“
Membuka Ingatan
// Versi Dialektik-Gnostik Post Truth
Siapa sekarang yang bisa melarang kita membuka ingatan?
Bukan lagi seperti mengelupas kulit buah simalakama,
tetapi seperti membedah teks yang kita tahu
akan selalu mengkhianati niat pembacanya.
Sebab ingatan kita hari ini
bukan ruang suci sufistik
tempat ruh menyentuh cahaya primordial,
melainkan data center gelap
yang mengulang pertanyaan eksistensial
dengan latency yang tak pernah stabil.
Dulu para darwis berputar mencari Tuhan.
Kini kita berputar tak menentu
di antara notifikasi yang memaksa kita percaya
bahwa “makna” bisa diunduh,
bahwa “ketenangan” adalah fitur berlangganan,
bahwa kebenaran bisa diedit
seperti caption foto yang memalsukan cahaya.
Di tengah kekacauan itu
sebuah suara bertanya:
“Siapa yang menciptakan kenangan?”
Kita?
Atau algoritma yang mengurutkan fragmen hidup
berdasarkan apa yang paling lama kita tatap?
Sufi berkata:
cahaya berasal dari sumber yang tak berubah.
Camus menertawakannya:
segala absurditas lahir
karena kita terus menagih jawaban
pada alam yang bisu.
Sartre menyela:
kau bebas—dan itulah kutukanmu.
Derrida membongkar semuanya,
mengingatkan bahwa teks yang kita baca
selalu membocorkan diri dari dalam.
Lalu mana yang benar?
Kosmologi batin,
logika eksistensi,
atau kekacauan bahasa?
Tak ada yang menang.
Tak ada yang selesai.
Semua saling membatalkan.
Semua saling membuka retakan.
Saat kita membuka ingatan,
kita justru menemukan
bahwa ingatan itu sendiri
adalah arena perang epistemologi
yang berebut mendefinisikan diri kita.
Ingatan sufistik:
“kau berasal dari keabadian.”
Ingatan digital:
“kau hanyalah riwayat pencarian,
yang tersimpan dalam server cloud.”
Ingatan eksistensial:
“kau lahir dari keputusanmu untuk memilih,
bukan dari rahim metafisika.”
Ingatan post-truth:
“apa pun yang kau percayai
akan menjadi kebenaranmu,
selama kau cukup bising mengulangnya.”
Dan cinta—
ah, cinta bahkan tidak luput
dari pertarungan ini.
Sufi bilang cinta adalah jalan pulang ke diri.
Eksistensialis bilang cinta adalah pilihan absurd
yang kau pertahankan dengan disiplin.
Kecerdasan digital bilang cinta adalah pola
yang bisa diprediksi oleh perilaku klik-mu.
Post-truth bilang cinta hanyalah narasi
yang kau bangun demi merasionalisasi keinginan.
Siapa yang benar?
Mungkin tidak ada.
Mungkin semuanya.
Mungkin kebenaran adalah residu terakhir
yang tersisa setelah seluruh dusta
dan seluruh keyakinan bertabrakan
dan menyisakan abu.
Dan ketika ingatan itu akhirnya terbuka,
kita melihat sesuatu yang mengganggu:
bukan cahaya,
bukan kegelapan—
melainkan ruang kosong
yang menunggu kita mengisinya
dengan keberanian untuk mengakui
bahwa kita tak lagi mengerti apa itu “makna.”
Bahwa kita bukan makhluk beriman,
bukan makhluk berlogika,
bukan makhluk berpengetahuan,
tetapi makhluk yang terus bernegosiasi
di antara tiga keinginan dasar:
percaya, meragukan, menciptakan.
Dan dari situ,
kita belajar satu hal
yang menertawakan seluruh kosmologi lama:
membuka ingatan
adalah membuka kesempatan
untuk kehilangan kepastian.
Sebab kepastian adalah candu,
dan manusia—
di era ini—
tak membutuhkan kebenaran,
melainkan alasan untuk tetap bertahan dari cengkeraman ambigu.
2025
”
”