Sejarah Berulang Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Sejarah Berulang. Here they are! All 5 of them:

Sejarah memang berulang, termasuk berulang-ulang menghadirkan para pejabat yang alpa atas tugas utama mereka, tetapi selalu mengulang-ulang janji mereka.
Wisnu Nugroho (Pak Beye dan Kerabatnya)
Walaupun kini, sudah berlaku 438 tahun, bahawa jeda antara satu gelombang serangan Portugis itu dengan gelombang serangan berikutnya, ada 25 hari. Oleh sebab itu, sambil membubuh umpan baru, Nakhoda Supuk bertanya dalam hati, empat peringkat soalan: ‘Kenapa Melaka, dalam masa 25 hari itu, tidak melakukan strategi baru, antaranya, daripada taktik bertahan, kepada taktik menyerang senyap-senyap. Melaka boleh gunakan tenaga dan kemahiran Orang Laut, pergi menebuk lambung atas lunas semua galleon dalam armada Portugis itu. ‘Kenapa Melaka tidak kawal pantai, untuk mencegah penduduk Melaka terutama dalam kalangan orang asing, berleluasa berulang-alik dari darat ke semua galleon Portugis itu pergi membekalkan air tawar, kayu api, bekalan makanan, dan timah untuk dituang jadi peluru? ‘Kenapa armada Laksamana Yusof, Pengeran Lor, dari Demak itu, yang sudah mengepung seluruh armada Portugis di Selat Melaka, tetapi sebaliknya, armada Pangeran Lor itu dibakar orang dari daratan Melaka? ‘Kenapa, armada Aceh yang sudah berulang kali menyerang Portugis di Melaka dan mengepung Selat Melaka, tidak pernah sekali pun diberi kerjasama orang di Melaka, untuk menghancurkan Portugis itu?
Arena Wati (Rindu Aroma Padi Bunting)
L'histoire se repète - sejarah berulang
P. Swantoro (Masalalu Selalu Aktual)
Melting Pot: Litani untuk Tantangan Tiga Jurang (Intertekstual — Neo-Sufistik Digitalism) I Di tepi, dua jurang saling membelai saling melukai— satu gelap seperti malam sebelum nama Tuhan disebut, satu berderak seperti server yang lupa bahwa ia sedang sekarat. Aku berdiri di antara keduanya, akar menancap dalam retakan; akar itu mengirim bisikan ke tulang, lalu sinyal ke motherboard. Di sinilah Agustinus menunduk dan Nietzsche tersenyum: yang satu berdoa agar kesunyian kembali bermakna, yang lain mengangkat palu untuk memahat makna dari kekosongan. Sementara Camus mengetuk jarinya pelan pada kaca realitas, menanyakan: apakah kita memilih untuk terus menanti jawaban, atau memilih absurditas sebagai lampu penerang jalan? Aku menolak belas kasihan orang lain; lebih baik jadi pohon yang berdiri—rentan, bengkok, keras kepala— atau jadi menara yang menuntun doa seperti gelombang radio. Gapura? Ya, gapura juga, tempat orang lewat tanpa tahu alamat tinggalnya. Di tiap gerbang aku melihat rumah ibu: bocor, berderit, rapuh, setia menunggu. Kerinduan menetes, paket data bocor, hujan yang mengunduh rindu dalam format .wav. II Di dalam kabel di bawah tanah, ada lagu yang tak pernah diindeks: ritme akar yang seperti mantra, glitch yang bergumam seperti zikir. Di frekuensi itu, domba-domba trauma berbisik—tidak hening, hanya tergeser: jeritan yang kita bungkus dengan pekerjaan, selfie, dan janji-janji kecil. Ada Lecter di kursi bayanganku, berbisik: "Kembalilah ke ladang yang kau tinggalkan, Clarice." Bukan untuk menghakimi, tapi untuk menunjukkan bahwa luka tak akan mati bila kau tak pulang hari ini. Kesedihan tidak berwujud satu format; ia multi-protokol: kadang menjadi bug, kadang menjadi palimpsest doa. Aku rooted—akarku telah di-root oleh sejarah—tapi aku masih bisa reboot rasa. Namun reboot tidak