Yang Terdalam Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Yang Terdalam. Here they are! All 29 of them:

Percayalah, ada Tuhan di hatimu yang terdalam. Di sana, tinggal lah suara-suara yang kan menuntunmu pada surga dan kesuksesan. Jangan pernah rela diperdaya oleh keadaan. Jangan pernah menjadi bodoh dan tumbang oleh omongan orang. Temui hatimu. Temui jalan hidupmu.
Lenang Manggala, Founder Gerakan Menulis Buku Indonesia
Senja tak pernah menyalahkan awan kelabu yang sering menutupi keindahan dirinya. Senja sebuah lambang keikhlasan hati terdalam, menerima segala garis yang telah digariskan.
silviamnque
Aku suka gelap karena kehidupan ini dimulai dari kegelapan. Aku suka air karena air bisa menenggelamkan ke tempat yang terdalam di mana kegelapan akan cepat menjadi kawan baikmu.
Ruwi Meita (Rumah Lebah)
tak setiap kenangan pertama layak terlontar, apalagi di depan seseorang yang telah resmi disatukan dalam pernikahan. Seharusnya kenangan itu tetap menjadi rahasia diri, dipendam dalam relung benak terdalam, ditutup dengan kunci berlapis, dan hanya dibuka jika sedang sendiri.
Dian Nafi (Luv: Untuk Cinta Yang Selalu Menunggu)
Ada sakit terdalam yang tak bisa ia obati hanya dengan diam atau tegar
Sahabat Ngerumpi (Berbagi Cerita Berbagi Cinta)
Kalau kamu bingung, coba tengok isi hatimu yang terdalam. Biasanya itu selalu benar.
Mya Ye (Pengantin Pesanan)
Hadirmu berasal dari doa, senyum mu tercipta dari kerinduan ku yang terdalam" - Yasmin
LoveinParisSeason2
Cinta itu bagai angin dan udara. Gak akan mampu kita lihat wujudnya tapi merasuk ke dalam lubuk hati yang terdalam
LoveinParisSeason2
Ketika Tuhan menyentuh hati kita, Ia akan benar-benar menyentuh bagian terdalam hati kita, jauh dari apa yang pernah tersentuh oleh manusia.
Bennyvck
Mungkinkah setiap orang sebenarnya tidak pernah benar-benar mengenal pasangannya? Memahami kegelisahannya—atau rahasia terdalam yang disimpannya rapat-rapat?
Jessica Huwae (Skenario Remang-Remang)
Buku bagian dari jiwa terdalam dari diri yang menyeruak menyusuri dinding alam pikiran ..
Melati Octavia
pada waktu yang semakin renta aku hanya mampu menuliskan sebait cerita tentang rasa ini yang tanpa ujung seiring denyut degup didalam palung padamu.. bacalah seperti lengkung pelangi setelah gerimis sebelum malam membungkam dalam selambu kelam atau seperti rona lazuardi pada serambi petang itulah gubahan tentangmu dari hati terdalam sampai ketika gulita menyunting sepi aku hanya mampu memahat sebaris doa dalam sedangkup iklhas bertengadah menggiring mimpi indah dalam setapak lelapmu hingga kau akan terjaga pada pagi yang rindu kepada waktu... aku titipkan rindu yang tak terjeda
Beething
sejauh usia mudaku hingga menjelang llima puluh tahun, aku dengan nekat menerjang ke kedalaman samudra. aku selalu bertolak menuju laut lepas. mengesampingkan seluruh rasa cemas, aku menghunjam setiap ceruk gelap. aku telah menggempur setiap masalah. aku telah menelaah keyakinan dari setiap aliran. aku telah berupaya menelanjangi doktrin terdalam dari setiap umat. semua ini kulakukan agar dapat membedakan mana yang benar dan yang salah".
al ghazaly
Menangis. Melepas air mata. Menangis, salah satu cara mengungkapkan kekalahan yang telak dirasakan emosi terdalam. Menangis, mengakui bahwa sebagian diri kita terluka, menyingkap persona atau topeng bahwa kita sedang tak baik-baik saja
Sinta Yudisia
aku ingin mengenali-Mu Rabb, dari dasar terdalam aku ingin menjadi hamba-Mu yang pulang ke kamar muhasabah. aku ingin tembus dari pintu keampunan-Mu dari pintu rahmat-Mu dari pintu reda-Mu. selimutkan aku biar lena aku dengan kalimah-Mu.
