Aku Diam Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Aku Diam. Here they are! All 89 of them:

β€œ
Ada dunia di sekelilingmu. Ada aku di sampingmu. Namun, kamu mendamba rasa sendiri itu.
”
”
Dee Lestari (Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade)
β€œ
Perempuan, Kau pasti tahu sakitnya cinta yg tak terkatakan.Cinta yg hanya mampu didekap dlm bungkam, Kata orang bahkan diam berbicara. Tapi, menurutku hal itu tdk berlaku dlm cinta. Sebab cinta harus diekspresikan dan pantang dibawa diam. Sebab cinta harusnya dinyatakan, lalu dibuktikan dgn sikap.Bgtu seharusnya cinta.Tapi, aku memang tidak punya pilihan. Maafkan!
”
”
Asma Nadia (Emak Ingin Naik Haji)
β€œ
...Aku ingin kau tahu, diam-diam, aku selalu menitipkan harapan yang sama ke dalam beribu-ribu rintik hujan: aku ingin hari depanku selalu bersamamu...
”
”
Yoana Dianika (Hujan Punya Cerita tentang Kita)
β€œ
Ibu, usiaku dua puluh dua, selama ini tidak ada yang mengajariku tentang perasaan-perasaan, tentang salah paham, tentang kecemasan, tentang bercakap dengan seorang yang diam-diam kau kagumi. Tapi soer ini, meski dengan menyisakan banyak pertanyaan, aku tahu, ada momen penting dalam hidup kita ketika kau benar-benar merasa ada sesuatu yang terjadi di hati. Sesuatu yang tidak pernah bisa dijelaskan. Sayangnya, sore itu juga menjadi sore perpisahanku, persis ketika perasaan itu mulai muncul kecambahnya.
”
”
Tere Liye (Kau, Aku & Sepucuk Angpau Merah)
β€œ
Katakan saja Kau cinta aku dalam diam Bisa saja aku cinta kau dalam dalam.
”
”
Mosyuki Borhan (Rahsia 2 Pria)
β€œ
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan di sana bersemayam kemerdekaan apabila engkau memaksa diam aku siapkan untukmu: pemberontakan!
”
”
Wiji Thukul
β€œ
dan usai tangis ini, aku akan berjanji. Untuk diam, duduk ditempatku. Menanti seseorang yang biasa saja
”
”
Dee Lestari (Rectoverso)
β€œ
hari ini saja. biarkan rindu bercerita kepadaku tentang suaramu yang waktu itu berbicara padaku. tentang aku yang selalu malu jika berhadapan denganmu. diam, tidak bisa berbicara lebih banyak lagi.
”
”
bunga alfi
β€œ
Aku ingin menjadi awan putih di bawah sinar matahari. Yang meski tak kau minta, diam-diam melindungimu dari terik matahari.
”
”
Rohmatikal Maskur
β€œ
Aku menunggu. Kamu menunggu. Meski terkadang menunggu tak seinci pun menyeret kita untuk bertemu di titik rindu. Tapi, ah, adakah yang lebih indah dan syahdu dari dua jiwa yang saling menunggu? Yang tak saling menyapa, tapi diam-diam mengucap nama dalam doa?
”
”
Azhar Nurun Ala (Ja(t)uh)
β€œ
Tuhanku Yang Maha Penyayang, Malam ini entah mengapa hatiku berhenti bercakap dan diam menatap buram jalur lamunan pikiranku yang tak tahu apa yang kuinginkan. Tapi aku ini kekasih kecil-Mu, dan Engkau Tuhan Yang Maha Sejahtera, yang sesungguhnya tak membatasi apa yang bisa kuminta. Tuhanku, esok pagi gembirakanlah aku dengan rezeki yang indah. Aamiin
”
”
Mario Teguh
β€œ
Aku, biarlah seperti bumi. Menopang meski diinjak, memberi meski dihujani, diam meski dipanasi. Sampai kau sadar, jika aku hancur.. Kau juga.
”
”
Fiersa Besari
β€œ
Beberapakali aku menemukan mimpiku sendiri terjerembab di depan pintu. Kuyup oleh hujan. Seperti pakaian kotor berulangkali kucuci dan kujemur di halaman luas. Pada saat saat seperti itu aku selalu ingat wajah dan matamu saat menatapku; selalu teduh dan meneguhkan. Maka aku yakin pada akhirnya jarak hanya memisahkan raga. Tapi ia tak pernah sanggup menjauhkan mimpi, imaji dan kenangan yang kita semat bersama dalam rindu yang paling diam.
”
”
Helvy Tiana Rosa
β€œ
Barangkali karena sebagian kebahagiaan tak bisa diulang, kita menjadi pecinta rekaman, pengagum kenangan. Barangkali karena kita tak punya kuasa memaku waktu, kita mengenang keindahan yang kita jumpai dalam gambar-gambar, dalam kata-kata - rentetan aksara yang bisa kapan saja kita baca. Maka jangan salahkan siapa-siapa bila diam-diam aku menyimpan gambarmu. Jangan salahkan siapa-siapa bila terlalu banyak sirat namamu dalam puisi-puisiku.
”
”
Azhar Nurun Ala (Tuhan Maha Romantis)
β€œ
Jagat begitu dalam, jagat begitu diam. Aku makin jauh, makin jauh Dari bumi yang kukasih.
”
”
Subagio Sastrowardoyo (Dan Kematian Makin Akrab: Pilihan Sajak)
β€œ
Enam puluh tahun kami menikah. Dua belas anak. Tentu saja ada banyak pertengkaran. Kadang merajuk diam-diaman satu sama lain. Cemburu. Salah-paham. Tapi kami berhasil melaluinya. Dan inilah puncak perjalanan cinta kami. Aku berjanji padanya saat menikah, besok lusa, kami akan naik haji. Kami memang bukan keluarga kaya dan terpandang. Maka itu, akan kukumpulkan uang, sen demi sen. Tidak peduli berapa puluh tahun, pasti cukup...Pagi ini, kami sudah berada di atas kapal haji. Pendengaranku memang sudah berkurang. Mataku sudah tidak awas lagi. Tapi kami akan naik haji bersama. Menatap Ka'bah bersama. Itu akan kami lakukan sebelum maut menjemput. Bukti cinta kami yang besar.
”
”
Tere Liye (Rindu)
β€œ
diam adalah bahasa yang kuciptakan sendiri, tak banyak yang mengerti, tapi jika aku bicara kalian lebih tidak akan mengerti.
”
”
nom de plume
β€œ
Pada akhirnya senja hanya semakin menjauh. Namun ia tak pernah sanggup melenyapkan cinta yang paling diam dari pandangan mata, apalagi hati. Lalu aku hanya menunggunya saat magrib tiba.
”
”
nom de plume
β€œ
Aku tak tahu kenapa rasa ini masih terlalu kuat untukku bertahan diantara jarak. Kamu dan aku, kita sudah berbeda tempat. Keberadaanmu kini melewati berbagai provinsi di tempatku diam.
”
”
Syifa Syafira
β€œ
Jadilah kita sepasang kekasih yang diam-diam saja di sini. Seperti penulis tuli yang jatuh cinta pada pianis buta. Memang tidak perlu ke mana-mana, bukan? Bukankah kau selalu mendengarkanku seperti aku setia menyaksikanmu?
”
”
Lan Fang (Sonata Musim Kelima)
β€œ
Mungkin ia tak menyadari, tapi aku masih saja memandang dari sisi lain yang tak terlihat. Cukup tahu.
”
”
Isyana G.
β€œ
Aku hanya puisi yang bernafas pada sela. Yang diam-diam memandangmu suka dari antara.
”
”
Rohmatikal Maskur
β€œ
Setiap aku diam, my mind would start to wonder to places I don't want it to wonder to. Mempertanyakan makna hidup, tujuan hidup ini sebenarnya mau ngapain, apakah aku sudah melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sebagai manusia pada umur segini. And it's get pretty scary sometimes if I let myself think about it.
”
”
Ika Natassa
β€œ
Pagi ini indah ketika kamu tidak tahu, diam-diam aku merindukanmu.
”
”
Pringadi Abdi
β€œ
Diam meredam seloroh bodoh mulut berkabut Sunyi menyanyi, aku terpaku, kamu jemu Cinta terlunta buta kata
”
”
Sam Haidy (Nocturnal Journal (Kumpulan Sajak yang Terserak, 2004-2014))
β€œ
Kamu minta dipahami dan dimengerti tapi sikapmu tidak menunjukkan sesuatu yang membuat orang harus bersimpati pada dirimu. Sehingga yang muncul justru kemarahan, kekecewaan dan penolakan. Itulah sebabnya kenapa sikapmu justru berbalik menyerang dirimu sendiri." Ia masih mengoceh panjang lebar dan aku hanya bisa diam. "Percayalah, dengan cara seperti itu kamu tak akan dapat apa apa. Kamu akan dijauhi dan ditinggalkan. Kamu pelihara amarahmu dan kekecewaanmu, maka kami akan pergi. Karena kami tak bisa tinggal dalam tubuh yang penuh dengan amarah dan kebencian.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Aku mencintainya tanpa diketahui. Aku mencintainya dalam diam. Aku mencintainya dalam satu sudut pandang. Aku mencintainya di satu sisi. Ya, aku percaya. Jika takdirku adalah dirimu, kau akan memilihku. Nanti.
”
”
Jee (Because It's You)
β€œ
hingga kamarku berbau nestapa rumahku menjadi kutubkhanah yang penuh dengan buku-buku nestapa duduk diam-diam membaca nestapa aku pun luluh ke dalam nestapa.
