Sukarno Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Sukarno. Here they are! All 66 of them:

Learning without thinking is useless, but thinking without learning is very dangerous!
Sukarno (Dibawah Bendera Revolusi : Jilid 1)
Apabila dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun
Sukarno
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.
Sukarno
Nasionalis yang sedjati, jang nasionalismenya itu bukan timbul semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme barat akan tetapi timbul dari rasa tjinta akan manusia dan kemanusiaan
Sukarno (Dibawah Bendera Revolusi : Jilid 1)
Insinyur (Sarjana) yang bekerja pada orang lain itu (masuk dalam golongan) proletar. Karena ia menjual tenaganya (kepada orang lain) dan alat alat produksi yang dia gunakan untuk bekerja bukan menjadi hak miliknya.
Sukarno (Dibawah Bendera Revolusi : Jilid 1)
Kalau perempuan itu baik, maka jayalah negara. Tetapi kalau perempuan itu buruk, maka runtuhlah negara
Sukarno
Kalau aku memarahimu, itu berarti aku mencintaimu. Aku melampiaskan marahku kepada orang-orang terdekat dan paling kusayangi. Ibaratnya merekalah papan peredam suaraku.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Jangan bikin kepalamu menjadi perpustakaan. Pergunakan pengetahuanmu untuk diamalkan - Swarni Vivekananda
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Sebuah otobiografi tak berbeda dengan pembedahan mental. Sangat sakit. Melepas plester pembalut luka-luka dari ingatan seseorang dan membuka luka-luka itu, banyak diantaranya yang mulai sembuh terasa perih.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Nasionalisme itu jalah suatu itikad; suatu keinsyafan rakjat bahwa rakjat itu ada satu golongan, satu "bangsa"!
Sukarno (Dibawah Bendera Revolusi : Jilid 1)
Jang mendatangkan pemberontakan-pemberontakan itu biasanja bagian-bagian jang terketjil, dan bagian-bagian jang terketjil sekali.
Sukarno (Dibawah Bendera Revolusi : Jilid 1)
Bangsa itu adalah suatu persatuan perangai jang terdjadi dari persatuan hal-ichwal jang telah didjalani oleh rakjat itu.
Sukarno (Dibawah Bendera Revolusi : Jilid 1)
Sukarno seorang diri, Gandhi seorang diri, bahkan para nabi seperti Isa dan Muhammad pun seorang diri. Para bijak seperti Lao Tze dan Siddharta juga seorang diri. Namun, merekalah yang mengubah dan membuat sejarah.
Anand Krishna (Indonesia Under Attack! Membangkitkan Kembali Jati Diri Bangsa)
In 1965 the Indonesian military—advised, equipped, trained, and financed by the U.S. military and the CIA—overthrew President Achmed Sukarno and eradicated the Indonesian Communist Party and its various allies, killing half a million people (some estimates are as high as a million) in what was the greatest act of political mass murder since the Holocaust.
Michael Parenti (Contrary Notions: The Michael Parenti Reader)
...orang Bali mempunjai kepertjajaan... kalau gunung Agung meletus ini berarti bahwa rakjat telah melakukan maksiat.
Sukarno (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Bukankah hubungan internasional itu adalah hubungan antar manusia dalam skala yang lebih besar?
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Jang pertama-tama menjebabkan kolonisasi jalah selamanja kekurangan bekal-hidup dalam tanah-airnja sendiri, begitulah Dietrich Schafer berkata. Kekurangan rezeki, itulah jang mendjadi sebab rakjat-rakjat itu mendjajag negeri-negeri, dimana mereka bisa mendapat rezeki itu. Itulah pula jang membikin "ontvoogding"-nja negeri-negeri djadjahan oleh negeri-negeri jang mendjadjahnja itu, sebagai suatu barang jang sukar dipertjajainja. Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul-nasinja, djika pelepasan bakul itu mendatangkan matinja!
