Tua Bersama Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Tua Bersama. Here they are! All 10 of them:

β€œ
Menjadi panutan bukan tugas anak sulung-kepada adaik-adiknya, tapi tugas orang tua kepada semua anak
”
”
Adhitya Mulya (Sabtu Bersama Bapak)
β€œ
Nah, walau tiga suku bangsa ini punya kampung sendiri, kampung Cina, kampung Dayak, dan kampung Melayu, kehidupan di Pontianak berjalan damai. Cobalah datang ke salah satu rumah makan terkenal di kota Pontianak, kalian dengan mudah akan menemukan tiga suku ini sibuk berbual, berdebat, lantas tertawa bersamaβ€”bahkan saling traktir. β€œSiapa di sini yang berani bilang Koh Acong bukan penduduk asli Pontianak?” demikian Pak Tua bertanya takzim.
”
”
Tere Liye (Kau, Aku & Sepucuk Angpau Merah)
β€œ
Kehidupanmu ada di persimpangan berikutnya. Dulu kamu bertanya tentang definisi pulang, dan kamu berhasil menemukannya, bahwa siapa pun pasti akan pulang ke hakikat kehidupan. Kamu akhirnya pulang menjenguk pusara bapak dan mamakmu, berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan. Tapi lebih dari itu, ada pertanyaan penting berikutnya yang menunggu dijawab. Pergi. Sejatinya, ke mana kita akan pergi setelah tahu definisi pulang tersebut? Apa yang harus dilakukan? Berangkat ke mana? Bersama siapa? Apa 'kendaraannya'? Dan ke mana tujuannya? Apa sebenarnya tujuan hidup kita? Itulah persimpangan hidupmu sekarang. Menemukan jawaban tersebut. 'Kamu akan pergi ke mana?'.
”
”
Tere Liye (Pergi)
β€œ
Namun demikian, fakta ironisnya adalah tidak ada satu pun budaya dan tradisi di dunia ini yang mengajarkan orang untuk menghargai keberadaan seorang pelacur atau seorang sundal. Dalam strata kehidupan masyarakat sejak era primordial hingga saat ini, orang orang semacam mereka cuma layak menempati tempat yang paling rendah dan kasta yang paling hina. Kita tidak pernah diajarkan orang tua kita untuk menghargai sampah masyarakat serupa itu, walau pun keberadaan mereka tetap saja dibutuhkan. Kita tak bisa menyangkal keberadaan mereka, namun di sisi lain kita sekaligus ingin menafikannya. Sebuah pandangan stereotype bahwa eksistensi mereka itu semata mata hadir karena dalam kehidupan manusia dibutuhkan sebuah peran antagonis. Hidup yang keras ini membutuhkan kehadiran seekor kambing hitam. Bahwa hakekat kehidupan selalu diwarnai oleh dikotomi hitam dan putih. Bila ada kebaikan harus ada kebusukan sebagai kontra indikasinya. Dan para pelacur serta sundal itu dibutuhkan untuk mengukuhkan eksistensi dan keberadaan moral di dalam masyarakat. Moral tidak mungkin eksis tanpa keberadaan para pelacur. Sebagaimana tubuh tidak eksis tanpa kehadiran ruh. Tapi apakah keberadaan tubuh hanya untuk mengukuhkan keberadaan ruh sebagai sumber kehidupan? Sebagaimana anggapan bahwa mereka para pelacur dan sundal itu adalah sebuah antitesis dari kesucian dan moral kebaikan para santa? Bukankah penebusan Kristus tidak akan pernah terjadi tanpa pengkhianatan Judas? Namun pertanyaan yang sering menggelayuti benakku adalah, siapa yang semestinya layak kita sebut sebagai pahlawan dan siapa pula yang harus jadi pecundang. Bagaimana nasib Judas Iscariot dibandingkan dengan Titus, seorang perampok yang beruntung karena disalibkan bersama Kristus? Apakah Judas adalah seorang yang terkutuk dan harus menjalani siksa api neraka karena pengkhianatannya? Sementara itu, Titus adalah orang yang beruntung dan terberkati karena setelah kematiannya ia akan langsung diterima di dalam surga? Aku tak hendak mempermasalahkan kemalangan dan keberuntungan orang lain. Ataupun pilihan pilihan hidup mereka, seandainya saja mereka memang masih punya pilihan. Alangkah baiknya bila kita bisa menanyakan hal itu