Ulat Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Ulat. Here they are! All 16 of them:

Kalau ada kupu-kupu yang terperangkap di sarang laba-laba, orang cenderung akan menolong kupu-kupu itu walaupun mungkin si laba-laba belum makan selama berhari-hari..Tapi gimana kalau yang terperangkap adalah ulat yang belum jadi kupu-kupu? Orang tetap nolong nggak? Padahal, keduanya sama. Di dunia ini, memang harus cantik supaya ditolong.
Windhy Puspitadewi
Kesepian adalah benang-benang halus ulat sutera yang perlahan-lahan, lembar demi lembar, mengurung orang sehingga ulat yang ada di dalamnya ingin segera melepaskan diri menjadi wujud yang sama sekali berbeda, yang bisa saja tidak diingat lagi asal-usulnya. Hanya ulat busuk yang tidak ingin menjadi kupu-kupu. (81)
Sapardi Djoko Damono (Hujan Bulan Juni)
Mereka yang memimpin selalu lupa ketika dipimpin, seperti kupu-kupu dengan kepompong, lupa bahkan pada ulat sebagai asalnya.
Cok Sawitri (Sutasoma)
Jika tau akan diburu, ulat takkan sudi menjadi kupu-kupu.
nom de plume
Jangan pernah menangkap kupu-kupu. Mulanya makhluk kecil itu merayap untuk waktu yang lama sebagai ulat di pohon, dan itu bukan kehidupan yang menyenangkan. Kini, dia baru saja punya sayap dan ingin berterbangan di udara dan bersenang-senang, mencari makanan di dalam bunga dan tidak melukai siapapun. Lihat, bukankah lebih enak melihatnya berterbangan di sana?
Multatuli (Max Havelaar, or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company)
These men suffer. Their anguish and despair has no limits or boundaries. They suffer in a society that does not want men �� to change, that does not want men to reconstruct masculinity so that the basis for the social formation of male identity is not rooted in an ethic of dom- ination. Rather than acknowledge the intensity of their suffering, they dissim- ulate. They pretend. They act as though they have power and privilege when they feel powerless. Inability to acknowledge the depths of male pain makes it difficult for males to challenge and change patriarchal masculinity. Broken emotional bonds with mothers and fathers, the traumas of emo- tional neglect and abandonment that so many males have experienced and been unable to name, have damaged and wounded the spirits of men. Many men are unable to speak their suffering. Like women, those who suffer the most cling to the very agents of their suffering, refusing to resist sexism or sexist oppression. Their refusal is rooted in the fear that their weakness will be exposed. They fear acknowledging the depths of their pain. As their pain intensifies, so does their need to do violence, to coercively dominate and abuse others. Barbara Deming explains: “I think the reason that men are so very violent is that they know, deep in themselves, that they’re acting a lie, and so they’re furious. You can’t be happy living a lie, and so they’re furious at being caught in the lie. But they don’t know how to break out of it, so they just go further into it.” For many men the moment of violent connection may be the only intimacy, the only attainable closeness, the only space where the agony is released. When feminist women insist that all men are powerful op- pressors who victimize from the location of power, they obscure the reality that many victimize from the location of victimization. The violence they do to others is usually a mirroring of the violence enacted upon and within the self.
bell hooks (The Will to Change: Men, Masculinity, and Love)
Love, laughter, and joy, as well as pain, longing and sorrow, are all part of the ride. Without the latter you cannot truly appreciate the former, cannot come to understand just how much you truly care... Passion is what makes life interesting, what ignites our soul, drives our curiosity, fuels our love and carries our friendships, stim- ulates our intellect, and pushes our limits. In my life I want to create passion in my own life and with those I care for, I want to feel, experience, and live every emotion. I will suffer through the bad for the heights of the good.
Pat Tillman
Kalian sama sekali tidak sama dengan mawarku, kalian belum apa-apa,' katanya kepada mereka. 'Kalian belum dijinakkan siapapun, dan kalian belum menjinakkan siapapun. Kalian seperti rubahku dulu. Hanya seekor rubah yang serupa dengan seratus ribu rubah lain. Tapi sudah kujadikan temanku, maka dia satu-satunya di dunia.' Bunga-bunga mawar merasa malu. 'Kalian cantik tapi hampa,' katanya lagi. 'Orang tidak akan mau mati bagi kalian. Bunga mawarku, bagi orang sembarangan, tentu mirip dengan kalian. Tapi ia setangkai lebih penting dari kalian semua, karena dialah yang telah kusirami. Karena dialah yang kuletakkan di bawah sungkup. Karena dialah yang kulindungi dengan penyekat. Karena dialah yang kubunuh ulat-ulatnya (kecuali dua-tiga untuk kupu-kupu). Karena dialah yang kudengarkan keluhannya, bualannya, atau malah kadang-kadang kebisuannya. Karena dialah mawarku.