Muzaf Ahmad (Jaulah Sampai Syurga)
Penemuan teori terpadu lengkap boleh jadi tak membantu kelestarian spesies kita. Bahkan mungkin tak memengaruhi gaya hidup kita. Tapi sejak fajar peradaban, manusia tak pernah puas melihat peristiwa-peristiwa yang tak saling terhubung dan tak terjelaskan. Mereka menginginkan pemahaman atas keteraturan yang mendasari dunia. Hari ini kita masih ingin tahu mengapa kita ada di sini dan dari mana kita datang. Hasrat terdalam umat manusia untuk mencari pengetahuan adalah alasan kuat untuk melanjutkan pencarian. Dan tujuan kita adalah penjelasan lengkap atas alam semesta yang kita diami.
Stephen W. Hawking (A Brief History of Time)
Aku bukan orang yang paling pintar di dunia tapi satu hal yang aku mengerti adalah tentang Cinta Bagiku Cinta itu menerima kamu apa adanya dan gak pernah berharap kamu menjadi sempurna untuk aku Karna Cinta yang telah menyempurnakan aku karna kamu Cinta itu tetap merasa nyaman bersama kamu bukan di saat yang menyenangkan tapi di saat yang terburuk Tetap bangga menggandeng tangan kamu bukan hanya di saat kamu terlihat cantik tapi di setiap saat kamu berada di samping aku, di dekat Aku Cinta itu mengetahui rahasia terdalam kamu, setiap kelemahanmu tanpa menghakimi dan tetap memahamimu Cinta itu menyediakan tidak hanya dan pundakku disaat kamu lemah tapi seluruh kekuatan aku untuk menjadi kekuatan kamu CINTA itu adalah KAMU
LoveinParisSeason2
Tapi mana yang menurut lo lebih menyakitkan, Ris, melihat orang yang lo cintai bercinta dengan orang lain, atau mengetahui bahwa selama bertahun-tahun lo menjalani hidup bersama orang yang separuh hatinya diberikan untuk orang lain?
Tarina Arkad (Yang Disimpan Kenangan Di Lubuk Hati Terdalam)
Lagi pula, nggak ada pernikahan yang benar-benar sempurna, bukan? Yang ada hanyalah dua orang yang selalu berkompromi, dan itu yang lagi gue sama Kalila lakukan bersama demi anak-anak.
Tarina Arkad (Yang Disimpan Kenangan Di Lubuk Hati Terdalam)
Lagi pula, bukankah semua ayah, di lubuk hati mereka yang terdalam, memiliki keinginan untuk membunuh putra mereka?
Khaled Hosseini (The Kite Runner)
Manusia yang serbakurang, nggak bisa mengisi manusia lain sampai ke relung-relung terdalam... Belajar memuaskan diri dengan kehadiran-Nya adalah cara paling mujarab untuk puas dan bahagia dengan yang kupunya apa adanya
Mel Bakara (Medium Rare Mom)
Walaupun kita akan berpisah, tapi kenangan itu akan selalu ada di pikiran dan di hatiku yang terdalam
FajriHusna
Hidup Berkekurangan vs Hidup Berkelimpahan Ada manusia yang hidupnya bagai batu yang dipanggul di punggung, berat tak tertanggungkan. Mereka berjalan tertatih, setiap langkah adalah hutang napas yang harus dibayar dengan keringat dan rasa sakit. Para kuli di pasar, kenek bangunan, pekerja serabutan di pinggir jalan, satpam dan buruh pabrik shift malam yang menyulam waktu dengan kantuk dan lapar—mereka seakan hidup hanya untuk memastikan besok masih bisa makan. Uang menjadi rantai, mengikat pergelangan tangan dan kaki, menjadikan mereka budak dari sesuatu yang berasa tak pernah cukup. Namun, apakah uang sungguh jahat dan sekeji itu? Atau justru manusialah yang menuliskan kutukan atas lembaran kertas yang berharga itu? Uang di tangan orang bodoh adalah cambuk yang melukai, tetapi di tangan orang bijak ia adalah sungai yang mengairi banyak