membersihkan semua log: beberapa pesan terus menunggu status "read". Dan lelaki perkasa dalam mimpiku? Ia terbang, punggungnya kuda ego—sebuah patch tanpa dokumentasi, meninggalkan jejak yang menjadi gema di sumur-sumur batin. III Maka aku merespon dengan sebuah litani yang terprogram rapi: buka—hapus—simpan—tutup—ulang—(echo)… Suara itu bukan dengung mesin belaka dan bukan pula doa; ia adalah bahasa ketiga: posthuman yang masih menaruh tempat untuk sebatang lilin. Di sini Tuhan jadi kecil—huruf kecil di tengah kode—lilin meleleh yang gagal dirender, tetapi cahayanya cukup untuk membaca peta luka. Kita menerima bahwa kebenaran kini adalah bayang-bayang: ada yang memilih kebenaran yang berulang (post-truth), ada yang memilih kebenaran yang menengok ke belakang (tradisi), ada pula yang membangun kebenaran di atas logikanya sendiri (eksistensi). Puisi ditulis tidak untuk menyelesaikan perdebatan; ia lebih memilih ruang: sebuah melting pot di mana akar, kabel, doa, dan error menjadi satu jamuan. Di akhir perjalanan, aku tidak menyuruhmu percaya— aku hanya mengundangmu pulang: ke gerbang ibu, ke terminal di bawah tanah, ke api kecil yang tak henti berkedip. Datanglah dengan domba-dombamu yang belum berhenti menjerit; biarkan mereka mengajar kita cara bernyanyi lagi— bukan lagu yang sama, tetapi lagu yang baru, gelap, dan setia. Di sana, di ambang ketiga jurang yang menantang itu, aku menyalakan sebatang lilin sendirian: sebuah cahaya yang tak menuntut pencerahan, hanya sedikit terang yang cukup agar induk akar bisa menemukan anak-anak akar yang kehilangan pijakan, dan agar bug-bug bisa belajar berdoa. November 2025
Titon Rahmawan
SEBUAH FRAGMENTARIUM: MAYAT PEREMPUAN DI PINGGIR HUTAN JATI I. Waktu yang Menggeser Kursi dan Menutup Pintu Setiap sejarah dimulai dari bunyi lirih yang nyaris tak terdengar: jarum jam yang disentuh tangan perempuan muda yang tidak pernah meminta apa pun dari dunia, kecuali keadilan yang tidak dijual per kilo di pasar dan kerja yang tidak dicurangi dengan sekadar angka. Ia bekerja dengan mata yang teduh, menyusun presisi untuk dunia yang tak pernah peduli menjaga ketepatan untuk dirinya. Di bawah kuku-kukunya, waktu bernafas. Di atas kepalanya, kekuasaan menunggu kesempatan. II. Mesin Kekuasaan yang Selalu Menuntut Korban Kalian bertanya: bagaimana melawan kekerasan? Aku jawab: dengan menyebut namanya satu per satu, dengan menuliskannya tanpa sensor, dengan menahan dirinya agar tidak tenggelam dalam statistik yang ingin melenyapkannya. Mayat perempuan itu bukan korban. Ia bukti, jelas dan kasat mata! Ia menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah rumah: ia adalah mesin yang berjalan tanpa oli nurani, yang selalu mencari tubuh lunak untuk mengganti bagian yang aus. Dan di tahun yang naas itu, yang mereka temukan adalah dia. III. Adegan yang Tidak Pernah Disiarkan Televisi Mereka menjemputnya— dengan tangan yang tidak gemetar, dengan doa yang tidak pernah mereka ucapkan, dengan wajah yang disetrika licin oleh perintah atasan. Ia, sendirian. Mereka, berjamaah. Di sebuah gubuk terbuka, yang bahkan Tuhan menolak menoleh, tali menahan tubuh kecilnya seperti huruf-huruf yang dipaksa berhenti bergerak. Pentungan menghantam kepalanya berulang kali sampai suara itu tidak lagi terdengar sebagai pukulan, melainkan sebagai ritual kuno yang diwariskan dari satu kekuasaan ke kekuasaan berikutnya. Itu bukan kekejaman. Itu metode.
Titon Rahmawan