”
”
Ridzuan Harun
β€œ
Dikota paling rindu itu,Ningtyas malam senantiasa menjatuhkan pejammu di mataku, mencuriku diam-diam dari mimpi, kemudian menidurkanku diatas bantalan lembut hati. kau perempuanku, jangan tutup pejammu aku takut pada bangun, yang kan membuatmu jatuh kedalam selaput rapuh kabut pagi
”
”
firman nofeki
β€œ
HIKAYAT ADAM Sebab bagiku kau masih serupa ibu yang melahirkanku yang menuntunku berjalan dan mengajariku berlari. Namun mengapa tak juga lepas dahagaku daripadamu? Meski telah kureguk engkau hingga tumpas tandas. Hingga kempis payudaramu hingga perlahan surut laut dan air matamu. Hingga padam langit dan seluruh jagat raya. Hingga kalam sang malaikat diam-diam merenggut segenap kejahatan dan dosa-dosaku. Meski kutahu belaka, betapa sia-sia seluruh perjalanan ini. Bukankah engkau sendiri yang waktu itu menghalangi diriku memakan buah yang ranum dari perbendaharaanmu yang sengaja tak kausembunyikan? Buah syajarah yang kautanam di taman purbawi. Kebun yang telah berabad jadi rumahku tapi tak pernah sungguh-sungguh aku miliki. Mengapa kaularang aku memetik khuldi yang kausediakan bagiku di taman itu? Apakah demi menguji kesetiaanku pada dirimu? Sementara kauijinkan sabasani itu tumbuh menjulang tinggi dan berbuah lebat. Sekalipun engkau masih menerimaku sebagai buah kandung yang engkau lahirkan sendiri dengan kedua tanganmu. Dan tidaklah aku engkau turunkan dari patuk taring si ular beludak. Ia yang telah membuatku terusir dari rumah. Sepetak tanah yang memang kauperuntukkan bagi diriku sejak mula pertama kauhadirkan aku ke dunia ini. Sungguhpun harus kuarungi samudra duri ini sekali lagi, sebagai si alif dari golongan yang paling daif. Sebagaimana perempuan penerbit nafsi itu kaucuri dari tulang rusukku saat aku lelap tertidur. Sepanjang pasrah kasrah telah mengubah rambut di kepalaku menjadi setumpukan uban. Sepanjang kematian demi kematian sengaja kau timpakan di atas kepala anak cucuku. Adakah sempat kaudengar aku berkeluh-kesah? Meski aku mahfum belaka, ya bila karena semua itu aku tak akan pernah kau perkenankan singgah ke rumahmu lagi. Kecuali kau biarkan aku datang sebagai perempuan lecah, jaharu yang paling hina atau fakir papa yang kelaparan. Sekalipun telah letih jiwaku meretas sepi, hingga percik lelatu itu menitik sekali lagi dari ujung jarimu. Bukan sebagai yang garib, yang gaib atau yang hatif. Melainkan karena semata-mata semesta cinta. Cinta yang sekalipun tak akan pernah mengubah diriku menjadi zaim, zahid atau zakiah. Namun sungguh, cuma itu satu-satunya cinta yang berani menentang tajam mata pisau sang mair.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Aku selalu kehilangan kewarasanku kalau kamu muncul. Kamu akan langsung tahu bahwa aku tergila-gila padamu dan kamu akan takut padamu, lalu membenciku. Tapi kalau aku tetap diam, aku akan mati digerogoti perasaanku sendiri.
”
”
Miranda Malonka (Sylvia's Letters)
β€œ
aku ingat saat kau sadar, "mungkin menyenangkan bermain ayunan ditaman" lalu kau mencobanya, sambil duduk manis diatasnya kau berkata "ini menyenangkan". mungkin saat itu aku hanya diam dan tersenyum, jika aku bisa berkata pasti aku akan mengatakan, "mungkin kau sadar ini menyenangkan, tapi apa kau sadar kau tak sekalipun mengayunkan ayunannya??
”
”
nom de plume
β€œ
Mengapa kau diam saja Ibu, Ibu? Lihatlah, ini aku datang menjengukmu. Apa aku bisa perbuat untukmu? Betapa sengsara hidupmu. Kau pergi meninggalkan kampung halaman dan keluarga untuk belajar, untuk bisa mengabdi lebih baik pada nusa dan bangsa dan untuk dirimu sendiri. Keberangkatanmu direstui dan didoakan selamat oleh orang tuamu. Dan kau fasis Jepang, kau telah menganiaya, memperkosanya, merusak semua harapan indahnya. Kau jatuh ke tangan orang-orang gunung ini, yang mengenalmu hanya sebagai wanita dan harta.
”
”
Pramoedya Ananta Toer (Perawan Dalam Cengkeraman Militer)
β€œ
Laut adalah pengembaraan sebuah tujuan, Apalagi ketika hati telah dilanda gunda dan gulana. Pada siapa lagi kuarahkan semua resah ini, Saat aku telah kehilangan angan yang dulu pernah aku miliki.? Bahkan dinding yang diam mulai tertawa sinis padaku... i feel nothing...!
”
”
Manhalawa
β€œ
hanya pena yang setia menuntunmu pulang ke kota kertasku,Ningtyas tempat huruf-huruf rindu sering tersesat, dan aku menyusunnya diam-diam menjadi rumah-rumah sajak berdinding jarak dan jejak. lelapkanlah gigilmu didalamnya! sementara kunyalakan perapian untukmu dari qolbi yang terbakar
”
”
firman nofeki
β€œ
Aku sendiri berkawan sepi ditemani dingin dirangkul sepi di dalam tanah suatu hari... Aku diam bertutup kain dirantai oleh kaku dipeluk oleh kaya di dalam tanah suatu hari... Aku sedih bersama sesal di bungkus luka disiksa oleh rasa di dalam tanah suatu hari... Sendiri, diam dan sedih malangnya Aku ...
”
”
Manhalawa
β€œ
Buku yang ku tulis bukanlah buku kosong Namun buku usang penuh coretan bingung Disana tercatat ribuan kata yang gamang Bahkan beberapa halaman pun tlah hilang Siapkah pena ini menyurat makna baru Atau justru mengungkap cerita masa lalu Dimana kalimat yang tertera kian ambigu Haruskah aku bicara atau diam membisu ,.
”
”
chachacillas
β€œ
Ketika mereka teriak aku akan memilih untuk diam, dan ketika mereka diam aku akan mulai bersuara.
”
”
Dayu Ledys
β€œ
Kau, aku peziarah rindu. Dalam gelap, diam diam hasrat kita beradu.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Diam dan kagum, ketika aku kecil, Aku ingat saat mendengar pendeta tiap hari Minggu memasukkan Tuhan ke dalam pernyataan, Walt Whitman
”
”
Walt Whitman (Nyanyian Diri dan Sepilihan Puisi Cinta)
β€œ
Untukmu, aku ingin menjadi tempat pulang.
”
”
penakecil_id (Aku Mencintaimu Dalam Diam)
β€œ
Meskipun terbiasa tidak diacuhkan, ketika guru diam saja, kemana aku bisa berlindung?
”
”
Evi Sri Rezeki (Sell Your Soul!)
β€œ
rindu adalah rasa yang aku telan dalam diam. diucapkan atau tidak rindu ya seperti itu.!!!
”
”
nom de plume
β€œ
Teman yang tahu ceritaku bahkan tak menaruh simpati. Bukannya membantu bangkit. Diam saja melihatku terjerumus. Aku jatuh, dia hanya menonton.
”
”
Jacq (Ask Me Like You Did)
β€œ
Kekasihku Kami bertemu lagi di taman. Dulu ia bilang ia yang menciptakan langit biru, tukang susu yang setiap pagi lewat depan rumahku, tukang pos yang tak pernah mampir, anak-anak kecil yang bermain burung dara bersama senja, suara anjing hansip di tengah malam sunyi. Semuanya dari tiada. β€œKenapa kita harus melalui hidup ini sendirian?” tanyaku. Ia diam. Padahal biasanya langsung berbicara panjang lebar. β€œKamu dan aku. Begini parah kita kesepian.” Aku ingat ceritanya tentang cinta yang tak berbalas, yang ia tanggung selama beribu-ribu tahun. Tentang pengirim pesan yang ditimpuki batu, dan ia yang kesepian di atas gunung. Kakiku mulai kesemutan, dan ia tak juga bicara. β€œDi gunung, kamu menulis untuk siapa?” Ia tak juga bicara. Langit biru agak berawan hari ini.
”
”
Norman Erikson Pasaribu (Sergius Mencari Bacchus: 33 Puisi)
β€œ
Kau terhenti. Tergagu kau bertanya. Mungkin pada diri sendiri, mungkin kepadaku. β€œSiapa… kamu?” Namaku Bumi, ketika langitmu perlu wadah untuk menangis. Namaku Bulan, saat kau terlelap, kujaga duniamu dalam gelap. Namaku Telaga, kan kubasuh lusuh di sekujur tubuhmu itu. β€œUntuk apa?” Untuk partikel udara yang kau hirup dengan cuma-cuma. Untuk desau angin yang bisiknya kau halau dengan daun pintu. Untuk kepul terakhir secangkir kopi yang kau hirup sebelum mendingin. Kau kembali berjalan. Aku kembali diam. Kita tak lagi berbincang. Aku tetap menjadi bumi, bulan, dan telagamu. Kau masih menghirup udara, menghalau angin, dan menyeduh kopi. Kita masih melakukan hal yang sama, masih di tempat yang terpisah. Dan tak pernah kau pertanyakan lagi keberadaanku. Sebab bagimu aku selalu ada.