kepada setiap dari mereka itu. Apakah sedari kecil mereka memang berkeinginan dan bercita cita jadi pelacur, pembegal, pencoleng, perampok atau bahkan pengkhianat? Apakah setelah dewasa mereka sengaja menyundalkan diri dan menyesatkan diri sendiri? Sekiranya orang diselamatkan atas dasar apa yang mereka imani, lalu apakah mereka juga akan menerima hukuman atas apa yang mereka perbuat kemudian? Semoga terberkatilah mereka yang malang dan terkutuk, karena mereka harus mengambil peran sebagai orang orang yang tidak beruntung dan terpaksa harus menjalani apa yang sesungguhnya tidak ingin mereka jalani. Sebagaimana aku pernah membaca sebuah kutipan yang hingga hari ini aku merasa betapa aku sungguh beruntung karena pernah membacanya. Bahwa dialektika itu bukanlah hitam atau putih, dan bukan pula terang atau gelap. Karena surga dan neraka bukanlah milik kita. Saat segalanya berakhir, cuma suara Sang Pencinta yang masih bergema dalam keheningan rimba raya, beriak di atas permukaan danau, "Duhai Kekasih, bagaimana aku hendak memberikan jantungku hanya untukmu?" Suara itulah yang sedari dulu bergema di tengah padang gurun. Suara yang mengetuk pintu di malam buta. Dialah desau suara angin. Dialah tangisan burung bul bul. Mengapa hujan turun tergesa? Mengapa matahari lari bergegas? Mengapa manusia masih juga bertengkar, memperebutkan kebenaran yang sesungguhnyalah bukan miliknya?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Percaya sama Saya, Allah itu dzat yang paling awal yang berharap hamba-Nya melek literasi. Al Amin ο·Ί adalah generasi 'ummi dari kota tua di lembah Bakkah, namun Jibril ΨΉΩ„ΩŠΩ‡ Ψ§Ω„Ψ³Ω„Ψ§Ω… justru membawa kata pertama Iqra'. Coba kita liarkan sedikit imaji kita di dalam kegelapan gua, yang Nabi ο·Ί gemetar oleh suara Jibril. Jangankan membaca buku, buku-buku jari saja tak nampak, pekat. Lalu Allah berfirman, "Iqra'!" Saya yakin pembaca pasti kritis, "kan, ada Jibril yang bercahaya." Oke, tapi biarkan semua pertanyaan yang terlintas tentang kata pertama untuk tafakur nanti. Karena ada kata yang lebih mengena lagi yang dibacakan oleh Penghulu Malaikat saat itu. Yaitu "Yang mengajarkan (manusia) dengan Pena." Nah, jadi mana yang pertama? Baca dulu atau tulis dulu?! Bagi kita para pembelajar @nulisyuk, tentu yang pertama adalah tulis saja dulu. Ya, kan?! Lalu baca lagi, karena Allah akan mengajar manusia apa yang tidak dia ketahui. Kemudian tulis kembali, dengan pemahaman yang kita dapatkan. Baca ulang, agar Allah menurunkan petunjuk. Tulis ulang, baca-tulis-baca-tulis, sampai kita menjumpai hal yang paling meyakinkan. Yaitu kematian. Hingga saat tiba waktunya kita membaca karya kita nanti, Malaikat mengulurkannya lewat tangan kanan. Bukan di telapak tangan kiri yang terpaksa atau bahkan kita membelakanginya. Sembari berkata, β€œBetapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya.” Begitulah seharusnya kita menulis, jujur oleh gerakan hati. Saya adalah contoh dari jutaan manusia yang pernah bercita-cita untuk hidup dari tulisan. Beroleh bayaran dari coretan pena. Bahkan sempat ikut lomba menulis cerita anak, dengan hadiah kursus kepenulisan. Alhamdulillah, di dalam kemenangan pertama itu Saya tidak menerima uang. Meskipun Saya baru menyadarinya akhir-akhir ini. Janganlah, menulis untuk cari duit dan ketenaran. Seolah-olah Allah telah berbisik seperti itu ketika merobohkan niat Saya untuk menulis waktu yang dulu. Semoga, ketika sekarang kembali menulis bersama #nulisyukbatch6 sudah punya niat kuat yang berbeda. Hanya sebagai wujud rasa syukur atas pembelajaran Tuhan di dunia. Yuk Nulis, karena kita sudah banyak membaca ayat-ayat Allah di keseluruhan hidup kita. Aamiin.
