Aku Bukan Siapa Siapa Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Aku Bukan Siapa Siapa. Here they are! All 27 of them:

β€œ
Nah, walau tiga suku bangsa ini punya kampung sendiri, kampung Cina, kampung Dayak, dan kampung Melayu, kehidupan di Pontianak berjalan damai. Cobalah datang ke salah satu rumah makan terkenal di kota Pontianak, kalian dengan mudah akan menemukan tiga suku ini sibuk berbual, berdebat, lantas tertawa bersamaβ€”bahkan saling traktir. β€œSiapa di sini yang berani bilang Koh Acong bukan penduduk asli Pontianak?” demikian Pak Tua bertanya takzim.
”
”
Tere Liye (Kau, Aku & Sepucuk Angpau Merah)
β€œ
Bukan untuk siapa–siapa kupikir. Mungkin aku melakukannya untuk diriku sendiri pada akhirnya. Karena aku menikmatinya, menikmati melayani dan melihat senyum kebahagiaan orang – orang di sekitarku.
”
”
Dian Nafi (Ayah, Lelaki Itu Mengkhianatiku)
β€œ
Aku bukan siapa-siapa Aku hanya setitik debu di padang pasir Aku hanya setetes air di samudera tak bertepi Aku hanya setiup udara di angkasa raya Aku dengan segala egoku.. tak berarti apa-apa
”
”
Santi Artanti (Friendship Never Ends)
β€œ
Aku tahu, tidak ada seorang pun yang akan merendahkanku. Tidak ada seorang pun yang melihatku tidak berharga. Seperti yang Scott ucapkan. Justru, karena aku berani menentukan pilihan, dan aku berani menyatakan sikap. Apa yang aku rasakan itulah yang terpenting. Aku tidak menggantungkan hidupku pada apa yang orang lain pikirkan. Siapa yang bisa merenggutkan kegembiraan itu dari diriku? Mereka hanya mungkin mengirikan kebahagiaanku dan cemburu pada keberuntunganku karena aku lebih dicintai. Walaupun menurut mereka aku tidak sepadan karena aku tidak berharta, tidak berpangkat dan tidak memiliki sesuatu yang pantas untuk aku banggakan. Mereka tahu, bukan semua itu yang membuatku lebih baik dan lebih berharga. Mengapa Tuhan membuat hidupku lebih bermakna, sebab aku tidak mengukur kebahagiaan dari apa yang aku miliki saat ini. Melainkan dari apa yang bisa aku berikan untuk orang lain. Dan tidak ada pemberian yang lebih berarti selain daripada cinta, perhatian dan kasih sayang itu sendiri.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Ada sekuntum mawar di dadanya dan dusta di mulutnya. Sesungguhnya, Ia tak menggonggong serupa anjing yang tolol. Ia hanya tak mengindahkan hal lain, selain rasa laparku. Digigitnya tulang dari kedalamanku yang perih. Mata yang tak peduli dan hasrat untuk membunuh. Gelegak darah ini sama kejinya dengan celoteh amarah. Api yang ia simpan di balik pisau yang beringas itu. Pada dadanya yang terbelah, dan jantungnya yang memerah. Yang ia tunjukkan berulang ulang kali tanpa setitik pun rasa malu atau mungkin penyesalan. Lagunya tak semerah gincu yang ia kenakan malam itu. Dan apakah itu, secarik kain sewarna darah yang tak mampu menutupi semua kejalangannya dari dunia? Dari dulu sekali, ia sudah bukan milikku lagi. Ia sudah jadi milik semua orang. Seperti semua kata kata cinta yang diobralnya dengan murah. Seperti haram jadah yang pernah terlahir dari mimpi di siang bolong. Mimpi tempat kami menghabiskan waktu. Waktu dan seluruh kesia siaan. Waktu yang tak bernilai, selain onggokan sampah, sumpah serapah dan omong kosong. Waktu yang membusuk dalam pikiran semua orang. Mereka yang tak lebih anjing dari diriku sendiri. Mereka yang menanti jam jam pertunjukan dengan air liur menetes. Mereka, yang sejak dari hari pertama telah menjeratkan benang laba laba itu ke dalam pikiranmu, Baby. Benang yang tak lebih tipis dari semua harga diri dan kehormatan. Sesuatu yang mungkin, tak pernah engkau miliki. Dan bodohnya lagi - seperti yang sudah sudah - aku masih saja duduk di sana merasa lebih, memiliki dirimu... lebih dari siapa pun, Kay.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Mungkin aku memang sudah gila, mencintai pacar temanku sendiri. Barangkali cinta seperti kejahatan. Ia bisa terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi juga karena adanya kesempatan. Aku tahu pasti aku hanya mencari-cari pembenaran saja untuk perasaanku. Jadi siapa aku sekarang? Hanya pecundang malang yang jatuh cinta kepada orang yang salah, dan pada saat yang sama dicintai oleh orang yang salah pula!
