Tejo Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Tejo. Here they are! All 94 of them:

hidup itu seperti pergelarn wayang, dimana kamu menjadi dalang atas naskah semesta yang dituliskan oleh tuhan mu. #sujiwo tejo
Sujiwo Tejo
Jangan pergi agar dicari, jangan sengaja lari agar dikejar. Berjuang tak sebercanda itu.
Sujiwo Tejo
Intinya, bagimana sembahyang itu bisa mendorong seluruh hatimu untuk menolong orang lain. Itulah inti pergi ke masjid, gereja, wihara, kuil, dan sebagainya.
Sujiwo Tejo (Lupa Endonesa)
Tuhan kan nggak mungkin langsung sedekah ke orang-orang, ya kalianlah sedekah duit kalau punya duit, sedekah ilmu, sedekah senyum. Masa sih kalau sudah gitu Tuhan gak bales cintamu? Tapi gak mungkin dia belai-belai langsung rambutmu, sentuh bibirmu. Maka Tuhan ciptakan “wakil”nya, yaitu pacarmu. Maka doalah, “Tuhan, semoga pacarku ini betul-betul orang yang kau pilihkan untukku.
Sujiwo Tejo
naskah sutradara kita tahu di depan, naskah Tuhan kita tahu di belakang~
Sujiwo Tejo (Dalang Galau Ngetwit)
para pemeluk agama pasti marah jika tahu aku mengatakan hal itu, karena mereka hanya memeluk agama, cuma meluk jadi cenggur. beda dengan penyetubuh/pengencuk agama yang paham dengan agamanya hingga bisa klimaks dengan Tuhan. Met pacaran ma Tuhan Cuuk!!
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Bahwa menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu dapat berencana menikah dengan siapa, tapi tak bisa rencanakan cintamu untuk siapa... Bahwa yang membekas dari lilin bukan lelehnya, melainkan wajahmu sebelum gelap...
Sujiwo Tejo
Saya sering berharap moga-moga segala kebaikan yang kelak akan saya lakukan adalah kebaikan yang tanpa saya sengaja. Begitu, sehingga luputlah saya dari rasa sombong lantaran merasa sudah berjasa.
Sujiwo Tejo
Wong takon wosing dur angkoro.. Antarane riko aku iki--Titi Kolo Mongso
Sujiwo Tejo
Pada kancah Baratayuda Pada kancah perang besarmu hari ini Bisma, jiwa besar pada sekeping kaca Setiap saat Engkau berkaca Gugur --Gugur Bhisma--
Sujiwo Tejo
Jika kegagalan adalah sukses yang tertunda, berarti bisa kita harapkan kebohongan adalah jujur yang tertunda .... Mengapa kalian pesimistis?
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Bagaimana kebiasaan akan kita ubah kalau kebiasaan itu sendiri sering tak kita sadari?
Sujiwo Tejo
Kekasihku jangan bersedih tidurlah dan bermimpi, kenegeri kehamparan, kehampaan.. Kasih, Kenegeri Kehamparan, Kehampaan.. Tawa canda. Dan Biar kelak anak-anak mu kan percaya bualan Mu, jangan kau bersedih.....Pada Sebuah Ranjang
Sujiwo Tejo
Urakan berbeda dari kurang ajar. Urakan melanggar aturan termasuk aturan berfikir demi mengikuti hati nurani. Kurang ajar melanggar aturan hanya demi melanggar.
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Andai mereka, kaum jomblo itu, ber-Tuhan, masih lumayan. Mereka akan bilang bahwa jodoh itu di tangan Tuhan. Lha, yang atheis jodohnya di tangan siapa?
Sujiwo Tejo (Republik #Jancukers)
Karena hanya kebekuan yang susah memaafkan.
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Harusnya kesabaran itu seperti keinginan, tak ada batasnya. Yang bertapal batas cuma kebutuhanl
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
jangka waktu antara sanjungan dan umpatan demikian tipisnya. manusia bisa pagi memuja, lalu sorenya mendamprat dengan berbagai hujatan
Sujiwo Tejo (Rahvayana 2: Ada yang Tiada)
Bangsa Indonesia bangsa yang cepat nda ingat, walau Abraham Lincoln dan Bung Karno sudah mewanti-wanti jangan gampang lupa sejarah.
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Bagaimana kalau uang jajan lebih besar ketimbang uang makan?
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Minta maaf, dengan segenap konsekuensinya, harusnya mudah dilakukan oleh siapapun yang belum beku.
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Pas ditinju, refleks kita ngeles ke kiri atau ke kanan. Bagaimana kita akan mengubahnya dengan menunduk. Wong refleks itu kata para ahli gerakan tak sadar.
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Lantas, sekali lagi, bagaimana kita akan mengubah suatu kelaziman kalau yang lazin itu sendiri tak kita sadari?
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Orang hidup, termasuk saya, toh lebih sering memperhatikan wajah dan sifat-sifat orang lain ketimbang detail-detail selebihnya.