”
”
Devania Annesya (Elipsis)
β€œ
Aku seperti mandi hujan dalam pelukan bahagia seorang pujangga dengan irama puisi jatuh hati pada pandangan pertama, seorang yang jatuh hati tak pernah sadar menyelami sebagian perasaan yang dalam dan diam-diam mencuri matahari pada pagi di sambut hujan yang menyendiri. Bitread
”
”
Musa Rustam (Sang Pencuri Hati)
β€œ
Aku yang terus melihat kau tersakiti, apakah harus diam. Kau selalu memaksa untuk tersenyum dan seolah semua akan baik-baik saja itu, membuatku gerah. Pada akhirnya saat kau tak mampu membendung itu semua, tenggelamlah aku. Seperti air laut yang mengenai lukaku, ini juga membuatku perih.
”
”
Zakiyahdini Hanifah
β€œ
Bukan hanya aku yang kehilangan, tapi seantero sekolah juga merasakan lubang kehampaan. Ia bukanlah sosok guru yang sering mencuri waktu demi kepentingan sendiri. Bukan pula pribadi yang kerap mengambil handphone dalam saku tanpa peduli muridnya pintar atau diam tak mengerti. Ia tak tampak seperti orang kebanyakan. Oknum guru yang tak merasa khianat walau kerap datang terlambat. Mereka yang hanya mengingat hak sementara kewajiban cuma dicatat. Pendidik yang selalu memberi tugas tapi jarang memperjelas. Pegawai yang membanggakan sertifkasi tanpa memikirkan kualitas beriring prestasi. (Pejuang Cinta, Dunia Tanpa Huruf R)
”
”
Yoza Fitriadi (Dunia Tanpa Huruf R)
β€œ
Sekalipun pertemuan itu bukanlah sebuah kesengajaan, tapi bagaimanapun telah menjadi sebuah peristiwa yang berkesan bagi diriku. Dan terlebih lagi, setelah kemudian aku tahu, bahwa ia adalah seorang penulis. Dengan diam diam pula aku mencari tahu apa saja yang sudah ditulisnya. Namun tidak sebatas mencari tahu, aku pun terpanggil untuk mengoleksi karya karyanya, membaca puisi puisinya dan mengkaji cerpen cerpennya. Melahap semua tulisannya yang sudah termuat di media massa, maupun juga yang telah ia himpun di dalam blog pribadinya. Termasuk pula di dalamnya ada kumpulan esay dan juga novel novelnya yang telah terbit. Meskipun semua itu harus aku lakukan dengan susah payah. Aku tahu, aku telah menjadi fansnya yang nomor satu. Aku rasa, apa yang ia suarakan lewat tulisan tulisannya itu tidak saja merefleksikan buah pemikirannya namun juga kepribadiannya. Menurutku ia adalah seorang yang baik, dan lebih daripada itu ia adalah seorang yang hebat, dan diam diam aku telah jatuh cinta padanya.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Katamu, kau seniman sejati. Yang rela mati ; hanya tuk sekedar wujudkan mimpi. Nyatanya, dalam realiti. Kau diam-diam berlari. Meninggalkanku dalam lamunan sepi. Satu tahun ini aku menepi. Mereka-reka dari berbagai sisi. Sampai pada akhirnya aku berhenti. Menyadari kau telah pergi. Hari ini sudah pasti. Jika kau kembali nanti. Aku sudah jatuh hati. Pada dia yang selalu mendampingi. Tolong, jangan hakimi. Caraku menyelamatkan diri.
”
”
Karunia Fransiska
β€œ
Kawan kamu pernah bercerita ttg keinginanmu untuk pergi dari kehidupan ini. Iya, aku juga tahu bahwa kamu ingin pulang kawan, entah itu pulang kepada Tuhan. Sungguh, aku tahu kamu lelah kawan. Bahkan kamu nyaris menyerah kepada kehidupan. Tapi, kamu tahu kawan? kamu hanya terlalu lelah melawan padahal kamu hanya butuh diam. diam di dalam kesendirian, diam di dalam kesunyian, diam di dalam kepahitan, bahkan diam di dalam kelelahan. Tidak usah lagi kamu melawan. melawan kehidupan. Melawan Tuhan.
”
”
Alfisy0107
β€œ
Karena aku tak pernah punya keberanian untuk menyapa dirimu. Gugup menakar diri, cuma bisa menatap sosokmu dari kejauhan. Atau menguntit setiap langkah yang membuat bayang-bayangmu justru kian menjauh. Daun daun berguguran dari tubuhmu, meninggalkan jejak wewangian yang tak mau pergi. Sementara aku cuma bisa mengumpulkan serpihan pikiran dan perasaan yang hancur berantakan. Lalu dengan susah payah menjadikannya sketsa wajah Grafiti yang aku terakan di bak belakang mobil truk, di kolong-kolong jembatan, di dinding-dinding pencakar langit, di antara kerlip bintang-bintang di tengah deras guyuran hujan atau di mana saja, hanya untuk menebalkan kerinduanku padamu. Sudah bertahun lamanya aku mencoba bertahan pada perasaan keterasingan ini. Tak pernah tahu; apakah kau juga merasakan hal yang sama? Diam-diam merasa rindu. Diam-diam memendam harapan. Bersikeras mencari jawaban pada diri sendiri; Apakah rindu ini hanyalah hasrat kepalsuan belaka? Apakah harapan ini adalah asa kekosongan belaka? Susah sungguh ternyata, hanya untuk menyatakan perasaan kepada seseorang yang diam-diam kita cintai. Namun entah mengapa, tetap saja tak mampu kita lupakan.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Pada Minggu sore yang tenang itu, aku menikahi Dinda. Aku berpakaian Melayu lengkap persis seperti waktu aku melamarnya dahulu. Dinda berpakaian muslimah Melayu serbahijau. Bajunya berwarna hijau lumut, jilbabnya hijau daun. Dia memang pencinta lingkungan. Itulah hari terindah dalam hidupku. Jadilah aku seorang suami dan jika ada kejuaraan istri paling lambat di dunia ini, pasti Dinda juaranya. Dia bangkit dari tempat duduk dengan pelan, lalu berjalan menuju kursi rotan dengan kecepatan 2 kilometer per jam. Kalau aku berkisah lucu dan jarum detik baru hinggap di angka 7, aku harus menunggu jarum detik paling tidak memukul angka 9 baru dia mengerti. Dari titik dia mengerti sampai dia tersipu, aku harus menunggu jarum detik mendarat di angka 10. Ada kalanya sampai jarum detik hinggap di angka 5, dia masih belum paham bahwa ceritaku itu lucu. Jika dia akhirnya tersipu, lalu menjadi tawa adalah keberuntunganku yang langka. Kini dia membaca buku Kisah Seekor Ulat. Tidak tebal buku itu kira-kira 40 halaman. Kuduga sampai ulat itu menjadi kupu-kupu, atau kembali menjadi ulat lagi, dia masih belum selesai membacanya. Semua yang bersangkut paut dengan Dinda berada dalam mode slow motion. Bahkan, kucing yang lewat di depannya tak berani cepat-cepat. Cecak-cecak di dinding berinjit-injit. Tokek tutup mulut. Selalu kutunggu apa yang mau diucapkannya. Aku senang jika dia berhasil mengucapkannya. Setelah menemuinya, aku pulang ke rumahku sendiri dan tak sabar ingin menemuinya lagi. Aku gembira menjadi suami dari istri yang paling lambat di dunia ini. Aku rela menunggu dalam diam dan harapan yang timbul tenggelam bahwa dia akan bicara, bahwa dia akan menyapaku, suaminya ini, dan aku takut kalau-kalau suatu hari aku datang, dia tak lagi mengenaliku.
