Tua Bersama Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Tua Bersama. Here they are! All 13 of them:

Menjadi panutan bukan tugas anak sulung-kepada adaik-adiknya, tapi tugas orang tua kepada semua anak
Adhitya Mulya (Sabtu Bersama Bapak)
Nah, walau tiga suku bangsa ini punya kampung sendiri, kampung Cina, kampung Dayak, dan kampung Melayu, kehidupan di Pontianak berjalan damai. Cobalah datang ke salah satu rumah makan terkenal di kota Pontianak, kalian dengan mudah akan menemukan tiga suku ini sibuk berbual, berdebat, lantas tertawa bersama—bahkan saling traktir. “Siapa di sini yang berani bilang Koh Acong bukan penduduk asli Pontianak?” demikian Pak Tua bertanya takzim.
Tere Liye (Kau, Aku & Sepucuk Angpau Merah)
Kehidupanmu ada di persimpangan berikutnya. Dulu kamu bertanya tentang definisi pulang, dan kamu berhasil menemukannya, bahwa siapa pun pasti akan pulang ke hakikat kehidupan. Kamu akhirnya pulang menjenguk pusara bapak dan mamakmu, berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan. Tapi lebih dari itu, ada pertanyaan penting berikutnya yang menunggu dijawab. Pergi. Sejatinya, ke mana kita akan pergi setelah tahu definisi pulang tersebut? Apa yang harus dilakukan? Berangkat ke mana? Bersama siapa? Apa 'kendaraannya'? Dan ke mana tujuannya? Apa sebenarnya tujuan hidup kita? Itulah persimpangan hidupmu sekarang. Menemukan jawaban tersebut. 'Kamu akan pergi ke mana?'.
Tere Liye (Pergi)
Percaya sama Saya, Allah itu dzat yang paling awal yang berharap hamba-Nya melek literasi. Al Amin ﷺ adalah generasi 'ummi dari kota tua di lembah Bakkah, namun Jibril عليه السلام justru membawa kata pertama Iqra'. Coba kita liarkan sedikit imaji kita di dalam kegelapan gua, yang Nabi ﷺ gemetar oleh suara Jibril. Jangankan membaca buku, buku-buku jari saja tak nampak, pekat. Lalu Allah berfirman, "Iqra'!" Saya yakin pembaca pasti kritis, "kan, ada Jibril yang bercahaya." Oke, tapi biarkan semua pertanyaan yang terlintas tentang kata pertama untuk tafakur nanti. Karena ada kata yang lebih mengena lagi yang dibacakan oleh Penghulu Malaikat saat itu. Yaitu "Yang mengajarkan (manusia) dengan Pena." Nah, jadi mana yang pertama? Baca dulu atau tulis dulu?! Bagi kita para pembelajar @nulisyuk, tentu yang pertama adalah tulis saja dulu. Ya, kan?! Lalu baca lagi, karena Allah akan mengajar manusia apa yang tidak dia ketahui. Kemudian tulis kembali, dengan pemahaman yang kita dapatkan. Baca ulang, agar Allah menurunkan petunjuk. Tulis ulang, baca-tulis-baca-tulis, sampai kita menjumpai hal yang paling meyakinkan. Yaitu kematian. Hingga saat tiba waktunya kita membaca karya kita nanti, Malaikat mengulurkannya lewat tangan kanan. Bukan di telapak tangan kiri yang terpaksa atau bahkan kita membelakanginya. Sembari berkata, “Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya.” Begitulah seharusnya kita menulis, jujur oleh gerakan hati. Saya adalah contoh dari jutaan manusia yang pernah bercita-cita untuk hidup dari tulisan. Beroleh bayaran dari coretan pena. Bahkan sempat ikut lomba menulis cerita anak, dengan hadiah kursus kepenulisan. Alhamdulillah, di dalam kemenangan pertama itu Saya tidak menerima uang. Meskipun Saya baru menyadarinya akhir-akhir ini. Janganlah, menulis untuk cari duit dan ketenaran. Seolah-olah Allah telah berbisik seperti itu ketika merobohkan niat Saya untuk menulis waktu yang dulu. Semoga, ketika sekarang kembali menulis bersama #nulisyukbatch6 sudah punya niat kuat yang berbeda. Hanya sebagai wujud rasa syukur atas pembelajaran Tuhan di dunia. Yuk Nulis, karena kita sudah banyak membaca ayat-ayat Allah di keseluruhan hidup kita. Aamiin.