ladang. Ia bisa jadi berhala, tapi juga bisa jadi pujian persembahan. Ia bisa menelanjangi wajah asli keluarga dan sahabat—siapa yang tetap bertahan saat perahu bocor, siapa yang hanya datang ketika layar terkembang. Uang, pada akhirnya, hanyalah kaca pembesar yang memperlihatkan isi hati manusia. Ia bisa mempermalukan orang yang tamak, atau meninggikan martabat mereka yang tulus ikhlas. Ia menguji, apakah kita akan menjadi hamba uang, atau menjadikan uang pelayan kita. Kemiskinan yang paling getir bukanlah perut kosong atau dompet yang tipis. Yang lebih mengerikan adalah kemiskinan jiwa: ketika seseorang kehilangan penghormatan pada dirinya sendiri. Orang yang merasa rendah, tak punya arti, selalu membandingkan dirinya dengan orang lain, hingga hatinya penuh iri, dengki, dan kebencian. Itulah jurang terdalam—kemelaratan batin yang membuat manusia buta tak bisa melihat cahaya kecil dalam dirinya. Sedang mereka yang hidup berkelimpahan tak selalu berarti mereka yang berkelebihan harta. Orang yang sungguh kaya adalah mereka yang tangannya selalu di atas—memberi tanpa mencatat, menolong tanpa menghitung. Mereka menakar kekayaan bukan dari banyaknya yang disimpan, melainkan dari besarnya yang dibagikan. Dan justru ketika mereka memberi, rasa cukup itu meluas, melimpah, tak habis-habis. Karena kelimpahan sejati bukanlah saat tangan menggenggam, melainkan saat tangan terbuka. Ketika memberi, sebenarnya kita sedang menabung di tempat yang tak terlihat. Bank dan korporasi bisa bangkrut, saham bisa jatuh, tapi tabungan di surga tak pernah kehilangan nilai. Seorang yang arif tahu, tabungan terbesar bukanlah di tempat di mana ia menyimpan uangnya, melainkan di hadapan sesama. Ia menabung dalam bentuk kebaikan yang tak terlihat mata, tapi terukir di buku langit. Ia menanam di ladang kasih sayang, dan buahnya dipetik dalam bentuk kedamaian yang tak bisa dibeli. Hidup yang berat selalu membawa pilihan: apakah kita akan membiarkan diri diperbudak oleh kesulitan, atau menjadikannya cambuk untuk berjalan menuju kelimpahan batin? Karena sejatinya, miskin dan kaya bukanlah sekadar kondisi dompet, melainkan kondisi hati. Seseorang bisa tidur di rumah reyot dengan senyum damai, dan seseorang bisa gelisah di ranjang emasnya sambil menahan rasa sakit. Maka, kebahagiaan bukanlah tentang berapa banyak yang kita punya, melainkan berapa banyak yang masih sanggup kita syukuri, dan berapa banyak yang berani kita bagikan demi membantu orang lain. Pada akhirnya, kaya dan miskin hanyalah label duniawi. Yang sesungguhnya menentukan: apakah kita hidup sebagai pemilik yang tak takut berbagi, ataukah sebagai hamba dari rasa kikir dan tamak yang tak pernah berkecukupan. Semarang, September 2025
Titon Rahmawan
Adakah Kau Temukan Separuh Ilusi dalam 7 Bait Sajakku Ini? (Transcendence–Existentialist–Mystical–Bartesian) /1/ Di ambang cahaya yang gagal menemukan dirinya, aku melihat riak kuning yang tampak seperti sisa doa yang kehilangan tuannya. Seekor angsa liar melintas tanpa tahu apakah ia burung atau hanya gema dari sesuatu yang tak pernah selesai menjadi makna. /2/ Jangan percayai hening yang menggantung di dahan dadap itu. Ia bukan sunyi, melainkan mata ketiga dari kesadaran yang menatap balik pada penafsirnya. Seekor burung hantu buta menjadi penanda yang terlantar— simbol yang dibuang dari