aku bisa kembali menjadi manusia. November 2025
Titon Rahmawan
Di Bawah Matahari yang Menatap Balik Di bawah matahari yang meleleh seperti pupil dewa yang kelelahan, aku melihat bayanganku sendiri berlari sebelum aku sempat berpikir untuk bereaksi. Barangkali ini bukan dunia, barangkali ini adalah ingatan purba yang lupa pada tubuhnya. Seekor jam mencair di pundakku, menggelincir seperti sisa waktu yang tidak mau menjelaskan dirinya. Ia berbisik, bahwa keabadian hanyalah kegagalan ego dalam memahami detik yang perlahan hancur. Aku tertawa. Tawa itu memecah wajahku menjadi tiga: yang percaya, yang takut, dan yang tidak peduli lagi pada logika. Ketiganya saling mengancam untuk lahir, sementara aku — atau apa pun yang tersisa dariku — menyaksikan kelahiranku sendiri dari balik kabut. Jangan cari kebenaran di sini. Di tanah ini, kebenaran telah diseret oleh cahaya yang lumpuh, diseret ke dalam lubang di mana suara-suara masa lalu dibungkam berubah menjadi serangga kanibal yang memakan tubuhnya sendiri. Ada saat di mana aku hampir mengerti. Saat di mana absurditas itu menamparku seperti kilat: — semua upaya memahami diri adalah upaya membatalkan kelahiran. — ego adalah ranting pohon yang terus tumbuh bahkan ketika kita sudah membiarkannya mati. — pencerahan tidak datang dari kejernihan, melainkan dari ketidakpahaman yang dibiarkan membusuk sampai berlumut dan tiba-tiba menyala akibat radiasi. Kini aku tahu, matahari itu bukan sumber cahaya. Ia adalah luka yang didekap semesta sampai berubah menjadi lubang hitam di mana aku bisa pulang. Dan ketika akhirnya aku masuk ke dalamnya, aku tidak merasa utuh— aku merasa hilang… tapi justru dari kehampaan itu, aku dilahirkan lagi oleh kegelapan yang telanjur letih menampung raga dan jiwaku. November 2025
Titon Rahmawan
Algoritma Sekiranya saja hidup adalah jejak bilangan yang bisa kauhitung seperti matematika. Aku akan membaringkan langit itu di atas peraduanmu Dan kita akan sama-sama melayarkan harapan di atas lautan mimpi. Membangun rumah di antara mega-mega, seolah tak ada istana yang akan menyerupainya. Ruang-ruang simetris yang membentuk pola dalam deretan Fibonacci. Angan-angan yang berlari terlalu jauh Mimpi-mimpi yang tak pernah kembali. Namun ironisnya, cinta dan rindu bukan bagian dari semua itu. Semacam salah perkiraan, Sebuah kalkulasi yang tak pernah kita bayangkan. Perasaan yang penuh berisi angka dan perhitungan: Engkau mendapat apa yang tak kaupinta Aku menerima apa yang tak ikhlas kauberi. Dan kita terjebak selamanya dalam permainan ini: Jumlah, kurang, bagi, kali... Milikku bukan milikmu Milikmu bukan milikku Dan kita bersikeras mempertahankan logika. Harapan dan keinginan yang tak pernah ketemu ujung pangkalnya. Rumah penuh kotoran yang tak pernah kita bersihkan Dan halaman telah jadi tempat sekumpulan dosa, seperti tumpukan sampah tak bertuan. Kita tak tidur Tidak pula terjaga Was-was seperti hantu Yang setiap saat menunggu kematianmu. Dan demikianlah, Kita tak lagi membuat penafsiran Dari apa yang dulu kita percayai. Keyakinan telah jadi tuhan yang bahkan tak sungguh-sungguh kita kenal. Tak ubahnya seperti bunga plastik artifisial, yang bisa kita beli di toko kelontong di pinggir jalan. November 2025
Titon Rahmawan