”
”
Fadil Timorindo (Let's Party)
β€œ
Pahlawan Tak Dikenal Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring Tetapi bukan tidur, sayang Sebuah lubang peluru bundar di dadanya Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang Dia tidak ingat bilamana dia datang Kedua lengannya memeluk senapan Dia tidak tahu untuk siapa dia datang Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang Wajah sunyi setengah tengadah Menangkap sepi padang senja Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu Dia masih sangat muda Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun Orang-orang ingin kembali memandangnya Sambil merangkai karangan bunga Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring Tetapi bukan tidur, sayang Sebuah lubang peluru bundar di dadanya Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda
”
”
Toto Sudarto Bachtiar
β€œ
Namun demikian, fakta ironisnya adalah tidak ada satu pun budaya dan tradisi di dunia ini yang mengajarkan orang untuk menghargai keberadaan seorang pelacur atau seorang sundal. Dalam strata kehidupan masyarakat sejak era primordial hingga saat ini, orang orang semacam mereka cuma layak menempati tempat yang paling rendah dan kasta yang paling hina. Kita tidak pernah diajarkan orang tua kita untuk menghargai sampah masyarakat serupa itu, walau pun keberadaan mereka tetap saja dibutuhkan. Kita tak bisa menyangkal keberadaan mereka, namun di sisi lain kita sekaligus ingin menafikannya. Sebuah pandangan stereotype bahwa eksistensi mereka itu semata mata hadir karena dalam kehidupan manusia dibutuhkan sebuah peran antagonis. Hidup yang keras ini membutuhkan kehadiran seekor kambing hitam. Bahwa hakekat kehidupan selalu diwarnai oleh dikotomi hitam dan putih. Bila ada kebaikan harus ada kebusukan sebagai kontra indikasinya. Dan para pelacur serta sundal itu dibutuhkan untuk mengukuhkan eksistensi dan keberadaan moral di dalam masyarakat. Moral tidak mungkin eksis tanpa keberadaan para pelacur. Sebagaimana tubuh tidak eksis tanpa kehadiran ruh. Tapi apakah keberadaan tubuh hanya untuk mengukuhkan keberadaan ruh sebagai sumber kehidupan? Sebagaimana anggapan bahwa mereka para pelacur dan sundal itu adalah sebuah antitesis dari kesucian dan moral kebaikan para santa? Bukankah penebusan Kristus tidak akan pernah terjadi tanpa pengkhianatan Judas? Namun pertanyaan yang sering menggelayuti benakku adalah, siapa yang semestinya layak kita sebut sebagai pahlawan dan siapa pula yang harus jadi pecundang. Bagaimana nasib Judas Iscariot dibandingkan dengan Titus, seorang perampok yang beruntung karena disalibkan bersama Kristus? Apakah Judas adalah seorang yang terkutuk dan harus menjalani siksa api neraka karena pengkhianatannya? Sementara itu, Titus adalah orang yang beruntung dan terberkati karena setelah kematiannya ia akan langsung diterima di dalam surga? Aku tak hendak mempermasalahkan kemalangan dan keberuntungan orang lain. Ataupun pilihan pilihan hidup mereka, seandainya saja mereka memang masih punya pilihan. Alangkah baiknya bila kita bisa menanyakan hal itu kepada setiap dari mereka itu. Apakah sedari kecil mereka memang berkeinginan dan bercita cita jadi pelacur, pembegal, pencoleng, perampok atau bahkan pengkhianat? Apakah setelah dewasa mereka sengaja menyundalkan diri dan menyesatkan diri sendiri? Sekiranya orang diselamatkan atas dasar apa yang mereka imani, lalu apakah mereka juga akan menerima hukuman atas apa yang mereka perbuat kemudian? Semoga terberkatilah mereka yang malang dan terkutuk, karena mereka harus mengambil peran sebagai orang orang yang tidak beruntung dan terpaksa harus menjalani apa yang sesungguhnya tidak ingin mereka jalani. Sebagaimana aku pernah membaca sebuah kutipan yang hingga hari ini aku merasa betapa aku sungguh beruntung karena pernah membacanya. Bahwa dialektika itu bukanlah hitam atau putih, dan bukan pula terang atau gelap. Karena surga dan neraka bukanlah milik kita. Saat segalanya berakhir, cuma suara Sang Pencinta yang masih bergema dalam keheningan rimba raya, beriak di atas permukaan danau, "Duhai Kekasih, bagaimana aku hendak memberikan jantungku hanya untukmu?" Suara itulah yang sedari dulu bergema di tengah padang gurun. Suara yang mengetuk pintu di malam buta. Dialah desau suara angin. Dialah tangisan burung bul bul. Mengapa hujan turun tergesa? Mengapa matahari lari bergegas? Mengapa manusia masih juga bertengkar, memperebutkan kebenaran yang sesungguhnyalah bukan miliknya?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Tetap wartawan-wartawan terus saja menulis bahwa aku ini seorang 'budak Moskow'. Baiklah kujelaskan sekali lagi dan untuk terakhir kali. Aku bukan, tidak pernah dan tidak mungkin menjadi seorang komunis. Aku membungkukkan diri ke Moskow? Setiap orang yang pernah dekat dengan Sukarno mengetahui, dia memiliki ego yang terlalu besar untuk bisa menjadi budak dari seseorang, kecuali budak dari rakyatnya. Aku memiliki ego. Itu kuakui. Tapi apakah seorang yang tanpa ego bisa mempersatukan 10.000 pulau menjadi satu bangsa. Dan aku memang tinggi hati. Siapa pula yang tidak demikian? Bukankah setiap orang ingin mendapat pujian?
