β
Tanah air ada disana, dimana ada cinta dan kedekatan hati, dimana tidak ada manusia menginjak manusia lain.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar)
β
Wah, orang itu kalau sudah fanatik agama kejamnya bukan main. Kejam atas nama Tuhan, kan kontradiksi yang aneh sekali, tetapi begitulah manusia.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Rantau)
β
Indonesia ini memang negeri yang unik, penuh dengan hal-hal yang seram serius, tetapi penuh dagelan dan badutan juga. Mengerikan tapi lucu, dilarang justru dicari dan amat laku, dianjurkan, disuruh tetapi malah diboikot, kalah tetapi justru menjadi amat populer dan menjadi pahlawan khalayak ramai, berjaya tetapi keok celaka, fanatik anti PKI tetapi berbuat persis PKI, terpeleset tetapi dicemburui, aman tertib tetapi kacau balau, ngawur tetapi justru disenangi, sungguh misterius tetapi gamblang bagi semua orang. Membuat orang yang sudah banyak makan garam seperti saya ini geleng-geleng kepala tetapi sekaligus kalbu hati cekikikan. Entahlah, saya tidak tahu. Gelap memprihatinkan tetapi mengandung harapan fajar menyingsing......(menyanyi) itulah Indonesia. Menulis kolooom selesai.
["Fenomena PRD dll,"].
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Politik hati nurani)
β
Perempuan adalah bumi, yang menumbuhkan padi dan singkong, tetapi juga yang akhirnya memeluk jenazah-jenazah manusia yang pernah dikandungnya dan disusuinya.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Rantau)
β
Negeri ini sungguh-sungguh membutuhkan pemberani-pemberani yang gila, asal cerdas. Bukan yang tahu adat, yang berkepribadian pribumi, yang suka harmoni, yang saleh alim, yang nurut model kuli dan babu.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Rantau)
β
Uang tidak kucari dan emas membuatku menggeleng kepala. Hidup damai yang tahu bahasa bintang adalah pamrihku
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa)
β
Perang tidak bisa dimenangkan dengan emosi. Tetapi perhitungan yang dingin.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar)
β
Namun itu berarti bahwa telah tumbuhlah benih-benih pengakuan, bahwa yang benar-benar penting dalam sejarah justru adalah hidup sehari-hari, yang normal yang biasa, dan bukan pertama-tama kehidupan serba luar biasa dari kaum ekstravagan serba mewah tapi kosong konsumtif. Dengan kata lain, kita mulai belajar, bahwa tokoh sejarah dan pahlawan sejati harus kita temukan kembali di antara kaum rakyat biasa yang sehari-hari, yang barangkali kecil dalam harta maupun kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi kehidupan.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Impian dari Yogyakarta: Kumpulan Esai Masalah Pendidikan)
β
Jangan mematok diri sendiri baku beku, mengklaim monopoli heroisme. Gelora hati harus disetir oleh otak yang pandai berkalkulasi, namun otak harus dijiwai hati.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Mengenang Romo Mangun : Surat Bagimu Negeri Berjuang untuk yang Terpinggirkan, Menyapa Hingga yang di Singgasana, Y.B. Mangunwijaya, 1929-1999)
β
Setiap strategi yang sehat dan benar harus selalu berusaha mereduksi pihak lawan seminimum mungkin dan merangkul kawan sebanyak mungkin, sambil membujuk sebanyak mungkin lawan menjadi kawan, terserah apa latar belakangnya. Gerakan yang berkebiasaan membuat musuh di mana-mana amatlah bodoh.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Mengenang Romo Mangun : Surat Bagimu Negeri Berjuang untuk yang Terpinggirkan, Menyapa Hingga yang di Singgasana, Y.B. Mangunwijaya, 1929-1999)
β
Lama aku memandang ke semburan-semburan lidah api yang meleleh ke bawah itu. Elok, ya, indah. Banyak yang kejam keji tampak indah dari kejauhan.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar)
β
Orang sering tidak sadar bahwa ia mengekang orang dengan memberi suatu suasana dan iklim tertentu.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Rantau)
β
Jangan didramatisasi. Setiap angkatan punya medan juang dan pahlawan mereka sendiri.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Rantau)
β
Mengapa ada orang-orang tertentu yang harus menderita dalam dunia dan semesta yang indah ini? Mengapa orang tidak bisa hidup bersama dalam damai dan kerukunan, dalam penikmatan segala yang indah dan benar dan baik dalam alam serta kehidupannya?