Maykl Bogach
Aku tertidur nyenyak dan bermimpi aku sedang berada dalam bangket di Gion, bicara dengan seorang laki-laki tua yang menjelaskan kepadaku bahwa istrinya, yang dicintainya dengan amat mendalam, tidak benar-benar meninggal karena kenikmatan saat mereka bersama-sama masih hidup di dalam dirinya.
Arthur Golden (Memoirs of a Geisha: Portrait of the Film)
Aku benci museum, perpustakaan, dan bangunan bersejarah yang dilestarikan. Aku gusar kepada benda-benda tua yang selalu ada di sana dalam bentuk yang sempurna. Aku dongkol kepada benda-benda berharga yang bisa menua tanpa harus rusak. Semakin lama hidup, semakin tubuhku bengkok dan rusak. Tubuhku tidak hancur karena aku mati. Aku rusak justru karena hidup. Tubuhku merupakan bukti akan waktu hidup yang kujalani bersama kehancuran.
Saou Ichikawa (Hunchback)
Kalau kita dibenarkan hidup berkali-kali, kita tetap nak jadi kucing mama dan orang tua.
Natasha Mazya (Hari-Hari Bersama Miyu)
Saat mencintai seseorang, berada di sisinya adalah hal yang paling membahagiakan. Cinta adalah saat semua hal dilakukan bersama. Sekali melihanya, semakin ingin melihatnya. Dengan begitu akan semakin terbiasa. Lalu akan menjadi mirip. Lalu akan tua bersama.
Lim Eun Hee (Who Are You?)
Kita yang pernah tinggal di para-para adat, kita yang pergi ikut bapak ke hutan untuk bikin jerat, cincang pagar, ambil kayu bakar, kita yang pergi ke kebun bersama orang tua, dan kita yang pernah ada di honai laki-laki dan perempuan, emaage, kita yang pernah mendengar dongeng sebagai pengantar tidur malam, kita yang pernah dan sedang mendengar cerita tokoh-tokoh yang muncul dari setiap daerah di Papua dan kita yang sedang menggunakan bahasa daerah kita sendiri, berkewajiban untuk menuliskan cerita-cerita kita itu sebagai bahan yang sangat berharga dan di sana pasti muncul Identitas diri kita dalam dunia literasi yang tadinya adalah lisan menjadi tertulis" Agustinus Kadepa Relawan Gerakan Papua Mengajar
Orgenes
Nafsu, Kehati-hatian dalam Suasana Tepat untuk Bercinta (Shades of "In the Mood for Love, 2046, Lust, Caution, Infernal Affairs, Chungking Express, Hero & Neo-Noir.") Tony, setiap kali kau melintas di layar, dunia berhenti bernapas seolah kamera Wong Kar-wai telah mengikat denyut bumi pada nadi kecil di bawah matamu. Tapi aku hendak menulis tentang hal lain— tentang kota-kota yang menua atau tentang tubuh manusia yang gagal memahami keinginan— lalu kau muncul begitu saja, seperti bisikan neon yang memaksa ingatan mundur ke jalan-jalan sempit Hong Kong pada menit yang tak pernah diputar ulang. Bagaimana mungkin kau memikul begitu banyak kesepian, Tony? Kesepian yang licin seperti hujan, dan setajam bilah yang pernah kau selundupkan ke balik lengah sejarah. Setiap peran yang kaumasuki bukanlah karakter— melainkan lorong psikis yang kau bongkar dengan tangan hening. Chow Mo-Wan, yang menyembunyikan rahasia di lubang kuil Angkor Wat, Masih berjalan di belakangmu seperti bayangan yang tak rela mati. Aku ingin bicara denganmu, Leung bukan sebagai penulis, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai seseorang yang tahu bagaimana rasanya menjadi rahasia yang tidak ingin disembunyikan. Aku membawa segelas bir, angin malam, dan suara klakson yang patah. Di meja kecil itu, kau hanya menatap; seolah seluruh sejarah ketidaksetiaan sedang berusaha menulis ulang dirinya sendiri di balik tajam sorot matamu. Chiu-wai, aku tak lupa bagaimana kau mencabik tubuh gadis itu dalam Lust, Caution: bukan dengan jemarimu, tetapi dengan kehampaan yang mematuhi logikanya sendiri. Aku benci padamu— sekaligus iri pada dingin pisau itu, pada caramu memegang nafsu sebagai alat penyiksaan. Mr. Yee, kau bilang: "Satu sudah mati. Separuh otaknya hilang. Saya mengenali yang lainnya." Dan aku tahu, bahkan tanpa kamera, kau tetap akan tersenyum dengan keanggunan seorang pembunuh yang terlalu elegan untuk merasa bersalah. Namun ketika kau berlari menembus lampu-lampu jalan raya untuk menyelamatkan sekelebat hidup yang terlihat rapuh, seolah kematian pun ragu menelanmu. Adegan itu indah— indah karena dunia sesaat lupa bahwa kau tidak pernah benar-benar ingin hidup. Kau tahu, Tony, aku masih mengikutimu ke kedai mie