Aku Bukan Siapa Siapa Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Aku Bukan Siapa Siapa. Here they are! All 17 of them:

Nah, walau tiga suku bangsa ini punya kampung sendiri, kampung Cina, kampung Dayak, dan kampung Melayu, kehidupan di Pontianak berjalan damai. Cobalah datang ke salah satu rumah makan terkenal di kota Pontianak, kalian dengan mudah akan menemukan tiga suku ini sibuk berbual, berdebat, lantas tertawa bersama—bahkan saling traktir. “Siapa di sini yang berani bilang Koh Acong bukan penduduk asli Pontianak?” demikian Pak Tua bertanya takzim.
Tere Liye (Kau, Aku & Sepucuk Angpau Merah)
Bukan untuk siapa–siapa kupikir. Mungkin aku melakukannya untuk diriku sendiri pada akhirnya. Karena aku menikmatinya, menikmati melayani dan melihat senyum kebahagiaan orang – orang di sekitarku.
Dian Nafi (Ayah, Lelaki Itu Mengkhianatiku)
Aku bukan siapa-siapa Aku hanya setitik debu di padang pasir Aku hanya setetes air di samudera tak bertepi Aku hanya setiup udara di angkasa raya Aku dengan segala egoku.. tak berarti apa-apa
Santi Artanti (Friendship Never Ends)
Mungkin aku memang sudah gila, mencintai pacar temanku sendiri. Barangkali cinta seperti kejahatan. Ia bisa terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi juga karena adanya kesempatan. Aku tahu pasti aku hanya mencari-cari pembenaran saja untuk perasaanku. Jadi siapa aku sekarang? Hanya pecundang malang yang jatuh cinta kepada orang yang salah, dan pada saat yang sama dicintai oleh orang yang salah pula!
Fadil Timorindo (Let's Party)
Pahlawan Tak Dikenal Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring Tetapi bukan tidur, sayang Sebuah lubang peluru bundar di dadanya Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang Dia tidak ingat bilamana dia datang Kedua lengannya memeluk senapan Dia tidak tahu untuk siapa dia datang Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang Wajah sunyi setengah tengadah Menangkap sepi padang senja Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu Dia masih sangat muda Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun Orang-orang ingin kembali memandangnya Sambil merangkai karangan bunga Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring Tetapi bukan tidur, sayang Sebuah lubang peluru bundar di dadanya Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda
Toto Sudarto Bachtiar
Tetap wartawan-wartawan terus saja menulis bahwa aku ini seorang 'budak Moskow'. Baiklah kujelaskan sekali lagi dan untuk terakhir kali. Aku bukan, tidak pernah dan tidak mungkin menjadi seorang komunis. Aku membungkukkan diri ke Moskow? Setiap orang yang pernah dekat dengan Sukarno mengetahui, dia memiliki ego yang terlalu besar untuk bisa menjadi budak dari seseorang, kecuali budak dari rakyatnya. Aku memiliki ego. Itu kuakui. Tapi apakah seorang yang tanpa ego bisa mempersatukan 10.000 pulau menjadi satu bangsa. Dan aku memang tinggi hati. Siapa pula yang tidak demikian? Bukankah setiap orang ingin mendapat pujian?
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Bukan masalah senang atau tidak senang. Aku memasak karena sudah seharusnya. Aku mesti ke dapur supaya kalian semua bisa makan dan pergi ke sekolah. Mana bisa kita hanya melakukan apa yang kita sukai? Ada hal-hal yang mesti dilakukan, entah suka atau tidak. Kalau kau hanya melakukan apa-apa yang kausukai, lalu siapa yang akan mengerjakan apa-apa yang tidak kausukai?