Antoine de Saint-Exupéry (The Little Prince)
Pada Minggu sore yang tenang itu, aku menikahi Dinda. Aku berpakaian Melayu lengkap persis seperti waktu aku melamarnya dahulu. Dinda berpakaian muslimah Melayu serbahijau. Bajunya berwarna hijau lumut, jilbabnya hijau daun. Dia memang pencinta lingkungan. Itulah hari terindah dalam hidupku. Jadilah aku seorang suami dan jika ada kejuaraan istri paling lambat di dunia ini, pasti Dinda juaranya. Dia bangkit dari tempat duduk dengan pelan, lalu berjalan menuju kursi rotan dengan kecepatan 2 kilometer per jam. Kalau aku berkisah lucu dan jarum detik baru hinggap di angka 7, aku harus menunggu jarum detik paling tidak memukul angka 9 baru dia mengerti. Dari titik dia mengerti sampai dia tersipu, aku harus menunggu jarum detik mendarat di angka 10. Ada kalanya sampai jarum detik hinggap di angka 5, dia masih belum paham bahwa ceritaku itu lucu. Jika dia akhirnya tersipu, lalu menjadi tawa adalah keberuntunganku yang langka. Kini dia membaca buku Kisah Seekor Ulat. Tidak tebal buku itu kira-kira 40 halaman. Kuduga sampai ulat itu menjadi kupu-kupu, atau kembali menjadi ulat lagi, dia masih belum selesai membacanya. Semua yang bersangkut paut dengan Dinda berada dalam mode slow motion. Bahkan, kucing yang lewat di depannya tak berani cepat-cepat. Cecak-cecak di dinding berinjit-injit. Tokek tutup mulut. Selalu kutunggu apa yang mau diucapkannya. Aku senang jika dia berhasil mengucapkannya. Setelah menemuinya, aku pulang ke rumahku sendiri dan tak sabar ingin menemuinya lagi. Aku gembira menjadi suami dari istri yang paling lambat di dunia ini. Aku rela menunggu dalam diam dan harapan yang timbul tenggelam bahwa dia akan bicara, bahwa dia akan menyapaku, suaminya ini, dan aku takut kalau-kalau suatu hari aku datang, dia tak lagi mengenaliku.
Andrea Hirata (Sirkus Pohon)
1967 Di museum kutemukan dahimu penuh kerak timah, meleleh membutakan matamu. Diam-diam kutawarkan tali. Mungkin kau ingin menjerat tubuhku. “Kujajah tubuh belalangmu. Kita bersembunyi di gua, lari dari topeng-topeng yang kita pentaskan. Jangan kaulempar tali! Ayahku akan kehilangan wujud lelakinya. Ibuku memuntahkan ulat yang telah lama dikandungnya.” Di museum, matamu memecahkan seorang perempuan. Kau terbangun dari kantuk. Kutelan gelap. Kukunyah api. Aku mulai membakar jantung. Mana taliku? Kau ingat di mana telah kutanam impian yang disembunyikan perempuan jalang yang harus kupanggil “tante”? Perempuan itu tak lagi memiliki hati. Hidupnya sudah digadaikan untuk orang-orang yang rajin menyapanya di jalanan. Mungkinkah dia ibuku? “Jangan lilit tubuhku dengan tali. Batang tubuhku buas. Tak ada tali mampu mengikatnya. Jangan hidangkan impian. Mari mereguk kata-kata. Kautahu tumpukan huruf pun kuserap. Tumbuhkanlah anak rambutmu. Ayahku diam-diam menanam kebesaran, tapi aku tak memiliki rangka iga. Mari senggama di batu-batu. Mungkin ingin kaukuliti karang tubuhku?” Kau tampak pandir. Tolol. Uapmu mencairkan satu demi satu bukit yang kusimpan erat di urat tangan. Di museum kau menjadi begitu pengecut. Aku mulai menggantung bayi di ujung rambutmu. Matanya memuntahkan pisau. Kuperingati hidup dengan seratus tahun sunyi Garcia. Ikan-ikan meluncurkan sperma. Betina-betina memuntahkan gelembung karang. Di museum, kesunyian begitu runcing. Tahun-tahun yang pernah kita pinjam kumasukkan dalam api upacara pengabenan. Pulangkah aku? Siapa yang kucari? Diam-diam Garcia sering mengajakku bersenggama di tajam ombak, di museum, dalam mata, jantung, hati dan keliaranmu. Aku tetap gua kecil yang ditenggelamkan dingin. Berlayarlah selagi kau masih ingat laut. Jangan catat namaku. Karena ibuku pun membuangku di buih laut. Mencongkel hatiku dengan lokan. 1999
Oka Rusmini (Pandora)
