“
Politik Identitas: Opera Tanpa Kepedulian
Kita hidup di zaman ketika suara rakyat hanyalah gema kosong yang dipakai untuk meramaikan panggung hiburan, lalu dilupakan begitu lampu kamera padam.
Politik telah berubah menjadi pasar malam, sebuah sandiwara: penuh warna, penuh janji, penuh tawa usang—tapi ketika siang datang, yang tersisa hanyalah bungkus kotoran sampah berserakan.
Identitas dijadikan komoditas, bukan lagi jati diri. Agama, suku, bahkan luka sejarah—semua bisa diperdagangkan.
Kita dipecah-belah, bukan untuk menguatkan, melainkan agar lebih mudah dikendalikan.
Di tengah-tengah hiruk-pikuk keramaian kota, orang berdemonstrasi membakar ban merusak pembatas jalan, pengemudi ojol tewas digilas roda gila tanpa perasaan.
Sementara itu, mata dari sebagian kita lebih sering menatap layar handphone daripada wajah sesama.
Kepedulian direduksi menjadi like dan komentar basa-basi; simpati tak lebih dari emoji menangis di media sosial.
Apakah ini pergeseran nilai, ataukah cermin lama yang baru saja kita sadari keberadaannya?
Bangsa yang terlalu lama dijajah, dikebiri, dibungkam.
Dan ketika akhirnya bisa bersuara,
Ia kemudian memilih berteriak saling caci—bukan merangkul, bukan mendengar.
Seperti kuda liar yang lepas kendali, kita berpacu kencang tanpa arah, hanya untuk menabrak seorang nenek tua yang menggandeng bocah di persimpangan jalan.
Ironi itu telanjang di depan mata:
Setiap hari kita dengar obrolan di warung kopi, orang bercakap tentang negeri ini dengan gelak tawa, nyengir tapi getir:
“Negeri Konoha,” begitu katanya—
sebuah olok-olok yang lebih populer dari semboyan resmi negara.
Di negeri ini, pejabat berdasi bebas menari di ruang sidang,
membagi proyek seperti kue ulang tahun yang dengan rakus mereka nikmati sendiri.
Inilah negeri para koruptor, negeri para selebritas bermuka dua yang menghisap darah rakyat sambil berkhutbah moralitas di televisi.
Kita hidup di tengah paradoks yang nyata-nyata menjijikkan—yang miskin disuruh tabah, kalangan menengah ditekan habis-habisan,
sementara yang kaya tersenyum gembira di tengah pesta sambil menepuk bahu kolega—
“Bertahanlah terus di atas, Kawan. rakyat tak akan sadar, selama kita beri mereka lebih banyak drama.”
Anak muda dijejali mimpi instan: menjadi kaya tanpa kerja, terkenal tanpa karya, berkuasa tanpa tanggung jawab.
Flexing jadi ideologi baru; mobil mewah dan tas bermerek lebih dihargai daripada kejujuran dan keberanian.
Dan kita pun bertanya dalam hati:
Apakah ini konspirasi yang diciptakan agar jarak semakin lebar?
Yang miskin tetap menunduk lapar, yang kelas menengah diperas hingga kehabisan napas, dan yang di atas terus berpesta pora dengan tawa penuh tegukan brandy dan separuh ilusi.
Seakan kepedulian adalah bantuan sosial yang hanya bisa dipamerkan saat kampanye, bukan dipraktikkan sehari-hari.
Namun, di sela semua absurditas itu,
masih ada hal-hal kecil yang menolak mati:
Seseorang yang diam-diam membagi nasi bungkus kepada para tetangga, seorang guru desa yang terus mengajar meski gajinya telat berbulan-bulan, seorang anak muda yang memilih menanam pohon daripada menanam kebencian.
Barangkali inilah yang tersisa dari kepedulian itu: kecil, lirih nyaris tak terdengar, tapi tetap menolak untuk padam.
Dan mungkin, harapan kita sebagai bangsa terletak pada bara kecil yang terus menyala—bukan pada gedung megah parlemen, bukan pada wajah keren yang terpampang di baliho,
melainkan pada kesediaan hati yang masih mau peduli, meski dunia terus berusaha mengajarkan kita untuk makin acuh tak acuh.
Hati yang terusik saat dipaksa kembali pada pertanyaan purba:
Apakah kepedulian bisa hidup di tengah hutan kepentingan?
Atau hanya tinggal sebagai dongeng usang,
yang kelak kita bacakan kepada anak cucu
tentang negeri yang konon pernah punya hati,
sebelum kemudian, ia digadaikan kepada para penjual janji?
Surabaya, September 2025
”
”