Kyung-Sook Shin (Please Look After Mom)
Menafsir Rembulan Kalau tidak sedang dikejar-kejar mengapa mesti lari terburu-buru? Kita tidak harus selalu menerjemahkan waktu dengan cara-cara yang menggelikan dan menyebalkan serupa itu. Bukankah di dunia ini banyak sekali kejadian-kejadian yang tidak kita mengerti? Sebagaimana halnya kita tak pernah tahu, mengapa rembulan tak pernah lagi menulis puisi? Apalagi puisi tentang cinta dan kerinduan. Terlalu banyak penyair atau mereka yang mengaku-aku sebagai penyair yang mencatut nama bulan hanya untuk mengungkap perasaan. Padahal bulan tak perlu pengakuan. Ia sama sekali tak butuh penghargaan, penghormatan, penerimaan atau pengukuhan dari siapa pun. Kalau selama ini terlalu banyak puisi yang mengumbar nama rembulan, maka itu jelas bukan karena kemauan atau kehendaknya sendiri. Itu pula sebabnya mengapa bulan lebih sering menyembunyikan diri. Sengaja tak menampakkan batang hidungnya atau memamerkan kemolekannya. Tapi kita para penyair lancung dan sok pintar ini terlalu sering mengagung-agungkan dirinya lebih dari yang seharusnya. Bulan memang lembut dan tak segarang matahari. Sesungguhnyalah, ia sosok pemalu yang tak seberapa pintar menyatakan isi hati. Hanya saja kita terlalu melebihkan apa yang tersirat dari senyumnya yang sering tertahan, atau dari raut wajahnya yang begitu mudah tersipu. Betapa mudah kita menyalah artikan sendu tatap matanya sebagai kerinduan dari serpihan hati orang yang kita kasihi. Sementara kita tak pernah berusaha menyelami, apa yang sesungguhnya tersembunyi dalam pikirannya yang naif dan selugu kanak-kanak itu?
Titon Rahmawan
Bagiku menikah bukan kewajiban, melainkan pilihan. Maka, aku tidak mau salah memilih pasangan. Andai setelah ini aku tidak memiliki jodoh di dunia, aku masih akan baik-baik saja. Hidupku tidak diukur dari itu.
Eki Saputra (Kepada Siapa Ilalang Bercerita)
Tapi, aku tak ingin menjadi dekat dengan siapa pun, atau bahkan menpercayainya. Brutus pun bisa membunuh Julius Caesar, bukan? Dan kali ini, aku tak mau menjadi orang yang mengatakan 'et tu Brute?
Mpur Chan (Heartbreak Formula)
Akulah yang memilih menjadi apa dan siapa. Aku juga yang harus mengendalikan hidupku sendiri. Bukan mereka, atau siapapun yang hanya suka menghakimi dari kulit luarnya.
Eva Sri Rahayu (Parade Para Monster)
Akulah yang memilih menjadi apa dan siapa. Aku juga yang harus mengendalikan hidupku sendiri. Bukan mereka, atau siapa pun yang hanya suka menghakimi dari kulit luarnya.
Eva Sri Rahayu (Parade Para Monster)
Seumur hidupku, aku adalah sesuatu. Begitulah kehidupan saat itu. Tetapi, pada suatu ketika, semua-nya berubah. Hidup telah mengubah aku menjadi bukan siapa-siapa. Aneh.... Manusia dilahirkan untuk hidup, kan? Tapi semakin lama aku hidup, semakin aku kehilangan apa yang ada di dalam diriku—dan akhirnya kosong. Dan aku yakin semakin lama aku hidup, semakin kosong dan semakin tidak berharganya diriku. Ada yang salah dengan gambaran ini. Semestinya hidup tidak seperti ini! Masih mungkinkah mengubah arahnya, mengubah ke mana aku harus menuju?
Haruki Murakami, Kafka on the Shore
Seumur hidupku, aku adalah se -suatu. Begitulah kehidupan saat itu. T etapi, pada suatu ketika, semua -nya berubah. Hidup telah mengubah aku menjadi bukan siapa-siapa. Aneh.... Manusia dilahirkan untuk hidup, kan? T api semakin lama aku hidup, semakin aku kehilangan apa yang ada di dalam diriku—dan akhirnya kosong. Dan aku yakin semakin lama aku hidup, semakin kosong dan semakin tidak berharganya diriku. Ada yang salah dengan gambaran ini. Semestinya hidup tidak seperti ini! Masih mungkinkah mengubah arahnya, mengubah ke mana aku harus menuju?