Biografi tubuh inilah yang terasa dalam 40 sajak di kumpulan puisi Pandora ini. Lihatlah bagaimana ia mengurutkan sajak-sajak di buku ini. Dari mulai Ulat, Kepompong, Kupu-kupu, 1967, dan sajak-sajak yang mengeksplorasi tema anak (Embrio, Schipol, Pasha, Den Haag), hingga Rahib dan Jejak. Deretan sajak itu tampak seperti sebuah metamorfosis tubuh. Tubuh, di tangan penyair kelahiran ini, keluar dan bahkan meloncat dari bentuk estetiknya. Ia memperlakukan tubuh bagai sebuah menu santapan (Di meja makan kusantap tubuhku, kuteguk air mataku—sajak “Kepompong”). Inilah ketangkasan seorang Oka. Ia menulis, memendam Bali, mencangkul masa lalu, membenturkan tradisi, meringkus pengalaman hidup, dan dengan tanpa sungkan menggasak tubuhnya sendiri demi memperoleh sebuah ars poetica. Inilah “sayap kuat” sajak-sajak Oka, penulis yang menurut saya, menjadi salah satu wakil terpenting penyair Indonesia mutakhir. (Yos Rizal Suriaji- “Sebuah Menu Bernama Tubuh”-2008)
Oka Rusmini (Pandora)
It's just, I don't know, painful and embarrassing all at the same time. This is my son we're talk ing about, and I can't help but feel I've let him down. If I'd been a better father, he wouldn't have drifted into something so dangerous." No one knew what to say for a second. Uncharacteristically, it was Eric Stone who broke the silence. So versed in technical mat ters, it was easy to overlook his human side. "Max, I grew up in an abusive home. My father was a drunk who beat my mother and me every night he had enough money for a bottle of vodka. It was about the worst situation you could imagine and yet I turned out okay. Your home life is only a part of who you be come. You being a larger part of your son's life might have changed things or it might not have. There's no way of knowing, and if you can't know for certain there's no need for useless spec ulation. Kyle is who he is because he chose to be that way. You weren't around for your daughter either, and she's a successful accountant." "Lawyer," Max said absently. "And she did it all on her own." "If you don't feel you can take responsibility for her success, then you have no right to take responsibility for Kyle's failings." Max let the statement hang, before finally asking, "How old are you?" Stone seemed embarrassed by the question. "Twenty-seven." "Son, you are wise beyond your years. Thank you.
Clive Cussler (Plague Ship (Oregon Files, #5))
Rumah terpencil di pinggiran sawah itu dan cupang merah di lehermu, bagaimana engkau bisa menjelaskannya? Apakah itu bentuk kekerasan pada diri sendiri? Bagaimana aku bisa melindungi dirimu dari kejahatan yang aku ciptakan? Hatiku telah mengeras seperti batu. Otakku mengerut lisut seperti walnut. Penuh dengan ulat dan kebusukan. Aku tak mampu lagi mengenali hasratku sendiri. Ingatan mengabur seperti malam menjelang pagi. Langit gelap tertelan mimpi. Cahaya putih di mana mana. Apa yang engkau rencanakan untuk mengelabui sang waktu? Menidurkan diriku dalam buaian gelombang. Erangan demi erangan. Tangan yang mencekik lehernya sendiri. Kelam mimpi yang menikam mati. Layar lap top berkedip mengisahkan kebohongan yang lama menghantuiku. Gambaran brutal pembunuhan keji. Gadis kecil yang aku cintai. Rembulan mata hatiku. Engkau atau aku yang sebenarnya? Siapa dari kita yang sesungguhnya iblis? Kita berdua adalah pembunuh dengan jubah yang sama. Engkau alibi sempurna bagi keberadaanku, demikian pula sebaliknya. Hidup adalah neraka walau hanya sekejap.
Titon Rahmawan
ancient practice, the authors ingeniously discuss stories as verbal sim- ulations.
Kamil Karczmarczyk
Ia datang sebagai ulat yang nyaris tercekik dalam kepompongnya. Kini ia menjadi kupu-kupu. Dan keluarganya datang, untuk mengembalikan dia ke dalam kepompong.
Kusumastuti (Among the Pink Poppies)
Hiduplah seperti kupu-kupu. Ia mampu berproses mulai dari seekor ulat, terus berproses menjadi kepompong, lalu berjuang hingga menjadi seekor kupu-kupu yang bebas terbang dengan indah kemanapun ia mau.
Ulilamrir Rahman