”
”
Andrea Hirata (Sirkus Pohon)
β€œ
1967 Di museum kutemukan dahimu penuh kerak timah, meleleh membutakan matamu. Diam-diam kutawarkan tali. Mungkin kau ingin menjerat tubuhku. β€œKujajah tubuh belalangmu. Kita bersembunyi di gua, lari dari topeng-topeng yang kita pentaskan. Jangan kaulempar tali! Ayahku akan kehilangan wujud lelakinya. Ibuku memuntahkan ulat yang telah lama dikandungnya.” Di museum, matamu memecahkan seorang perempuan. Kau terbangun dari kantuk. Kutelan gelap. Kukunyah api. Aku mulai membakar jantung. Mana taliku? Kau ingat di mana telah kutanam impian yang disembunyikan perempuan jalang yang harus kupanggil β€œtante”? Perempuan itu tak lagi memiliki hati. Hidupnya sudah digadaikan untuk orang-orang yang rajin menyapanya di jalanan. Mungkinkah dia ibuku? β€œJangan lilit tubuhku dengan tali. Batang tubuhku buas. Tak ada tali mampu mengikatnya. Jangan hidangkan impian. Mari mereguk kata-kata. Kautahu tumpukan huruf pun kuserap. Tumbuhkanlah anak rambutmu. Ayahku diam-diam menanam kebesaran, tapi aku tak memiliki rangka iga. Mari senggama di batu-batu. Mungkin ingin kaukuliti karang tubuhku?” Kau tampak pandir. Tolol. Uapmu mencairkan satu demi satu bukit yang kusimpan erat di urat tangan. Di museum kau menjadi begitu pengecut. Aku mulai menggantung bayi di ujung rambutmu. Matanya memuntahkan pisau. Kuperingati hidup dengan seratus tahun sunyi Garcia. Ikan-ikan meluncurkan sperma. Betina-betina memuntahkan gelembung karang. Di museum, kesunyian begitu runcing. Tahun-tahun yang pernah kita pinjam kumasukkan dalam api upacara pengabenan. Pulangkah aku? Siapa yang kucari? Diam-diam Garcia sering mengajakku bersenggama di tajam ombak, di museum, dalam mata, jantung, hati dan keliaranmu. Aku tetap gua kecil yang ditenggelamkan dingin. Berlayarlah selagi kau masih ingat laut. Jangan catat namaku. Karena ibuku pun membuangku di buih laut. Mencongkel hatiku dengan lokan. 1999
”
”
Oka Rusmini (Pandora)
β€œ
Jangan ceritakan pada dunia tentang aib yang telah aku buat. Sebagaimana cangkang telur yang pecah dan menguarkan kebusukan yang tak bisa aku tutupi. Tapi semestinya aku bersyukur atas telur yang telah menetas itu. Bagaimana hendak kusembunyikan sebuah rahasia di balik puisi muram dan berdebu ini? Bagaimana hendak aku tutupi kendi yang sudah terlanjur retak? Aku sama sekali tak berniat melewati pintu berliku dan labirin yang membingungkan. Bukan pula menyembunyikan kebenaran di dalam balutan frasa dan metafora yang pada akhirnya akan tersingkap dengan sendirinya. Melainkan dalam cangkang telur yang getas dan bakal pecah sewaktu waktu. Telur yang rapuh itu menggelinding kesana kemari dan mengacaukan perasaanku. Diam diam aku berusaha menanam rumpun semak berduri di tempat yang tersembunyi agar orang tak mencuri lihat petaka yang dihasilkannya. Namun ia bukanlah cemar melainkan kebaikan. Jemari kecil yang menyentuh naluri seorang ibu. Ia bukan lagi sebuah misteri yang mesti disembunyikan dari dunia. Ia tidak hadir sebagai aib, cela atau kenistaan. Ia adalah berkah, ia adalah rasa syukur. Ia adalah curahan rahmat yang menjadikan dirinya utuh sebagai seorang manusia. Ia tidak terlahir untuk aku tangisi. Tidak juga hadir untuk aku sesali. Sebab ia adalah amanah yang Tuhan titipkan kepada diriku. Jadi bukan jalan itu yang mengantarku menjemput tali pertalian nasib. Antara diriku dan jabang bayi yang bersemayam dalam perutku. Melainkan pintu yang sengaja dibukakan Sang Takdir bagiku. Pintu yang tak seharusnya aku tolak. Pintu yang tak semestinya aku tutup kembali. Di usiaku yang belia ini aku mesti belajar lagi arti tawadhu, aku mesti merendahkan diriku tak lebih dari sebutir debu. Meletakkan keangkuhan dan kesombonganku sebagai zarah di bawah telapak kaki kebenaran. Peta di mana telah kuterakan jalan yang seharusnya aku tempuh. Jalan kerikil berbatu yang telah aku pilih sendiri. Aku tahu kakiku akan berdarah-darah nanti saat melewatinya. Namun demikianlah, aku tiada dikurangkan namun justru dengan kehadiran bayi itu, ditambahkannya sebuah nikmat karunia yang sungguh tiada terperi. Tiada lagi yang harus aku ingkari. Tiada satu pun yang mesti aku sia siakan. Aku bahkan tak bisa undur dari jalan yang seharusnya kutempuh. Aku mesti belajar memetik hikmah dari kesalahanku sendiri. Siap atau pun tidak. Aku tak bisa kembali memutari jalan yang sama. Jalan yang seakan gelap tanpa lampu penerang. Namun itulah jalan satu satunya, agar aku bisa memantaskan diriku untuk menjadi seorang ibu.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Selalu ada cara lain untuk menafsirkan kebahagiaan," begitu katamu. Seperti mengisi kanvas yang kosong dengan kepenuhan imajinasi, dan membiarkan khayalan bergerak serupa gambar yang hidup di dalam pikiran. Seperti menemukan sebuah kata yang tepat untuk mengawali sebuah puisi. Selalu ada euforia serupa itu yang ingin kau ciptakan dari gairah dan riuh rendah suara bising yang terdengar di dalam benak semua orang. Sudah lama aku curiga, kau bisa menebak apa yang orang lain inginkan hanya dengan membaca gelagat dan ekspresi wajah mereka. Mencoba membuktikan, bahwa waktu tidak cuma menciptakan kekacauan dan kegaduhan. Ia bisa juga menghadirkan semacam kegembiraan walau mungkin semu. Seperti kisah tentang bunga mawar yang tumbuh di tepi jalan yang pernah aku ceritakan kepadamu. Tapi tak semua orang mau menerima realitas seperti itu. Mereka selalu menemukan cara untuk menilai orang lain dengan caranya sendiri. Kebanyakan orang terlalu sibuk dengan kerumitan pikiran yang hilir mudik setiap hari. Mereka tak menghiraukan hal lain selain kepuasan diri. Mereka tak pernah mau mengerti, bahwa kegembiraan kecil tidak selalu harus dimulai dari diri sendiri. Ini seperti melihat dunia dengan sebuah kaca pembesar. Dunia yang retak dan jauh dari kata sempurna. Dunia yang sering absurd dan kadang membingungkan. Tapi kita tidak punya hak untuk mencemooh orang lain dengan cara konyol seperti itu. Dunia yang kita kenal sudah terlampau sering membiarkan orang membuat penilaian lewat satu satunya pandangan dari apa yang ingin mereka percayai. Tak bisa membedakan api dari asap, panas, nyala dan cahaya yang dihasilkannya. Bukankah satu satunya hal yang bisa kita yakini di dunia yang centang perenang ini adalah sebuah kemustahilan? Akan tetapi, bagaimana kita bisa melihat dunia dengan kacamata ambiguitas? Ketika kita menyadari, bahwa realitas tak lebih dari sebuah fatamorgana. Dan ilusi, adalah kenyataan hidup kita sehari hari. Bagaimana kita bisa menyandarkan diri pada sebuah asumsi untuk mampu mencerna apa yang sesungguhnya tidak kita ketahui? Bagaimana kita bisa memastikan, apa yang tidak pernah kita pahami sebagai buah dari pohon pengetahuan? Bahwa kebaikan dan keburukan adalah hasrat yang terlahir dari rasa ingin tahu manusia. Hanya saja, pikiran kita ingin menelan semuanya sendirian. Kerakusan yang membuat manusia kerasukan oleh ego dan ambisi yang membutakan dirinya sendiri. Kerasukan yang pada akhirnya . menciptakan kerusakan. Apa yang bisa memenuhi diri kita dengan pengetahuan yang serba sedikit tentang makna kebenaran yang kita cari selama ini? Bagaimana kita mampu mengidentifikasi kebenaran yang tidak pernah kita kenal? Bukankah tuhan tak mungkin hadir dalam setitik keraguanmu? Apa yang tidak engkau pahami sebagai sebuah paradoks, tidak punya nilai apa pun dibanding dengan kegamangan dan kebodohan dirimu sendiri. Sementara kita masih saja jumawa, dengan kepala dipenuhi oleh hasrat dan juga kesombongan. Dan terus menerus melahirkan ilusi ilusi semu dari pikiran pikiran hampa yang hanya akan mengelabui manusia dengan kepalsuan sejarah. Sejarah yang diam diam kita rekayasa sendiri. Sejarah yang tidak pernah mengenal makna kesejatian. Sejarah yang mengubur peradaban manusia dengan semacam orgasme palsu, yang anehnya terlanjur kita dewa dewakan sebagai satu satunya kebenaran.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Padahal setelah aku tahu nama kamu bukan mawar. sejak saat itulah aku mulai menulis surat ini diam-diam kepadamu.
”
”
Puguh Santoso
β€œ
Aku takut ah. Takut salah melangkah. Takut salah bicara. Apa baiknya aku diam saja ya? Atau menjauh? Jangan, dong, jangan malah diam apalagi menjauh!nBahkan harus terus bergerak. Mendekat. Meraih ridloNya
”
”
Dian Nafi (Gue Takut Allah)
β€œ
Berilah aku satu kata puisi daripada seribu rumus ilmu penuh janji yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi yang kukasih. Angkasa ini bisu angkasa ini sepi tetapi aku telah sampai pada tepi di mana aku tak mungkin kembali ciumku kepada istriku kepada anak dan ibuku. Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang jagat begitu dalam, jagat begitu diam aku makin jauh, makin jauh dari bumi yang kukasih hati makin sepi, makin gemuruh bunda, jangan membiarkan aku sendiri
”
”
Subagio Sastrowardoyo
β€œ
Segala hal ku ceritakan padamu... tapi saat yang ingin ku ceritakan adalah tentangmu, pada siapa aku bercerita???? jelas aku begitu kehilangan... saat kau diam tanpa alasan. Aku seperti dihukum tanpa tau apa salahku.... #2207161621
”
”
Debra R. Sanchez
β€œ
Selebihnya, aku berpikir bahwa masyarakat terlalu pengecut. Membiarkan semua kebobrokan ini terjadi dan mereka diam saja. Hanya mencatat di pikiran. Hanya membatin. Marah dalam diam. Akhirnya banyak yang kena penyakit strok, asam lambung, dan sakit gigi.