”
”
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
β€œ
Bukan masalah senang atau tidak senang. Aku memasak karena sudah seharusnya. Aku mesti ke dapur supaya kalian semua bisa makan dan pergi ke sekolah. Mana bisa kita hanya melakukan apa yang kita sukai? Ada hal-hal yang mesti dilakukan, entah suka atau tidak. Kalau kau hanya melakukan apa-apa yang kausukai, lalu siapa yang akan mengerjakan apa-apa yang tidak kausukai?
”
”
Shin Kyung-Sook (Please Look After Mom)
β€œ
Akulah yang memilih menjadi apa dan siapa. Aku juga yang harus mengendalikan hidupku sendiri. Bukan mereka, atau siapapun yang hanya suka menghakimi dari kulit luarnya.
”
”
Eva Sri Rahayu (Parade Para Monster)
β€œ
Akulah yang memilih menjadi apa dan siapa. Aku juga yang harus mengendalikan hidupku sendiri. Bukan mereka, atau siapa pun yang hanya suka menghakimi dari kulit luarnya.
”
”
Eva Sri Rahayu (Parade Para Monster)
β€œ
Ijinkan aku memanggilmu ayah. Bukan karena aku tak memiliki, melainkan karena aku menginginkannya demikian. Aku memang tak punya apapun untuk kuberikan kepadamu selain sebuah pisau yang dulu pernah kutitipkan kepadamu. Simpanlah pisau itu baik baik, sebab ia punya lebih banyak makna dari apa yang sanggup aku kisahkan. Ia adalah luka yang aku torehkan setiap kali aku merasa sendiri. Rasa khawatir yang tak pernah mampu aku ungkapkan pada siapa pun. Ia juga mewakili rasa amarahku. Tangis terpendam dan mimpi serupa duri yang memaksaku terus menerus menoleh ke masa lalu. Sesungguhnya aku lebih suka bicara tentang kucingku yang bernama Cici. Ia kucing yang mungil dan juga manis. Ia lebih mirip seperti diriku sendiri. Ia baik dan tak akan melukai siapa pun. Tetapi mengapa dunia tidak seperti itu? Tapi biarlah, mari kita berhenti bicara tentang hal lain. Aku hanya ingin berterimakasih padamu, karena telah kau ajarkan padaku bagaimana cara belajar arti kata bersyukur dan menjadi bahagia hanya dengan segelas teh hangat yang aku seduh sendiri. Gelas yang dapat aku isi setiapkali, dan tak akan pernah habis walau aku minum berkali kali. Dan kali ini, aku ingin mengajakmu minum teh hangat itu untuk mengenang sebuah peristiwa. Momen di mana dulu engkau pernah menulis sebuah surat untuk Tuhan. Satu waktu nanti, aku akan menulis suratku sendiri. Aku berharap Tuhan akan mendengar, sebagaimana ia mendengar doa yang engkau panjatkan. Jadi bila engkau tak keberatan, ijinkan aku memanggilmu ayah. Bukan karena aku tak memilikinya, tapi karena aku memang menginginkannya demikian.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Aku tidak setuju kalau ada orang bilang, bahwa hidup itu cuma sebuah persinggahan dan sekedar menunggu mati. Semua orang bakal mati, itu pasti. Tapi mati bukanlah tujuan Nak, itu jelas. Apakah kematian akan membawa kita ke tempat yang lebih baik dan menyenangkan? (Aku tak dapat melihat ekspresinya, karena sebagian wajahnya tertutup masker) Lalu kenapa kita hidup? Pertanyaan sederhana itu semestinya membuat kita berpikir. (Ia masih terdiam dan tidak bereaksi, matanya seperti menerawang). Kalau kita menyempatkan waktu untuk berpikir ya semestinya kita sadar. Bahwa kehidupan dan kematian hanyalah fase dari sebuah proses yang kita semua mesti jalani. Bukan tanpa maksud. Kamu paham apa yang aku katakan, Nak? Proses itu semestinya memberi arti bagi eksistensi keberadaan kita sebagai manusia. (Ia menelengkan