Puisi Rindu Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Puisi Rindu. Here they are! All 100 of them:

β€œ
Cinta seperti penyair berdarah dingin Yang pandai menorehkan luka. Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.
”
”
Joko Pinurbo (Kekasihku)
β€œ
Kau hampir tak pernah menghubungiku via ponsel, tapi setiap saat aku selalu saja melihat ponsel itu berkali-kali. Berharap ia berbunyi dan namamu yang tertera di sana. Lalu dengan agak menggigil aku berusaha melawan keinginanku sendiri, menyusun rencana-rencana tak selesai... untuk menjawab sapamu sedingin mungkin. Tapi tak ada bunyi. Tak. Kemudian pandanganku beralih pada blackberry dan lagi-lagi berharap kau pecahkan resah dalam sekali bip, padahal kau tak ada dalam kontak-ku. Maka bersama angin aku menggiring jeri, menyekap batin sendiri, memilin-milinnya menjadi puisi yang paling setia pada sunyi.
”
”
Helvy Tiana Rosa
β€œ
Delusi leluasa beranjak dari linimasa, menerka jarak dari lesatnya sang warsa. Kau tau kenapa kata ingin itu ada? Itu karena kata butuh masih terasa begitu asing di kepala.
”
”
Robi Aulia Abdi
β€œ
Dulu kita pernah tertawa, bahkan berbagi senja sepiring berdua. Dulu kita pernah merdu di telinga, namun kini ia hanya sebatas kata.
”
”
Robi Aulia Abdi
β€œ
Rindu adalah rezim yang tak pernah bisa dikudeta.
”
”
Ilham Gunawan
β€œ
Kita adalah sepasang resah yang menyembunyikan hati ke dalam pasrah Mengoleksi kenangan dan meyelundupkan diri dibalik ingatan Mengapa kita terus meratapi keadaan dan mengoreksi Tuhan? Tidak ada cara merevisi takdir jika keterpisahan adalah ketetapan 11/10/2017
”
”
firman nofeki
β€œ
tak ubah nya hantu di keramaian, tatapannya, seolah berkata ; Setiap perlakuan, ada harga yang harus di bayar anak adam Walau tuntas pun tak kan membuat surga di hati para pendendam. . . . . #andradobing
”
”
andra dobing
β€œ
Puisipuisiku berlari dalam hujan menuju rindu paling deras; kamu.
”
”
Helvy Tiana Rosa
β€œ
Jangan salahkan hujan saat ia turun dan membuatmu pilu sebab rindu. Hujan sudah menanggung rindu yang lebih berat dan banyaknya melebihi rintiknya sendiri.
”
”
Alfin Rizal
β€œ
Mana yang lebih pahit; Kopi tanpa cumbuan gula, atau rindu yang dibiarkan gigil tanpa nama?
”
”
Ilham Gunawan
β€œ
Saat hujan turun, semua menjelma jadi kenang. Bahkan rintiknya bukan lagi air. Tetapi rindu yang berguguran. Saat kopiku terseduh, semua menjelma jadi kenang. Bahkan isi cangkirnya bukan lagi air. Tetapi kau yang menggenang.
”
”
Ilham Gunawan
β€œ
dulu aku pernah memiliiki satu rindu utuh dalam diriku yang separuhnya kini kusimpan dalam puisi separuhnya lagi kusimpan di hati Tuhanku
”
”
firman nofeki
β€œ
Tatkala rindu berulah, malam hanyalah film bergenre sepi. Kadang tak sisakan apa-apa, kecuali puisi.
”
”
nom de plume
β€œ
Selamat pagi, kekasih. semalam aku menulis puisi di luar angkasa. Ternyata tempat terbaik menulis puisi bukanlah disana, namun di ruang rindu yang kau cipta setiap kali aku mendoakanmu.
”
”
Alfin Rizal (Lelaku)
β€œ
Ku kira kau penyuka kata, Ribuan puisi pun sudah kurangkai dengannya. Ku kira kau suka tertawa, Bercura pun kini ku mahir dibuatnya. Ku kira kau suka kata " Kita ". Namun, nyatanya " Kita " pun kini hanya sebatas kata.
”
”
Robi Aulia Abdi
β€œ
Hadirmu seperti senja, indah namun sementara.
”
”
Candhikkala
β€œ
Sekepal wujudku tiba-tiba tumbuh menjadi sepohon mawar puncuknya memanjat cinta Ilahi akarnya mencengkam rindu diri.
