Wong Kar Wai Film Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Wong Kar Wai Film. Here they are! All 4 of them:

Most of my films deal with people who are stuck in certain routines and habits that don't make them happy. They want to change, but they need something to push them. I think it's mostly love that causes them to break their routines and move on.
Wong Kar-Wai
All my films are about Hong Kong." Wong Kar Wai once told me, "even if they're set in Argentina." While many in the West saw Happy Together primarily as a love story, his compatriots saw it something more timely and relevant: Wong grappling with the meaning of the handover to China. They knew it wasn't coincidental that the film should open in Hong Kong one month before that historical transfer of power. Nor was it coincidental that it should begin with a shot of Hong kong passports and end with Tony Leung's Lai on a train in Taipei, not Hong Kong, heading into an indeterminate future as the soundtrack plays Danny Chung's cover of the pop song "Happy Together" --a title that could be read as predicting a successful union, or as a slash of bitter irony. Even the movie's defining image, the aerial shot of water rushing down Iguazu Falls, is layered with political intimations that cut in different directions. At once thrillingly spectacular and patently dangerous--Chris Doyle, who's terrified of heights, shot it while hanging out of a chopper--the roaring waters that combine in these falls are an expression of the inexorably rushing power of reunion that can be seen as both a symbol of great strength or the downward pull of destruction.
Wong Kar-Wai
Such indirection and ambivalence typify the politics of Wong's work. He's not in any conventional sense an ideological filmmaker. "It's never been my intention," he said at the Cannes press conference for 2046, "to make films with any political content whatsoever." A cautious man allergic to grand pronouncements, he doesn't make message movies, much less give political speeches or man the barricades. The rise of China has been the biggest story in the world for the last 20 years--no place has felt this more deeply than Hong Kong--yet Wong's work is notable for its apparent lack of interest in post-revolutionary China, either in its Maoist incarnation or today's hyper-capitalist model launched by Deng Xiaoping, whose death appears in a news report Lai watches in Happy Together. It's not that he doesn't thing about political issues, but he weaves his ideas (and they are intuitions more than ideological stances) into the intricate fabric of his work. This makes him ripe for interpretation, especially by critical admirers who, almost to a one, prefer to think of him as being some sort of social radical whose political ideas bubble beneath the surface of his work.
Wong Kar-Wai
Nafsu, Kehati-hatian dalam Suasana Tepat untuk Bercinta (Shades of "In the Mood for Love, 2046, Lust, Caution, Infernal Affairs, Chungking Express, Hero & Neo-Noir.") Tony, setiap kali kau melintas di layar, dunia berhenti bernapas seolah kamera Wong Kar-wai telah mengikat denyut bumi pada nadi kecil di bawah matamu. Tapi aku hendak menulis tentang hal lain— tentang kota-kota yang menua atau tentang tubuh manusia yang gagal memahami keinginan— lalu kau muncul begitu saja, seperti bisikan neon yang memaksa ingatan mundur ke jalan-jalan sempit Hong Kong pada menit yang tak pernah diputar ulang. Bagaimana mungkin kau memikul begitu banyak kesepian, Tony? Kesepian yang licin seperti hujan, dan setajam bilah yang pernah kau selundupkan ke balik lengah sejarah. Setiap peran yang kaumasuki bukanlah karakter— melainkan lorong psikis yang kau bongkar dengan tangan hening. Chow Mo-Wan, yang menyembunyikan rahasia di lubang kuil Angkor Wat, Masih berjalan di belakangmu seperti bayangan yang tak rela mati. Aku ingin bicara denganmu, Leung bukan sebagai penulis, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai seseorang yang tahu bagaimana rasanya menjadi rahasia yang tidak ingin disembunyikan. Aku membawa segelas bir, angin malam, dan suara klakson yang patah. Di meja kecil itu, kau hanya menatap; seolah seluruh sejarah ketidaksetiaan sedang berusaha menulis ulang dirinya sendiri di balik tajam sorot matamu. Chiu-wai, aku tak lupa bagaimana kau mencabik tubuh gadis itu dalam Lust, Caution: bukan dengan jemarimu, tetapi dengan kehampaan yang mematuhi logikanya sendiri. Aku benci padamu— sekaligus iri pada dingin pisau itu, pada caramu memegang nafsu sebagai alat penyiksaan. Mr. Yee, kau bilang: "Satu sudah mati. Separuh otaknya hilang. Saya mengenali yang lainnya." Dan aku tahu, bahkan tanpa kamera, kau tetap akan tersenyum dengan keanggunan seorang pembunuh yang terlalu elegan untuk merasa bersalah. Namun ketika kau berlari menembus lampu-lampu jalan raya untuk menyelamatkan sekelebat hidup yang terlihat rapuh, seolah kematian pun ragu menelanmu. Adegan itu indah— indah karena dunia sesaat lupa bahwa kau tidak pernah benar-benar ingin hidup. Kau tahu, Tony, aku masih mengikutimu ke kedai mie yang tua itu. Aku memilih kursi paling belakang, mendengar sumpit menemukan mangkukmu seperti dentang jam yang menunda takdir. Kau berbicara lewat telepon kepada perempuan yang bukan istrimu dan tanpa sadar menghidupkan kembali dosa-dosa yang lupa kau kubur. Aku melihatmu di meja mahyong. Aku tahu ekspresi wajah pemain curang. Dan kau, Leung— kau bukan Dewa Judi Ko Chun, meski dunia ingin percaya bahwa keberuntunganmu datang dari langit, bukan dari kehancuran batin yang luar biasa detail. Aku seharusnya membunuhmu waktu itu, waktu kau telanjang dan tertidur bersama istriku dalam mimpi yang kau curi. Tubuh kalian basah, sunyi, dan terlalu jujur. Tapi aku tidak jadi melakukannya. Bukan karena kau tak layak mati— melainkan karena aku ingin melihat apa yang tersisa dari cahaya ketika ia melewati matamu. Apa itu keberanian, Tony? Apa itu kehati-hatian? Apa itu keinginan yang terus mengintai di balik sutra, kain, dan rahasia? Kau tak akan bisa menjawab. Kau hanya bisa hidup dalam kilau film yang selalu menunda tamat, karena realitas terlalu sempit untuk menampung duka yang kau bawa. Dan aku, aku akan terus membuntutimu dari film ke film, dari kehidupan ke kehidupan, menunggu saat kau sadar bahwa yang kukagumi bukanlah dirimu— tetapi kehancuranmu yang tak pernah berakhir. (2024 - 2025)
Titon Rahmawan