Sukarno (Dibawah Bendera Revolusi : Jilid 1)
Aku boleh saja dianggap tukang bercinta, tetapi aku bukanlah pembunuh seorang gadis remaja.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Sarinah mengajarku untuk mencintai rakyat. Rakyat kecil.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Maaf, Bapak-Bapak. Aku adalah pemberontak dan akan selalu memberontak. Aku tidak mau didikte di hari pernikahanku.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Dalam tahun 1882 Ernest Renan telah membuka pendapatnja tentang faham "bangsa" itu. "Bangsa" itu menurut pudjangga ini ada suatu njawa, suatu azas-akal, jang terdjadi dari dua hal: pertama-tama rakjat itu dulunja harus bersama-sama mendjalani suatu riwayat; kedua rakjat itu sekarang harus mempunjai kemauan, keinginan hidup mendjadi satu. Bukannja djenis (ras), bukannja pula batas-batas negeri jang mendjadikan "bangsa" itu.
Sukarno (Dibawah Bendera Revolusi : Jilid 1)
Bahwa jang menjebabkan kolonisasi itu bukanlah keinginan pada kemasjhuran, bukan keinginan melihat dunia-asing, bukan keinginan merdeka, dan bukan pula oleh karena negeri rakjat jang mendjalankan kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banjaknja penduduk, sebagai jang telah diadjarkan oleh Gustav Klemm, akan tetapi asalnja kolonisasi ijalah teristimewa soal rezeki.
Sukarno (Dibawah Bendera Revolusi : Jilid 1)
Bagaimana aku bisa mengetahui apa yang akan terjadi terhadap diriku? Siapa yang dapat menceritakan bagaimana kehidupanku di masa depan? Itulah sebabnya aku selalu menolak hal ini, karena aku yakin bahwa buruk-baiknya kehidupan seseorang hanya dapat dinilai setelah dia mati.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Aku telah memperhatikan, kalau engkau membelah dada seseorang (laki-laki) termasuk aku sendiri maka akan terbatja dalam dadanja itu bahwa kebahagiaan dalam perkawinan baru akan tertjapai apabila si isteri merupakan perpaduan dari pada seorang ibu, kekasih dan seorang kawan. Aku ingin di ibui oleh teman hidupku. Kalau aku pilek, aku ingin dipidjitnja. Kalau aku lapar, aku ingin memakan makanan jang dimasaknja sendiri. Manakala badjuku kojak, aku ingin isteriku menambalnja.
Sukarno (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Anda tidak bisa menemui semua orang di seluruh dunia secara pribadi, tetapi Anda bisa menemui mereka lewat halaman-halaman buku. Anda adalah ahli pidato terbesar setelah William Jennings Bryan. Anda menawan hati jutaan pendengar di lapangan terbuka. Mengapa tidak berusaha mencapai jumlah pendengar yang lebih besar lagi?