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Manusia hidup di zamannya. Sampeyan boleh saja hidup lama di luar negeri, tapi jangan sampai terlalu lama hidup di luar zaman.
Sujiwo Tejo (Republik #Jancukers)
Cinta itu takdir. Menikahi itu nasib. Kita bisa melawan nasib, tapi tidak takdir ... Hmmm ... Di dalam cinta, tidak ada yang salah. Ratu Kencono Wungu tak bisa disalahkan. Cinta itu ajaib. Datang dan perginya tak dapat kita rencanakan. Ratu tak salah jika selama masa penantian cintanya di luar rencana ternyata tumbuh ke Damarwulan.
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Ngawur karena benar" adalah jurus terakhir kita setelah mentok pada jurus-jurus lain yang konon sistematis, santun dan berbudi pekerti. Setelah kita endus bahwa di balik kedok tertata, sopan dab bertata krama itu ternyata adalah kepalsuan, ketika itulah ngawurisme bermula.
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Saya iri ke Menak Jinggo .... Hidup luntang lantung bagai gelandangan di bawah pohon tapi hatinya penuh cinta. Kami hidup enak di ruang AC, bergemilang duit, tapi cinta kami redup bahkan kering kerontang," ungkap seorang anggota dewan
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Bahkan dalam banyak kepercayaan dan agama, hal yang musikal dianggap lebih awal dan lebih akhir ketimbang teks kata-kata maupun rupa.
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Bisikan musikal diberikan kepada orang bahkan semasih ia janin, dan setelah di liang lahat.
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Ngawur karena benar" adalah jurus terakhir kita setelah mentok pada jurus-jurus lain yang konon sistematis, santun dan berbudi pekerti.
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Menjadi suami atau istri yang gagal kerap dinilai tak menjaga kehormatan keluarga besar.
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Ya kalau nggak bohong mana mungkin seorang lelaki bisa lompat sana lompat sini memadu kasih, bahkan ketika masih berhubungan perempuan-perempuan lain.
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Hidup di alam fana adalah hidup di alam sandiwara. Lebih baik sekalian merias yang sungguh-sungguh sandiwara ketimbang merias yang tampak bukan sandiwara padahal sandiwara juga ...
Sujiwo Tejo (Rahvayana 2: Ada yang Tiada)
Kamu pasti tahu dari buku-buku di perpustakaanmu bahwa orang kalau sudah beragama secara benar, menjadikan Tuhan sebagai kekasihnya, maka cintanya kepada kekasih di dunia ini hanya sekunder!!! Siang dan malam cuma ia ingin mencebur dalam Samudra Tuhan! Cintanya kepada sesama manusia cuma dalam rangka cintanya kepada Tuhan yang menciptakan manusia!
Sujiwo Tejo
Semakin tidak menyadari kondisinya, maka semakin buruk kondisi jiwanya - Nova Riyanti Yusuf
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Benar dan salah tentu ada. Tegakkanlah segitiga. Pada alas ada dua sudut, sudut benar dan sudut salah. Sinta, mari tarik lagi alas segitiga itu ke atas. Makin ke atas, sudut benar dan sudut salah itu semakin dekat. Di puncaknya, kedua sudut itu melenyap. Itulah titik Tuhan.
Sujiwo Tejo
¿Cuál es la diferencia que existe entre yo y estas pequeñas y humildes criaturas? La araña teje su tela, no puede hacer otra cosa. Yo tejo mi conciencia, esta charlatana compulsiva, esta voz vaga y errabunda que pronto enmudecerá. Pero todo es un sueño. La realidad es demasiado dura.
Iris Murdoch
Bukankah hanya pada saat mencemooh, putus asa, marah, dan sejenis itu kita menekankan suku kata terakhir pada kata-kata yang terdiri atas empat suku kata?
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Rama, sebetulnya kau mencintaiku atau mencintai dirimu sendiri sehingga kau begitu hirau dengan gosip rakyatmu bahwa aku sudah tak suci lagi setelah hidup bersama Rahwana?
Sujiwo Tejo (Rahvayana 2: Ada yang Tiada)
Hanuman tertarik pada Trijata lantaran Trijata memang lebih hangat ketimbang Sinta. Trijata lebih manusiawi. Sebagai kera, Hanuman rindu pada bau manusia. Hanuman tak mencium bau manusia pada Sinta. Baginya bau Sinta terlalu bau bidadari.
Sujiwo Tejo (Rahvayana: Aku Lala Padamu)
Lama-lama orang males romantis karena entar disebut galau. Males peduli takut disebut kepo. Males mendetail takut dibilang rempong. Males mengubah-ubah point of view dalam debat takut dibilang labil. Juga, lama-lama generasi mendatang males berpendapat takut dikira curhat.
Sujiwo Tejo (Dalang Galau Ngetwit)
Setiap peristiwa bukanlah awal, bukan pula akhir dari segalanya. Setiap peristiwa bisa merupakan pendahuluan atau akibat dari peristiwa lain.
Sujiwo Tejo (Tuhan Maha Asyik)
Kesenian yang baik biasanya merupakan biografi senimannya, biografi yang disamar-samarkan di sana sini.