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Rantau)
β
Mengatakan bahwa sebuah teks bermakna 'tunggal' - oleh ibu guru - merupakan suatu perkosaan terhadap prinsip pluralitas makna yang dimungkinkan prinsip pluralitas makna yang dimungkinkan di dalam semiotika. Mengatakan bahwa makna sebuah teks atau gambar harus mengikuti pemaknaan golongan tertentu merupakan satu bentuk represi tekstual.
β
β
Y.B. Mangunwijaya
β
Orang yang lari dari dunia yang satu harus meneukan dunia yang baru untuk bisa bertahan diri.
β
β
Y.B. Mangunwijaya
β
Bhinneka Reka Wasana Shama Aja (Reka: Ikhtiar; Wassana: Akhir).
β
β
Y.B. Mangunwijaya
β
Manusia tertawa jika dia terjepit dalam situasi antara logika dan kenyataan yang berbenturan tanpa dia dapat menguasainya.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Rantau)
β
Definisi negara federal yang paling tepat adalah Bhinneka Tunggal Ika. Justru demi ke-Tunggal-an RI itulah ke-Bhinneka-an federal dalam abad ke-21 harus dibentuk.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Menuju Republik Indonesia Serikat)
β
Apakah aku sudah keterlaluan menjauhkan diri dari bangsaku? Apakah alasanku benar alasan jujur ataukah dalih menjauhkan diri dari bangsa yang masih hidup di dalam alam masa agrarian kuno ini? Yang masih primitif mendekati flora dan fauna rimba belantara? Itulah penderitaan jiwaku.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar)
β
Tanah air adalah dimana tidak ada kekejaman antara orang dengan orang. Kalau adat atau kebiasaan suatu nasion kejam, kukira lebih baik jangan punya tanah air saja.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar)
β
Tanah air adalah tempat penindasan diperangi, tempat perang diubah menjadi kedamaian, kira-kira begitu. Tempat kawan manusia diangkat menjadi manusiawi, oleh siapa pun yang ikhlas berkorban. Dan patriotisme masa kini adalah solidaritas dengan yang lemah, yang hina, yang miskin, yang tertindas. (Neti)
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Rantau)
β
Dunia lambang tidak harus mengikuti logika dan etika tersendiri, bahkan boleh disebut juga suatu supralogika yang melayang bagaikan awan-awan di atas gunung dan lembah, namun yang mengandung uap air mati-hidup bagi segala yang di bawahnya.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Rantau)
β
Aku ibunya, ya dari sekian anak. Jadi kan tahu, yang satu butuh apa, yang lain memerlukan apa lain lagi. Adil kan tidak berarti sama rata sama rasa. (Yuniati, p.115)
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Rantau)
β
Manusia tanpa harapan, dia mayat berjalan
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar)
β
Ya, Neti tahu sudah mengapa manusia tidak seperti bambu atau pisang. Agar sang 'aku' dapat menemukan seorang 'engkau', sehingga dapat dewasa berpadu dalam penghayatan 'kami' apalagi 'kita'.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Rantau)
β
Aku terlambat. Dan bagi seorang berjiwa militer terlambat tidak sama artinya dengan pegawai kantor yang datang terlambat. Bagi orang-orang seperti aku ini, terlambat berarti lebih dulu terkena peluru, mampus.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar)
β
Ah, mengapa ada manusia kalah? Bolehkah tanpa berkhayal hampa kita mendambakan suatu dunia sesudah perang kemerdekaan ini, yang menghapus dua kata "kalah dan menang" itu dari kamus hati dan sikap kita?