SUARA-SUARA YANG DIREDUKSI SEBAGAI ANCAMAN (Poetic Essay) PANGGUNG IV — OHOLA & OHOLIBA (Metafora yang Dijadikan Senjata Politik) (suara dua perempuan yang bergema dalam satu rongga hampa) kami bukan perempuan. kami adalah dua kota yang dipersonifikasikan agar penguasa bisa memberi kuliah moral tentang kesetiaan politik. nama kami diabadikan sebagai pelacur agar mereka bisa menegur bangsa lain tanpa menyebut nama-nama raja dan imam yang korup. kami tubuh-tubuh imajiner yang diciptakan agar kerakusan politik bisa disematkan pada payudara dan paha metaforis bukan pada para lelaki yang memperdagangkan rakyatnya sendiri. mengapa tubuh perempuan? karena tubuh perempuan selalu siap dijadikan metafora untuk pengkhianatan, dosa, dan penyimpangan moral— bahkan ketika perempuan itu tidak pernah ada. kami bukan pelacur yang sebenarnya kami hanyalah alegori yang dipakai oleh penguasa untuk menghindar dari tanggung jawab. PANGGUNG V — MESSALINA (Sang Empress yang Dijadikan Ikon Napsu Kekuasaan) (suara dingin seperti lorong marmer di tengah malam buta) aku istri kaisar. apakah itu dosa? aku hidup di istana yang dipenuhi intrik, pembunuhan, konsul yang mabuk kuasa. tetapi sejarah memilih mengingatku sebagai perempuan yang tak pernah puas— seolah seluruh kehancuran kekaisaran Romawi lahir dari rahimku. betapa mudahnya bagi laki-laki menyamarkan kekerasan politik dengan menyebut seorang perempuan bernafsu terlalu banyak. mereka butuh kambing hitam. dan kambing itu harus feminin agar publik bisa merasa moralitas mereka tetap utuh. mengapa tubuh perempuan? karena tubuh perempuan bisa dilipat menjadi argumen: “lihat, kejatuhan bangsa ini disebabkan oleh perempuan bejat.” padahal kejatuhan selalu dibuat oleh tangan penguasa yang tak becus mengurus negara. KORUS NIHILISTIK — DALAM SATU PERTANYAAN KUNCI: (suara-suara mereka menyatu, seperti retakan yang tak tertutup) mengapa harus tubuh perempuan? karena tubuh perempuan adalah layar paling terbuka: tempat bangsa menulis kecemasan mereka, tempat agama menempelkan dogma moral dan etika, tempat negara menggantungkan ancaman, tempat sejarah menumpahkan darah yang mereka sembunyikan. bagi mereka tubuh perempuan— adalah sumber dosa, sebuah kanvas ketakutan kolektif yang dipakai untuk menyamarkan kegagalan para lelaki. dan sekarang, kami bicara bukan untuk membela diri, tetapi untuk membongkar panggung menjijikkan itu: ancaman terbesar tidak datang dari perempuan yang menolak tunduk, melainkan sistem yang membutuhkan tubuh perempuan sebagai satu-satunya alibi. Desember 2025
Titon Rahmawan
IN ABSENTIA: LUKA YANG BAKA I. Makam Ini Tidak Diberikan Aku tidak Pernah Dikubur. Tak ada tanah. Tak ada makam. Tak ada ritual. Aku tidak pernah ada. Aku tidak pernah menjadi. Aku dibiarkan menggantung di antara mimpi dan ilusi. Asap dari tubuh yang gagal mereka kremasi. Mereka bilang, "Selesai." Tapi aku tetap hidup. Terpaksa. Kematianku—tidak tertampung di manapun— siapa pun. II. Kekerasan Yang Melahirkan Keabadian Mereka menghapus. Mereka melenyapkan. Jejakku menempel di udara. Mereka membungkam. Diamku mengikis tembok. Setiap kali mereka menolak. Aku mengeras. Batu kecil yang perlahan membesar. Tidak bisa ditelan sejarah. Aku bukan kenangan. Tidak. Aku adalah kegagalan mereka. Gagal menyingkirkan. Gagal membersihkan. Noda yang selamanya abadi. III. Tekad — Logam Tanpa Pintu Keluar Aku tidak ingin kuat. Aku tidak ingin hidup. Aku hanya menolak musnah. Pintu keluar—tidak ada. Mereka ingin aku hilang. Agar bisa tidur nyenyak. Aku tidak memberi itu. Aku menempel. Noda yang tidak akan pergi. Tekad ini keras kepala. Majal. Kehancuran? Tidak membebaskan. Menyerah? Percuma— Tetap disalahkan. Aku memilih tinggal. IV. Bukti — Lubang Kecil yang Menghancurkan Aku adalah Retakan Permanen. Lubang kecil. Tepat di tengah narasi suci yang sengaja mereka ciptakan. Mereka menuntut