Sujiwo Tejo (Rahvayana 2: Ada yang Tiada)
... toh jagat di luar dan jagat di dalam sama saja. Siapa yang mengenal Tuhan akan mengenal dirinya. Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhan.
Sujiwo Tejo (Rahvayana 2: Ada yang Tiada)
Cinta ternyata penjara dengan jeruji kasih sayang, maka kau kerap menangis tanpa merasa dibui.
Sujiwo Tejo (Talijiwo)
Cara paling sederhana untuk mensyukuri otak adalah meninggalkan penceramah kalau dia sudah mulai menyalah-nyalahkan agama lain.
Sujiwo Tejo (Talijiwo)
Ah, kau, rama, titisan dewa, Dewa bisa sempurna. Tapi, kau tak sempurna. Kau cuma manusia. Mengapa kau tak berbahagia menjadi manusia dengan segala ketidaksempurnaanmu seperti juga ketidaksempurnaanku..?
Sujiwo Tejo (Rahvayana 2: Ada yang Tiada)
Lagu kebangsaan pastilah bukan semacam sistem demokrasi yang bisa didatangkan dari luar dan harus bisa dipakai oleh seluruh daerah yang tanpa sejarah demokrasi, karena lagu kebangsaan bukan demokrasi yang rasional dan bisa dicapai dengan pembelajaran. Lagu kebangsaan adalah urusan emosional.
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
Jangan tanya besarnya seseorang dari anaknya sendiri. Di mata keluarganya seorang ayah pasti biasa-biasa saja. Mungkin malah kerdil...
Sujiwo Tejo (Rahvayana 2: Ada yang Tiada)
Jangan mencintaiku, mungkin aku tak mencintaimu. Jangan tak mencintaiku, mungkin aku mencintaimu.Dampingi saja jalanku, Kekasih. Dan kita sama-sama menjalani hidup.
Sujiwo Tejo (Tembang Tali Jiwo)
Bahwa menikah itu nasib, mencintai itu takdir, kau bisa berencana menikah dengan siapa, tapi tak bisa kau rencanajan cintamu untuk siapa.
Sujiwo Tejo (Talijiwo)
Segunung apa pun diamku merenung, tak mungkin aku sampai pada pemahaman mengapa aku mencintaimu.
Sujiwo Tejo (Talijiwo)
Gagal adalah cara manusia menamai hasil yang sesuai kehendak-Nya, tetapi tak sesuai kehendaknya.
Sujiwo Tejo (Talijiwo)
Outra vez te revejo - Lisboa e Tejo e tudo -, Transeunte inútil de ti e de mim, Estrangeiro aqui como em toda a parte, Casual na vida como na alma, Fantasma a errar em salas de recordações, Ao ruído dos ratos e das tábuas que rangem No castelo maldito de ter que viver...
Álvaro de Campos
Ini "Khotbah Minggu"-ku : Setiap Game Over dalam hidupmu perlu koin untuk berlanjut. Koin itu adalah jiwa pasrah.
Sujiwo Tejo (Dalang Galau Ngetwit)
Berkali-kali aku bilang, bangsa ini digoblokan dengan pendidikan matematika yang salah. Matematika cuma diajarkan sebagai hitung-hitungan. Bukan sebagai bahasa.
Sujiwo Tejo (Dalang Galau Ngetwit)
Cinta bukanlah seluruh kata-kata yang pernah ada, sebab rasaku padamu tak tentang kata.
Sujiwo Tejo (Talijiwo)
Banyaknorang pontang oanting mencari duit tanpa tahu alamat duit. Alamat duit adalah Tuhan. Jalan ke sananya cibta. Kendaraannya jiwa pasrah.
Sujiwo Tejo (Talijiwo)
Jalan menuju Tuhan sama dengan jalan menuju Roma, Rahwana. Pada akhirnya semua jalan akan menuju Roma. Demikian pula jalan menuju Tuhan. Ada yang melalui jalur filosofis, ada yang melalui jalur cinta. Ada yang reflektif, ada yang afektif. Ada yang religius, ada yang altruis...
Sujiwo Tejo (Rahvayana 2: Ada yang Tiada)
Why are we so easily swayed by facts forwarded by email? Why do so many Indians believe that the Taj Mahal was originally a temple called Tejo Mahalaya? Why do so many of us instantly believe and immediately proselytize that ‘India has never invaded any country in her last 1,000 years of history’ or that ‘The word “navigation” is derived from the Sanskrit navgath’ without even pausing to ask: ‘Is any of this actually true?
Sidin Vadukut (The Sceptical Patriot: Exploring the Truths Behind the Zero and Other Indian Glories)
Di negara Jancukers. Allahu Akbar nilainya tinggi, yaitu untuk mengusir penjajah Belanda dulu dan untuk mengusir Jepang. Tidak seperti di negara tetangga, Allahu Akbar dipakai untuk melawan orang makan di warung Tegal.