Mungkinkah kalah dan menang itu diganti oleh satu konsep saja, unsur-unsur harmoni, kendati tempatnya bertentangan?
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar)
β
Dunia dagang adalah dunia keras dan kejam, lebih keji daripada medan pertempuran tentara, ya kecuali kalau dunia angkatan perang sudah menjadi dunia bisnis, nah, itu terkecuali. Kata yang berlaku dalam dunia kami bukan kesetiaan, tetapi efektif dan efisien, paling tidak, produktif, nilai tambah, penggaetan kesempatan, pembelian fasilitas, dan itu sering berarti spionase usaha dan hasil pihak lawan, kalau mungkin ya menyerobot penemuan paten, hak cipta, dan kelihaian pengacara penasihat hukum untuk menerobos lubang-lubang di antara pasal-pasal hukum perdata maupun pidana. Lalu apa fungsi kesetiaan dalam dunia kami? (Anggraini)
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Rantau)
β
Patriotisme bukan seperti yang diindoktrinasikan orang-orang kolot zaman agraris itu. Aku tetap cinta Tanah Air, tetapi tidak dalam arti birokrat. Cinta saya kepada Tanah Air dan bangsa kuungkapkan secara masa kini, zaman generasi pascanasionalisme. Jika aku menjadi orang, pribadi, sosok jelas, yang menyumbang sesuatu yang berharga dan indah kepada bangsa manusia, disitulah letak kecintaanku kepada bangsa dan nasion. (Bowo)
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Rantau)
β
Pesta Yunani, pesta kaum demokrat yang membuktikan betapa filsafat dan kegembiraan murni benar-benar adalah saudara sekandung, karena kedua-duanya lahir dari rahim keindahan, yang tiada lain ialah cahaya cerlang keteraturan dan kebenaran, yang telah dibuahi oleh benih segala yang baik, baik melulu, baik murni, baik manusiawi.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Rantau)
β
Kalau Indonesia kelak merdeka, negara kita tidak akan kejam"
"Mudah-mudahan, Tik."
"Tidak boleh mudah-mudahan, Pap. Harus.
β
β
Y.B. Mangunwijaya
β
Orang baru dewasa bila sudah mengalami salah seorang yang dicintainya direnggut maut, begitu kala itu kakek menghiburku.
β
β
Y.B. Mangunwijaya
β
Yang mereka prihatinkan bukan soal keberhasilan meraih angka di sekolah. Tetapi soal...ya, apalagi selain ini: calon jodoh. Anak lelaki pandai itulah ideal. Tetapi gadis yang pandai?
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar)
β
Dengan relativisme begitu kita tidak dapat maju selangkah pun. Setiap orang punya selera subjektif masing-masing. Lalu, apa jadinya? Anarki, dan ini liberalisme ekstrem yang tidak kita setujui.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Rantau)
β
Papi senang kau tidak suka pada sundal. Tetapi orang-orang yang membongkok-bongkok di hadapan serdadu tengik Jepang dan menjual bangsanya kepada mereka demi sebungkus rokok lebih hina dari sundal.
β
β
Y.B. Mangunwijaya
β
Aku, lelaki KNIL yang sekasar ddan sehebat itu di muka kompiku, aku tidak tahan merasakan penderitaan ditinggal oleh seorang ibu dan seorang adik perempuan. Keduanya kaum yang rapuh, tetapi entah begitu kuasa justru mereka itu karena kerapuhan mereka. Aku teringat Mayoor Verbruggen, yang pernah berantakan mengalami penderitaan kekasih diambil orang lain. Sampai ia jadi bajingan, menurut katanya sendiri. Apakah aku akan menerima balasan karma dan menjadi bajingan juga?