”
”
Maykl Bogach
β€œ
1. Dari balik tingkap ini aku sengaja mengintaimu, memasang kamera pada jalusi untuk melihatmu mencumbui malam. Seperti gerimis yang baru saja turun, menggiringmu melewati teras rumah tetangga lalu sengaja menggeletakkan tubuhnya di atas sofa abu abu yang dulu engkau beli dari pesta Sri Ratu. Tangan tangan hujan tidak meronai pipimu dengan warna merah jambu melainkan coklat tua agar senada dengan jaket yang dikenakannya. Walau, ia hanya seorang penjaga yang membawa suar kemana mana. Namun ia juga adalah samudra tak bernama yang tak urung menelikung tubuhmu dengan kata luas tak terperi. Sebagaimana kata kata rayuan yang diucapkannya bergema bersama lantunan tembang tembang lawas yang ia rekam sepekan sebelumnya dari sebuah aplikasi di internet. Ia tak menyembunyikan tangannya yang sibuk menggali harta karun jauh ke dalam lubukmu. Membiarkan pikiranmu terbang melayang ke pelataran Sukuh, ke atas puncak arca garuda di Cetha dan lalu melayap jauh hingga ke Khajuraho. Menangkap semburat lidah api yang asyik menyigi setiap detail relief candi yang akan membuat nafas kalian tersengal sengal. Memanggil awan dan memetakan semua rencana perjalanan wisata mimpi kalian ke Thailand, Bhutan, Nepal, Burma, India, Sri Lanka, Maladewa hingga ke China. Pada lukisan Lee Man Fong engkau menjelmakan dirimu menjadi seorang gadis Bali yang bertelanjang dada. Bersimpuh di bawah pohon sambil memantrakan puja. Sementara aku terjatuh dan terjerembab berungkali dari loteng ini dengan kaki yang goyah dan juga patah. Tak sekali kali berani beranjak hanya untuk sejenak menghela nafas. Karena lelaki pembawa suar itu telah menaikkan tubuhmu ke atas kereta berkuda dan menjelmakan dirimu menjadi seorang permaisuri. Seperti paduka Sri Ranggah Rajasa yang menyunting Ken Dedes di balik kejayaan Singosari. Ia sungguh lelaki pemberani yang tak gentar mengajakmu menari. Menjelajahi gunung, lembah, kebun dan persawahan di bawah naungan pohon pohon banyan di pinggiran jalan. Melewati sekumpulan bocah yang tengah bermain gundu, gobak sodor dan sunda manda. Engkau tak menghiraukan mereka dengan bising lagu dangdut di balik suara desahanmu. Menancapkan lembing pada setiap cubitan bibir yang bernafsu menyadap getah dari busung dadamu. Tajam gigi taring dan juga geraham yang menerakan sebuah marka rahasia di atas jenjang lehermu. Sedang mataku terantuk gelap yang berjatuhan di bawah pintu palka yang merapuh ini, saat layar mulai terkembang dan lelaki keturunan nelayan itu menggeser lunas perahumu di atas lidah ombaknya.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Aku tertidur nyenyak dan bermimpi aku sedang berada dalam bangket di Gion, bicara dengan seorang laki-laki tua yang menjelaskan kepadaku bahwa istrinya, yang dicintainya dengan amat mendalam, tidak benar-benar meninggal karena kenikmatan saat mereka bersama-sama masih hidup di dalam dirinya.
”
”
Arthur Golden (Memoirs of a Geisha: Portrait of the Film)
β€œ
Kalau kita dibenarkan hidup berkali-kali, kita tetap nak jadi kucing mama dan orang tua.
”
”
Natasha Mazya (Hari-Hari Bersama Miyu)
β€œ
Saat mencintai seseorang, berada di sisinya adalah hal yang paling membahagiakan. Cinta adalah saat semua hal dilakukan bersama. Sekali melihanya, semakin ingin melihatnya. Dengan begitu akan semakin terbiasa. Lalu akan menjadi mirip. Lalu akan tua bersama.
”
”
Lim Eun Hee (Who Are You?)
β€œ
Aku benci museum, perpustakaan, dan bangunan bersejarah yang dilestarikan. Aku gusar kepada benda-benda tua yang selalu ada di sana dalam bentuk yang sempurna. Aku dongkol kepada benda-benda berharga yang bisa menua tanpa harus rusak. Semakin lama hidup, semakin tubuhku bengkok dan rusak. Tubuhku tidak hancur karena aku mati. Aku rusak justru karena hidup. Tubuhku merupakan bukti akan waktu hidup yang kujalani bersama kehancuran.
”
”
Saou Ichikawa (Hunchback)