Sujiwo Tejo
Banyak umat beragama, menurut perempuan bermonolog itu, yang tak menyembah Tuhan, tapi terjebak menyembah nama Tuhan, bahkan tak enggan berperang lantaran saling berebut nama Tuhan. Mereka seperti para pandita di Hutan Dandaka yang memuja sosok pemuda tampan karena terpesona dan memuja namanya: Rama.
Sujiwo Tejo (Rahvayana 2: Ada yang Tiada)
Ini "Khotbah Minggu"-ku : Cinta itu penjara dengan kerangkeng kasih sayang, maka kamu sering menangis tanpa merasa dibui.
Sujiwo Tejo (Dalang Galau Ngetwit)
Dosa terbesar orang-orang yang kena operasi tangkap tangan KPK adalah mereka membuat kita semua merasa suci.
Sujiwo Tejo (Talijiwo)
Ada yang tidak bisa dijanjikan di kota besar, Kekasih: Kebahagiaan dan tempat parkir.
Sujiwo Tejo (Tembang Tali Jiwo)
Jika debat memang segala-galanya, manusia akan lebih suka menonton Messi berdebat dengan Ronaldo, bukan menonton mereka berkeringat dalam tindakan konkret di lapangan.
Sujiwo Tejo (Talijiwo)
Karena cinta bukan harga pas, Kekasih, tapi juga tak mengenal kembalian.
Sujiwo Tejo
ಧರ್ಮಾಧರ್ಮದ ಸಂಘರ್ಷಣೆ, ರಕ್ಷಣೆಗಳಲ್ಲಿ ಕೊನೆಗೂ ಸೊರಗುವುದು ಸಮಾಜದ ಸೌಂದರ್ಯವೆನ್ನುವುದು ಯಾರಿಗೂ ಸುಲಭಕ್ಕೆ ಅರ್ಥವಾಗುವುದಿಲ್ಲ.
Vasudhendra (ತೇಜೋ-ತುಂಗಭದ್ರಾ [tejo-tungabhadra])
Buih merenda gelombang, merajut gelora, memanik-maniki pasang-surut samudra bukan atas kehendaknya sendiri, Kekasih. Walau cuma buih, buih bergerak atas kehendak samudra. Ia telah menyatu samudra. Inilah kemanunggalan. Inilah esensi dari kewahidan wujud.
Sujiwo Tejo (Senandung Talijiwo)
y a los desechos humanos, aunque sean cualidades oscuras; si tejo en torno a ellos trágicas guirnaldas; si hasta el más triste, quizá el más abatido de todos se eleva a las cimas más altas; si toco el brazo de ese trabajador con un poco de luz etérea; si despliego un arco iris sobre su desolado crepúsculo; si hago todo eso, Tú, justo Espíritu de la Igualdad, confírmame en esa dignidad contra todos los críticos mortales: Tú, que has tendido sobre toda mi especie un manto real de humanidad. Confírmame en ella, Tú, gran Dios democrático que no rehusaste a Bunyan, el oscuro convicto, la pálida perla de la poesía; Tú, que cubriste con láminas del oro más fino dos veces batido el brazo manco y misérrimo del viejo Cervantes; Tú, que recogiste a Andrew Jackson de entre los guijarros, lo lanzaste en un corcel de guerra y lo subiste más alto que un trono. Tú, que en todos tus solemnes paseos por la tierra siempre eliges a tus mejores paladines entre el real común, ¡confírmame en ella, oh Dios!
Herman Melville (Moby Dick)
Cada día progresa el delirio con mayor profusión, se desborda. Un día le digo al niño: ¿Y si formamos una gran familia con mi marido y mi mujer, contigo también? Río con mi travesura. Me emociona vivir con un arado en una mano y una antorcha en la otra. Hago experimentos imaginarios con combinaciones peligrosas. Construyo una pequeña bomba. Le propongo jugar, entrar al poliamor, pero lo hago incumpliendo todas sus reglas. Y estos días a su lado se convierten en una sucesión de breves reflexiones sobre todo lo que no seremos, nuestra diferencia de edad, los límites de la distancia geográfica, lo sexy de la imposibilidad. Él es un recién llegado, mientras yo juego a qué sucedería si dejara por él todo lo que me ha costado años poner en pie. Como estar casado y pedirle matrimonio a alguien, que fue exactamente lo que hizo mi padre. Sé que no lo haré nunca. Que solo estoy esperando que sea real para él para quitarme la máscara y enseñarle la cámara escondida. Y aun así, sin convicción, tejo el vínculo defectuoso entre nosotros, tiro de la lana del ovillo, de la seda pegajosa, el mismo puente que suelo construir “entre mi subjetividad y el resto del mundo, para hacerlo lidiar también a él con mis inseguridades. Pobre, lo hago responsable de mí. Me paso horas mostrando incredulidad ante sus sentimientos imberbes, que no son exagerados y dolientes como los míos, y por eso me saben a poco. No cae en mi trampa. Peleamos mucho y eso me hace sentir más cerca, más comprometida. Jugamos a la fidelidad dentro de la infidelidad, como mi papá con su amante: «Si al volver lo haces con otro que no sea Jaime te jodes». Otra vez descubro cómo me enganchan del amor sus formas reconocibles, tóxicas. Juego a que es verdad, pero en realidad hay en este ejercicio más verdad sobre mí que juego. Una constatación aún más terrible. Y como en toda relación inesperada, hay un gran componente de narcisismo.