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Lebih oenting dari bahasa kata-kata yang tertulis adalah bahasa yang keluar dari lubuk hati.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Aku ini bukan apa-apa tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku oenyambung lidah rakyat.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Karno, di atas segalanya engkau harus mencintai ibumu. Tapi berikutnya engkau harus mencintai rakyat kecil. Engkau harus mencintai umat manusia.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Makahan waktu itu nasibku adalah untuk menaklukkan, bukan untuk ditaklukkan.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Aku pergi tidur dengan pikiran untuk merdeka. Aku bangun dengan pikiran untuk merdeka. Dan aku akan mati dengan cita-cita ini di dalam dadaku.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Itulah sebabnya mengapa persoalan-persoalan Asia harus diselesaikan dengan cara Asia.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Tuan-Tuan, aku tidak ingin disebut seorang veteran. Sampai masuk ke liang kubur aku ingin menjadi pejuang ubtuk Republik Indonesia - Dr. Douwes Dekker
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Semboyan negeri kami adalah Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Begini. Sebuah otobiografi tidak ada nilainya, kecuali jika si penulis merasa kehidupannya tidak berguna. Kalau dia memganggap dirinya orang besar, karyanya akan menjadi subjektif. Tidak objektif. Otobiografiku hanya mungkin jika ada keseimbangan antara keduanya. Sekian banyak yang baik-baik supaya dapat mengurangi egoku dan sekian banyak yang jelek-jelek sehingga orang mau membeli buku itu. Kalau dimasukkan yang baik-baik saja, orang akan menyebutku egois, karena memuji diri sendiri. Sebaliknya memasukkan yang jelek-jelek saja akan menimbulkan suasana mental yang buruk bagi rakyatku sendiri. Hanya setelah mati dunia ini dapat menimbang dengan jujur, apakah Sukarno manusia yang baik ataukah manusia yang buruk? Hanya di saat itulah dia baru dapat diadili.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Seorang diktaktor memiliki suatu partai di belakangnya yang selalu siap mengambil kekuasaan. Sukarno tidak punya. Sukarno tidak memiliki organisasi yang mendukungnya. Seorang diktaktor memerintah dari tahtanya. Soekarno tidak berada di tengah rakyat. Sukarno adalah rakyat. Tidak, kawan, aku bukan Hitler. Jika benar bahwa seorang pemimpin yang dikaruniai daya tarik dan wibawa untuk menggerakkan orang banyak itu seorang diktaktor, biarlah dikatakan aku seorang diktaktor yang berbuat kebajikan.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Sekalipun dililit oleh rumput-rumput kemelaratan, bunga-bunga kasih sayang tetap mengelilingiku. Aku akhirnya menyadari bahwa kasih sayang menghapus segala yang buruk. Hasrat untuk mencintai telah menjadi salah satu kekuatan pendorong dalam hidupku.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Aku ingin melihat kehidupan. Aku milik rakyat. Aku harus melihat mereka, aku harus mendengarkan mereka, dan bersentuhan dengan mereka. Aku merasa bahagia kalau berada di tengah mereka. Bagiku mereka adalah roti kehidupan. Aku membutuhkan massa rakyat.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Tetap wartawan-wartawan terus saja menulis bahwa aku ini seorang 'budak Moskow'. Baiklah kujelaskan sekali lagi dan untuk terakhir kali. Aku bukan, tidak pernah dan tidak mungkin menjadi seorang komunis. Aku membungkukkan diri ke Moskow? Setiap orang yang pernah dekat dengan Sukarno mengetahui, dia memiliki ego yang terlalu besar untuk bisa menjadi budak dari seseorang, kecuali budak dari rakyatnya. Aku memiliki ego. Itu kuakui. Tapi apakah seorang yang tanpa ego bisa mempersatukan 10.000 pulau menjadi satu bangsa. Dan aku memang tinggi hati. Siapa pula yang tidak demikian? Bukankah setiap orang ingin mendapat pujian?
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
In the same years that Benny was in Kansas, life for Indonesians of Chinese descent like him got increasingly difficult back home. They had long suffered from intermittent explosions of racism, but as lines in the sand were drawn and redrawn under Sukarno’s Guided Democracy, there seemed to be less and less space for them. The first major blow was a 1959 law, passed just as Benny was heading to Kansas, that took some economic rights away from foreign nationals. In practice, this included the country’s large ethnic Chinese population. It was not Sukarno who pushed for this—it was the military—but he let the racist law, a deviation from Indonesia’s foundational values, pass. The Army also organized violent anti-Chinese riots—for which it did not seek Sukarno’s approval. The military used US funds to plot these pogroms.1 The situation was terrifying
Vincent Bevins (The Jakarta Method: Washington's Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program that Shaped Our World)
