Iconic Tarantino Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Iconic Tarantino. Here they are! All 2 of them:

The Director’s Chair is with Francis Ford Coppola (The Godfather, Apocalypse Now, etc.), and Robert refers later to this quote from Francis: “Failure is not necessarily durable. Remember that the things that they fire you for when you are young are the same things that they give lifetime achievement awards for when you’re old.” ROBERT: “Even if I didn’t sell Mariachi, I would have learned so much by doing that project. That was the idea—I’m there to learn. I’m not there to win; I’m there to learn, because then I’ll win, eventually. . . . “You’ve got to be able to look at your failures and know that there’s a key to success in every failure. If you look through the ashes long enough, you’ll find something. I’ll give you one. Quentin [Tarantino] asked me, ‘Do you want to do one of these short films called Four Rooms [where each director can create the film of their choosing, but it has to be limited to a single hotel room, and include New Year’s Eve and a bellhop]?’ and my hand went up right away, instinctively. . . . “The movie bombed. In the ashes of that failure, I can find at least two keys of success. On the set when I was doing it, I had cast Antonio Banderas as the dad and had this cool little Mexican as his son. They looked really close together. Then I found the best actress I could find, this little half-Asian girl. She was amazing. I needed an Asian mom. I really wanted them to look like a family. It’s New Year’s Eve, because [it] was dictated by the script, so they’re all dressed in tuxedos. I was looking at Antonio and his Asian wife and thinking, ‘Wow, they look like this really cool, international spy couple. What if they were spies, and these two little kids, who can barely tie their shoes, didn’t know they were spies?’ I thought of that on the set of Four Rooms. There are four of those [Spy Kids movies] now and a TV series coming. “So that’s one. The other one was, after [Four Rooms] failed, I thought, ‘I still love short films.’ Anthologies never work. We shouldn’t have had four stories; it should have been three stories because that’s probably three acts, and it should just be the same director instead of different directors because we didn’t know what each person was doing. I’m going to try it again. Why on earth would I try it again, if I knew they didn’t work? Because you figured something out when you’re doing it the first time, and [the second attempt] was Sin City.” TIM: “Amazing.
Timothy Ferriss (Tools of Titans: The Tactics, Routines, and Habits of Billionaires, Icons, and World-Class Performers)
Sang Penari III – Tarian di Antara Dua Dunia Ia terbangun di sebuah ruang yang tak memiliki dinding. Seolah ia masuk ke panggung mimpi Yasunari— di mana tubuh perempuan menari bukan sebagai gerakan, melainkan sebagai bayangan rasa bersalah yang lembut dan sekaligus mematikan. Dalam jarak yang liminal itu, ia melihat sosok dirinya menari seperti Chieko dari Beauty and Sadness— kesendirian yang membelah tubuh menjadi dua: yang menari demi cinta, dan yang menari demi luka yang tak terucap. Di ujung ruang itu, lampu neon berkedip. Tiba-tiba, sepasang kekasih muncul dari balik kegelapan— seperti dua hantu pop yang tersesat di klub malam muram era Tarantino. Mia Wallace menggigit bibir; Vincent Vega mengangkat bahu. Dan mereka mulai menari— gerakan pinggul, jentikan jari, putaran kepala— yang menertawakan kematian seakan ia sekadar “babak tanpa dialog” dalam kisah hidup manusia. Sang Penari menatap mereka, baik terpukau maupun tersayat: begitu ringannya mereka bercanda dengan kehancuran. Begitu mudahnya mereka menari di atas mayat takdir. Ia mencoba mengikuti langkah: dua ayunan tangan, rotasi kecil pinggang, gerak “twist” yang meminjam ritme rockabilly. Namun setiap gerakan membuatnya merasa seolah tulang-tulangnya adalah serat kaca yang akan pecah kapan saja. Dan dari jauh, hujan mulai turun— tapi bukan hujan muram seperti Bergman, melainkan hujan musikal ala Singin’ in the Rain. Saat Gene Kelly melompat dengan payungnya, memercikkan air ke segala arah dengan senyum polos yang mustahil dipercaya manusia modern. Sang Penari melihat keriangan itu dan mendadak dadanya ngilu: Bagaimana mungkin dunia sempat merasa sebahagia itu? Atau mungkin kebahagiaan itu cuma propaganda nostalgia yang kita tempelkan pada masa lalu agar ia tak terlihat mengerikan? Di belakangnya, dua lukisan muncul: Degas dengan para ballerina pucat yang tersenyum hanya untuk menutupi rasa nyeri di kaki mereka, dan Matisse dengan warna-warna api yang memaksa tubuh menari dalam dunia yang terlalu terang untuk manusia menyandang kesedihan. Keduanya seperti dua dewa kecil— satu merayakan disiplin, yang lain memuja ledakan spontan. Sang Penari merasa tubuhnya ditarik di antara dua estetika: kesempurnaan yang memaksa, atau kegilaan yang membebaskan. Dan ketika ia mulai menari, bayangan lain muncul: Michael Jackson mengenakan fedora putih, meluncur ke depan dengan anti-gravity lean. Siluetnya seperti tokoh malaikat jatuh yang memilih menjadi legenda daripada mati sebagai manusia biasa. “Beat it,” bisik MJ dalam seringai misterius, seakan menantang siapa saja yang berani menghalangi takdirnya. “Smooth criminal,” lanjutnya, seakan menegaskan bahwa kehidupan adalah perampokan yang dilakukan oleh waktu terhadap tubuh manusia. Sang Penari menutup mata. Ia menari. Ia hanyut. Ia memutar lingkaran-lingkaran mitos, mengumpulkan semua tarian dari zaman ke zaman dalam satu tubuh yang retak. Dan ketika ia membuka mata, ia sudah berada di pesta yang tak pernah tidur— rumah megah Fitzgerald, dengan lampu-lampu Gatsby berkedip seakan dunia tak akan pernah runtuh. Namun ia tahu: di balik pesta, selalu ada reruntuhan. Di balik tarian, selalu ada kubur. Di balik tubuh, selalu ada hantu. Dan semua itu menyatu dalam satu tarikan nafas. Agustus 2025
Titon Rahmawan