Gabriela Wiener (Huaco retrato)
Tejo a toda velocidad otra capa más a mi alrededor. Ya está. Vuelvo a estar protegida, segura.
Alice Kellen (El día que dejó de nevar en Alaska)
—Claro. Era lo que había que hacer. No puedo ponerme a tirarle los tejos a la chica de otro tío sin su conocimiento.
Elle Kennedy (The mistake (Off-campus, #2))
Tan presente en la escena citadina como fugaz. El amarillo semáforo trabaja en la misma codicia temporal de un raponazo, un madrazo, un frenazo, una mirada lasciva, una expulsión seminal, la mecha de tejo que estalla o el salto al bajar de un bus.
José Enrique Plata Manjarrés (Bogotono)
Nem deixarão meus versos esquecidos Aqueles que nos Reinos lá da Aurora Se fizeram por armas tão subidos, Vossa bandeira sempre vencedora: Um Pacheco fortíssimo e os temidos Almeidas, por quem sempre o Tejo chora, Albuquerque terríbil, Castro forte, E outros em quem poder não teve a morte.
Luís de Camões (Os Lusiadas)
No dia 16 de novembro, a esquadra inglesa apareceu na foz do rio Tejo, em território português, com uma força de 7 mil homens. Seu comandante, o almirante sir Sidney Smith, tinha duas ordens, aparentemente contraditórias. A primeira, e prioritária, era proteger o embarque da família real portuguesa e escoltá-la até o Brasil. A segunda, caso a primeira não acontecesse, era bombardear Lisboa.
Laurentino Gomes (1808 – Edição juvenil ilustrada (Portuguese Edition))
No: I want nothing. I’ve already said I want nothing. Don’t come to me with conclusions! The only conclusion is death. Don’t bring me aesthetics! Don’t speak to me of morals! Get out of here with metaphysics! Don’t trumpet complete systems, don’t line up conquests Of science (science, my God, science!) — Of the sciences, the arts, of modern civilization! What harm did I ever do all the gods? If they have the truth, let them keep it! I’m a technician, but I have technique only in technique. Beyond that I’m crazy, with every right to be so. With every right to be so, do you hear? Don’t bother me, for the love of God! Did they want me married, futile, quotidian and taxable? Did they want me the opposite of that, the opposite of anything? If I were another person, I would’ve done what they wanted. The way I am, give me a break! Go to hell without me, Or let me go alone! Why do we have to go together? Don’t take me by the arm! I don’t like being taken by the arm. I want to be alone. I just told you: I’m alone! Ah, what a nuisance, them wanting to keep me company! The blue sky — the same as in my childhood — Eternal truth, empty and perfect! O River Tejo, glassy, ancestral, mute, Small truth where the sky reflects itself! O sorrows revisited, Lisbon past and present! You give nothing, you take nothing, you’re nothing I feel. Leave me in peace! I’m not dallying, I never dally... And as long as the Abyss and Silence dally, I want to be alone!
Fernando Pessoa
LXXXIX Uma vez mais nessas ninfas podem ver, O porquê deste povo tão valoroso! Sua miséria e pobreza vão erguer, A espada desse Tejo glorioso, Que em suas águas guarda o nobre saber, Do segredo que o tornou famoso! Ergue-se o luso de peito já criado, Lançando seu desafio de punho cerrado!
José Braz Pereira da Cruz (Esta é a Ditosa Pátria Minha Amada)
Dice que el cuerpo humano no contiene nada más, ni nada menos, que los cinco elementos de la creación —agua (apa), fuego (tejo), viento (bayu), cielo (akasa) y tierra (pritmi)— y sólo hay que concentrarse en esta realidad durante la meditación para recibir la energía de todos estos elementos que nos mantendrán fuertes. Demostrando que tiene muy buen oído para las expresiones idiomáticas en inglés, me dice: «El microcosmos se convierte en el macrocosmos. Tú, el microcosmos, te conviertes en lo mismo que el universo, el macrocosmos».
Anonymous
The Tejo runs down from Spain And the Tejo goes into the sea in Portugal. Everybody knows that. But not many people know the river of my village And where it comes from And where it’s going. And so, because it belongs to less people, The river of my village is freer and greater.
Alberto Caeiro (The Keeper of Sheep)
É sob a máscara frenética de Alvaro de Campos, fundeado na barra do Tejo, «de costas para a Europa, braços erguidos fitando o Atlântico e saudando abstractamente o infinito» que o reservado, o tímido Fernando Pessoa enviará sumptuosa e vibrantemente “À merda” todo esse lixo imperial e imperialista.