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar)
β
Jangan keras-keras, ini off the record, tetapi ini bangsa kuli. Harus dijadikan bangsa kuli. Coba mereka kau injak, barulah mereka hebat bekerja, dan keluarlah daya akal mereka yang mengagumkan. Tetapi bila diberi hati dan dimanja sudahlah, kembalilah mereka menjadi anak kecil yang macam-macam saja merengek-rengek permintaan bukan-bukan tidak masuk akal.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar)
β
Sains dan teknologi demi kodratnya akan menggiring kita ke keseragaman, tetapi sekaligus kebutuhan anti-seragam, anti-massa, dan anti-berbaris akan semakin beraksi. Orang akan semakin mencari yang unik, yang memberi simbol kemerdekaan diri melawan kebudayaan massal dunia teknologi dan industri. Manusia massa dan kaum elite isolasionis akan berdampingan dalam satu kampung dan satu ruangan. Seperti di dalam bioskop, massal sekaligus sunyi sendirian dengan gagasan masing-masing.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Pasca-Indonesia Pasca-Einstein)
β
Ya, inilah susahnya. Negeri ini tidak punya ahli matematika. Dan kalau punya, mereka toh tidak laku dalam dunia korup di negeri ini. Dari penyelidikan Anda, apakah tampak ada kesengajaan di dalam kebodohan ini?
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar)
β
Ya, kesejatian diri sudah hilang dari masyarakat sini, yang terlalu lama dan terlalu bertubi-tubi diserang disintegrasi politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Di mana-mana arsitektur selalu menjadi detektor yang tidak bohong, merekam dan mensinyalkan keadaan diri suatu bangsa.
β
β
Y.B. Mangunwijaya
β
Gubernur Jenderal Reael yang nisbi terkenal lunak dan manusiawi itu, oleh para Paduka Tuan XVII di negeri Belanda telah diganti oleh seorang jago kelahi muda, Yapiri Sokuna (Jan Pieterszoon Coen) yang menurut keterangan orang-orang Banten dan Inglis, tidak kenal ampun. Namanya, menurut para pedagang Jawa, Mur-Jangkung. Menurut orang orang Banten ia dipanggil dengan nama Yampir Songkun. Menurut orang orang Inglis bahkan lain sama sekali: Jiyon Kuun. Siapa yang benar sajalah. Mungkin namanya cuma sederhana : Iblis sajalah.
β
β
Y.B. Mangunwijaya
β
Ayahku dan aku dan Mami jauh lebih merdeka jiwanya daripada kaum Soekarno yang menghipnotis massa rakyat menjadi histeris dan mati konyol karena mengandalkan bambu runcing belaka melawan Msutang-mustang dan meriam-meriam Howitzer yang pernah mengalahkan tentara Kaisar Jepang. Maaf, Anda keliru alamat menamakan aku budak Belanda. Bagiku NICA hanya sarana seperti Republik bagi mereka sarana juga. Segala omong kosong tentang kemerdekaan itu slogan belaka yang menipu. Apa dikira orang desa dan orang-orang kampung akan lebih merdeka di bawah Merah Putih Republik Indonesia daripada di bawah mahkota Belanda? Merdeka mana, merdeka di bawah singgasana raja-raja Jawa mereka sendiri atau di bawah Hindia-Belanda?
β
β
Y.B. Mangunwijaya
β
Lelaki yang merasa kalah terhadap istri akan menghancurkan segala-galanya. Tidak ada pihak yang kalah atau menang dalam lakon omah-omah. Kalau yang satu kalah, yang lainnya pun kalah.