Sering kali aku duduk di beranda Istana Merdeka, seorang diri. Beranda itu tidak begitu bagus. Separuh tertutup awning untuk mengurangi panas dan sinar matahari, satu-satunya perabotannya adalah kursi rotan tanpa kain pelapis yang tidak dicat dan meja bertaplak kain batik bikinan negeriku. Satu-satunya hak khusus yang diberikan padaku karena jabatanku yang tinggi adalah sebuah kursi dengan bantal di atasnya. Itulah yang disebut dengan "Kursi Presiden". Dan aku duduk di sana. Dan menatap. Dan memandang keluar ke taman indah dan menyegarkan, yang tanamannya kuatur dengan tanganku sendiri. Dan aku merasa sangat kesepian. Aku ingin berbaur dengan rakyat. Itulah yanh menjadi sifatku. Tetapi sekarang aku tidak dapat lagi berbuat demikian. Sering aku merasa tercekik, napasku mau berhenti, apabila aku tidak bisa pergi keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Bila kawan-kawan menhingatkan aku untuk beristirahat atau pensiun untuk memelihara diriku, aku menjawab "Pensiun? Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menjalani sisa hidupku dalam keadaan damai dan bebas dari ketakutan akan pembunuhan. Tidak. Aku harus bekerja untuk bamgsaku sampai tarikan nafas terakhirku." Selain itu, kemana aku pergi? Aku tidak memiliki rumah sendiei. Tidak ada tanah. Tidak ada tabungan. Lebih dari sekali aku tidak mempunyai sisa uang untuk pengeluaran rumah tanggaku. Di sebuah negara, Duta Besar kami terpaksa membeli piyama untukku. Satu-satunya piyama presiden sudah sobek. Negara menyediakan tempat tinggal dengan cuma-cuma, bebas pemakaian listrik, empat buah mobil resmi dan tiga di garasi untuk tamu negara, BUKAN 15 mobil pribadi seperti diberitakan oleh sebuah majalah luar negeri, dan mereka membelikan pakaian seragamku. Tetapi akulah satu-satunya presiden di dunia yang tidak punya rumah sendiri. Baru-baru ini rakyatku menggalang dana untuk membangun sebuah gedung buatku, tapi di hati berikutnya aku melarangnya, ini bertentangan dengan pendirianku. Aku tidak mau mengambil sesuatu dari rakyatku. Aku justru ingin memberi mereka.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Jones, along with the US military attaché in Indonesia, took Subandrio’s advice. He emphasized to Washington that the United States should support the Indonesian military as a more effective, long-term anticommunist strategy. The country of Indonesia couldn’t be simply broken into pieces to slow down the advance of global socialism, so this was a way that the US could work within existing conditions. This strategic shift would begin soon, and would prove very fruitful. But behind the scenes, the CIA boys dreamed up wild schemes. On the softer side, a CIA front called the Congress for Cultural Freedom, which funded literary magazines and fine arts around the world, published and distributed books in Indonesia, such as George Orwell’s Animal Farm and the famous anticommunist collection The God That Failed.33 And the CIA discussed simply murdering Sukarno. The Agency went so far as to identify the “asset” who would kill him, according to Richard M. Bissell, Wisner’s successor as deputy director for plans.34 Instead, the CIA hired pornographic actors, including a very rough Sukarno look-alike, and produced an adult film in a bizarre attempt to destroy his reputation. The Agency boys knew that Sukarno routinely engaged in extramarital affairs. But everyone in Indonesia also knew it. Indonesian elites didn’t shy away from Sukarno’s activities the way the Washington press corps protected philanderers like JFK. Some of Sukarno’s supporters viewed his promiscuity as a sign of his power and masculinity. Others, like Sumiyati and members of the Gerwani Women’s Movement, viewed it as an embarrassing defect. But the CIA thought this was their big chance to expose him. So they got a Hollywood film crew together.35 They wanted to spread the rumor that Sukarno had slept with a beautiful blond flight attendant who worked for the KGB, and was therefore both immoral and compromised. To play the president, the filmmakers (that is, Bing Crosby and his brother Larry) hired a “Hispanic-looking” actor, and put him in heavy makeup to make him look a little more Indonesian. They also wanted him bald, since exposing Sukarno—who always wore a hat—as such might further embarrass him. The idea was to destroy the genuine affection that young Sakono, and Francisca, and millions of other Indonesians, felt for the Founding Father of their country. The thing was never released—not because this was immoral or a bad idea, but because the team couldn’t put together a convincing enough film.36
Vincent Bevins (The Jakarta Method: Washington's Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program that Shaped Our World)
When the KGB tried to blackmail the Indonesian President, Achmed Sukarno, with videotapes of the president having sex with Russian women disguised as flight attendants, Sukarno wasn't upset. He was pleased, in fact, he was so pleased that he even asked for more copies of the video to show back in his country.