Haruki Murakami, Kafka on the Shore
*Untaian Merjan Rangkaian Proses: Dari Putus Asa hingga Meraih Kebahagiaan Sejati* Hidup bukanlah jalan lurus yang penuh cahaya, tetapi lorong panjang yang berliku, penuh dinding gelap, penuh batu tajam. Ada saat kita terjatuh, tersungkur, terluka hingga dunia tampak seperti musuh yang tak mengenal belas kasihan. Namun ingatlah— putus asa bukanlah sebuah opsi. Selama hidup masih berdenyut di dada, maka menyerah tidak pernah menjadi pilihan. Putus asa hanya benar-benar lahir saat harapan telah mati, saat peluang habis, saat kematian menjadi satu-satunya jalan keluar. Kita pun belajar, bahwa penghalang terbesar dalam perjalanan bukanlah dunia luar, melainkan diri sendiri—sekadar mencari validasi: ego yang meninggi, harga diri yang menolak disentuh, perasaan “aku paling tahu, paling pintar, paling hebat.” Di situlah langkah kita sering tersandung, pertumbuhan mandek, kemajuan berhenti. Lalu bagaimana seorang perintis bisa menjadi besar? Bagaimana seorang pemimpi bisa menyalakan dunia? Ia harus rela memulai dari fondasi, sebuah batu pijakan, sebuah langkah: membangun kepercayaan, menjaga reputasi, mencari relasi, melahirkan peluang, mengkapitalisasi modal, menjaga aliran, menahan badai, dan tetap memelihara pertumbuhan. Sebab realitas memang kejam: nilai manusia sering hanya diukur dari apa yang ia hasilkan, kontribusi apa yang ia beri, prestasi apa yang ia capai. Jarang ada yang menghargai proses, padahal proseslah yang menjadi guru sejati manusia. Proses— yang menajamkan kecerdasan, menempa ketangguhan, menyalakan kesabaran, menumbuhkan ketekunan. Proses adalah jembatan antara kelemahan dan keunggulan, antara kekalahan dan kemenangan. Tanpa proses, hasil hanyalah fatamorgana: indah di permukaan, rapuh di dalam. Namun dunia kini berjalan terlalu tergesa, orang ingin hasil instan, hingga melupakan arti kedewasaan. Akibatnya, lahir generasi cerdas tapi tak dewasa, pintar namun tanpa empati, berpengetahuan namun miskin kepedulian. Padahal sejatinya, kecerdasan intelektual harus bersanding dengan kecerdasan emosional dan spiritual. Sebab adab lebih tinggi nilainya daripada sekadar kepintaran, dan kepedulian lebih mulia daripada sekadar pencapaian. Ada pula godaan lain dalam perjalanan menuju puncak: ingin terlihat kaya, padahal belum benar-benar kaya. Keinginan mengejar validasi, sekadar pengakuan dan gengsi. Padahal kekayaan sejati tidak untuk dipamerkan. Ia tersembunyi di balik kerendahan hati, kesederhanaan terjaga dalam kendali diri. Hanya mereka yang sabar menanam akan menuai kekayaan yang bukan sekadar materi, tetapi juga jiwa yang lapang. Dan akhirnya, hidup bukan hanya soal bekerja dan berjuang, tetapi juga menyeimbangkan diri. Work-life balance sejati adalah harmoni empat komponen: jiwa, raga, pikiran, dan spirit. Saat keempatnya menyatu, maka tercipta kebahagiaan yang sesungguhnya, bahagia bukan karena apa yang kita punya, tapi karena siapa kita telah menjadi. *Butir hikmah yang tersisa:* Jangan lari dari proses, sebab proseslah yang membuatmu pantas. Jangan sombong pada dunia, sebab dunia akan mengujimu tanpa ampun. Dan jangan tergesa, sebab segala sesuatu yang indah, kuat, dan besar selalu lahir dari kesabaran. Maka berjalanlah, jatuh dan bangkitlah, gagal dan tumbuhlah. Karena hidup bukanlah tentang menghindari badai, melainkan belajar menari di tengah derasnya hujan. Semarang, September 2025
Titon Rahmawan
Aku mendoakannya bukan karna cinta ku lebih besar daripada cinta untuk tuhan ku, aku menyebut namanya agar Tuhan mengenal siapa yang sedang aku cintai.
Ganjar Bagas Kurniawan
Sang guru lalu mengeluarkan sekeping koin tua dari sakunya dan meletakkannya di atas meja. “Lihatlah koin ini,” katanya, “di satu sisi tertera gambar seorang raja, di sisi lain angka yang menandakan nilainya. Dunia menilai dari angka itu, tapi aku menilai dari siapa yang mencetaknya. Begitu pula manusia. Dunia menilai dari hasil, tapi semesta menilai dari sumber — dari nilai pribadi yang memancarkan makna.” Ia menatap sang saudagar dengan lembut. “Orang miskin menjual waktu karena tak tahu nilainya. Kelas menengah menukar waktu dengan gaji karena butuh kepastian. Orang kaya sejati menukar ide dengan pengaruh — karena ia tahu nilai tertinggi bukan pada kerja keras, tapi pada keunggulan pribadi yang bermanfaat bagi banyak jiwa.
Titon Rahmawan