”
”
Shamsudin Othman (Kumpulan Puisi Taman Maknawi)
β€œ
Sesaat lapar menjadi rindu seribu tahun pesonanya menyusup ke danau kasih sesaat dahaga menakluk cinta seribu tahun arusnya mengalir di lubuk rahsia.
”
”
Shamsudin Othman (Kumpulan Puisi Taman Maknawi)
β€œ
Mungkin seseorang masih tak tahu lirih perih dalam rintik rindu ini. Selamat malam, kamu yg berlalu dalam gerimis.
”
”
Helvy Tiana Rosa
β€œ
Memilih untuk tidak mengeluh, barangkali adalah wujud syukur yang paling jujur.
”
”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β€œ
Puisi itu sejatinya ada, bukan untuk sekedar dibaca, melainkan untuk dirasa, pun sesekali diraba dengan hati yang luka.
”
”
Robi Aulia Abdi
β€œ
Detik-detik menuju pulang: Yang patah pada ranting bukanlah kayu, melainkan hatiku.
”
”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β€œ
Rindu adalah perkara ruh, bukan perkara jasad. Merindukanmu barangkali omong kosong yang masuk akal. Sedangkan, perpisahan hanyalah perkara mata dan ingatan, sama sekali tak berlaku pada hati dan jiwa.
”
”
Ilham Gunawan
β€œ
Rindu tidak tersusun dari batas peta. Tetapi, dari seberapa luas kau mengingatnya. Rindu tidak diciptakan oleh jarak. Ia lahir sebab keberadaan. Sedekat apapun jarak kalian, selama tidak pernah tinggal di hati dan ingatan, rindu tidak akan pernah ada.
”
”
Ilham Gunawan
β€œ
I don't think that anyone can decide all the paths that we will take in our lives. Because in the end, we are the only ones who understand better in dealing with our own solitudes.
”
”
Robi Aulia Abdi
β€œ
Doa ku seakan paku di peti mati mu. Tajam mendalam. Menembus dadamu, menjelma dunia rapuh, penuh kegelisahan tak berarti . . #andradobing
”
”
andra dobing
β€œ
Pelukmu bagiku adalah teduh, tempat berlabuh segala asa yang tiba untuk berkeluh.
”
”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β€œ
Puncak kesepian paling tinggi tidak dirasakan oleh dia yang belum mencintai siapa-siapa. Tetapi, pada mereka yang mengaku saling cinta, namun sudah tidak lagi saling merindu.
”
”
Ilham Gunawan
β€œ
Tempatilah dadaku sebagai rumahmu! Sungguh, takkan kuizinkan rindumu jadi gelandangan.
”
”
Ilham Gunawan
β€œ
Kini kau ibarat bayangan yang tak lagi mahir kubayangkan.
”
”
Robi Aulia Abdi
β€œ
Kadang aku hilang nalar Ingin menebas segala belukar Betapa ingin kulompati waktu Untuk menyeberangkan rindu Namun denganmu aku percaya: Menunggu adalah jalan setapak menuju cahaya
”
”
Sam Haidy (Nocturnal Journal (Kumpulan Sajak yang Terserak, 2004-2014))
β€œ
jika puisi tak jua mampu mewakilkan perasaanku padamu, kekasih biarlah kuhantarkan dengan do'a-do'a yang kutompangkan lewat kereta Tuhan dimalam-malam buta biarlah kuwakilkan lewat sampan-sampan yang berlayar diatas genangan air mata munajat
”
”
firman nofeki
β€œ
Duhai Pemilik waktu dari arusMu usiaku terlahir dan mengalir pada muara mautMu aku berakhir dan menyerah'' Engkaulah dermaga tempat ikrar perjalananku melunasi batas rantau pulang kala jiwa tersesat di pintu dunia Engkaulah samudera tempat senjaku membenamkan usia melarungkan maut yang membadai di pantai jiwa Tuhan.... jagalah hati dan jiwa ini seperti telah Engkau jaga planet-planet yang beredar pada tiap galaksi menurut keteraturannya biar tiada berbenturan akhiratku dengan dunia sebelum akhir masa nyaris menyelesaikan lahat sebelum aku dan waktu menyeduh pamit dari secangkir hayat di perahu sepi kuamini gelombang maghfirahMu Di kedalaman sujudku kuselami putihnya do'a menghanyutkan dosa yang mnghitami muara ruhku di rimba raka'atku, ada rindu yang merimbun sebagai Kamu Engkau geriap hujan di kemarau tubuhku akulah kegersangan angin yang memanjati tebing-tebing grimisMu Tuhan... di hujan ampunan tak henti kuburu gemuruhMu kupaku telinga di pintuMu moga kudengar Kau mengetuk bertamu ke bilik sepi sunyiku
”
”
firman nofeki
β€œ
Kau adalah memori. Dan tunggangan rindu yang terus berlari. Dan malam yang berwajah pagi. Dan masa yang membakar puisi.