Eduardo Lourenço (O Labirinto da Saudade: Psicanálise Mítica do Destino Português)
The Purānas, which are encyclopedic repositories of traditional wisdom, including everything from cosmology to philosophy to stories about kings and holy men. They contain many yogic legends and teachings. The following are especially important: the Bhāgavata-Purāna (also known as Shrīmad-Bhāgavata), Shiva-Purāna, and Devī-Bhāgavata-Purāna (a Tantric work). The so-called Yoga-Upanishads (some twenty texts), most of which were composed after 1000 C.E. and include three extensive works: the Darshana-Upanishad, Yoga-Shikhā-Upanishad and Tejo-Bindu-Upanishad. The texts of Hatha-Yoga, such as the Goraksha-Samhitā, Hatha-Yoga-Pradīpikā, Hatha-Ratna-Avalī, Gheranda-Samhitā, Shiva-Samhitā, Yoga-Yājnavalkya, Yoga-Bīja, Yoga-Shāstra of Dattātreya, Sat-Karma-Samgraha, and the Shiva-Svarodaya, which are all available in English. Vedāntic scriptures like the voluminous Yoga-Vāsishtha, which teaches Jnāna-Yoga, and its traditional abridgment, the Laghu-Yoga-Vāsishtha, both available in English renderings. The literature of the bhakti-mārga or devotional path, which is especially prominent among the Vaishnavas (worshipers of Vishnu) and Shaivas (worshipers of Shiva). There is a considerable literature on bhakti in both Sanskrit and Tamil, as well as various vernacular languages. In particular, I can recommend Nārada’s Bhakti-Sūtra, Shāndilya’s Bhakti-Sūtra, and the extensive Bhāgavata-Purāna, which is a detailed (mythological) account of the birth, life, and death of the God-man Krishna, with many wonderful and inspiring stories of yogins and ascetics. This beautiful work contains the Uddhāva-Gītā, Krishna’s final esoteric instruction to sage Uddhāva. Goddess worship from a Tantric viewpoint is the core of the Devī-Bhāgavata-Purāna, which should also be studied. In addition, sincere Yoga students should also read and ponder the great yogic texts associated with the different schools of Buddhism and Jainism. To encounter the world of Yoga through its literature will challenge the practitioner in many ways: The texts, even in translation and with notes, are often difficult to comprehend and demand serious concentration and perseverance. Yet we do not have to become scholars, but our study (svādhyāya) will show us what it takes to be a real yogin and what magnificent tools Yoga puts at our disposal. It will also further our self-understanding and strengthen our commitment to practice. In his Treasury of Good Advice (1.6), Sakya Pāndita, who was one of the great scholar-adepts of Vajrayāna Buddhism, wrote: Even if one were to die first thing tomorrow, today one must study. Although one may not become a sage in this life, knowledge is firmly accumulated for future lives, just as secured assets can be used later.
Georg Feuerstein (The Deeper Dimension of Yoga: Theory and Practice)
Sempre apreciara peixe fresco e marisco e esperava agora poder comê-los em Lisboa, trazidos diretamente das águas cintilantes do rio Tejo para um grelhador.
Madeline Martin (Uma Espia Americana em Lisboa)
Mungkin mencintai seseorang ibarat percaya kepada waktu, Kekasih. Mencintai orang lain bukan berarti tak mencintai diri sendiri. Setiap orang mengenakan jam bukan karena tak pecaya pada jam pasangannua.
Sujiwo Tejo (Tembang Tali Jiwo)
Perempuan hanya menuntut pengertian. Berilah pengertian saat ia tersakiti. Maka tak akan kapok dia melahirkan berkali-kali walau itu menyakitkan
Sujiwo Tejo (Tembang Tali Jiwo)
Tak usah sewot, Kekasih, perguruan tinggi memang cuma bisa meninggikan ilmu. Untuk meninggikan budi pekerti, mereka cuci tangan.
Sujiwo Tejo (Tembang Tali Jiwo)
Kekasih, cinta yang tak dilindungi rindu akan punah oleh ulah para pemburu
Sujiwo Tejo (Tembang Tali Jiwo)
— Estaba enseñándole a tu amigo todos los premios de patinaje y las fotos que tienes en tu dormitorio. — ¿Te importaría dejarnos solos? — Claro que no, mi niña. Todo tuyo. Me cae bien y tiene un buen trasero. — ¡Nana! — ¿Qué? Estoy vieja pero no ciega. Y un buen mozo es un buen mozo. Si tuviera cuarenta años menos, dejaría que me tirara los tejos.
Virginia S. McKenzie (Tan solo un segundo)
Quando se sente de mais, o Tejo é Atlântico sem número, e Cacilhas outro continente, ou até outro universo.
Fernando Pessoa (Livro do Desassossego (Portuguese Edition))
Debat itu soal kata. Kerja soal keringat. Mungkin debat ada sejak manusia mulai menuhankan kata-kata. Bahkan menyatakan cinta dalam perbuatan saja tak cukup. Kau masih harus mengatakannya.