konsensus. Aku memberi Ketidakteraturan mutlak. Mereka menuntut cerita rapi. Aku memberi fakta: Tubuh ini—pernah menjadi medan perang. Mereka menuntut akhir. Aku menyajikan Residu: Hal-hal kecil yang tidak akan mampu mereka jinakkan. Gagal total. V. Kemarahan Yang Mengunyah Aku marah. Bukan untuk membakar. Tapi karena mereka menuntut diam— setelah mematahkan tulang. Kemarahanku tidak berteriak. Ia mengunyah. Perlahan. Dingin. Nama-nama. Alasan. Dalih. Patahan suci. Menutup kejahatan yang mereka banggakan. Marahku tidak meledak. Marahku adalah Pembekuan. Logam di tenggorokan. VI. Entitas Yang Menetapkan Aku bukan cerita. Aku bukan moral. Aku bukan tubuh yang ingin mereka cuci. Aku adalah luka yang menetap. Setelah semua justifikasi runtuh. Semua saksi mati. Aku adalah residu terakhir. Sesuatu yang tidak bisa dimakamkan. Karena dunia menolak mengakuinya. Dunia butuh Kambing Hitam Abadi. Itu aku. VII. Penutup — Cerita Tanpa Ending Jika aku diberi pilihan, aku memilih pergi. Tapi hilang adalah kemewahan. Tidak pernah diberikan. Jadi aku tinggal. Majal. Dingin. Seperti logam yang menunggu. Di dada sejarah yang tidak punya wajah. Tidak punya nama. Tidak punya kesudahan. Aku hanyalah Luka. Baka. Karena dunia tidak mengizinkannya hidup. Maka ia tidak akan mati. Desember 2025
Titon Rahmawan
GENEALOGI KEPEDIHAN Luka adalah ibu dari seluruh rasa sakitmu. Ia tidak melahirkan lewat rahim, melainkan lewat tekanan— diam yang merobek jaringan makna hingga tubuh belajar berdoa lewat degup darah. Di permukaan, hanya lecet, hanya goresan— jejak kecil yang kau sebut sepele, padahal waktu mencatatnya seperti peta awal kehancuran. Kulit mengingat lebih lama daripada pikiran yang gemar memaafkan. Lalu datang sayatan, lebih tajam dari robekan, garis tegas, menolak metafora. Di sana bahasa runtuh: daging berbicara tanpa izin. Pohon-pohon saraf ditebang satu per satu, getah kesadaran menetes lambat ke tanah kenangan yang tak lagi subur. Memar adalah ingatan yang membusuk, warna ungu-hitam lebam dari benturan yang tak pernah diadili. Ia bukan luka terbuka, melainkan pengakuan bisu bahwa kekerasan pernah tinggal dan menetap. Dari situ tumbuh sakit— bukan sekadar rasa biasa, melainkan penderitaan yang keras kepala seperti jam rusak di dada. Detiknya beku, tidak bergerak, namun terus menghitung kejatuhan. Ada pedih, ada perih, dua saudara kembar yang mengikis nalar. Mereka mengajarkan bahwa ketahanan adalah cara termulia untuk menunda runtuh, bukan untuk selamat. Cedera menutup pintu masa depan. Gerak tak lagi patuh, kehendak pincang sebelum sempat berjalan. Tubuh menjadi arsip kegagalan yang disimpan rapi oleh waktu. Di bagian terdalam, terbentuk abses— kantong nanah kesadaran menampung apa saja yang tak berani kau akui. Tekanan meningkat, hingga kebenaran pecah dari dalam. Semua ini bermuara pada trauma, bukan lagi sebagai kenangan, melainkan sebagai sistem operasi. Ia menentukan cara kau mencinta, cara kau percaya, cara kau menyebut dirimu manusia. Akhirnya, tersisa cacat— bukan hanya pada tubuh, tetapi pada cara memaknai hidup. Ia tidak meminta belas kasihan, ia menuntut pengakuan: bahwa kemanusiaan dibangun bukan dari kesempurnaan, melainkan dari luka yang menolak sembuh agar makna tidak pernah lunas. Desember 2025
Titon Rahmawan