”
”
Puthut EA (Hidup Ini Brengsek, dan Aku Dipaksa Menikmatinya)
β€œ
Komunisme hanya satu kata yang manjur untuk dijadikan musuh bersama. Kecuali jika mereka membaca diam-diam, mahasiswa di Indonesia belum pernah membaca buku-buku Karl Marx atau tafsirnya karena ada larangan pemerintah. Paranoia itu malah membuat anak-anak muda tertarik mencarinya. Dan seandainya mereka tahu, toh itu teori yang gagal di mana-mana. Tak akan ada yang tertarik. Aku saja tidak. Bimo juga tidak. Dan bukan karena apa yang menimpa keluarga kami, tetapi justru karena kami membacanya sebagai mahasiswa, dan menggunakan nalar.
”
”
Leila S. Chudori (Pulang)
β€œ
Aku terjatuh dalam lubang yang curam, Disana ku habiskan seluruh sepenuh Aku mati di duri yang menikam Ku lepas nafas jiwa pergi jauh... Aku kau dan kita Sejauh tak bersua menikam di dada Sedekat tak memandang sinis lirikan Sudah... Sudahlah menghilang Kabur tak terlihat Hampa... Dingin, Diam, Hening dan Sunyi ? Kita, ... bertemu lagi.!
”
”
Manhalawa
β€œ
Aku tersesat dalam kesesatan yang panjang. Kata orang, kemuncak derita seseorang lelaki bukan lagi pada kata-katanya, tapi pada diamnya.. diam yang panjang.
”
”
Hafizul Faiz (Surat-surat Dari Maninjau)
β€œ
Aku tersesat dalam kesepian yang panjang. Kata orang, kemuncak derita seseorang lelaki bukan lagi pada kata-katanya, tapi pada diamnya.. diam yang panjang
”
”
Hafizul Faiz (Surat-surat Dari Maninjau)
β€œ
Yang dulunya pernah dekat, sekarang tidak lagi. Entah aku yang diam di tempat dan kamu melangkah maju, atau kamu yang diam di tempat dan aku yang berjalan mundur. Satu yang aku tahu, aku tak pernah berjalan mendahuluimu
”
”
arimako
β€œ
Kala matahari tenggelam Benarkah hari berganti malam? Ah, aku rasa matahari hanya dipaksa diam Ia tetap pada porosnya, namun cahayanya semakin legam Seolah-olah ia padam Begitulah skenario alam Percayalah padaku kawan, aku yakin betul matahari hanya dipaksa diam Tampak langit mencakarnya hingga lebam Babak belur menjadikannya hitam Alih-alih tak ingin menghantarkan pesan seluruh makhluk yang terpendam Tak ada malam Yang ada hanyalah Matahari dipaksa diam. (Anyer - 13 Januari 2022)
”
”
Karunia Fransiska
β€œ
Jujur saja, aku memiliki trauma jika mendengar orang berteriak-teriak. Detak jantung pasti akan berdetak lebih cepat, sekujur tubuh gemetaran bahkan bisa saja aku langsung menangis tergantung segila apa mereka berteriak meskipun tidak ada hubungan sama sekali denganku. Dari dulu aku hanya berusaha menjauhi tempat-tempat ramai atau penuh konflik, tidak membuat konflik, sebisa mungkin berhubungan dengan beberapa orang saja. Aku lebih suka diam dan sendiri. Tapi siapa yang peduli?? Aku hanya anak yg pemurung dan tak bisa bersosialisasi? Yang benar saja!! Aku hanya bosan terluka.!!
”
”
nomdeplume
β€œ
Aku tidak setuju kalau ada orang bilang, bahwa hidup itu cuma sebuah persinggahan dan sekedar menunggu mati. Semua orang bakal mati, itu pasti. Tapi mati bukanlah tujuan Nak, itu jelas. Apakah kematian akan membawa kita ke tempat yang lebih baik dan menyenangkan? (Aku tak dapat melihat ekspresinya, karena sebagian wajahnya tertutup masker) Lalu kenapa kita hidup? Pertanyaan sederhana itu semestinya membuat kita berpikir. (Ia masih terdiam dan tidak bereaksi, matanya seperti menerawang). Kalau kita menyempatkan waktu untuk berpikir ya semestinya kita sadar. Bahwa kehidupan dan kematian hanyalah fase dari sebuah proses yang kita semua mesti jalani. Bukan tanpa maksud. Kamu paham apa yang aku katakan, Nak? Proses itu semestinya memberi arti bagi eksistensi keberadaan kita sebagai manusia. (Ia menelengkan kepalanya, seperti berusaha menyimak perkataanku). Apakah hidup dan mati akan menjadi jalan pembuktian bagi kita, setidaknya bagi diri kita sendiri? Apakah menurutmu, hidupmu sudah memberimu makna? Dan apakah kematian akan meninggalkan jejaknya, bila satu saat nanti ia datang? Apakah kita akan dengan sengaja menjadikan semua itu lewat dengan sia sia? Ayo Nak, jangan diam saja. Coba tutup matamu sejenak dan pasang kupingmu. Dengarkanlah keheningan ini, rasakan keberadaanmu. Satukan dirimu dengan semesta dan kamu akan tahu, bahwa kamu tidak pernah sendirian. Apakah kamu percaya kepada Tuhan? (Dan ia pun mengangguk) Nah bila demikian, setidaknya kamu bisa menemukan jawaban, bahwa ada nilai kebenaran dari tujuan hidupmu. Kalau kamu percaya bila Tuhan itu Maha Baik, semestinya tidak boleh ada setitik pun keraguan di situ anakku. Dia mungkin akan mengijinkanmu jatuh, tapi Dia tidak akan membiarkanmu tergeletak. Percayalah, kalau kamu bisa memasrahkan dirimu pada apa yang Ia kehendaki. Maka Ia akan mengangkatmu dari beban tomat busuk yang terlanjur kamu kantongi dan kamu bawa kemana mana. Dia akan mengangkatmu dari comberan. Memandikan dan membersihkanmu. Memberi kamu handuk yang hangat dan pakaian yang bersih. Dan Dia akan membuang semua kekhawatiranmu. Memberimu makanan hangat dan menjawab semua keragu raguanmu. Yang kamu lakukan adalah cukup berserah diri. Jadi pesanku Nak, berhentilah menangisi masa lalu. Jangan berputus asa. Sebab selalu ada jawaban untuk semua masalah. Jangan biarkan hidupmu jadi hampa dan tidak berarti. Cuma kamu yang bisa menjadikannya demikian. Kamu tidak boleh bergantung pada siapa pun, tidak juga dari kedua orangtuamu, kerabatmu atau orang orang yang kamu cintai. Karena semua orang mempunyai jalan hidupnya masing masing. Semua orang bebas dan berhak memilih jalan. (Aku menghela nafas sejenak). Apakah engkau hendak berjalan lurus ke depan atau mundur ke belakang? Apakah engkau niat berbelok atau memilih berhenti? Jangan biarkan orang lain mendikte apa yang mesti kamu lakukan dan apa yang bakal kamu raih dengan hidupmu. Kamu bebas menentukan dan mewujudkan kebahagiaanmu sendiri. Apakah kamu akan terus menerus menekuri nasib dan membiarkan dirimu menderita? Sudah saatnya kamu mengakhiri semua hal yang memaksamu menyakiti diri sendiri Nak. Coba lihat pergelangan tanganmu (aku menunjuk ke arah tangannya yang penuh dengan bekas luka luka sayatan pisau). Apa yang membuatmu berpikir, bahwa tindakanmu itu akan memberimu kepuasan? Apakah beban masalahmu akan hilang begitu saja? (Matanya mulai berkaca kaca). Sudah saatnya kamu berdamai dengan amarah dan kejengkelan kejengkelan yang tidak mendatangkan kebaikan, Nak. Dan kamu bisa memulainya hari ini dengan belajar lagi untuk mencintai dirimu sendiri. Kalau kamu sayang pada ayah dan ibumu, berhentilah untuk menyakiti dirimu sendiri dan biarkanlah pisau cutter itu tetap ada padaku. Ijinkan aku menyimpannya untukmu, setidaknya untuk seminggu lagi, sebulan, setahun atau sampai kamu bisa melupakannya. Kalau kau bisa melupakan cutter itu, artinya kau sudah berdamai dengan dirimu sendiri.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
SEPERTI SEBUAH PERCAKAPAN DALAM DIAM Kesunyian mungkin tak pernah menjadi seperih ini. Akan tetapi, kalau ia sungguh hadir bagaimana hendak kutolak? Sekiranya aku temukan airmata pada luka yang terlanjur kutorehkan sendiri, bagaimana hendak kutuntaskan hari hariku dalam kesendirian serupa itu? Senyap angin yang menggigilkan hati. Perahu karam dan ombak yang menyerpih di antara karang dan bebatuan. Seperti temaram yang turun selepas mendung yang menutupi wajah matahari. Amarah yang menjelma jadi seekor naga, bayangan hitam menyapu pelangi yang mengambang di atas laut. Apa yang menahan hujan meninggalkan kenangan di balik kabut? Lalu datanglah esok hari. Tapi mengapa pagi tak selalu seperti angan yang kita rindukan? Seperti juga sisa malam yang senantiasa bermuram durja, terlihat lusuh dan terlalu bersahaja. Ia lebih serupa jelaga yang mengotori pikiran pikiran kita dengan syak wasangka. Siapa di sana bakal menemu wajah sang kekasih? Aku ataukah dirimu? Mengapa bukan kita? Mengapa hanya cuma keluh kesah? Cuma sekedar angan yang tinggal. Pada hari hari kelabu dan seolah tanpa harapan. Siapa yang akan memberi kita semua cinta dan perhatian yang mungkin? Kecuali kita sama sama telah lelah dan terpaksa berhenti di titik ini. Saat ketika kita sudah tak lagi bertegur sapa. Ketika kita menjadi terlalu sibuk dengan pikiran masing masing. Menumpuk kedengkian dan semakin banyak jerat di benak. Semua sisa kenangan yang sempat datang dan pergi. Tak lagi menyisakan percakapan antara dua hati yang mendadak saling membenci. Antara dua perasaan yang kian berkecamuk. Benih cinta yang dulu sempat ada. Yang pernah hadir... Dan lalu pergi entah kemana?