Jake Jacobs (The Giant Book Of Strange Facts (The Big Book Of Facts 15))
Negara Republik Indonesia tidak mungkin memerangi dirinya sendiri. Pilih satu di antara dua, Sukarno-Hatta atau partai komunis yang membentuk pemerintahan Sovyet di bawah Alimin dan Muso. Dengan rahmad Tuhan Yang Maha Esa, Sukarno akan memimpin rakyat menuju Indonesia Merdeka yang tidak tunduk kepada negeri manapun juga.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Indonesia harus menguasai kesadaran diri dan rasa rendah diri. Ia membutuhkan rasa percaya diri. Itulah yang harus kuberikan kepada rakyatku sebelum aku meninggalkan mereka. Saat ini Sukarno lah yang menjadi faktor pemersatu di Indonesia. Setelah kepergianku, satu-satunya perekat yang mempersatukan seluruh kepulauan adalah Kebanggaan Nasional mereka.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Sudah merupakan suratan nasib Sukarno, untuk menyusun pergerakan yang membuat dia masuk penjara, lalu dibuang, tapi kemudian dia akan membebaskan kita semua. Sukarno bukan lagi milik orangtuanya. Karno sudah menjadi milik rakyat Indonesia. Kami harus menerima kenyataan ini - Ibu
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Cara paling mudah untuk mendekati rakyat adalah mendekati Sukarno - Sakaguchi
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Dengan setiap rambut di tubuhku, aku hanya memikirkan tanah airku. Dan tidak ada perlunya bagiku melepaskan beban dari dalam hatiku kepada setiap pemuda yang datang kemari. Aku telah mengorbankan hidupku untuk tanah ini. Tidak jadi soal kalau ada yang menyebutku kolaborator, karena aku tidak perlu membuktikan kepada mereka atau kepada dunia apa yang telah kulakukan. Halaman-halaman dari Revolusi Indonesia akan ditulis dengan darah Sukarno. Sejarahlah yang akan membersihkan namaku.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Ketika aku masuk penjara, aku akan menghadapinya dengan tabah. Kalau memang nasibku harus menghadapi penderitaan, biarkanlah. Bukankah lebih baik Sukarno menderita untuk sementara daripada Indonesia menderita untuk selama-lamanya?
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Biarkan mereka melaporkan, Sukarno tidak hanya bicara dengan mulut, tapi juga bicara dengan meriam dan sudah siap perang.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Dalam masalah pribadi maupun politik, aku sering menimbulkan teka-teki pada orang lain. Biasanya para presiden duduk bersandar dan menunggu untuk dilayani. Sukarno tidak. Aku baru merasa bahagia kalau orang yang berada disekitarku merasa bahagia.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Bila satu negara baru lahir dan orang-orang yang sebelumnya tidak pernah punya apa-apa itu ditempatkan pada jabatan yang "basah", terdapatlah salah urus dan korupsi, bahkan pada kalangan atas. Baru-baru ini aku mengeluarkan ancaman hukuman mati untuk pengacau ekonomi. Seorang pemilik penggilingan padi membuat harga beras membumbung tinggi dengan menimbun enam ribu ton. Bila dia nanti ternyata bersalah, aku sendiri yang akan menandatangani perintah hukuman mati terhadapnya. Banyak dari para pengusaha kami menyimpan hartanya di bank luar negeri. Aku tahu hal itu. Tetapi selagi mereka bekerja membantu kami, bukan menentang kami, hak milik perorangan tidak akan dihapus sebagaimana di sejumlah negara sosialis lain. Sukarno dengan gembira membolehkan warga negaranya kaya. Beberapa orang kawanku sendiri adalah kapitalis-sosialis. Tetapi hal itu harus dibatasi. Mereka yang menghisap kekayaan negara dan menjadi patriot apabila sakunya berisi, akan ditembak mati. Undang-undang kami sekarang harus tegas, atau ekonomi kami tidak pernah beres. Di