kepalanya, seperti berusaha menyimak perkataanku). Apakah hidup dan mati akan menjadi jalan pembuktian bagi kita, setidaknya bagi diri kita sendiri? Apakah menurutmu, hidupmu sudah memberimu makna? Dan apakah kematian akan meninggalkan jejaknya, bila satu saat nanti ia datang? Apakah kita akan dengan sengaja menjadikan semua itu lewat dengan sia sia? Ayo Nak, jangan diam saja. Coba tutup matamu sejenak dan pasang kupingmu. Dengarkanlah keheningan ini, rasakan keberadaanmu. Satukan dirimu dengan semesta dan kamu akan tahu, bahwa kamu tidak pernah sendirian. Apakah kamu percaya kepada Tuhan? (Dan ia pun mengangguk) Nah bila demikian, setidaknya kamu bisa menemukan jawaban, bahwa ada nilai kebenaran dari tujuan hidupmu. Kalau kamu percaya bila Tuhan itu Maha Baik, semestinya tidak boleh ada setitik pun keraguan di situ anakku. Dia mungkin akan mengijinkanmu jatuh, tapi Dia tidak akan membiarkanmu tergeletak. Percayalah, kalau kamu bisa memasrahkan dirimu pada apa yang Ia kehendaki. Maka Ia akan mengangkatmu dari beban tomat busuk yang terlanjur kamu kantongi dan kamu bawa kemana mana. Dia akan mengangkatmu dari comberan. Memandikan dan membersihkanmu. Memberi kamu handuk yang hangat dan pakaian yang bersih. Dan Dia akan membuang semua kekhawatiranmu. Memberimu makanan hangat dan menjawab semua keragu raguanmu. Yang kamu lakukan adalah cukup berserah diri. Jadi pesanku Nak, berhentilah menangisi masa lalu. Jangan berputus asa. Sebab selalu ada jawaban untuk semua masalah. Jangan biarkan hidupmu jadi hampa dan tidak berarti. Cuma kamu yang bisa menjadikannya demikian. Kamu tidak boleh bergantung pada siapa pun, tidak juga dari kedua orangtuamu, kerabatmu atau orang orang yang kamu cintai. Karena semua orang mempunyai jalan hidupnya masing masing. Semua orang bebas dan berhak memilih jalan. (Aku menghela nafas sejenak). Apakah engkau hendak berjalan lurus ke depan atau mundur ke belakang? Apakah engkau niat berbelok atau memilih berhenti? Jangan biarkan orang lain mendikte apa yang mesti kamu lakukan dan apa yang bakal kamu raih dengan hidupmu. Kamu bebas menentukan dan mewujudkan kebahagiaanmu sendiri. Apakah kamu akan terus menerus menekuri nasib dan membiarkan dirimu menderita? Sudah saatnya kamu mengakhiri semua hal yang memaksamu menyakiti diri sendiri Nak. Coba lihat pergelangan tanganmu (aku menunjuk ke arah tangannya yang penuh dengan bekas luka luka sayatan pisau). Apa yang membuatmu berpikir, bahwa tindakanmu itu akan memberimu kepuasan? Apakah beban masalahmu akan hilang begitu saja? (Matanya mulai berkaca kaca). Sudah saatnya kamu berdamai dengan amarah dan kejengkelan kejengkelan yang tidak mendatangkan kebaikan, Nak. Dan kamu bisa memulainya hari ini dengan belajar lagi untuk mencintai dirimu sendiri. Kalau kamu sayang pada ayah dan ibumu, berhentilah untuk menyakiti dirimu sendiri dan biarkanlah pisau cutter itu tetap ada padaku. Ijinkan aku menyimpannya untukmu, setidaknya untuk seminggu lagi, sebulan, setahun atau sampai kamu bisa melupakannya. Kalau kau bisa melupakan cutter itu, artinya kau sudah berdamai dengan dirimu sendiri.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Bagiku menikah bukan kewajiban, melainkan pilihan. Maka, aku tidak mau salah memilih pasangan. Andai setelah ini aku tidak memiliki jodoh di dunia, aku masih akan baik-baik saja. Hidupku tidak diukur dari itu.