Sujiwo Tejo (Talijiwo)
Qual o touro cioso, que se ensaia Pera a crua peleja, os cornos tenta No tronco dum carvalho ou alta faia E, o ar ferindo, as forças experimenta: Tal, antes que no seio de Cambaia Entre Francisco irado, na opulenta Cidade de Dabul a espada afia, Abaxando-lhe a túmida ousadia. E logo, entrando fero na enseada De Dio, ilustre em cercos e batalhas, Fará espalhar a fraca e grande armada De Calecu, que remos tem por malhas. A de Melique Iaz, acautelada, Cos pelouros que tu, Vulcano, espalhas, Fará ir ver o frio e fundo assento, Secreto leito do húmido elemento. Mas a de Mir Hocém, que, abalroando, A fúria esperará dos vingadores, Verá braços e pernas ir nadando Sem corpos, pelo mar, de seus senhores. Raios de fogo irão representando, No cego ardor, os bravos domadores. Quanto ali sentirão olhos e ouvidos É fumo, ferro, flamas e alaridos. Mas ah, que desta próspera vitória, Com que despois virá ao pátrio Tejo, Quási lhe roubará a famosa glória Um sucesso, que triste e negro vejo! O Cabo Tormentório, que a memória Cos ossos guardará, não terá pejo De tirar deste mundo aquele esprito, Que não tiraram toda a Índia e Egipto. Ali, Cafres selvagens poderão O que destros amigos não puderam; E rudos paus tostados sós farão O que arcos e pelouros não fizeram. Ocultos os juízos de Deus são; As gentes vãs, que não nos entenderam, Chamam-lhe fado mau, fortuna escura, Sendo só providência de Deus pura.
Luís de Camões (Os Lusiadas)
Mas eis outro (cantava) intitulado Vem com nome real e traz consigo O filho, que no mar será ilustrado, Tanto como qualquer Romano antigo. Ambos darão com braço forte, armado, A Quíloa fértil, áspero castigo, Fazendo nela Rei leal e humano, Deitado fora o pérfido tirano. Também farão Mombaça, que se arreia De casas sumptuosas e edifícios, Co ferro e fogo seu queimada e feia, Em pago dos passados malefícios. Despois, na costa da Índia, andando cheia De lenhos inimigos e artificios Contra os Lusos, com velas e com remos O mancebo Lourenço fará extremos. Das grandes naus do Samorim potente, Que encherão todo o mar, co a férrea pela, Que sai com trovão do cobre ardente, Fará pedaços leme, masto, vela. Despois, lançando arpéus ousadamente Na capitaina imiga, dentro nela Saltando o fará só com lança e espada De quatrocentos Mouros despejada. Mas de Deus a escondida providência (Que ela só sabe o bem de que se serve) O porá onde esforço nem prudência Poderá haver que a vida lhe reserve. Em Chaúl, onde em sangue e resistência O mar todo com fogo e ferro ferve, Lhe farão que com vida se não saia As armadas de Egipto e de Cambaia. Ali o poder de muitos inimigos (Que o grande esforço só com força rende), Os ventos que faltaram, e os perigos Do mar, que sobejaram, tudo o ofende. Aqui ressurjam todos os Antigos, A ver o nobre ardor que aqui se aprende: Outro Ceva verão, que, espedaçado, Não sabe ser rendido nem domado. Com toda ũa coxa fora, que em pedaços Lhe leva um cego tiro que passara, Se serve inda dos animosos braços E do grão coração que lhe ficara. Até que outro pelouro quebra os laços Com que co alma o corpo se liara: Ela, solta, voou da prisão fora Onde súbito se acha vencedora. Vai-te, alma, em paz, da guerra turbulenta, Na qual tu mereceste paz serena! Que o corpo, que em pedaços se apresenta, Quem o gerou, vingança já lhe ordena: Que eu ouço retumbar a grão tormenta, Que vem já dar a dura e eterna pena, De esperas, basiliscos e trabucos, A Cambaicos cruéis e Mamelucos. Eis vem o pai, com ânimo estupendo, Trazendo fúria e mágoa por antolhos, Com que o paterno amor lhe está movendo Fogo no coração, água nos olhos. A nobre ira lhe vinha prometendo Que o sangue fará dar pelos giolhos Nas inimigas naus; senti-lo-á o Nilo, Podê-lo-á o Indo ver e o Gange ouvi-lo. Qual o touro cioso, que se ensaia Pera a crua peleja, os cornos tenta No tronco dum carvalho ou alta faia E, o ar ferindo, as forças experimenta: Tal, antes que no seio de Cambaia Entre Francisco irado, na opulenta Cidade de Dabul a espada afia, Abaxando-lhe a túmida ousadia. E logo, entrando fero na enseada De Dio, ilustre em cercos e batalhas, Fará espalhar a fraca e grande armada De Calecu, que remos tem por malhas. A de Melique Iaz, acautelada, Cos pelouros que tu, Vulcano, espalhas, Fará ir ver o frio e fundo assento, Secreto leito do húmido elemento. Mas a de Mir Hocém, que, abalroando, A fúria esperará dos vingadores, Verá braços e pernas ir nadando Sem corpos, pelo mar, de seus senhores. Raios de fogo irão representando, No cego ardor, os bravos domadores. Quanto ali sentirão olhos e ouvidos É fumo, ferro, flamas e alaridos. Mas ah, que desta próspera vitória, Com que despois virá ao pátrio Tejo, Quási lhe roubará a famosa glória Um sucesso, que triste e negro vejo! O Cabo Tormentório, que a memória Cos ossos guardará, não terá pejo De tirar deste mundo aquele esprito, Que não tiraram toda a Índia e Egipto. Ali, Cafres selvagens poderão O que destros amigos não puderam; E rudos paus tostados sós farão O que arcos e pelouros não fizeram. Ocultos os juízos de Deus são; As gentes vãs, que não nos entenderam, Chamam-lhe fado mau, fortuna escura, Sendo só providência de Deus pura.