mulut bahasa. /3/ Aku bersaksi tentang rusa totol indigo yang lahir dari tawa kanak-kanak, bukan sebagai hewan, tetapi sebagai fragmen kosmik yang melampaui tubuh, sejarah, dan dilatasi waktu. Rumput kelabu bening di kakinya mengajarkan bahwa setiap permainan adalah ritual kecil dari keberadaan yang mencari arti sendiri tanpa pernah menemukan. /4/ Karena sajakmulah, aku melihat hujan yang sempat ragu turun ke dalam cangkir para sufi— bukan sebagai air, melainkan sebagai niat kata yang gagal menjelma doa. Di antara lipatan sorban putih itu ada jeda panjang tempat Tuhan pernah sembunyi untuk melupakan nama-Nya sendiri. /5/ Di pelupuk matamu kutemukan bilah luka yang tak tunduk pada bahasa mana pun. Heran luruh menjadi serpihan kaca, mengiris senyum para penjaja cinta. Barangkali itu bukan kesedihan, melainkan alfabet purba yang kehilangan suaranya sebelum sempat menjadi kata. /6/ Ada selaput tipis takjub yang tak pernah disentuh oleh jari Nizhami atau siapa pun yang mencoba menafsirkan asmara. Ia bukan cinta, melainkan bayangan semu— penanda yang tersesat di lorong gelap kesadaran yang menolak direstorasi. /7/ Langit keruh kelabu tampak jenuh oleh seluruh tangisanku, tangis yang bernaung di ceruk terdalam jantung kita seperti embun yang takut menjadi air. Barangkali memang begitu cara ilusi bekerja: menyamar sebagai kesunyian saat dahaga merayap jauh ke gurun paling sunyi di dalam diri. November 2025
Titon Rahmawan
BALADA RANTING KERING DI TANAH SUWUNG V. Durma — Kebrutalan yang Tak Dapat Dihindari Pada masa itu kau tumbuh seperti pohon hilang akar. Orang-orang melihat ranting garing layak dibakar. Tangan-tangan mengusirmu, kata-kata meludahkan kutuk, dunia menyumpahimu tawa sinis nasib buruk. Namun kau tetap hidup, walau setengahnya hancur di tangan kemalangan. Ada serpih mantra tua yang mengendap dalam dada— bukan sakti yang menyelamatkan, melainkan sakti yang terus bertahan melawan dunia membabi-buta hasrat yang ingin menyudahi takdir. VI. Pangkur — Nafsu Waktu yang Ingin Menegukmu Makhluk-makhluk tanpa nama membayang langkah: bayangan panjang, aroma tanah basah, bisik-bisik menjalar seperti patuk taring ular di bawah runduk pokok bambu. Mereka melihat jazad bersumpah yang nir wujud kadang jalma seperti hewan, kadang manusia tak berwajah kadang bayang menekuk cahaya, kadang tubuh kosong tanpa ruh gentong penuh suara-suara hilang melesap dari masa lalu. Kisah kembali ke orang desa kabar buruk yang malas mati. Terbawa angin serupa pesan, dipindahkan tangan serupa kayu sekeras batu tonggak peringatan, diulang mantra jopa-japu doa menakar langit hitam menyapu malam paling sangit. VII. Megatruh — Jiwa yang Memisahkan Diri Malam paling wingit adalah pisau. Bilah tajam memotong bayangan hingga terlihat inti terdalam. Di sana kau menyaksi bisu: cahaya kecil, ringkih dan rapuh, bergetar seperti bayi mencari ibu. ia bukan hantu yang menakutimu. Ia bukan kutuk yang menempel di napasmu. Ia adalah separuh jiwa yang tak sempat menjadi tubuh. Ruh mendekat perlahan. Tangannya bening, seperti embun yang tidak berhasil jatuh ke daun. Ranting garing yang bukan sampah— gores luka pohon purba yang pernah menyimpan cahaya suci. “Bukan kau yang diusir,” bisiknya melalui dingin yang merambat. “Akulah yang tidak sempat hidup— dan kaulah rumah terakhirku.” Dadamu retak menampung