yang tua itu. Aku memilih kursi paling belakang, mendengar sumpit menemukan mangkukmu seperti dentang jam yang menunda takdir. Kau berbicara lewat telepon kepada perempuan yang bukan istrimu dan tanpa sadar menghidupkan kembali dosa-dosa yang lupa kau kubur. Aku melihatmu di meja mahyong. Aku tahu ekspresi wajah pemain curang. Dan kau, Leung— kau bukan Dewa Judi Ko Chun, meski dunia ingin percaya bahwa keberuntunganmu datang dari langit, bukan dari kehancuran batin yang luar biasa detail. Aku seharusnya membunuhmu waktu itu, waktu kau telanjang dan tertidur bersama istriku dalam mimpi yang kau curi. Tubuh kalian basah, sunyi, dan terlalu jujur. Tapi aku tidak jadi melakukannya. Bukan karena kau tak layak mati— melainkan karena aku ingin melihat apa yang tersisa dari cahaya ketika ia melewati matamu. Apa itu keberanian, Tony? Apa itu kehati-hatian? Apa itu keinginan yang terus mengintai di balik sutra, kain, dan rahasia? Kau tak akan bisa menjawab. Kau hanya bisa hidup dalam kilau film yang selalu menunda tamat, karena realitas terlalu sempit untuk menampung duka yang kau bawa. Dan aku, aku akan terus membuntutimu dari film ke film, dari kehidupan ke kehidupan, menunggu saat kau sadar bahwa yang kukagumi bukanlah dirimu— tetapi kehancuranmu yang tak pernah berakhir. (2024 - 2025)
Titon Rahmawan
REKONSTRUKSI ATHALIA DARI 6 ABSTRAKSI 3. RU ANG PE CAH A THA LIA (Abstraksi Reruntuhan) Lorong itu masih berdebu. Seperti paru-paru gedung tua yang tersedak nama kita. Sebuah pintu terbuka. Engselnya berdecit, menyebutmu dalam bahasa besi yang menumpuk dirinya sendiri dalam reruntuhan. Di lantai: serpihan gelas, kilat kecil memantul lampu neon yang mendengung. Doa yang dipotong oleh sengatan listrik. Athalia, kau berjalan melewati hidupku seperti bayangan di CCTV— tampak, hilang, tampak lagi, gemetar tanpa suara. Aku mencoba menyentuhmu melalui pantulan kaca, tapi kaca itu pecah menjadi kota yang lain: gedung-gedung runtuh, jam retak, tangga darurat, kabel listrik menjuntai seperti urat-urat hujan yang kelelahan. Aku memungut serpihan dengan tangan telanjang. Jariku berdarah, mengalir perlahan ke arah retakan di lantai, menyusuri jalur seperti peta yang dibuat oleh tubuh yang lupa program aplikasinya. Di atas meja, ada catatan tanpa huruf. Seperti kalimat yang menolak menjadi suara. Di udara, bau logam, bau kehilangan yang tak punya suhu tak punya kenangan. Kau pernah bening, tapi aku terlalu percaya pada transparansi benda-benda. Kau menjadi pecahan pertama yang sungguh mengerti bagaimana luka tinggal tanpa perlu menetap. Aku ingin marah, tapi amarah itu hanya berdiri sebagai kursi kosong menghadap jendela yang tak bisa dibuka. Malam menempel di kulit, seperti plastik hitam yang membungkus ingatan. Aku menggeser bayangmu dari cermin ke cermin— namun cermin itu malah memantulkan diriku yang sudah retak lebih dulu. Kita berdua, dua mesin kecil yang kehilangan suara dinamo. Tak bisa pergi, tak bisa tinggal. Hanya berdengung di dalam ruangan yang menua bersama debu. Athalia, jika ada yang masih hidup dari kita, mungkin itu hanya denting terakhir serpihan gelas yang tak sempat memilih ke mana ia ingin jatuh. 4. DARAH YANG TAK MAU JADI KENANGAN (Abstraksi Eksistensial) ada getir yang tak mau tua mengendap di rongga dada seperti luka yang menolak mati. kau— gelas bening yang lama kusembunyikan di balik kelopak mata. ketika pecah, suara retaknya menyambar malam: mengiris lebih dulu sebelum sempat kutangisi. aku tak meminta ampun. tak juga mencari siapa salah. yang kutahu: tanganku sendiri gemetar menjatuhkan harapan yang kutimang seperti bayi yang kehausan. dan darah itu— ah, darah yang terus memanggil namamu dari lorong gelap yang tak selesai kubakar. aku marah. aku diam. dua hewan liar saling menggigit. jika kau datang lagi, kupikir aku tetap akan meraihmu meski tahu kau dapat mematahkanku sekali lagi. aku sudah lama belajar: beberapa luka yang tak bisa dikubur. mereka hidup seperti bara— kecil, malu-malu, tapi cukup untuk menghanguskan satu kehidupan. aku berdiri di sini dengan dada yang robek tanpa janji, tanpa doa— hanya sedikit keberanian untuk menyebut luka ini dengan namanya sendiri. dan itu cukup. untuk malam ini.