”
”
Hadi Jaafar (Rimbaud Dalam Limbo)
β€œ
Sekali lagi, hanya keliaran sosok kamu yang mengorbit di kepala saat aku ingin menulis kata.
”
”
Dina Zettira Putri
β€œ
Kutenggelamkan diri pada malam dalam-dalam; puisi dan didih kopi dari air dispenser.
”
”
Dina Zettira Putri
β€œ
Kadang aku bertemu dengan cinta yang pucat
”
”
rojielmidany
β€œ
Huruf yang jatuh di wajahmu, menjadi puisi paling rindu.
”
”
Alfin Rizal
β€œ
Rindu adalah selapis insaf yang tumbuh dalam lukaku dan cinta adalah jernih insani dalam telaga sepi sukmaku.
”
”
Shamsudin Othman (Kumpulan Puisi Taman Maknawi)
β€œ
Yang tersisa dari chat kita bukanlah katamu saat kau pamit tidur, tapi rindu yang tak tertulis sehingga tak mampu menahanmu sedikit lebih lama
”
”
Alfin Rizal (Februarindu)
β€œ
Tak apa kekasih, dinginnya hujan tak mampu membunuhku, yang membunuhku itu rindu.
”
”
Robi Aulia Abdi
β€œ
Hanya ingat, yang akan muncul setelah kau lupa, hanya kenangan yang akan tiba, jika kau terus menerus memendam rasa.
”
”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β€œ
Sama seperti hujan, rindu juga tak berani datang sendirian.
”
”
Robi Aulia Abdi
β€œ
Ketika rindu tiba mendahului semua teori, penolakan seperti apa yang bisa kuperbuat selain menerima kejatuhannya?
”
”
Ilham Gunawan
β€œ
Rindu: Seluas-luasnya ruang persembunyian memeluk kehilangan.
”
”
Ilham Gunawan
β€œ
Puasanya orang kasmaran, tak mengenal kata berbuka dan lebaran. Mereka menyebutnya: Rindu.
”
”
Ilham Gunawan
β€œ
Karena cinta sejatinya adalah segumpal tanya yang gelisah pada malam siapa saja.
”
”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β€œ
Bila pada suatu minggu engkau diracuni beribu rindu yang halu, maka pastikan engkau punya cukup penangkalnya; temu.
”
”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β€œ
Selalu saja ada sosok yang dituju di setiap kata "Engkau" dalam sajakmu. Selalu saja ada satu nama, yang disamarkan dengan kopi, malam, senja, dan hujan. Selalu saja ada sosok palsu, dalam setiap ungkapan majasmu itu. Selalu ada sesuatu dibalik kisah pilumu, ketika engkau berurusan dengan rindu. Ceritanya akan tetap seperti itu, hingga engkau tutup buku, kecuali jika kau memutuskan untuk berhenti mengurusi rindu.
”
”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β€œ
KHASIDAH KHAFI Sungguh di dalam atmaku yang paling debu, aku tak layak mendamba dirimu sebagai kekasih hatiku. Karena engkau kelopak angsoka tumbuh kejora di mataku, dalam bius pesonamu aku tidur dan terlelap. Sementara debu, tak kutahu dengan apa aku harus nyatakan diriku kepadamu? Dalam balut ungu kelam sayapmu kau sembunyikan rembulan. Adakah kupahami engkau di balik hijau sihir kata-kata? Adakah kutangkap dirimu dalam misteri hitam sebait puisi? Seperti lenitrik sungai Alkausar menjangkau jerau jantungmu. Mengalunkan barzanji jauh ke dalam lubuk hatiku. Sekiranya ia mencipta rimbun semak lantana, perih luka atau sepoi pawana. Aku insaf, aku tak pernah memintamu jadi halimun atau kelam bayang-bayang. Ia yang dengan sengaja menyamarkan dirimu dari cerlang bintang atau benderang wajah mentari. Betapa cinta di ujung lidahku luluh untuk apa yang mungkin tak terucap. Biarlah engkau tetap menjadi apa yang tak mungkin aku mengerti. Yang tak terganti oleh rangkaian kata atau untaian sajak. Saat hasrat hati menembus nisbi ruang dan waktu. Merengkuh, mencekau sunyi, mengemas rindu atau redam masa lalu. Menjadi mekar mawar ahmar atau jingga semburat fajar.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Katakanlah para iblis membangunkanku sebuah istana megah, aku tak ingin menjadi rajanya jika bukan kau yang mendampingiku sebagai ratunya. Rongga hatiku merongrong serupa gorong-gorong yang dibanjiri limbah kerelaan yang palsu.