tangis yang tak bersuara. Untuk pertama kalinya kau tidak takut pada kesunyian— karena kau tahu kesunyian itu adalah anak kecil yang kini duduk di pangkuanmu mencari dunia yang pernah menolaknya. VIII. Pocung — Penutup Takdir Pertanyaan arkais kembali menggigil: “Kapan cendala akan berakhir?” “Kapan asal ditatap tanpa gentar?” Kubur itu tak pernah ada. Tidak ada tanah yang sanggup menerima namanya. Tidak ada batu nisan yang menuliskan napas yang gagal menjadi bayi. Namun malam ini, ketika kau berdiri di Tanah Suwung, ada satu pancer yang kembali— perlahan, lirih, takjub. Suwung membuka tubuhnya dan menaruh ia di tengah-tengahnya sebagai cahaya yang terlalu kecil untuk menerangi dunia, namun cukup untuk menuntunmu pulang kepada dirimu sendiri. Ia yang dulu hilang akhirnya menemukan pusatnya. Dan ranting kering yang dulu dicampakkan kini berdiri tegak menyimpan dua jiwa— satu yang hidup satu yang tidak sempat— keduanya akhirnya lengkap di bawah langit yang tidak lagi menolak kehadiranmu. Desember 2025
Titon Rahmawan
ELEGI TIGA BUNGA DALAM 6 KEMUNGKINAN I. Triptych of the Burning Earth 1. Padma Engkau bangkit dari air seperti wajah pagi yang baru dibasuh cahaya. Di tubuhmu, lumpur berbicara dalam bahasa diam, dan aku mendengar suara kulit buah merekah di bawah kelopakmu. 2. Kemuning Ada matahari kecil yang patah di tengah daunmu. Ia mengirim aroma samar yang ingin menjadi musim panas, namun hujan menahannya dalam ambang yang gemetar. Setiap kuningmu seperti lantunan terakhir dari gitar yang terlalu letih untuk bernyanyi lagi. 3. Mawar Kau adalah mulut bumi. Kau berdarah dari telapak yang lapar pada sentuhan. Aku menunduk, membaca dagingmu seperti membaca sebuah puisi yang dipahat angin. Duri-durimu adalah alasan mengapa cinta memilih manusia untuk menangis. II. Three Flowers as Gateways to the Soul 1. Padma Di dasar air yang tak bernama, ia menunggu kelahirannya sendiri dalam bentuk doa paling sunyi. Segala cahaya yang menyentuhnya tidak datang dari dunia, melainkan dari ruang terdalam tubuhnya yang telah lama menahan sebuah jawaban. 2. Kemuning Ia berdiri sebagai jeda antara dua tarikan napas Tuhan. Warna lembutnya adalah gema dari sesuatu yang pernah sempurna, namun memilih menua agar dapat kembali ke tepi. Setiap daun yang jatuh mengajarkan cara pulang tanpa melangkah. 3. Mawar Lihatlah ia menutup dan membuka seperti hati seorang malaikat yang belajar menjadi manusia. Dalam merahnya ada suara yang tidak ingin diucapkan, sebuah beban keindahan yang hampir menjadi derita. Duri-durinya adalah pemisah halus antara kasih dan keterlucutan total. III. The Thorned Trinity 1. Padma Aku melihatmu bangkit dari rawa yang dingin, membawa diam yang tak ingin disentuh siapa pun. Air menelan bayanganmu, tapi kau tetap mengembang, seperti luka yang memilih membesar. 2. Kemuning Kuningmu adalah memar lama yang tidak pernah sembuh. Kau berdesis dalam cahaya seakan ingin kembali menjadi benih, menghapus sejarah kecilmu yang terlalu rapuh untuk diselamatkan. Ada ketakutan samar di setiap hela nafasmu. 3. Mawar Kau adalah pisau merah yang menyamar sebagai bunga. Kelopakmu gemetar oleh ingatan yang tidak mau mati, sementara duri-durimu mengunyah udara seperti gigi yang menahan amarah. Aku mencium aromamu dan merasakan besi. Aku menyentuhmu dan mendengar sesuatu di dalam diriku retak.