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Dulu sekali," ujar laki laki tua penjaja buku itu kepadaku, "Aku pernah bertemu seorang pria muda gagah namun miskin yang jatuh cinta pada seorang gadis rupawan dari keluarga terpandang lagi kaya raya. Dengan segala upaya, pria itu berusaha melakukan apa saja demi mewujudkan cintanya kepada sang gadis, karena ia sangat mencintainya. Untuk beberapa lamanya, si gadis rupawan seperti membalas cinta pria yang miskin itu. Sampai kemudian, sang gadis dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang pria lain yang lebih kaya dan bermartabat dan ia tak mampu menolak permintaan kedua orang tuanya. Hingga akhirnya, ia terpaksa pergi meninggalkan pria miskin yang malang itu." Laki laki tua itu mengambil jeda sejenak sebelum kemudian melanjutkan kata katanya, "Saat itu, si pria miskin merasa dirinya sebagai seorang pria yang paling tidak beruntung di dunia ini. Sekian minggu lamanya ia jatuh sakit dan terkapar tak berdaya. Ia begitu menderita, bahkan berniat untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Sampai kemudian, secercah pemikiran membuat ia kembali bangkit dari keterpurukannya. Perlahan lahan ia mulai bisa memetik pelajaran dari peristiwa yang ia alami dan lalu menuliskan perenungannya itu ke dalam sebuah buku; "Jangan pernah kauukur cintamu dari apa yang engkau harap akan kauterima dari orang yang engkau kasihi, melainkan takarlah dari apa yang ingin engkau berikan padanya dengan sepenuh hati. Karena, saat engkau berharap dan tidak menerima, itu hanya akan mendatangkan kekecewaan di dalam hati. Sebaliknya, orang hanya bisa berharap. Namun, harapan tidak akan selalu terwujud seperti apa yang kauinginkan. Benar sekali kenyataan, bahwa cinta tak selamanya indah, akan tetapi saat kau telah memberikan cintamu dengan hati yang tulus ikhlas, maka sesungguhnya kau tidak akan kehilangan sedikit jua pun. Apa yang sudah kauberikan, itu akan terpatri selama lamanya dalam hati gadis pujaan hati yang engkau kasihi dengan sepenuh jiwa dan raga. Dan percayalah, Tuhan sungguh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kalaupun Tuhan tak mengijinkan gadis itu menjadi jodohmu, apakah berarti engkau tak bisa tetap mencintai dirinya dalam diam dan keheningan?" Setelah menghela nafas sejenak, laki laki tua itu lalu melanjutkan kata katanya, "Dari kisah itu aku pun belajar, betapa cinta yang serupa itu bukanlah sebuah kemalangan. Namun justru, cinta pemuda miskin yang tulus ikhlas itu adalah cinta yang maha dahsyat. Cinta yang mampu mengatasi kepiluan dan kepedihannya sendiri. Itulah pengorbanan cinta sejati yang mendahulukan kebahagiaan orang yang ia cintai melebihi apapun di dunia ini, bahkan perasaannya sendiri yang diliputi oleh kerinduan yang teramat besar namun tak pernah mampu ia wujudkan. Ketahuilah anakku, cinta serupa itulah yang semestinya membuat para pecinta sejati tetap bertahan hidup. Hanya untuk melihat, betapa orang yang sungguh sungguh kita cintai pada akhirnya berhasil meraih dan mendapatkan kebahagiaannya. Selama orang yang engkau cintai berbahagia, maka sudah semestinya pula, engkau juga ikut berbahagia. Karena kebahagiaan serupa itu, nilainya adalah setara dengan surga. * Kisah yang terinspirasi oleh novel -Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck - karya Buya Hamka
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Aku Rindu Sungguh lucu untuk menyadari kenyataan, bahwa aku sungguh senang bercakap-cakap denganmu. Sekalipun kau lebih banyak diam mendengarkan dan sedikit sekali yang kau ucapkan. Walau demikian, aku tidak merasa seperti angin yang bercakap sendirian. Buatku, engkau adalah daun gugur yang bisa aku bawa terbang ke mana saja. Ke segala tempat yang aku mau. Aku merasa bebas bercerita padamu tentang hari-hari yang aku lalui. Tentang pikiran-pikiran yang aku renungkan. Tentang hal-hal yang aku rasakan. Atau tentang semua peristiwa yang aku alami. Saat aku mengunjungi tempat-tempat jauh. Bertemu orang-orang dengan berbagai watak dan perilaku. Kadang aku menemukan peristiwa yang unik dan menggelikan. Dan kau selalu tergelak saat mendengarkannya. Aku sungguh beruntung pernah memilikimu, karena aku bisa menjadi diri sendiri. Tapi meski begitu aku juga merasa sedih, karena tak banyak yang aku ketahui tentang dirimu. Oleh karena itu kutulis surat ini hanya untuk menyatakan kerinduanku padamu. Aku rindu menjadi angin dan kau adalah daun gugur yang aku terbangkan ke mana saja. Apakah kau juga tengah merindukan diriku saat ini? Setidaknya, tidakkah kau rindu mendengar ocehan-ocehanku?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Soliloqui Sudah ribuan kali aku bertanya pada diriku sendiri; apakah aku sungguh merindukanmu sebagaimana engkau adanya dulu? Ataukah ini hanya sekedar perasaan yang ingin kembali kunikmati seperti ketika kita masih bersama? Apakah sebegitu mudahnya buat kita untuk saling melupakan segala perasaan yang pada mulanya sederhana? Setelah semua kisah kita tamatkan dan seluruh perjalanan cerita kita tuntaskan. Tak ada lagikah catatan yang menyisakan tempat untuk kita terus bertahan? Apakah kita masih mampu belajar untuk peduli? Berusaha keras untuk saling mengerti, berikhtiar untuk saling memahami. Perasaan-perasaan yang dulu sempat kita pertahankan mati-matian, namun pupus di tengah jalan. Haruskah kita tutup buku dan membiarkan semua kenangan itu berlalu? Segampang apapun aku berusaha menyatakannya. Apakah memang tak ada lagi yang patut diingat dari semua perjalanan masa lalu? Asa yang mendekatkan diriku padamu dan mimpi bahagia untuk senantiasa berbagi. Susah senang dijalani bersama, tangis tawa diarungi berdua. Lalu kemana perginya semua harapan itu? Apakah aku harus berpura-pura tak lagi mengenal dirimu? Sekalipun sungguh aku menangis di dalam hati, setiap kali berpapasan denganmu dalam lintasan waktu yang membawaku kembali ke jalan di mana pertama kali kita dipertemukan. Hatiku yang lara hanya bisa bertanya; Apa susahnya untuk menyapaku sebagai teman atau sahabat? Sekalipun jujur bukan itu yang aku inginkan. Apakah aku harus berpura-pura tidak mengindahkanmu, sementara jauh di dalam sana batinku meronta-ronta? Ataukah sebaliknya, kita akan membuang segala kebohongan dan pada akhirnya berdamai dengan diri sendiri. Berani mengungkap seluruh kebenaran walau kita tahu itu bakal menyakitkan. Tapi entahlah, seperti melempar sebutir kerikil ke dalam senyap sebuah telaga. Aku hanya bisa menduga-duga, seberapa dalam batu kerikil itu bakal tenggelam? Setelah sekian waktu lamanya kita tak lagi bertegur sapa, apakah engkau pernah merasa diam-diam merindukan diriku, sebagaimana aku diam-diam merindukanmu?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Cinta Dari Rutinitas Sehari Hari I. Ada saat di mana aku sangat mencintaimu, seperti berlama- lama memandang ikan yang berenang tenang di dalam kolam di pekarangan yang dulu pernah kita miliki. Itu rutinitas yang mesti aku mulai saat terjaga dari tidur di malam hari. Buang air kecil di toilet dan diam diam merenungi wajahmu yang terlelap di dalam gelap. Aku mencintaimu saat itu melebihi bagaimana kamu mencintaiku, mungkin dengan sedikit rasa belas kasihan. Seperti biasa, pagi tak pernah alpa mengungkap perasaannya. Terang cahaya matahari tak pernah berbasa basi. Ia bebas dan leluasa keluar masuk dari balik kaca jendela. Dan aku akan kembali mencintaimu untuk ruap wangi susu tanpa gula, menggantikan segelas kopi yang sudah lama tak pernah lagi aku nikmati. Kau melebur dalam jarum dan benang waktu yang menisik setiap butiran uap yang mengembang di dalam cangkir menjadi hem dan celana panjang untuk aku kenakan. Sesekali menuangkan wewangian ke dalam mesin cuci sambil menghindari letupan minyak dari penggorengan yang riuh menawarkan sarapan. Buatku cukup beberapa potong ubi buat pengganti nasi dan roti. Buatmu telur mata sapi dan bakmi goreng sisa semalam yang kita beli di pengkolan jalan. Masih ada sepotong pisang yang terusik dari nyenyak tidurnya dan tangan yang sibuk menyisihkan butiran garam dari cairan lupa. Setelah itu kau mulai ritual menggosok sepatu dengan keringat yang menetes dari dahimu. Diam-diam mengantar pesan rahasia daftar barang belanjaan ke telingaku sambil melambaikan tangan ke arah tetangga melewati pagar berkarat rumah kita. : Seperti itulah cinta yang bagimu sederhana.