“
Dulu vs Sekarang: Warisan yang Hampir Hilang
Zaman dulu ada seorang bocah naik sepeda berkilo-kilo,
hanya untuk sampai ke sekolah di luar kampungnya.
Ada anak lain yang mesti berjalan sampai kaki pegal ke rumah temannya hanya untuk meminjam buku bacaan.
Tapi anehnya, mengapa anak sekarang malas melangkah?
Malah merasa bangga disebut kaum rebahan.
Mereka juga malas membaca padahal semua ilmu ada di genggaman layar kaca.
Orang dulu mengumpulkan receh demi membeli sebidang lahan,
membangun rumah sedikit demi sedikit,
lantainya mungkin tanah, atapnya sering bocor,
tapi ada mimpi yang mereka renda di atas atapnya,
harapan yang mereka pahat di setiap dindingnya.
Lalu bagaimana orang sekarang melihat dirinya?
Bekerja sepuluh tahun pun, rumah masih berhenti sebatas imajinasi.
Gaji pertama langsung ludes dalam gebyar pesta perayaan semalam dan cicilan gawai terbaru.
Air minum, bagi orang dulu, direbus penuh sabar di tungku kayu—
sisa panasnya dipakai untuk berdiang menghangatkan tubuh.
Bagi orang sekarang, air minum harus bermerek;
Cappucino, espresso, latte atau matcha boba kekinian
dikemas dalam plastik sekali pakai,
diminum bukan karena haus,
tetapi agar terlihat keren saat di foto.
Barang orang dulu awet seperti doa:
sepeda diwariskan, lemari antik dipelihara, kain batik disimpan hingga pudar warnanya.
Barang orang sekarang sekali lewat hanya sebatas tren:
baru sebentar sudah merasa bosan,
dibuang, ditukar, ditinggalkan,
seperti janji-janji yang tak pernah ditepati.
Dulu banyak anak dianggap rezeki,
meski rumah hanya seluas kamar kos-kosan saat ini.
Tapi nyatanya, lima anak semua jadi sarjana, hidup nyaman sejahtera.
Sekarang, satu anak saja dianggap beban,
lalu diputuskan tak perlu lahir sama sekali.
Di mana lagi bisa kita temukan kerja keras, pengorbanan dan kebijaksanaan?
Apakah ini sekadar paranoia yang dibungkus logika yang sengaja dibengkokkan?
Makanan dulu dinikmati sekadar untuk bertahan hidup:
singkong, jagung, bubur, nasi lauk kerupuk, sayur dan sambal—kenyang sudah cukup.
Sekarang, makanan harus enak, harus estetik, di kemas cantik,
difoto dulu sebelum disantap.
Dan bila tidak sesuai ekspektasi rasa nikmat di lidah,
langsung dicaci, langsung diviralkan,
seolah perut telah kehilangan rasa syukur dan penghargaan anugerah dari Tuhan.
Tabungan dulu jadi jimat yang dianggap keramat:
uang disimpan dalam celengan tanah liat,
ditabung serupiah demi serupiah buat beli tanah, sawah, tegalan.
Emas disimpan dan dipelihara bukan cuma untuk dikenakan di pesta hajatan pernikahan.
Sekarang malah sebaliknya, uang dibakar dalam pesta,
dihabiskan di kafe, tiket konser, memburu diskon belanja palsu.
Hidup bukan lagi tentang menyiapkan hari esok,
melainkan tentang menguras apa yang bisa dihabiskan hari ini.
Orang dulu sabar menahan diri, puasa bukan sebatas ritual setahun sekali menjelang idul fitri.
Mereka tahu, lapar dan lelah adalah guru.
Sabar dan diplin adalah ilmu yang tak kalah penting dari pelajaran di sekolah.
Anak masa kini terjebak FOMO:
takut tertinggal tren, takut tak dianggap,
hingga lupa kalau waktu yang hilang tak pernah lagi bisa dibeli.
Ironinya membayang di depan mata:
Orang dulu hidup sederhana tapi tenang,
karena kebahagiaan mereka berakar pada makna.
Orang sekarang hidup mewah tapi gelisah,
karena kebahagiaan mereka mesti hadir setiap waktu,
terpampang indah hanya di atas layar,
namun mudah dipadamkan lewat satu sentuhan jari.
Dan kelak, ketika semua berlalu,
yang tertinggal hanyalah penyesalan yang tak bisa diputar kembali.
Mereka akan bertanya pada dirinya sendiri:
mengapa aku begitu sibuk mengejar bayangan,
hingga lupa merawat cahaya matahari yang sesungguhnya?
Surabaya, September 2025
”
”