negara Barat kehidupan sangat menyenangkan. Orang bisa membeli gula, dasi bagus, barang-barang mewah seperti lipstik dan krim wajah. Di Timur terjadi kekurangan yang serius. Di negara-negara kapitalis orang dapat bergerak bebas. Di negara-negara sosialis apa yang disebut kebebasan tidak ada. Bahkan kelaparan masih sering terjadi. Ada pembatasan di setiap bidang, ini bukan karena sistem kami yang salah, melainkan karena kami masih dalam proses mewujudkan cita-cita. Menderita akan membuat kuat. Aku tidak menghendaki rakyatku menderita, tetapi kalau semua diperoleh dengan mudah, mereka pikir Bung Karno adalah Sinterklas. Mereka akan duduk saja menunggu Sukarno mengerjakan semua untuk mereka. Mungkin kalau aku memiliki kemampuan untuk memberikan kesenangan, aku tidak akan menjadi pemimpin yang baik. Aku harus memberi rakyatku makanan untuk jiwanya bukan hanya untuk perutnya. Seandainya aku memakai semua uang untuk membeli beras, mungkin aku akan dapat mengatasi kelaparan mereka. Tapi bila aku memiliki uang 5 dollar, aku akan mengeluarkan 2.50 dollar untuk membuat mereka kuat. Membesarkan suatu bangsa merupakan pekerjaan kompleks. Semangat suatu bangsa yang pernah tertindas tidak boleh disia-siakan. Di Kalimantan Barat sungainya tidak dapat di lewati, perhubungan tidak mungkin diadakan. Sebagian besar bahan makanannya diimpor. Ketika aku pertamakali berkunjung ke sana, tahukah engkau apa yang sangat mereka inginkan? Bukan bantuan teknis. Bukan pembangunan pertanian. Tapi sebuah fakultas hukum! Dan begitulah sekarang telah berdiri sebuah universitas di tengah-tengah rimb raya Kalimantan. Manusia tidak hanya hidup untuk makan. Meski gang-gang di Jakarta penuh lumpur dan jalanan masih kurang, aku memutuskan membangun gedung-gedung bertingkat, jembatan berbentuk daun semanggu, dan sebuah jalan raya "superhighway", Jakarta Bypass. Aku juga menamai kembali jalan-jalan dengan nama para pahlawan kami. Jalan Diponegoro, Jalan Thamrin, Jalan Cokroaminoto. Aku menganggao pengeluaran uang untuk simbol-simbol penting seperti itu tidak akan sia-sia. Aku harus membuat bangsa Indonesia bangga terhadap diri mereka. Mereka sudah terlalu lama kehilangan harga diri. Banyak orang memiliki wawasan picik dengan mentalitas warung kelontong menghitung-hitung pengeluaran itu dan menuduhku menghambur-hamburkan uang rakyat. Ini semua bukankah untuk keagunganku, tapi agar seluruh bangsaku dihargai seluruh dunia. Seluruh negeriku membeku ketia Asian Games 1962 akan diselenggarakan di ibukotanya. Kami lalu mendirikan stadion dengan atap melingkar yang tak ada duanya di dunia. Kota-kota di mancanegara memiliki stadion yang lebih besar, tetapi tak ada yang memiliki atap melingkar. Ya, memberantas kelaparan memang penting, tetapi memberi jiwa mereka yang telah tertindas dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan ini juga penting.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Sukarno adalah seorang individualis. Manusia yang angkuh dengan ego yang membakar-bakar, yang mengaku bahwa ia mencintai dirinya sendiri, tidak mungkin menjadi pengikut pihak lain. Sukarno tidak mungkin tunduk pada dominasi kekuasaan lain manapun. Dia tidak mungkin menjadi boneka.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Sukarno adalah seorang satria. Pejuang seperti satria boleh saja tersungkur, tapi dia akan bangkit kembali. Waktunya tidak lama lagi.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Menghukum Sukarno berarti menghukum seluruh pergerakan.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Bahkan mereka yang menentang politik Bung Karno mengakui, bahwa hanya Sukarno-lah yang dapat menyelamatkan Indonesia.