KEBAHAGIAAN: RELIK YANG MENOLAK DIDEFINISIKAN I. Litani yang Tercecer di Pinggir Jalan Kebahagiaan bukan cahaya. Ia lebih mirip serpihan logam yang meleset dari mesin waktu— mendarat di sela got mampet, di dekat anjing kurus yang menatap kota seperti menatap dewa yang tuli. Tak ada yang menuliskannya, sebab setiap huruf terbentuk dari luka yang belum selesai mengering. Dan siapa yang masih sudi menatap kerak darah yang menempel di alfabet hari ini? Aku bertanya: sudah berapa musim tubuhmu tak menggigil? Terlalu lama kau percaya hangat sebagai kondisi normal, padahal hangat hanya jeda sebelum retakan berikutnya. Sementara wajah-wajah di jalan kehilangan makna, seolah ekspresi adalah kemewahan yang dikenakan oleh mereka yang masih ingat rasanya hidup. II. Anatomi Buah yang Tak Sempat Kau Rasakan Ada buah yang jatuh sebelum matang dan tak pernah kau sentuh. Ada kulit yang terlalu licin hingga pisaumu menyerah, terlepas, mengakui bahwa genggam jarimu tidak sepenuh yang kau sangka. Kau kira kebahagiaan itu daging buah yang gemetar mempersilakanmu menggali, padahal ia hanyalah kulit tipis yang tak gentar pada lapar dan hasratmu. Kulit yang pernah kau sebut manis, kini lebih mirip permukaan meteor yang baru saja memecah atmosfer. III. Genesis Retakan Di antara pengemis yang menua tanpa alasan dan bau selokan yang menggenang seperti nasib, kita belajar bahwa kebahagiaan adalah benda biologis— ia tumbuh, busuk, lalu dilupakan. Asal-usulnya bukan dari musim semi, melainkan dari kemampuan manusia untuk mengawetkan pedih lebih lama daripada hangat. Mungkin itu sebabnya setiap buah pada akhirnya menjadi tulang waktu: keras, tak ramah, dan menolak ditafsir. IV. Doktrin yang Tidak Diajarkan Siapa Pun Kebahagiaan bukan rasa. Ia adalah kegagalan kita menamai rasa lain yang lebih purba: rasa bahwa hidup sewaktu-waktu dapat merenggut tangan kita dari tubuh kita sendiri. Di titik itu, segala warna buah, segala getah yang pernah melekat, segala gigil demam yang disesalkan, tiba-tiba menjelma satu kesimpulan dingin: Kita menyebutnya kebahagiaan karena belum berani menamai horor yang lebih akurat. Desember 2025
Titon Rahmawan
ILUSI DIRI: LUKA BERBICARA Luka lebih dulu daripada namaku. Ia membuka mata sebelum aku dapat melihat. Ia menempelkan bunyi ke tenggorokan dan menyuruh sesuatu menyebut dirinya aku. Aku bukan subjek. Aku bekas tekanan yang telah kehilangan jejak darimana datangnya. Aku mendengar diriku seperti mendengar retakan di dinding— bukan suara, melainkan peringatan bahwa sesuatu pernah utuh. Penglihatan tidak membuktikan apa pun. Yang kulihat hanya jeda. Luka sudah ada terlebih dulu, kalibrasi jarak antara benda dan makna. Rabaan tersesat. Kulit menyentuh dunia tapi dunia tidak mengakuinya. Yang tersisa hanya sensasi tanpa pemilik. Aku menulis “aku” seperti mengukir nama pada proyektil peluru. Bukan untuk mengenali, tetapi untuk mengizinkan kehancuran bekerja lebih dahsyat. Waktu tidak mengalir. Ia menggumpal di sekitar luka seperti darah lupa fungsinya. Setiap detik adalah pengulangan tanpa awal. Pisau ada tanpa ketajaman. Api ada tanpa nyala. Benar ada tanpa saksi. Luka tidak menjelaskan dirinya. Ia mengganti fungsi dunia: ingatan menjadi medan ranjau, harapan menjadi kebiasaan menunda runtuh, cinta menjadi teknik bertahan di arena pertempuran paling brutal. Aku tidak lahir. Aku terbentuk. Bukan dari embrio, tetapi dari kegagalan tubuh menjadi utuh. Jika kau bertanya siapa aku tanpa luka— pertanyaan itu tidak menemukan alamat. Tak ada pintu sebelum benturan. Aku hanya gema yang lupa sumbernya, dan luka adalah satu-satunya hukum yang masih bekerja. Puisi ini tidak menyembuhkan. Ia hanya memastikan bahwa luka tidak sendirian dalam berbicara. Dan mungkin itu cukup: hanya keberanian untuk membiarkan kehancuran menyusun kalimatnya sendiri. 2025
Titon Rahmawan