”
”
Eki Saputra (Kepada Siapa Ilalang Bercerita)
β€œ
Mereka yang melihat dan merasa dirinya alim, mungkin berpikir tak cukup surga bagi dirinya sendiri, sungguh siapa tahu? Manusia alim, entah di mana bisa aku temukan yang serupa itu? Karena jelas, aku tak menemukan pada diriku sendiri atau orang orang di sekitarku. Tapi anehnya, begitu banyak perilaku yang seolah ingin menunjukkan kealimannya. Bukan demi kealiman atau kesalehan itu sendiri, melainkan hanya demi sebab sebab lain; mungkin pujian atau juga sanjungan atau sekedar agar orang lain terkesan. Bukankah kealiman dan kesalehan sejati tak terlihat oleh mata dunia? Hanya Tuhan dan malaikat yang bisa melihatnya.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
SEPERTI SEBUAH PERCAKAPAN DALAM DIAM Kesunyian mungkin tak pernah menjadi seperih ini. Akan tetapi, kalau ia sungguh hadir bagaimana hendak kutolak? Sekiranya aku temukan airmata pada luka yang terlanjur kutorehkan sendiri, bagaimana hendak kutuntaskan hari hariku dalam kesendirian serupa itu? Senyap angin yang menggigilkan hati. Perahu karam dan ombak yang menyerpih di antara karang dan bebatuan. Seperti temaram yang turun selepas mendung yang menutupi wajah matahari. Amarah yang menjelma jadi seekor naga, bayangan hitam menyapu pelangi yang mengambang di atas laut. Apa yang menahan hujan meninggalkan kenangan di balik kabut? Lalu datanglah esok hari. Tapi mengapa pagi tak selalu seperti angan yang kita rindukan? Seperti juga sisa malam yang senantiasa bermuram durja, terlihat lusuh dan terlalu bersahaja. Ia lebih serupa jelaga yang mengotori pikiran pikiran kita dengan syak wasangka. Siapa di sana bakal menemu wajah sang kekasih? Aku ataukah dirimu? Mengapa bukan kita? Mengapa hanya cuma keluh kesah? Cuma sekedar angan yang tinggal. Pada hari hari kelabu dan seolah tanpa harapan. Siapa yang akan memberi kita semua cinta dan perhatian yang mungkin? Kecuali kita sama sama telah lelah dan terpaksa berhenti di titik ini. Saat ketika kita sudah tak lagi bertegur sapa. Ketika kita menjadi terlalu sibuk dengan pikiran masing masing. Menumpuk kedengkian dan semakin banyak jerat di benak. Semua sisa kenangan yang sempat datang dan pergi. Tak lagi menyisakan percakapan antara dua hati yang mendadak saling membenci. Antara dua perasaan yang kian berkecamuk. Benih cinta yang dulu sempat ada. Yang pernah hadir... Dan lalu pergi entah kemana?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Menafsir Rembulan Kalau tidak sedang dikejar-kejar hantu mengapa mesti lari terburu-buru? Kita tidak harus selalu menerjemahkan waktu dengan cara-cara yang menggelikan dan menyebalkan serupa itu. Bukankah di dunia ini banyak sekali kejadian-kejadian yang tidak kita mengerti? Sebagaimana halnya kita tak pernah tahu, mengapa rembulan tak pernah lagi menulis puisi? Apalagi puisi tentang cinta dan kerinduan. Terlalu banyak penyair atau mereka yang mengaku-aku sebagai penyair yang mencatut nama bulan hanya untuk mengungkap perasaan. Padahal bulan tak perlu pengakuan. Ia sama sekali tak butuh penghargaan, penghormatan, penerimaan atau pengukuhan dari siapa pun. Kalau selama ini terlalu banyak puisi yang mengumbar nama rembulan, maka itu jelas bukan karena kemauan atau kehendaknya sendiri. Itu pula sebabnya mengapa bulan lebih sering menyembunyikan diri. Sengaja tak menampakkan batang hidungnya atau memamerkan kemolekannya. Tapi kita para penyair lancung dan sok pintar ini terlalu sering mengagung-agungkan dirinya lebih dari yang seharusnya. Bulan memang lembut dan tak segarang matahari. Sesungguhnyalah, ia sosok pemalu yang tak seberapa pintar menyatakan isi hati. Hanya saja kita terlalu melebihkan apa yang tersirat dari senyumnya yang sering tertahan, atau dari raut wajahnya yang begitu mudah tersipu. Betapa mudah kita menyalah artikan sendu tatap matanya sebagai kerinduan dari serpihan hati orang yang kita kasihi. Sementara kita tak pernah berusaha menyelami, apa yang sesungguhnya tersembunyi dalam pikirannya yang naif dan selugu kanak-kanak itu?