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
New global financial system Precisely for that same reason in August of 2011, Neil Keenan set up a meeting attended by a group of finance representatives from 57 different nations that came together off the coast of Monaco to discuss the foundation of a new global financial system, as a way of bringing down these Khazarians with their Central Banking and NWO-plans. Countries attending included Russia, China, Switzerland, The Netherlands, Brazil, Venezuela and many others, including various large power players; such as the ‘white hat’ faction (non-NWO) from The Pentagon and CIA. The East has most of the world’s gold and the documentation to legally bring down the corrupt institutions that have been illegally using the global collateral accounts. This ‘alliance’ decided to begin creating the new gold and asset-backed financial system. With this meeting heralded as the “shot heard around the world” for those “in the know”, several other nations joined later and have signed the Memorandum of Acknowledgment of this Agreement, which brought the alliance to a total of 182 participating countries. The Alliance Now, it should be clear that indeed there is a growing ‘alliance’ that is taking down the fraudulent banking cabal. Neil Keenan is about to open the global collateral accounts, which indeed is what all of the financial and political happenings on this planet have been about along– that is, ensuring complete control and the attempt to maintain secrecy over the global collateral accounts. Neil Keenan is about to do what JFK and Sukarno were close to accomplishing in 1963: the release of the global collateral accounts to completely transform the world for the better. The collateral gold assets lent to Kennedy, would have allowed him to use these assets /accounts to issue America’s own gold-backed currency ‘Treasury Notes,” that would have allowed America to break away from the false US Corporation and Federal Reserve - crime cartel - and further dismantle the rogue FBI, CIA agencies. If Kennedy and Sukarno had been successful, America would have been freed from the debt-based bondage system and the secret, Deep State government in 1963. This would also have freed the G20 nations that were being controlled by their respective central banking systems. And it also would have cancelled the unfair Bretton Woods Agreement.
Peter B. Mayer (THE GREAT AWAKENING (PART TWO): AN ENLIGHTENING ANALYSIS ABOUT WHAT IS WRONG IN OUR SOCIETY)
Assassination of John F. Kennedy Neil recalls that when John F. Kennedy returned home from his last meeting with President Sukarno in Indonesia relating to efforts to establish a new US financial system – at that time, JFK already had two strikes against him. Firstly, Kennedy returned West Papua from the Dutch to the Indonesians; thereby alienating Big Oil and corporate magnates that had significant control over strategic locations also known for their gold deposits. Secondly, Kennedy overlooked the deception with regards to his very own Vice President, Lyndon Johnson who was receiving all the information relating to the proceedings in Indonesia that he was forwarding to his cabal handlers, including the dissolution of both the CIA and the Federal Reserve Banks. This directly led to John F. Kennedy’s assassination in 1963. - Both Presidents Kennedy and Sukarno were working on numerous projects to make their nations stronger and greater; but one such project in particular was the new American financial system; eliminating all privately-owned Federal Reserve and Central Bank FIAT currency printing – and returning the power of issuance of the nation’s currency to the government itself. 406
Peter B. Mayer (THE GREAT AWAKENING (PART TWO): AN ENLIGHTENING ANALYSIS ABOUT WHAT IS WRONG IN OUR SOCIETY)
The CIA condoned, connived at, or indeed took an active role in assassination plots and coups against figures as varied as Guatemala’s Arbenz, the Dominican Republic’s Trujillo, Congo’s Lumumba, Chile’s Allende, Cuba’s Castro, Indonesia’s Sukarno, Iran’s Mossadegh, and Vietnam’s Diem. Is it that difficult to believe that those who viewed assassination as a policy tool would use it at home, where the sense of grievance and the threat to their interests was even greater?