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Cinta Dari Rutinitas Sehari Hari II. Tentu saja, kita tak sempat bercengkerama karena aku harus segera berangkat kerja dan membiarkan sisanya tenggelam dalam kesibukan memintal kesendirian. Menunggu jarum jam bergerak malas dari delapan ke angka sembilan. Mungkin saat itu kau akan sedikit mencintaiku kurang dari bagaimana aku mencintaimu. Berharap sisa perjalanan akan menjadi sebuah perayaan kerinduan. Tanpa pernah merasa bosan, jenuh atau apapun itu. Hanya pada saat waktu bergerak memanjang ke pukul sepuluh siang, kau akan tertidur sejenak tanpa memikirkanku. Tanpa mimpi tentangku atau tanpa perasaan apa pun yang mengingatkanmu pada diriku. Dengkurmu akan cukup keras untuk membuat tetangga sebelah rumah menjadi tuli dan memaksa mereka melupakan mimpi-mimpi yang menakutkan atau tidak menyenangkan. Tetapi ketika waktu perlahan bergulir ke angka sebelas, cukuplah dirimu beristirahat dari segala macam kepenatan yang akan dengan segera membuatmu lupa pada diri sendiri. Merintang panas, memangkas daun-daun aglaonema kering di teras. Menyiapkan makan siang dan menikmatinya sendiri saja tanpa mengingat siapa yang pernah kaucintai atau diam-diam mencintaimu. Tapi kau akan dengan mudah jatuh cinta lagi pada dirimu sendiri pada jam dua belas. Tanpa harus bersusah-payah meyakinkan bukan siapa-siapa bahwa penantianmu tak akan pernah sia-sia. Setelah puas menyemaikan daun-daun sirih belanda kesayanganmu pada pukul satu. Kau bongkar semua ingatan dari satu pot dan memindahkannya ke dalam pot yang lain tanpa pernah merasa jemu. Tahu-tahu waktu mengetuk pintu keras keras mengabarkan sore tiba pada jam tiga. Dan kerinduan akan datang lagi berhamburan sebagai orang orang yang pernah pergi. Mereka yang sekejap singgah entah kemana, namun pada akhirnya akan kembali pulang ke rumah. Itulah waktu untuk berbenah, membuang semua sampah dan kekotoran. Memandikan kecemasan dan mengelupas kekhawatiran dari daster lusuh yang kau kenakan, lalu menyulapnya menjadi sedikit pesta kegembiraan; Mencuci sendok dan garpu melipat kertas tisu, mengelap piring dan gelas, mengeluarkan semua isi kulkas lalu menatanya rapi di atas meja tanpa alas. Kau isi setiap gelas dengan perasaan cinta yang meluap luap. Membagikan hati, perasaan dan pikiranmu di atas piring yang terbuka buat makan malam kita berdua. Sejenak mengabaikan rasa letih demi mendambakan sedikit ciuman yang akan mendarat di pipi atau keningmu dan barbagi pelukan hangat yang akan mengantarmu ke peraduan. Lalu setelah itu, kita akan melupakan semua ritual yang mesti kita ulang setiap hari dari permulaan lagi. Meskipun sesungguhnya kita tidak pernah tahu dari mana garis start keberangkatannya dan di mana ia akan berakhir. Karena semua mimpi akan berubah menjadi taman bunga yang memekarkan lagi warna- warni kelopak cintanya di malam hari. Dan seribu kunang kunang akan menyinari rumah yang telah kita tinggali lebih dari sepuluh tahun ini. Kebahagiaanmu sesungguhnya tak pernah beranjak jauh-jauh dari rumah. Setiap hari selalu memberi warna abu abu muda yang sama. Kecuali pada saat di mana aku datang membawa segepok keberuntungan di akhir bulan. Itu barangkali adalah hari paling berwarna yang kau tunggu-tunggu. Tapi meskipun begitu, aku selamanya mencintaimu. Sebagaimana aku mencintaimu seperti hari yang sudah-sudah tanpa pernah berubah. Kau tetap akan jadi perempuan dalam hidupku satu satunya. Dan kukira engkau pun merasa demikian selamanya. Waktu boleh datang dan pergi sesukanya. Tapi ada kalanya kerinduan mesti kita simpan rapi dalam lemari menunggu saat yang tepat untuk dikenakan lagi. Dan cinta mesti mengisi lagi baterenya, terutama pada saat-saat yang paling menjemukan.Tentu saja, kita hanya perlu sedikit mempersoleknya agar ia tetap senantiasa wangi, bersih dan segar saat kita nanti membutuhkan lagi kehadirannya.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Perasaan-Perasaan yang Tak Terlukiskan Salahkah aku, bila sengaja memberimu lebih banyak dari apa yang engkau butuhkan? Kuberi engkau sepasang sayap yang indah agar kau bisa terbang dan menari di antara mega-mega. Kuberi engkau kamar yang jauh lebih besar dari kamarku sendiri, supaya di dalam kamar itu engkau bisa melakukan apa saja yang engkau mau. Aku tak melarangmu membuat kolam ikan dan air terjun di dalam kamar itu, hanya karena aku tahu itulah caramu untuk membunuh sepi. Itulah siasatmu untuk mengalahkan suara- suara berisik yang senantiasa berebut bicara di dalam kepalamu. Aku bahkan berusaha, untuk tidak menunjukkan rasa cemburu bila engkau lebih banyak bicara kepada ponselmu daripada bicara kepadaku. Karena aku tahu begitulah usahamu mempertahankan kewarasan agar tak menjadi gila. Walau sering hatiku merasa was-was, saat mencuri lihat engkau tertawa atau menangis sendiri saja. Kamar itu kini telah menjadi dunia yang tak terlihat oleh mataku yang perih. Hatiku yang diam-diam merintih oleh perasaan-perasaan lain yang tak terlukiskan. Ada perdu dan semak berduri yang tumbuh rimbun di depan pintu kamarmu yang menghalangiku untuk melihat bagaimana engkau tumbuh menjadi dewasa. Sementara aku pelan-pelan menua, tanpa mampu beranjak dari rasa kekhawatiranku sendiri; Apakah engkau baik-baik saja? Apakah engkau sungguh-sungguh bahagia? Betapa aku sangat menyayangimu melebihi cintaku pada hal-hal lain yang tak pernah engkau kenal.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Rodan Luput semestinya adalah kata yang tak harus aku tuliskan di dalam puisi ini. Sayang sekali aku tak memiliki foto dirimu kecuali yang diam-diam kuambil tanpa ijin dari halaman facebookmu. Sungguh sangat disayangkan kau tak sendirian di sana. Seperti Rengut itu berasa masam perasan limau yang terbit di lidahku atau likat lumpur yang mengendap di kuala, saat kutemukan begitu banyak kebahagiaan yang ingin kau pamerkan dari perjalanan yang dulu pernah aku bayangkan akan hanya jadi milik kita berdua. Perut laparmu adalah yang semestinya segera kau kenyangkan, ketika kucium aroma rempah dari negeri-negeri jauh di Timur Tengah. Wangi masakan-masakan Itali sebagaimana yang tertera dalam hidangan makan malammu: spaghetti, ravioli, lasagna, pizza atau carbonara yang mengundang selera. Tapi Kerut yang membekas di dahi dan lebam biru di bawah kelopak matamu itu seperti luka yang tak mampu kau sembunyikan. Aku hanya bisa membayangkan wajah dewi Aphrodite dan pemandangan eksotis puing-puing kuil Yunani yang terbelah. Apakah sengat matahari menjadi terlalu keras padamu akhir-akhir ini atau ada sebab-sebab lain yang tak pernah aku tahu, kecuali kacamata yang tak mungkin menyembunyikan kesedihanmu? Takut bukanlah selimut buat penghangat tubuh. Bukan karena itu pula aku mendadak saja tersentuh ingin kembali mencintaimu alih-alih membencimu. Untuk sebuah alasan yang tak perlu engkau prasangkakan. Panorama ini sungguh memedihkan mataku. Seperti ada luka yang tiba-tiba saja kambuh dari rodan yang sengaja ingin aku lupakan.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Perasaan yang tak Pernah Terusik oleh Waktu "Maafkan aku karena tak selalu ada untukmu," itulah kata-kata yang diucapkan gemercik air sungai pada bebatuan yang dicintainya. Karena Kemarau telah mengandaskan semua harapan yang ia alirkan sejak dari hulu. Tempat di mana ia mula-mula memberi nama pada apa yang ia rasakan untuk ia sampaikan pada muara. Ketika Mata air diam-diam membiarkan getar perasaan itu terbit di hatinya. Begitu dalam yang ia rasakan hingga mendorong hasratnya jauh melesap ke dalam tanah hanya demi menemukan jalan untuk menuju cintanya. Tetapi Matahari yang senantiasa hadir sepanjang musim merebut seluruh perhatian dari semua pikiran yang tak mungkin ia sembunyikan. Dijarahnya semua simpati dengan kehangatan yang tak ia miliki. Namun Ia ingin membuktikan, bahwa mencintai adalah sebuah anugerah. Demikianlah, sepanjang kelok aliran sungai itu ditumbuhkannya bunga-bunga di antara sela-sela perasaan yang tak pernah terusik oleh waktu.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Apakah Sebab Aku Terlalu Mencintaimu? "Mengapa kau tanggalkan semua ingatan dari buku jurnal yang telah kutulis bertahun-tahun lamanya hanya untuk mengabadikan namamu?" Senja yang terselip di antara kerlip rasi bintang. Menua dalam lipatan peta dan almanak bekas yang tersembunyi di balik tumpukan harta karun peninggalanku yang mulai berdebu. Seekor cicak merayap di dinding palka yang sudah lama retak, berusaha menangkap nyamuk yang terbang bergegas masuk ke dalam kabin nakhoda. Ada bayangan misteri yang berusaha mengelabui sepi dengan melemparkan sebuah teka-teki yang tidak tertebak, "Apakah semua layar mesti kita bentangkan sekali lagi?" Atau barangkali, ini hanyalah sebuah muslihat yang tak sempat terpikirkan oleh kompas penunjuk arah mata angin? Sebuah lubang hitam dengan suara desah bergema di dasar lautan. Sebuah isyarat terperangkap dalam pikiran para kelasi yang tiba-tiba gelisah. Apakah sebab aku terlalu mencintaimu, hingga aku tak mampu mengarahkan kemudi keluar dari jebakan waktu yang engkau susun kembali dari puing-puing pecahan sekoci yang masih tertinggal? Kitab-kitab rahasia dengan sampul yang terkelupas ini. Halaman demi halaman yang perlahan terhapus ini. Lembaran-lembaran kertas yang mulai melapuk ini. Ataukah, jangkar yang diam-diam engkau turunkan lewat buritan tanpa sepengetahuan diriku? Sementara perasaan yang kian memudar itu meninggalkan jejak samar yang mungkin saja masih terbaca oleh redup cahaya lampu peta: "Di mana mercusuar yang dulu pernah memandu perjalanan kita? Lalu, siapa yang akan menuntun bahtera mabuk demi melewati amuk gelombang dan topan badai yang dahsyat ini?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Aku mencintaimu seperti angin. Kamu tidak akan merasakannya jika kamu tak ingin.