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Cinta Dari Rutinitas Sehari Hari II. Tentu saja, kita tak sempat bercengkerama karena aku harus segera berangkat kerja dan membiarkan sisanya tenggelam dalam kesibukan memintal kesendirian. Menunggu jarum jam bergerak malas dari delapan ke angka sembilan. Mungkin saat itu kau akan sedikit mencintaiku kurang dari bagaimana aku mencintaimu. Berharap sisa perjalanan akan menjadi sebuah perayaan kerinduan. Tanpa pernah merasa bosan, jenuh atau apapun itu. Hanya pada saat waktu bergerak memanjang ke pukul sepuluh siang, kau akan tertidur sejenak tanpa memikirkanku. Tanpa mimpi tentangku atau tanpa perasaan apa pun yang mengingatkanmu pada diriku. Dengkurmu akan cukup keras untuk membuat tetangga sebelah rumah menjadi tuli dan memaksa mereka melupakan mimpi-mimpi yang menakutkan atau tidak menyenangkan. Tetapi ketika waktu perlahan bergulir ke angka sebelas, cukuplah dirimu beristirahat dari segala macam kepenatan yang akan dengan segera membuatmu lupa pada diri sendiri. Merintang panas, memangkas daun-daun aglaonema kering di teras. Menyiapkan makan siang dan menikmatinya sendiri saja tanpa mengingat siapa yang pernah kaucintai atau diam-diam mencintaimu. Tapi kau akan dengan mudah jatuh cinta lagi pada dirimu sendiri pada jam dua belas. Tanpa harus bersusah-payah meyakinkan bukan siapa-siapa bahwa penantianmu tak akan pernah sia-sia. Setelah puas menyemaikan daun-daun sirih belanda kesayanganmu pada pukul satu. Kau bongkar semua ingatan dari satu pot dan memindahkannya ke dalam pot yang lain tanpa pernah merasa jemu. Tahu-tahu waktu mengetuk pintu keras keras mengabarkan sore tiba pada jam tiga. Dan kerinduan akan datang lagi berhamburan sebagai orang orang yang pernah pergi. Mereka yang sekejap singgah entah kemana, namun pada akhirnya akan kembali pulang ke rumah. Itulah waktu untuk berbenah, membuang semua sampah dan kekotoran. Memandikan kecemasan dan mengelupas kekhawatiran dari daster lusuh yang kau kenakan, lalu menyulapnya menjadi sedikit pesta kegembiraan; Mencuci sendok dan garpu melipat kertas tisu, mengelap piring dan gelas, mengeluarkan semua isi kulkas lalu menatanya rapi di atas meja tanpa alas. Kau isi setiap gelas dengan perasaan cinta yang meluap luap. Membagikan hati, perasaan dan pikiranmu di atas piring yang terbuka buat makan malam kita berdua. Sejenak mengabaikan rasa letih demi mendambakan sedikit ciuman yang akan mendarat di pipi atau keningmu dan barbagi pelukan hangat yang akan mengantarmu ke peraduan. Lalu setelah itu, kita akan melupakan semua ritual yang mesti kita ulang setiap hari dari permulaan lagi. Meskipun sesungguhnya kita tidak pernah tahu dari mana garis start keberangkatannya dan di mana ia akan berakhir. Karena semua mimpi akan berubah menjadi taman bunga yang memekarkan lagi warna- warni kelopak cintanya di malam hari. Dan seribu kunang kunang akan menyinari rumah yang telah kita tinggali lebih dari sepuluh tahun ini. Kebahagiaanmu sesungguhnya tak pernah beranjak jauh-jauh dari rumah. Setiap hari selalu memberi warna abu abu muda yang sama. Kecuali pada saat di mana aku datang membawa segepok keberuntungan di akhir bulan. Itu barangkali adalah hari paling berwarna yang kau tunggu-tunggu. Tapi meskipun begitu, aku selamanya mencintaimu. Sebagaimana aku mencintaimu seperti hari yang sudah-sudah tanpa pernah berubah. Kau tetap akan jadi perempuan dalam hidupku satu satunya. Dan kukira engkau pun merasa demikian selamanya. Waktu boleh datang dan pergi sesukanya. Tapi ada kalanya kerinduan mesti kita simpan rapi dalam lemari menunggu saat yang tepat untuk dikenakan lagi. Dan cinta mesti mengisi lagi baterenya, terutama pada saat-saat yang paling menjemukan.Tentu saja, kita hanya perlu sedikit mempersoleknya agar ia tetap senantiasa wangi, bersih dan segar saat kita nanti membutuhkan lagi kehadirannya.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Menafsir Rembulan Kalau tidak sedang dikejar-kejar mengapa mesti lari terburu-buru? Kita tidak harus selalu menerjemahkan waktu dengan cara-cara yang menggelikan dan menyebalkan serupa itu. Bukankah di dunia ini banyak sekali kejadian-kejadian yang tidak kita mengerti? Sebagaimana halnya kita tak pernah tahu, mengapa rembulan tak pernah lagi menulis puisi? Apalagi puisi tentang cinta dan kerinduan. Terlalu banyak penyair atau mereka yang mengaku-aku sebagai penyair yang mencatut nama bulan hanya untuk mengungkap perasaan. Padahal bulan tak perlu pengakuan. Ia sama sekali tak butuh penghargaan, penghormatan, penerimaan atau pengukuhan dari siapa pun. Kalau selama ini terlalu banyak puisi yang mengumbar nama rembulan, maka itu jelas bukan karena kemauan atau kehendaknya sendiri. Itu pula sebabnya mengapa bulan lebih sering menyembunyikan diri. Sengaja tak menampakkan batang hidungnya atau memamerkan kemolekannya. Tapi kita para penyair lancung dan sok pintar ini terlalu sering mengagung-agungkan dirinya lebih dari yang seharusnya. Bulan memang lembut dan tak segarang matahari. Sesungguhnyalah, ia sosok pemalu yang tak seberapa pintar menyatakan isi hati. Hanya saja kita terlalu melebihkan apa yang tersirat dari senyumnya yang sering tertahan, atau dari raut wajahnya yang begitu mudah tersipu. Betapa mudah kita menyalah artikan sendu tatap matanya sebagai kerinduan dari serpihan hati orang yang kita kasihi. Sementara kita tak pernah berusaha menyelami, apa yang sesungguhnya tersembunyi dalam pikirannya yang naif dan selugu kanak-kanak itu?