β
β
Y.B. Mangunwijaya
β
Bangsa yang menempatkan perasaan atau intuisi atau bahkan βwahyu mistikβ di atas bobot argumentasi nalar, bahkan mengkualifikasi orang nalar sebagai sombong tidak tahu unggah-ungguh adat dan sebagainya, bangsa semacam itu bukanlah tanah-tumbuh dan iklim yang tepat untuk sains dan teknologi.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Pasca-Indonesia Pasca-Einstein)
β
Bangsa yang suka bohong demi menutupi malu atau menyelamatkan gengsi bukan tanah-tumbuh yang baik untuk sains dan teknlogi karena dunia pembohongan langsung frontal melawan rasionalitas yang menjadi modal dan dasar utama bagi pengembangan sains dan teknologi.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Pasca-Indonesia Pasca-Einstein)
β
Kini dunia sains dan teknologi harus dilihat sebagai sesuatu yang oleh John Kenneth Galbraith disebut technostructure, yang semakin berwilayah mondial, trans- dan multi-nasional, suatu organisme dan organisasi yang otonom dan sangat berdaulat, bertindak sistematis dengan segala prarancang, produksi kontrol dan pemodalan canggih. Struktur-techno ini akan semakin lebih kuasa daripada kekuasaan negara-negara kebangsaan, dan ikut menentukan perang atau damai dan segala dimensi kehidupan sampai di pelosok paling terpencil pun.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Pasca-Indonesia Pasca-Einstein)
β
Penganggapan ada dialektika Teknologi vs. Kebudayaan tidaklah betul. Kedua hal itu bukan tesis-antitesis, karena teknologi pun adalah bagian konstitutif dari kebudayaan. Ataukah di sini kebudayaanm seperti salah kaprah ditafsir, diidentikkan dengan kesenian?
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Pasca-Indonesia Pasca-Einstein)
β
Berbicara ekstrem agar jelas, dapat dikatakan bahwa universitas-universitas maupun sekolah-sekolah lanjutan atas boleh bermutu rendah atau bobrok, akan tetapi sekolah atau lebih tepat pendidikan dasar jangan! Kalau dunia sekolah dasar rendah mutunya, maka segala-galanya yang nanti akan dibangun di atasnya, di perguruan menengah maupun tinggi, akan serba goyah dan hancur berpuing-puing.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Pasca-Indonesia Pasca-Einstein)
β
Konsep berdasarkan agama universal dan sosialisme pada kodratnya mengatasi, melampaui, batas-batas nasionalisme; dan cirinya yang universal pada dasarnya pascanasional.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Pasca-Indonesia Pasca-Einstein)
β
Perawan dan tidak perawan terletak pada tekad batin, pada galih di dalammu. Banyak gadis di dalam peperangan diperkosa, tetapi bila itu melawan kemauan, mereka masih perawan.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Rara Mendut: Sebuah Trilogi)
β
Bila pria memilih, o, Kanjeng, ia memilih calon ratna bagi dirinya sendiri. Namun bila wanita memilih, biasanya ia memilih calon ayah untuk anak-anaknya.
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Rara Mendut: Sebuah Trilogi)
β
Apa arti kata pribadi dan keyakinan pribadi dan keyakinan harga diri dan nasion dan ibu dan segala istilah abstrak itu? Apa beda tentara dan gerombolan bandit? Apa beda seni kesatria dan nafsu membunuh? Apa perbedaan pahlawan kemerdekaan yang gugur dan serdadu penjajah yang mampus? Jelasnya, bagi yang mati itu? Nama harum, noda nasib? Semua jenderal yang menang disebut pahlawan, semua jenderal yang kalah disebut penjahat perang. Oleh siapa sebenarnya nama harum dan pujaan itu sebetulnya dibutuhkan? Oleh yang mati atau yang menjadi ahli waris ataua kelompok yang membutuhkan legitimasi? Pemerkokoh ideologi yang ditentukan apriori?
