Tetangga Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Tetangga. Here they are! All 15 of them:

Memang tak enak untuk mengingat-ingat bahwa kebahagiaan sering perlu uang yang terkadang amis dan tenaga kasar yang keringatnya berbau aneh. Kebahagiaan sering perlu sejumlah tetangga, yang tak jarang lebih miskin.
Goenawan Mohamad (CATATAN PINGGIR 3)
Apa gunanya memaki? Mereka memang anjing. Mereka memang binatang. Dulu bisa mengadu, dulu ada pengadilan. Dulu ada polisi, kalau duit kita dicolong tetangga kita. Apa sekarang? Hakim-hakim, jaksa-jaksa yang sekarang juga nyolong kita punya. Siapa mesti mengadili kalau hakim dan jaksanya sendiri pencuri?
Pramoedya Ananta Toer (Larasati)
Meski miskin, suami istri Setrowikromo merasa tidak berkekurangan. Mereka juga tidak pernah meminta uang dari ketiga anaknya. "Untuk kami berdua, segelas beras sudah cukup. Yang mesti kami pikirkan, bagaimana menyumbang tetangga yang mempunyai hajatan," tutur Khatijah...
Sindhunata (Manusia & Pengharapan: Segelas Beras untuk Berdua)
Di negara Jancukers. Allahu Akbar nilainya tinggi, yaitu untuk mengusir penjajah Belanda dulu dan untuk mengusir Jepang. Tidak seperti di negara tetangga, Allahu Akbar dipakai untuk melawan orang makan di warung Tegal.
Sujiwo Tejo
Keajaiban dunia, mudah-mudahan ayam tetangga nggak terkena serangan jantung mendengar guyuran air mandimu yang lebih menggelegar melebihi dentuman guntur
Yoza Fitriadi (PENGAGUM SENJA)
Tak apa kau suka film Korea, asal tak suka ngegebet anaknya tetangga.
Robi Aulia Abdi
Kalau kita merasa risi melihat ada tetangga yang tidak sembahyang, kita kunjungi dia dan ajak dia bertukar pikiran dengan menggunakan alasan-alasan yang didasarkan pada akal. Ini namanya perbuatan ksatria. Yang tidak baik adalah bila kita beramai-ramai membuat negara berkuasa untuk memaksakan kehendak pribadi pada semua orang. Agama terpaut pada hak asasi, di bidang privasi, atas keyakinan orang per orang, yang tidak bisa dipaksa-paksakan.
Daoed Joesoef (Emak)
Kau memang tidak mengganggu siapapun, tetapi mulutmu selalu bungkam. Katanya kau pernah mengalami trauma hebat. Sejak itu kau mulai melupakan wajah. Kau lupa siapa-siapa saja tetanggamu bahkan ketika mereka berpapasan denganmu di pasar. Orang-orang pun mulai malas menyapamu, tak ingin tertular kesedihanmu.
Intan Paramaditha (Sihir Perempuan)
Rumput tetangga tak usah dipikir apa warnanya.
Iwan Esjepe
Kerabat dan tetangga adalah kenangan. Kerabat dan tetangga adalah lingkungan. Kerabat dan tetangga adalah yang karib dan yang dekat.
Sibel Eraslan (Maryam: Bunda Suci Sang Nabi)
Dari semua tempat yang saya kunjungi dan orang-orang yang saya jumpai, ada satu yang selalu terngiang-ngiang: Karma Ura, cendekiawan Bhutan dan juga orang yang selamat dari kanker. "Tidak ada yang namanya kebahagiaan pribadi," katanya kepada saya. "Kebahagiaan seratus persen bersifat relasional." Saat itu saya tidak memaknainya secara harfiah. Saya kira dia melebih-lebihkan untuk memberi penekanan pada penjelasannya: bahwa hubungan kita dengan orang lain lebih penting dari yang kita kira. Namun sekarang, saya menyadari bahwa yang dimaksud Karma itu sama persis dengan yang dia katakan. Kebahagiaan kita sepenuhnya dan benar-benar saling terkait dengan orang lain: keluarga dan teman serta tetangga dan wanita yang nyaris tidak Anda perhatikan yang membersihkan kantor Anda. Kebahagiaan bukanlah kata benda atau kata kerja. Dia adalah kata sambung. Jaringan penghubung.