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Durjana Ijinkan aku bertanya, "Apakah engkau bahagia, Kun? Mengapa cinta seperti membuatmu tak berdaya?" Membiarkan bangsat itu memanipulasi dan memanfaatkan kenaifanmu. Menelanjangi harga diri dan mengambil semua harta bernilai kepunyaanmu. Jangan ajak lagi siapa pun untuk esok, Kun. Bukan kawan yang hadir untuk menertawakan kegagalan. Tak ada esok yang datang mengaku sahabat, hanya untuk mencemooh kesalahan yang engkau buat. Tak ada lagi waktu yang akan memaksamu untuk kembali, hanya untuk menawarkan sebuah kata sepakat. Sekiranya ia tak memberimu kedamaian. Ia tak menghadirkan ketenangan hati dan kebahagiaanmu sendiri. Berhentilah membuat kebodohan yang sama Kun. Engkau tak datang untuk pulang. Tak ada jalan buatmu untuk kembali. Sebab rumah itu sudah bukan rumahmu lagi. Kau hanya bisa datang untuk mengemasi barang-barangmu. Tak perlu menunggu, atau berfikir menahan jeda terlalu lama. Kapan saja ia bisa menjelma menjadi pisau yang akan menikam punggungmu dari belakang. Tak ada kenangan yang bisa engkau simpan, apalagi ingatan yang cuma bisa memberimu rasa sakit hati. Jangan biarkan ia mendikte apa yang ingin dicurinya dari dirimu. Apa yang sudah dilakukannya sejak bertahun-tahun lalu. Sebab tinggal ketulusan yang engkau punya. Jangan pula kaubiarkan ia merampasnya darimu. Jadikan ini maumu dan bukan mau dirinya. Berhentilah menangisi kebodohan yang telanjur kaubuat. Berhentilah menyesali apa yang sia-sia. Tak ada cinta yang mengabaikan ketulusan sebuah pengorbanan. Tak ada cinta yang naif serupa itu. Sebagaimana tak ada cinta dalam hati yang membenci. Engkau tidak hidup untuk menjadi pemuas hasrat durjana egoisme buta. Laki-laki tak tahu diri, yang memang tak pantas untuk engkau cintai.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Ada perasaan yang kadang tak sanggup diungkapkan melebihi perasaan perasaanku. Apa yang bahkan tak mampu aku utarakan kepada seorang ibu. Bagaimana aku menyimpan semuanya sendiri, juga tentang mimpi mimpi yang tak pernah aku ceritakan kepada siapapun termasuk kepada ayahku. Demikian aku belajar untuk mengenali diriku sendiri. Ibuku memiliki sebuah taman kecil yang tersembunyi di samping rumah. Taman yang ia sebut sebagai sanctuary. Tempat di mana ia menanam segala macam perasaan yang ia sebut sebagai kebahagiaan. Kebahagiaan yang tumbuh dari hal hal fana yang tidak aku kenal dan mungkin juga tidak sepenuhnya aku mengerti. Seperti tangan yang mengusik lelap tidurku dan berusaha menciptakan sebuah karya seni yang indah. Ibu adalah sebuah lukisan yangΒ  memenuhi seluruh pikiranku. Ia lebih menakjubkan dari lukisan lukisan karya Rembrandt, Gustav Klimt, Claude Monet, Auguste Renoir atau bahkan Van Gogh sekalipun. Jeli matanya adalah kegairahan musim semi yang menumbuhkan rupa rupa tanaman di dalam taman itu. Ulas senyumnya dan lembut bibirnya adalah kehangatan ciuman matahari yang membuat bunga bunga bermekaran. Dan sentuhan tangannya adalah sihir, belaian sejuk angin yang membuat setiap pohon berbuah. Dan setiap kali aku dapati ia menari. Ia menari dengan seluruh tawa riangnya. Sekujur tubuhnya menari bersama celoteh burung dan goyangan daun daun. Tangannya bergerak gemulai serupa awan berarak setiap kali ia menyebar benih, mencabut rumput, mematahkan ranting kering, atau memangkas daun daun yang menguning. Ada lompatan perasaan yang tak terlukiskan setiap kali ia melakukan hal itu, seperti seolah ia sedang jatuh cinta lagi. Bukan kepada ayahku melainkan kepada dirinya sendiri. Sebab, di dalam diri ayahku aku temukan bayang bayang lain yang seakan tak mau pergi. Bayang bayang yang tak mampu meninggalkan dirinya bahkan di tengah kegelapan malam. Ayah adalah sebuah patung kayu yang usang dan berdebu. Ia menyembunyikan segala sesuatu dan menjadikannya rahasia yang ia simpan sendiri. Seperti sebuah pintu yang terkunci dan anak kuncinya hilang entah kemana. Tapi ia tak pernah bertengkar dengan ibu. Mereka juga tak pernah beradu mulut atau menunjukkan amarah antara satu dengan yang lain. Sepanjang yang mampu aku ingat, mereka adalah pasangan yang harmonis. Walau tak pernah sungguh