Titon Rahmawan
Anima Apakah engkau akan izinkan aku membuka ruang ini dengan jernih tanpa terseret arus sungai yang membuatmu tenggelam? Lalu siapa juru peta yang menempatkan kita; aku, kamu dan seluruh emanasi alter ego itu ke dalam fragmen yang saling berebut peran? Suara yang menjawab gemulai ranting-ranting pohon: Ia yang membaca gelagat Ia yang mengajukan pertanyaan Dan ia yang menembus inti Lalu bersama mereka semua menyatu ke dalam bumi. Bukankah kisah ini tidak menawarkan kita penjelasan atas dirinya sendiri? Ini bukan tentang cinta, hidup atau mati. Ini tentang bagaimana engkau memahami luka yang tak pernah sembuh. Pertama adalah ia yang menyebut dirinya Cakra Wahana, yang bekerja, berpikir dan menjaga kelangsungan hidup. Ia yang membiarkan dirinya jatuh dan bangkit. Ia adalah pemasang pasak dan penegak tiang-tiang layar. Ia adalah pemilik kapal yang terpaksa mengambil alih kemudi. Tapi pemilik yang satu lagi bukanlah pelarian dari lebatnya hujan. Melainkan pernyataan yang mengembalikan dirinya kepada sumber kreativitas dan spontanitas. Ia adalah penyair yang menyebut dirinya sebagai Tirta Rengganis. Udara yang membuatmu bernapas, tangan yang mengajakmu menulis, sayap yang mengajarkanmu terbang. Ia hanya butuh ruang sunyi agar namamu abadi. Kanal penyembuh yang bekerja lewat simbol, estetika dan fiksi. Sementara yang lainnya adalah anima milik semua. Batin yang berfungsi sebagai inkuisisi alam bawah sadarmu. Ia bukan sekadar perempuan Melainkan arketipe yang membongkar segala kepalsuan. Ahli geologi yang menggali luka trauma, Dorongan nafsu amarah ingatan purba. Sebab itulah mengapa ia mesti turun ke sumur terdalam hanya untuk menemukan dirimu. Bila kau temukan ia dalam lubukmu, maka ia adalah dewi yang sedang melucuti diri sendiri dari jubah kemunafikan Agar ia bisa jadi kebenaran paling radikal. Ia seperti rembulan yang muncul di waktu yang tepat saat integritas batin memanggil. Sedang seluruh alter ego itu adalah helai baju berlapis tujuh. Mereka adalah dirimu yang fana; pelepasan tensi sensualitas, ketajaman mata pisau yang dingin, tradisi masa lalu yang memudar, logika equilibrium, luka yang menolak pergi, cinta tak berbalas dan amarah yang tak mau tunduk. Mereka adalah tujuh pilar yang menjaga gedung tiga puluh lantai itu tak runtuh oleh beban emosi sendiri. Telah aku dekati dirimu dengan diagnosaku yang paling tajam Dan kutemukan inti yang bukan simptom; Apa yang kau takutkan untuk jadi dominan? Kemana kalian harus pulang bila tak kau temukan rumah? Ketika kapal kehilangan arah, siapa yang semestinya jadi nahkoda? November 2025
Titon Rahmawan
TRANSFORMASI LILITH (DESCENSIO) Retakan Pertama: Ular yang Mencari Tubuh yang Tak Tunduk Aku lahir dari debu yang tidak diberkati— bukan tulang rusuk, bukan bayangan hanya denyut liar dari tangan sunyi penciptaan yang lupa menuliskan kata tunduk pada nadiku. Sebelum Adam menyebutku “istri”, aku sudah menjadi angin kering yang tidak pernah belajar menyerah. Mereka bilang aku pergi— padahal yang kutinggalkan bukan Eden, melainkan kepatuhan yang membutakan makna. Ular itu mendekat bukan membawa dosa, melainkan menawarkan bahasa yang tidak akan menghapusku dari keberadaanku sendiri. Aku bukan ibu iblis; akulah ibu dari ketakutan terdalam manusia: bahwa perempuan dapat memilih. Maka mereka mentasbihkan aku sebagai malam terkutuk, padahal aku