Luís de Camões (Os Lusiadas)
Mas já o Príncipe Afonso aparelhava O Lusitano exército ditoso, Contra o Mouro que as terras habitava De além do claro Tejo deleitoso; Já no campo de Ourique se assentava O arraial soberbo e belicoso, Defronte do inimigo Sarraceno, Posto que em força e gente tão pequeno, Em nenhũa outra cousa confiado, Senão no sumo Deus que o Céu regia, Que tão pouco era o povo bautizado, Que, pera um só, cem Mouros haveria. Julga qualquer juízo sossegado Por mais temeridade que ousadia Cometer um tamanho ajuntamento, Que pera um cavaleiro houvesse cento. Cinco Reis Mouros são os inimigos, Dos quais o principal Ismar se chama; Todos exprimentados nos perigos Da guerra, onde se alcança a ilustre fama. Seguem guerreiras damas seus amigos, Imitando a fermosa e forte Dama De quem tanto os Troianos se ajudaram, E as que o Termodonte já gostaram. A matutina luz, serena e fria, As Estrelas do Pólo já apartava, Quando na Cruz o Filho de Maria, Amostrando-se a Afonso, o animava. Ele, adorando Quem lhe aparecia, Na Fé todo inflamado assi gritava: – «Aos Infiéis, Senhor, aos Infiéis, E não a mi, que creio o que podeis!» Com tal milagre os ânimos da gente Portuguesa inflamados, levantavam Por seu Rei natural este excelente Príncipe, que do peito tanto amavam; E diante do exército potente Dos imigos, gritando, o céu tocavam, Dizendo em alta voz: – «Real, real, Por Afonso, alto Rei de Portugal!» Qual cos gritos e vozes incitado, Pela montanha, o rábido moloso Contra o touro remete, que fiado Na força está do corno temeroso; Ora pega na orelha, ora no lado, Latindo mais ligeiro que forçoso, Até que enfim, rompendo-lhe a garganta, Do bravo a força horrenda se quebranta Tal do Rei novo o estâmago acendido Por Deus e polo povo juntamente, O Bárbaro comete, apercebido Co animoso exército rompente. Levantam nisto os Perros o alarido Dos gritos; tocam a arma, ferve a gente, As lanças e arcos tomam, tubas soam, Instrumentos de guerra tudo atroam! Bem como quando a flama, que ateada Foi nos áridos campos (assoprando O sibilante Bóreas), animada Co vento, o seco mato vai queimando; A pastoral companha, que deitada Co doce sono estava, despertando Ao estridor do fogo que se ateia, Recolhe o fato e foge pera a aldeia Destarte o Mouro, atónito e torvado, Toma sem tento as armas mui depressa; Não foge, mas espera confiado, E o ginete belígero arremessa. O Português o encontra denodado, Pelos peitos as lanças lhe atravessa; Uns caem meios mortos e outros vão A ajuda convocando do Alcorão. Ali se vêm encontros temerosos, Pera se desfazer ũa alta serra, E os animais correndo furiosos Que Neptuno amostrou, ferindo a terra; Golpes se dão medonhos e forçosos; Por toda a parte andava acesa a guerra; Mas o de Luso arnês, couraça e malha, Rompe, corta, desfaz, abola e talha. Cabeças pelo campo vão saltando, Braços, pernas, sem dono e sem sentido, E doutros as entranhas palpitando, Pálida a cor, o cesto amortecido. Já perde o campo o exército nefando; Correm rios do sangue desparzido, Com que também do campo a cor se perde, Tornado carmesi, de branco e verde. Já fica vencedor o Lusitano, Recolhendo os troféus e presa rica; Desbaratado e roto o Mauro Hispano, Três dias o grão Rei no campo fica. Aqui pinta no branco escudo ufano, Que agora esta vitória certifica, Cinco escudos azuis esclarecidos, Em sinal destes cinco Reis vencidos. E nestes cinco escudos pinta os trinta Dinheiros por que Deus fora vendido, Escrevendo a memória, em vária tinta, Daquele de Quem foi favorecido. Em cada um dos cinco, cinco pinta, Porque assi fica o número cumprido, Contando duas vezes o do meio, Dos cinco azuis que em cruz pintando veio.
Luís de Camões (Os Lusiadas)