berdekatan dalam artian yang sebenarnya. Setelah bertahun tahun lamanya, mereka masing masing tenggelam dalam dunia yang mereka ciptakan sendiri. Sejak kanak kanak, aku tak berani masuk ke dalam sanctuary ibuku. Aku hanya berani mengintip dari balik keranjang cucian dan tumpukan pakaian yang hendak dijemur. Dari balik ranting dan juga rimbun dedaunan yang tumbuh di dalam pot pot besar berwarna hitam yang menyembunyikan tubuh telanjang ibuku yang berkilauan ditempa matahari. Pernah sebelumnya aku menangkap sebuah isyarat dari tarian hujan yang ia ciptakan, ketika merdu tawanya berderai di antara dengung suara pompa dan guyuran air yang turun tiba tiba dari langit. Suara hujan itu keras berdentang di atas genteng galvalum dan menimbulkan suara berisik. Dan ragaΒ  ibu yang berpendar kehijauan seolah terbang ke langit menyambut suara guntur dan halilintar. Kadang kadang aku menangkap bayangan tubuh ibuku berjalan hilir mudik di dalam sanctuary itu entah dengan siapa. Acap aku dengar ia tertawa tergelak gelak. Suaranya bergema seperti di dalam gua. Aku selalu mengira ia tak pernah sendirian, selalu ada orang orang yang datang menemaninya entah darimana. Sering kulihat ia menjelma menjadi burung dengan warna bulu yang memesona atau menjadi bidadari yang cantik dengan sepasang sayap berwarna jingga keemasan. Dan dari balik perdu yang merayap di dinding, aku dapat melihat senyumnya yang sangat menawan, seperti menyentil kesadaranku dan membuatku terbangun dari mimpi.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Tapi, aku tak ingin menjadi dekat dengan siapa pun, atau bahkan menpercayainya. Brutus pun bisa membunuh Julius Caesar, bukan? Dan kali ini, aku tak mau menjadi orang yang mengatakan 'et tu Brute?
”
”
Mpur Chan (Heartbreak Formula)
β€œ
Aku mencintaimu bukan karena siapa dirimu, tetapi karena siapa diriku ketika aku bersamamu.
”
”
Roy Croft
β€œ
Berhentilah mengigau, aku tahu siapa dirimu. Kekosongan yang menghantuimu dan kemarahan yang menelan jiwamu. Aku tak mengingat perseteruan kita. Aku mengidap dementia. Tapi aku tak akan pernah melupakan seringai senyum palsumu. Kaulah si pembunuh rembulan, akan kuremukkan engkau dalam kepingan. Pergilah tidur. Waktu yang melompati kubangan itu tak akan pernah kembali padamu. Matahari menguning di atas kepala. Biar kita tumbuh bersama tanpa ingatan. Ini bukan kali pertama kita berjumpa. Ini bukan terakhir kali kita bertemu. Lalu apa yang pernah aku ucapkan padamu, "Siapakah yang dulu merestui pernikahan rembulan? Apakah engkau akan membuat hidupnya dipenuhi kebahagiaan?" Waktu yang datang dan pergi tak kuingat lagi. Aku pernah sekali bermimpi dan setelah itu melupakannya. Bukankah kita pernah tinggal serumah di sebuah negeri yang tak mengenal kesedihan. Bagimu itu mungkin saja ganjil. Tapi bagiku, itu sungguh terasa indah.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Sejak hari di mana aku berhenti merokok, aku teringat ucapanmu, "Bila saatnya tiba, kita semua akan mati." Pemantik api pemberianmu masih kusimpan bukan sebagai kenangan, melainkan pengingat bagi diriku sendiri. Sudah lama aku tak pernah lagi menggunakannya. Sungguh aneh sekali, aku tidak bisa mengingat kapan terakhir kali kita duduk berdua dan saling bicara: Siapa orang yang telah membunuh rembulan itu dan mencampakkan jasadnya ke dalam tong sampah? Sepertinya ini bukanlah kisah yang akan kita kenangkan. Mobil patroli itu dan polisi yang bersliweran di depan rumahmu. Apakah mereka telah mengendus bau si pembunuh? Tetesan darah dari bagasi, golongan darah tipe O, Moonlight Sonata karya Beethoven dan wajah yang tak bisa dikenali. Aku tak mencatat waktunya, ketika kutatap wajahmu untuk yang terakhir kali. Kabut turun memutih lebih menyerupai salju. Putih, sepucat wajahmu pagi itu.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Untuk siapa sebenarnya kita menulis, kalau bukan untuk diri sendiri? Untuk mengenangkan kesementaraan atau untuk mengekalkan kepedihan? Untuk apa kita menulis? Kita sudah telanjur menua bersama waktu. Ingatan yang lapuk dan lembar kenangan yang mungkin saja sia-sia. Untuk apa kaugoreskan perasaanmu? Menyeka ingus dan air mata sendiri. Membuat luka perih itu semakin menjadi-jadi. Untuk apa kautorehkan pikiranmu? Untuk menolak lupa atau sekedar menebalkan kemuakan pada diri sendiri? Untuk apa membuang waktu, dari apa yang kita yakini tak bakal abadi? Demikianlah, aku menulis bukan untuk apa atau siapa. Aku menulis karena aku menemukan kesenangan saat melakukannya. Aku menulis, karena aku ingin menulis.
”
”
Titon Rahmawan