Titon Rahmawan
Palsu I — (Dark, Esoteric, Psychospiritual Version) Bagaimana mereka meninggalkanmu terperangkap dalam sumur itu? Seperti berjalan sendirian di bawah hujan yang jatuh tanpa suara, membiarkan tubuhmu memudar perlahan di antara tetes air yang tak lagi mengenali gravitasi. Seperti ban truk meledak di tanjakan maut menyambar seperti kilat, dan tak seorang pun selamat. Seperti seorang perawan yang kehilangan kesuciannya bukan oleh tangan asing, melainkan oleh cermin yang memantulkan wajah yang bukan dirinya. Langit tidak tertawa untuk kesedihan semacam itu. Beberapa orang berlarian di tengah lapangan dengan ketelanjangan yang mereka ciptakan sendiri, tak tahu apakah dunia patut ditangisi atau disumpahi. Tidak seperti pelacur yang berdiri di pinggir jalan meniru Aphrodite dengan keberanian imitasi—tetap merasa suci, karena tak ada yang tersisa untuk dicemari. Seekor babi berjalan terengah, sementara yang lain bergulingan di tanah seakan lumpur itu adalah rumah mereka yang hilang. Kita tak sedang membaca ode untuk bintang-bintang yang sekarat di langit. Langit hanyalah rongga hitam tanpa lazuardi, rumput kehilangan kehijauannya seperti ingatan terakhir seseorang yang terhapus oleh waktu. Mata tertutup oleh gumpalan awan dan kesedihan yang tak lagi mampu mengeja dirinya. Nanar matanya menghantam jendela yang tak membuka apa pun kecuali pertanyaan yang tak punya jawaban. Pintu-pintu terbuka tanpa petunjuk arah. Jalan-jalan mati, lampu-lampu padam; kebisuan lebih mencekam daripada sunyi di tengah kuburan yang lupa nama-nama yang dikandungnya. Siapa yang masih berani bertanya: Mungkinkah darah tetap berwarna merah? Sedang lagu tak lagi terdengar seperti kicauan burung— dan burung sudah lama berhenti berkicau karena dunia menolak mendengar. Ketika mata tertumbuk ketelanjangan di mana-mana— di televisi, papan reklame, musik dari radio, halaman-halaman majalah yang dibaca sampai robek— mari kita pergi dari sini. Pergi ke mana saja: ke sebuah pulau yang kesepian, ke sealur sungai yang tak berkawan, ke laut yang kehilangan rasa asinnya, ke semenanjung tanpa nama yang tak pernah tersentuh kaki para nahkoda. Di tempat asing itu, seseorang menyalakan api lalu memotret dirinya sendiri hanya ingin memastikan bahwa ia masih ada. Seorang gadis berambut pirang menikmati es krim coklat sambil membayangkan kekasihnya yang bahkan sudah lupa namanya. Gadis lain mengulang peristiwa yang tak pernah ia punya, sementara yang lain memutar waktu seperti hendak menangkap peristiwa yang bukan miliknya. Bukankah mengherankan, dunia tidak berputar dari kiri ke kanan, orang-orang tidak berjalan mundur. Namun entah mengapa begitu banyak dari mereka kehilangan kaki dan pegangan pada diri sendiri. Merasa tua dalam sekejap, menjadi bayangan dari masa lalu yang menolak mati meski tak sungguh hidup. Seorang kakek ingin melihat pangkal yang tak berujung, seorang bayi baru lahir melihat ujung yang tak berpangkal. Para pujangga menari di saat jutaan lainnya kehilangan keinginan untuk mencintai dunia. Para filsuf melompat dari halaman kitab penuh pemikiran yang sebenarnya tak membutuhkan pembaca. Berapa banyak artis kehilangan akal, menggadaikan harga diri demi sebuah