“
Aku tak suka menunggu, aku tak mau kehilangan kesempatan. Mereka yang berhasil adalah mereka yang berani mengambil resiko dan bertanggung jawab atas segala konsekuensinya. Selain hubby mungkin tak ada orang yang bisa memahami kegelisahanku, dan oleh karena itu pulalah aku tak ingin dimengerti. Aku tahu, aku harus memberi makan anjing anjing di dalam diriku, karena bila tidak maka mereka akan pergi atau bahkan mungkin mati. Ini akan selalu menjadi sebuah dilema besar bagi diriku. Aku tidak akan pernah mengikhlaskan kepergian mereka dan terlebih lagi, aku tak akan membiarkan mereka mati.
Betapa besar arti mereka bagi hidupku. Mereka sudah demikian setia mendampingiku, selalu menjaga dan mencintaiku. Tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang sedemikian perhatian dan penuh pengorbanan sebagaimana apa yang telah ditunjukkan oleh Scott dan kawan kawannya itu padaku. Aku tidak bisa hidup tanpa mereka dan sedemikian pula sebaliknya. Jadi demikianlah, kami harus menjalani karma ini bukan sebagai sebuah kutukan melainkan sebagai sebuah berkat.
Bagaimana aku bisa memisahkan diriku dari nafsu dan juga cinta? Mereka adalah bagian dari darah dan dagingku. Anak anak yang telah aku lahirkan dan harus terus kupelihara. Bilapun ada pertentangan antara kebaikan dan keburukan. Aku tak bisa mencintai yang satu dan mengabaikan yang lain. Mereka adalah perwujudan dari kebaikan dalam diriku dan hasrat yang tak pernah ingin berhenti, rasa lapar yang demikian menggigit. Rasa haus yang kian lama kian mencekik. Mengapa aku harus melawan diriku sendiri? Aku tidak diciptakan untuk mengingkari harkat kemanusiaanku. Aku tidak membutuhkan pembenaran untuk apa yang memang seharusnya aku lakukan.
Aku, demikianlah diriku yang sesungguhnya. Makhluk yang leta dan fana ini. Kemana aku akan pergi, kemana langkah harus kutuju? Sementara, tak ada orang yang peduli selain daripada mereka yang dengan tulus murni mencintaiku tanpa pamrih. Mereka yang senantiasa hadir saat aku tengah berada dalam kesulitan. Mereka yang rela mengorbankan segalanya bagi diriku. Jangankan harga diri dan kehormatan. Sekiranya keadaan menuntut agar mereka mesti mengorbankan nyawa mereka bagiku, maka itulah yang akan mereka perbuat. Jadi mengapa aku harus larut di dalam penderitaan yang merongrong jiwaku sendiri? Mengapa mulutku harus berkeluh kesah? Tak ada satu pun yang akan menjamin keselamatanku di dunia ini. Juga mungkin di dunia yang akan datang. Dan oleh karena itu, maka biarlah aku berserah diri pada nasib dan sekaligus takdir yang semestinya harus aku jalani.
”
”