”
”
Dionisius Dexon (Jangan Sembunyi di Bumi)
β€œ
Aku minta maaf sempat mencegahmu kemarin sore, tapi itu karens aku mengkhawatirkanmu. Sesungguhnya, aku bangga sekali menyaksikan seorang anak muda berani melawan kesewenang-wenangan. Berani berdiri gagah melawan, apa pun risikonya, saat orang lain memilih diam. Karena sejatinya itulah hakikat kehidupan. Kita senantiasa berbuat baik kepada orang lain. Menjaga nilai-nilai kemanusiaan tetap hidup. Dari begitu banyakbuku yang kubaca, itulah definisi mendasar kehidupan. Itu bukan hanya soal bertahan hidup, survive, atau tentang berkuasa. Karena jika hanya tentang itu, manusia sama saja dengan hewan.
”
”
Pak Tua (Si Putih)
β€œ
Aku minta maaf sempat mencegahmu kemarin sore, tapi itu karena aku mengkhawatirkanmu. Sesungguhnya, aku bangga sekali menyaksikan seorang anak muda berani melawan kesewenang-wenangan. Berani berdiri gagah melawan, apa pun risikonya, saat orang lain memilih diam. Karena sejatinya itulah hakikat kehidupan. Kita senantiasa berbuat baik kepada orang lain. Menjaga nilai-nilai kemanusiaan tetap hidup. Dari begitu banyak buku yang kubaca, itulah definisi mendasar kehidupan. Itu bukan hanya soal bertahan hidup, survive, atau tentang berkuasa. Karena jika hanya tentang itu, manusia sama saja dengan hewan.
”
”
Pak Tua (Si Putih)
β€œ
Aku minta maaf sempat mencegahmu kemarin sore, tapi itu karena aku mengkhawatirkanmu. Sesungguhnya, aku bangga sekali menyaksikan seorang anak muda berani melawan kesewenang-wenangan. Berani berdiri gagah melawan, apa pun risikonya, saat orang lain memilih diam. Karena sejatinya itulah hakikat kehidupan. Kita senantiasa berbuat baik kepada orang lain. Menjaga nilai-nilai kemanusiaan tetap hidup. Dari begitu banyak buku yang kubaca, itulah definisi mendasar kehidupan. Itu bukan hanya soal bertahan hidup, survive, atau tentang berkuasa. Karena jika hanya tentang itu, manusia sama saja dengan hewan.
”
”
Pak Tua, Si Putih Tere Liye
β€œ
Engkau pikir, aku akan memberimu sebuah ciuman untuk kegembiraan yang tak sepenuhnya ikhlas kau berikan. Padahal pada setiap helai daun itu aku telah memasang mata sekadar untuk mencuri lihat apa yang akan engkau lakukan. Walau kau tak sepenuhnya mengerti, berapa banyak kamera yang sengaja aku pasang di sini. Itu sebabnya tak akan mudah bagimu untuk menaklukkan diriku dengan cumbu rayuanmu. Sekalipun dengan kesabaran dan ketekunan yang boleh jadi membuatmu telah memenangkan banyak pertempuran. Sesungguhnya engkau hanya mengambil secebis kenikmatan dari lidahku, danΒ  bukanlah seluruh kehormatan yang aku pertaruhkan, sebagaimana yang engkau persangkakan. Sebab aku hanya mengorbankan sebuah bidak demi untuk merebut bentengmu. Bukan untuk sebuah permufakatan palsu, melainkan untuk memisahkan bara dari api. Untuk mengaduk gelas tanpa membuat airnya tumpah. Ternyata, lidahmu hanyalah merah kesumba dan tak ada satu pun senjata yang kau miliki yang mampu melukai dagingku. Sebab pisaumu majal belaka dan tak cukup tajam bahkan untuk mengerat karet gelang pengikat rambutku atau memutus tali dasterku. Sekalipun aku sengaja mengenakannya hanya untuk menyenangkan dirimu. Tapi hanya pada tubuh yang tumbuh dalam mimpimu sajalah aku berbaik hati untuk hadir berkali kali, sekalipun engkau berharap itu akan jadi milikmu sementara atau selamanya. Tidakkah selama ini engkau sadari, bahwa aku bukanlah aku yang biasa engkau lihat berbelanja telur, beras atau gula pada tukang sayur yang mangkal di depan rumahmu. Atau babu yang pura pura sibuk mencabut rumput dan menyapu halaman hanya untuk memancing perhatianmu? Walau, sekali memang pernah kubuka pintu hanya untuk mengelabuimu. Untuk mengetahui seberapa tangguh kuda yang hendak aku tunggangi. Tapi bentengmu ternyata tak seperkasa yang aku duga. Lubukku bahkan masih jauh lebih dalam dari tenggorokanmu dan tali pancingku jauh lebih liat dari urat lehermu. Dan ketahuilah, aku bukanlah kekasih gelapmu atau budak cintamu, melainkan musuh sejatimu. Ratu hitam yang akan selalu membayang bayangi langkahmu di atas petak, di mana kau susun bidak bidakmu dalam formasi pembukaan gambit menteri, yang sudah aku hapal di luar kepala. Namun aku juga mengenali semua variasi yang ingin engkau mainkan.Β  Sebab ada banyak kemungkinan untuk mengantisipasi semua tipu muslihatmu yang sudah kedaluwarsa itu; dari pertahanan Slavia hingga Kontragambit Albin. Dari Pertahanan Baltik hingga pertahanan Chigorin. Dan hahaha... engkau bukanlah raja yang mesti aku junjung dan aku bukanlah kawula yang dapat engkau perintah. Sebagaimana aku selalu mematahkan keinginanmu untuk memangkas dahan dari pohon mangga yang berbatasan di antara rumah kita. Mengusir ular jenaka berkaki tiga yang diam diam menyelinap ke kamar mandi atau memperbaiki kabel listrik yang tiba tiba korsleting. Tak ada cukup alasan bagiku untuk mengerik punggungmu yang masuk angin atau memintamu mengurut pinggangku yang keseleo. Tetapi hanya sepasang mata yang sudah tak awas lagi, dan barangkali gigi yang mulai tanggal yang akan terus menjauhkan dirimu dari satu satunya kemenangan yang engkau impi-impikan. Selama engkau tak bersedia berfoto selfie bersamaku, dan mengabadikan semua luka yang kita sandang dari pertempuran yang tak kunjung usai ini, maka aku tak akan pernah lagi mengijinkan dirimu untuk mengisap putih darahku dari bagian tubuhku yang tersembunyi. Sebagaimana aku telah menetak lehermu berkali kali dan mengusir mambang dari pohon sialang, agar aku bisa menumbai madu dari sarang tawon milikmu yang konon katamu lebih nikmat dari air surgawi.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Sementara aku diam-diam semakin yakin makanan Aceh yang benar-benar enak mungkin hanya didapatkan di rumah orang Aceh, bukan di rumah makan
”
”
Laksmi Pamuntjak (Aruna & Lidahnya)
β€œ
Dalam aku senang berkawan, aku suka bersendirian. Diam dari jauh memerhatikan, siapa kawan, siapa sebenarnya lawan.
”
”
A.D. Rahman Ahmad
β€œ
Ada saat dimana aku lebih memilih diam lalu pergi karena tak ingin tangisku pecah dihadapanmu,.
”
”
chachacillas
β€œ
Untuk semua barangku yang kamu rusak, aku diam. Pas kamu lupa mengerjakan PR sekolah, aku yang selesaikan. Semua. Semua aku lakukan biar jadi kakak terbaik. Kamu malah enggak pernah menganggapku baik atau bahkan menganggapku ada. - Piring Bahagia Si dan Bi
”
”
Dian Pertiwi Josua