adegan persetubuhan. Seorang suami berkata kepada istrinya, “Untuk mendapatkan kebahagiaan, maka satu-satunya cara adalah melihatmu bahagia bersama orang lain.” Tidak semua orang memahami kejujuran atau kebodohan semacam itu. Mereka terus menebak-nebak: apakah kebahagiaan itu sebuah tangga atau sebuah sumur? Seperti pikiran lancung yang berusaha membubung ke langit namun tenggelam ke dasar samudra karena tak tahu cara berenang. Begitulah manusia yang kita kenal—mereka menciptakan penjara ilusi yang mereka sebut: identitas. November 2025
Titon Rahmawan
SAKURA: Enam Luka, Enam Cara Mencintai yang tak Selesai. 1. Sakura di Ambang Yang Tak Tersentuh Kelopak gugur— nama kita terhapus sebelum tiba. Senja memudar. dalam hembusan angin, langit terdiam. Di batang tua, bayangmu menempel tanpa tubuhku. 2. Sakura di Atas Luka yang Tidak Sembuh Ada jalan kecil di mana dulu kau memanggilku tanpa suara. Sakura mekar di sana hari ini, menghadirkan wajahmu yang tak boleh kusentuh. Angin mengangkat kelopak seperti membawa rahasia kita yang bahkan langit pun malu menyimpannya. Aku berdiri lama, membiarkan gugurnya bunga menjadi satu-satunya sentuhan yang masih diizinkan dunia. 3. Sakura dalam Cekungan Piala Bulan Aku minum bersama bayangku, dan kau hadir sebagai aroma yang tak pernah sempat kupeluk. Di atas sungai malam, sakura jatuh satu-satu, setiap kelopak— janji yang tidak kita tepati. Angin membawa namamu hingga ke bintang paling dingin, dan aku tetap duduk di sini, mabuk oleh hal yang tidak boleh kucintai. Di kejauhan, bulan tertawa pelan— ia tahu sejak awal kita tak akan pernah dipersatukan dunia. 4. Sakura di Antara Dua Keheningan Sakura jatuh di trotoar basah kota tanpa siapa pun memperhatikan. Seperti kata terakhir yang tidak berani kita ucapkan, ia hilang sebelum sempat menyentuh. Aku berjalan melewati pohon itu mengira kau masih ada di sana— tapi cahaya sore memantulkan betapa tipisnya keberadaan. Mungkin cinta hanyalah kelopak yang runtuh terlalu cepat untuk kita tangkap, namun terlalu lambat untuk benar-benar dilupakan. 5. Sakura yang Tumbuh di Dalam Rongga Dada Aku membuka dadaku dan menemukan sebatang sakura kecil menggeliat di antara tulang rusuk. Setiap kelopaknya membawa wajahmu— wajah yang tidak boleh kusebut tanpa membuat dunia ini memuntahkan darah. Angin malam masuk melalui retakan luka, menggoyangkan pohon itu hingga menggugurkan rahasia yang kupendam terlalu lama. Sakura itu mekar bukan untuk dirayakan, melainkan untuk mengingatkan bahwa cinta yang dilarang selalu mencari jalan untuk tumbuh di tempat yang tidak seharusnya. Dan aku, menjadi taman gelap yang tidak pernah diakui matahari. 6. Sakura dalam Bahasa yang Berbeda Di halaman sunyi itu, sakura berdiri seperti sebuah kata yang kehilangan huruf pertamanya. Aku mencoba mengucapkan namamu— tapi udara membeku, mengubah suara menjadi debu. Kelopak jatuh sebagai tanda-tanda kecil dari sesuatu yang tidak pernah boleh dirumuskan. Kita adalah dua kalimat yang ditulis dalam bahasa berbeda di bawah langit yang sama. Angin membawa sakura pergi, dan aku memahami bahwa beberapa cinta ditakdirkan hanya menjadi metafora: indah, dingin, dan tidak pernah selesai. April 2014
Titon Rahmawan