Eric Weiner (The Geography of Bliss: One Grump's Search for the Happiest Places in the World)
Para ilmuwan sosial memperkirakan bahwa sekitar 70 persen dari kebahagiaan kita berasal dari hubungan kita, baik secara kuantitas, dengan teman, keluarga, rekan kerja, dan tetangga. Selama masa-masa sulit dalam kehidupan, semangat persahabatan mengurangi penderitaan kita; selama masa-masa baik, semangat tersebut meningkatkan kebahagiaan kita. Dengan demikian, sumber terbesar kebahagiaan kita adalah orang lain--dan apa yang dilakukan oleh uang? Uang mengisolasi kita dari orang lain. Dengan uang, kita dapat membangun dinding, secara harfiah dan kiasan, di sekitar diri kita. Kita pindah dari asrama mahasiswa yang padat ke apartemen, lalu ke rumah dan jika kita benar-benar makmur ke rumah mewah. Kita mengira kita mengalami kemajuan, tetapi sebenarnya kita membatasi diri kita sendiri dengan dinding.
Eric Weiner (The Geography of Bliss: One Grump's Search for the Happiest Places in the World)
Politik Identitas: Opera Tanpa Kepedulian Kita hidup di zaman ketika suara rakyat hanyalah gema kosong yang dipakai untuk meramaikan panggung hiburan, lalu dilupakan begitu lampu kamera padam. Politik telah berubah menjadi pasar malam, sebuah sandiwara: penuh warna, penuh janji, penuh tawa usang—tapi ketika siang datang, yang tersisa hanyalah bungkus kotoran sampah berserakan. Identitas dijadikan komoditas, bukan lagi jati diri. Agama, suku, bahkan luka sejarah—semua bisa diperdagangkan. Kita dipecah-belah, bukan untuk menguatkan, melainkan agar lebih mudah dikendalikan. Di tengah-tengah hiruk-pikuk keramaian kota, orang berdemonstrasi membakar ban merusak pembatas jalan, pengemudi ojol tewas digilas roda gila tanpa perasaan. Sementara itu, mata dari sebagian kita lebih sering menatap layar handphone daripada wajah sesama. Kepedulian direduksi menjadi like dan komentar basa-basi; simpati tak lebih dari emoji menangis di media sosial. Apakah ini pergeseran nilai, ataukah cermin lama yang baru saja kita sadari keberadaannya? Bangsa yang terlalu lama dijajah, dikebiri, dibungkam. Dan ketika akhirnya bisa bersuara, Ia kemudian memilih berteriak saling caci—bukan merangkul, bukan mendengar. Seperti kuda liar yang lepas kendali, kita berpacu kencang tanpa arah, hanya untuk menabrak seorang nenek tua yang menggandeng bocah di persimpangan jalan. Ironi itu telanjang di depan mata: Setiap hari kita dengar obrolan di warung kopi, orang bercakap tentang negeri ini dengan gelak tawa, nyengir tapi getir: “Negeri Konoha,” begitu katanya— sebuah olok-olok yang lebih populer dari semboyan resmi negara. Di negeri ini, pejabat berdasi bebas menari di ruang sidang, membagi proyek seperti kue ulang tahun yang dengan rakus mereka nikmati sendiri. Inilah negeri para koruptor, negeri para selebritas bermuka dua yang menghisap darah rakyat sambil berkhutbah moralitas di televisi. Kita hidup di tengah paradoks yang nyata-nyata menjijikkan—yang miskin disuruh tabah, kalangan menengah ditekan habis-habisan, sementara yang kaya tersenyum gembira di tengah pesta sambil menepuk bahu kolega— “Bertahanlah terus di atas, Kawan. rakyat tak akan sadar, selama kita beri mereka lebih banyak drama.” Anak muda dijejali mimpi instan: menjadi kaya tanpa kerja, terkenal tanpa karya, berkuasa tanpa tanggung jawab. Flexing jadi ideologi baru; mobil mewah dan tas bermerek lebih dihargai daripada kejujuran dan keberanian. Dan kita pun bertanya dalam hati: Apakah ini konspirasi yang diciptakan agar jarak semakin lebar? Yang miskin tetap menunduk lapar, yang kelas menengah diperas hingga kehabisan napas, dan yang di atas terus berpesta pora dengan tawa penuh tegukan brandy dan separuh ilusi. Seakan kepedulian adalah bantuan sosial yang hanya bisa dipamerkan saat kampanye, bukan dipraktikkan sehari-hari. Namun, di sela semua absurditas itu, masih