β
β
Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar)
β
Ah, mengapa ada manusia kalah? Bolehkah tanpa berkhayal hampa kita mendambakan suatu dunia sesudah perang kemerdekaan ini, yang menghapus dua kata "kalah dan menang" itu dari kamus hati dan sikap kita? Atik merasa intuitif, bahwa pada hakikatnya manusia diciptakan hanya untuk menang. Ataukah itu gagasan yang hanya mungkin akan timbul, karena yang punya gagasan itu ada di pihak yang menang? Sedangkan manusia yang kalah akan berkesimpulan lain, sebab beranjak dari pikiran atau penghayatan yang lain juga, ialah, bahwa manusia pun hakikatnya adalah kekalahan konstruksi absurd, bahan tertawaan, batu tindasan. Mungkinkah kalah dan menang itu diganti oleh satu konsep saja, unsur-unsur harmoni, kendati tempatnya bertentangan? Apakah kematian ayahnya harus diartikan malapetakan atau pintu gerbang ke tingkat kebahagiaan yang lebih luas dan mulia? Atik yakin, bahwa tak mungkin ayahnya sekarang dalam keadaan menyedihkan. Sebab ayah manusia yang baik dan budiman. Bagi yang ditinggal, memang menyayat hati. Tapi bagi yang meninggal? Lalu apa beda dari ide-ide para pemberontak di Madiun itu yang melihat segala-gala bagaikan pertikaian air lawan api, agar tercapai hasl air teh? Bukan dialektika, melainkan dialog seharusnya.
β
β
Y.B. Mangunwijaya
β
Ah, mengapa ada manusia kalah? Bolehkah tanpa berkhayal hampa kita mendambakan suatu dunia sesudah perang kemerdekaan ini, yang menghapus dua kata "kalah dan menang" itu dari kamus hati dan sikap kita? Atik merasa intuitif, bahwa pada hakikatnya manusia diciptakan hanya untuk menang. Ataukah itu gagasan yang hanya mungkin akan timbul, karena yang punya gagasan itu ada di pihak yang menang? Sedangkan manusia yang kalah akan berkesimpulan lain, sebab beranjak dari pikiran atau penghayatan yang lain juga, ialah, bahwa manusia pun hakikatnya adalah kekalahan konstruksi absurd, bahan tertawaan, batu tindasan. Mungkinkah kalah dan menang itu diganti oleh satu konsep saja, unsur-unsur harmoni, kendati tempatnya bertentangan? Apakah kematian ayahnya harus diartikan malapetaka atau pintu gerbang ke tingkat kebahagiaan yang lebih luas dan mulia? Atik yakin, bahwa tak mungkin ayahnya sekarang dalam keadaan menyedihkan. Sebab ayah manusia yang baik dan budiman. Bagi yang ditinggal, memang menyayat hati. Tapi bagi yang meninggal? Lalu apa beda dari ide-ide para pemberontak di Madiun itu yang melihat segala-gala bagaikan pertikaian air lawan api, agar tercapai hasl air teh? Bukan dialektika, melainkan dialog seharusnya..
β
β
Y.B. Mangunwijaya
β
Ah, mengapa ada manusia kalah? Bolehkah tanpa berkhayal hampa kita mendambakan suatu dunia sesudah perang kemerdekaan ini, yang menghapus dua kata "kalah dan menang" itu dari kamus hati dan sikap kita? Atik merasa intuitif, bahwa pada hakikatnya manusia diciptakan hanya untuk menang. Ataukah itu gagasan yang hanya mungkin akan timbul, karena yang punya gagasan itu ada di pihak yang menang? Sedangkan manusia yang kalah akan berkesimpulan lain, sebab beranjak dari pikiran atau penghayatan yang lain juga, ialah, bahwa manusia pun hakikatnya adalah kekalahan konstruksi absurd, bahan tertawaan, batu tindasan. Mungkinkah kalah dan menang itu diganti oleh satu konsep saja, unsur-unsur harmoni, kendati tempatnya bertentangan? Apakah kematian ayahnya harus diartikan malapetaka atau pintu gerbang ke tingkat kebahagiaan yang lebih luas dan mulia? Atik yakin, bahwa tak mungkin ayahnya sekarang dalam keadaan menyedihkan. Sebab ayah manusia yang baik dan budiman. Bagi yang ditinggal, memang menyayat hati. Tapi bagi yang meninggal? Lalu apa beda dari ide-ide para pemberontak di Madiun itu yang melihat segala-gala bagaikan pertikaian air lawan api, agar tercapai hasil air teh? Bukan dialektika, melainkan dialog seharusnya...
β
β
Y.B. Mangunwijaya