Russ Baker (Family of Secrets: The Bush Dynasty, the Powerful Forces That Put it in the White House & What Their Influence Means for America)
Dan kamu, kaum wanita Indonesia,-akhirnya nasibmu adalah di tangan kamu sendiri. Saya memberi peringatan kepada kaum laku-laki itu untuk memberi keyakinan kepada mereka tentang hargamu dalam perjuangan, tetapi kamu sendiri harus menjadi sadar, kamu sendiri harus terjun mutlak dalam perjuangan" Halaman 326 Naskah sarinah
Sukarno (Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia)
Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang, ikutilah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat, ikutilah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. Jangan ketinggalan didalam Revolusi Nasional ini dai awal sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial. Didalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial telah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang Merdeka!" Halaman 335 naskah sarinah
Sukarno (Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia)
Juga diatas pundak wanitalah terletak kewajiban untuk tidak ketinggalan di dalam perjuangan ini, dalam mana diperjuangkan kemerdekaan mereka dan pembebasan mereka. Mereka sendirilah harus membuktikan, bahwa mereka mengerti benar-benar tempat mereka dalam perjuangan sekarang yang mengejar masa depan yang lebih baik itu" Halaman 332 Naskah sarinah
Sukarno (Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia)
pernikahan si Marhaen itu berbeda dengan magrong magrong pestanya para borjuasi dan kelompok feodal. Sederhana, namun memrlukan keberanian. Karena menikah adalah revolusi kecil kita untuk memperbaiki kualitas kehidupan.Tugasmu semata sederhana, membuat senyum pasanganmu senantiasa dapat terkembang. Bahkan pada kesakitan yang mungkin tak sengaja kau buat, genggamanmu tetap menghangatkan hatinya. Dan keberanian itu bisa kau mulai, ketika saling bergenggam tangan memulai revolusimu. Berani mengatakan tidak bagi setiap modin yang memberi beban ongkos borjuasi, padahal Tuhan memberi cinta dengan gratis untuk sebuah niat baik pernikahan.
Sukarno fans
The first generation of revolutionary nationalists had more difficulty occupying the legal-bureaucratic space of the colonial states than the charismatic space in people’s hearts. The first symbolic leaders of the upheavals that delivered proudly independent and assertive states-- Aung San, Ho Chi Minh, Sihanouk, Sukarno, Phibun Songkhram, Tunku Abdul Rahman—achieved an almost supernatural aura from their identification with racial/national liberation, though some of their henchmen also spilled considerable blood to achieve that result. Their successors invariably imposed more of an iron hand, particularly in what I have called the post-revolutionary countries, to defend a single definition of the fruits of those revolutions.
Anthony Reid (A History of Southeast Asia: Critical Crossroads (Blackwell History of the World))
We must have a blueprint not only for a guided economy but for a social order based on justice and ensuring the well-being of the people.
Sukarno
a meeting of the National Security Council on March 20, 1958, Secretary of State John Foster Dulles made a rather startling admission. Visibly weakened by the terminal cancer to which he would succumb in a little over a year, he allowed that he had been quite wrong in regarding the nationalist and anticolonialist movements he had engaged in battle around the world as fifth columns for communism. As the scribe of the meeting paraphrased him, in looking at the three trouble spots that most concerned the Eisenhower administration at that moment—Indonesia, North Africa and the Middle East—Dulles had now concluded that “the directing forces are not communist, but primarily forces favorable personally to a Sukarno, a Nasser or the like. Developments in these areas had not been initiated by Soviet plots.
Scott Anderson (The Quiet Americans: Four CIA Spies at the Dawn of the Cold War—A Tragedy in Three Acts)