ada hal-hal kecil yang menolak mati: Seseorang yang diam-diam membagi nasi bungkus kepada para tetangga, seorang guru desa yang terus mengajar meski gajinya telat berbulan-bulan, seorang anak muda yang memilih menanam pohon daripada menanam kebencian. Barangkali inilah yang tersisa dari kepedulian itu: kecil, lirih nyaris tak terdengar, tapi tetap menolak untuk padam. Dan mungkin, harapan kita sebagai bangsa terletak pada bara kecil yang terus menyala—bukan pada gedung megah parlemen, bukan pada wajah keren yang terpampang di baliho, melainkan pada kesediaan hati yang masih mau peduli, meski dunia terus berusaha mengajarkan kita untuk makin acuh tak acuh. Hati yang terusik saat dipaksa kembali pada pertanyaan purba: Apakah kepedulian bisa hidup di tengah hutan kepentingan? Atau hanya tinggal sebagai dongeng usang, yang kelak kita bacakan kepada anak cucu tentang negeri yang konon pernah punya hati, sebelum kemudian, ia digadaikan kepada para penjual janji? Surabaya, September 2025
Titon Rahmawan
Mungkin suatu hari nanti, terlepas dari bukti saat ini, akan ditemukan cara untuk mengintip ke alam semesta tetangga, yang memiliki hukum alam yang sangat berbeda, dan kita akan melihat apa lagi yang mungkin. Atau mungkin penghuni alam semesta tetangga dapat mengintip ke alam semesta kita.
Carl Sagan (Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space)
Realitas Meminjam lidah dari percakapan orang-orang di jalan; Betapa kulihat subur uban tumbuh di kepala nenekku. Kalong dan kampret beterbangan mencuri buah dari atas meja Di televisi bertebaran berita; orang di gelandang ke dalam bui karena korupsi. Ada yang sedang berubah dari dunia ini; Tak ada lagi kulihat orang mandi di kali Sudah lama kita kehilangan musala tempat mengaji. Orang-orang tenggelam di sawah Terpacak ke dalam lumpur kering Tegalan menjelma jadi hamparan batu. Kerbau dan kambing kehilangan kandang. Hutan dan padang rumput di babat habis. Aku duduk mencangkung di serambi dengan adikku, menunggu Bapak pulang membawa kenduri dari hajatan penganten tetangga kampung sebelah. Ia datang bersama heran. Sedang di jalan bersliweran kuda-kuda pacu yang tak satu pun peduli. Truk-truk mengangkut gunung dan perbukitan mengepulkan asap. Saat emas dan perak pelan-pelan menghilang, maka kerikil dan bebatuan jadi barang berharga. Aku sempat bertanya kepada Ibu, "Benarkah kita telah kehilangan suara adzan?" Bukan yang bertelur dari nyaring corong pengeras suara, Melainkan yang menetas langsung dari dalam hati para ibu. Dulu waktu kecil, aku senang sekali menyimak lagu tentang 'sajadah panjang' yang konon tercipta dari sebuah puisi. Tapi mengapa kini, tak ada lagi orang berdiskusi di atas gelaran tikar? Tak ada kulihat tenda terpasang yang sengaja didirikan untuk memberi makan pengemis yang kelaparan. Tak ada anak-anak berlarian di lapangan. Betapa banyak permainan seperti gasing dan gundu yang raib bersama berlalunya waktu? Lebih aneh lagi, mengapa lapak-lapak di pasar jadi sepi kehilangan pembeli? Mal-mal tumbuh seperti jamur di musim penghujan Tapi kemudian mendadak senyap seperti kota mati. Murid-murid di sekolah tumbuh menjadi dewasa tanpa pernah mengerti bagaimana sesungguhnya uang bekerja. Padahal seribu tahun mereka tenggelam dalam layar yang penuh informasi itu. Lahir 'ceprot' dengan hape dalam genggaman. Surga bukan lagi tempat di mana kita membayangkan bidadari. Orang banyak berdebat tentang agama Tanpa tahu di mana sesungguhnya Tuhan berada. Langit semburat jingga, mengapa kini terlihat biasa-biasa saja? Dan seterusnya Dan seterusnya... Sampai kutemukan ternyata ke mana perginya orang-orang itu Konon katanya mereka terbang di bawa UFO ke sebuah planet yang berwarna biru. Dan demikianlah, kebohongan hadir sebagai realitas sehari-hari. Bukan untuk dipertanyakan Bukan untuk dibantah. November 2025
Tiron Rahmawan