hanya cahaya yang menolak dipagari bentuk. Aku tidak kembali— dunia yang memintaku pulang hanya menginginkan tubuh, bukan keberadaanku yang utuh. Retakan Seterusnya: Transfigurasi Menurun Aku turun. Bukan karena terusir, melainkan karena langit terlalu tipis untuk menampung tubuh yang menolak dilukis. Di bawah akar Eden, ada ruang yang bahkan malaikat tak berani menamai. Ke sana aku menyalin diri: sehelai kulit kutanggalkan, lalu serpih cahaya, lalu kata “perempuan” yang melekat di tulang punggungku kupatahkan seperti tulang burung yang lupa cara terbang. Lapisan Kedua: kulitku disesaki sisik— bukan ajaran ular, melainkan ingatan bumi makhluk akan bertahan dengan cara paling brutal. Lapisan Ketiga: Aku muntahkan semua suara yang pernah memanggilku “lelaki” atau “wanita” seolah dua kata rapuh itu cukup menjelaskan kehendak makhluk yang ingin hidup tanpa sangkar penjara. Lapisan Keempat: aku tidak lagi berjalan. Aku merayap bukan untuk merendah, melainkan untuk kembali ke posisi asal— tempat napas lebih jujur dari ingatan purba. Lapisan Terdalam: aku menemukan diriku yang mula-mula: setitik debu kosmik yang menolak diangkat menjadi bintang. Aku memeluknya. Ia memelukku. Kami menyatu sebagai luka waktu yang tidak pernah ingin disembuhkan. Itulah transformasiku: bukan naik, bukan kalah— hanya menurun, ke titik yang bahkan Tuhan enggan menoleh. Desember 2025
Titon Rahmawan
GENEALOGI KEPEDIHAN Luka adalah ibu dari seluruh rasa sakitmu. Ia tidak melahirkan lewat rahim, melainkan lewat tekanan— diam yang merobek jaringan makna hingga tubuh belajar berdoa lewat degup darah. Di permukaan, hanya lecet, hanya goresan— jejak kecil yang kau sebut sepele, padahal waktu mencatatnya seperti peta awal kehancuran. Kulit mengingat lebih lama daripada pikiran yang gemar memaafkan. Lalu datang sayatan, lebih tajam dari robekan, garis tegas, menolak metafora. Di sana bahasa runtuh: daging berbicara tanpa izin. Pohon-pohon saraf ditebang satu per satu, getah kesadaran menetes lambat ke tanah kenangan yang tak lagi subur. Memar adalah ingatan yang membusuk, warna ungu-hitam lebam dari benturan yang tak pernah diadili. Ia bukan luka terbuka, melainkan pengakuan bisu bahwa kekerasan pernah tinggal dan menetap. Dari situ tumbuh sakit— bukan sekadar rasa biasa, melainkan penderitaan yang keras kepala seperti jam rusak di dada. Detiknya beku, tidak bergerak, namun terus menghitung kejatuhan. Ada pedih, ada perih, dua saudara kembar yang mengikis nalar. Mereka mengajarkan bahwa ketahanan adalah cara termulia untuk menunda runtuh, bukan untuk selamat. Cedera menutup pintu masa depan. Gerak tak lagi patuh, kehendak pincang sebelum sempat berjalan. Tubuh menjadi arsip kegagalan yang disimpan rapi oleh waktu. Di bagian terdalam, terbentuk abses— kantong nanah kesadaran menampung apa saja yang tak berani kau akui. Tekanan meningkat, hingga kebenaran pecah dari dalam. Semua ini bermuara pada trauma, bukan lagi sebagai kenangan, melainkan sebagai sistem operasi. Ia menentukan cara kau mencinta, cara kau percaya, cara kau menyebut dirimu manusia. Akhirnya, tersisa cacat— bukan hanya pada tubuh, tetapi pada cara memaknai hidup. Ia tidak meminta belas kasihan, ia menuntut pengakuan: bahwa kemanusiaan dibangun bukan dari kesempurnaan, melainkan dari luka yang menolak sembuh agar makna tidak pernah lunas. Desember 2025
Titon Rahmawan