”
”
Alfin Rizal
β€œ
Anggap saja pertemuan di awal huruf dalam doaku adalah sapaan manja untukmu Aku akan mengajakmu menyusuri barisan puisi Kubangun sebuah pohon rindang agar kita bisa berteduh dari jauhnya jarak pandang Setiap waktu hatiku meredamkan gelisah langkahnya Ada gurat rasa yang masih merunduk malu-malu untuk kumengerti Disetiap alur jalan yang Allah hadiahkan Kita masih berpapasan, menatap jawaban, Sebab mata masih enggan bersinggungan Diantara poros takdir, kuingin engkaulah rotasiku Tempat barisan ingatan berputar pada titik yang sama, Terjebak dalam lingkaran bahagia yang tak berjeda Kisah yang belum runtun ini biarkan Allah menata Karena kita telah menitipkannya, maka percayakan ia pada penciptaNya
”
”
firman nofeki
β€œ
Barangkali tidak ada yang benar-benar tahu ke mana perginya cinta setelah ia tiada, juga tidak ada yang benar-benar mengerti ke mana ruh pergi setelah ia beranjak dari ragawi. Barangkali tidak ada yang tahu pasti. Barangkali takada yang peduli.
”
”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β€œ
Chat dihapus lalu diketik lagi, kalau sudah kehabisan kata, paling banter ngirim emoji. Lalu berkilah, ngetiknya nggak pakek hati, cuma buat having fun pemecah sunyi. Tapi giliran chatnya nggak dibalas, malah ngamuk-ngamuk nyari Kapsagi. Situ sehat?
”
”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β€œ
Di antara banyak dia yang bermukim di dadamu, aku memilih satu: Dia yang telah menjadikanmu bilah dari tubuhku. Dia yang karenanya, nutfah rindu ditiupkan di jauhmu. Dia yang karenanya, buah kalbu tersimpan di rahimmu. Kau bukan kau. Kau adalah aku. Bagian diriku yang hilang.
”
”
Ilham Gunawan
β€œ
Oh Kay kau seperti kunci yang membuka pintu hatiku. Pesonamu meremukkanku. Seperti golok yang berdencing mengiris ngiris dagingku memotong tipis jantungku. Biar kau tetak leherku dengan rindu yang kau ciptakan tanpa iba dan belas kasihan. Kay oh Kay tak ada yang menyerupaimu di dunia ini. Sebab bagimu, aku adalah bocah nakal yang boleh menangis demi sebuah boneka mainan. Kemana kau berlagu, irama musik kan menyertaimu. Dan biarkan lantai dansa mendatangimu, memutar dan meninggikanmu dalam tarian yang membuat semua orang tergila-gila. Kay oh Kay kau gobang pedang parang celuritku. Kau belati yang menikam nikam, kau rajam aku dengan jarum manis lugu senyumanmu. Kau mulut manis yang mendesah yang mengerang yang tertawa yang membuat jiwaku resah gelisah. Kau Kay oh Kay. Ludahmu yang manis menetes bagai madu yang paling gula di benakku yang kehausan. Kuhasratkan engkau dari sarang yang paling mesum, jalan yang paling ingkar dan pikiran yang paling lancung. Kuingin kecap nektar bungamu yang paling nikmat. Oh betapa kau nodai aku dengan apimu. Kau jerat aku dengan kepolosanmu. Dengan ketelanjanganmu yang membuatku sesat. Betapa kau memberi asa yang tak kumiliki. Kau menangkan hati yang tak kuperjuangkan. Kay oh Kay engkau satu satunya jawaban yang tak pernah kupertanyakan. Tujuan yang tak pernah aku duga tapi menyambutku dengan riang gembira. Kaulah kenyataan yang tak pernah aku mimpikan namun terwujud dengan sendirinya. Bagaimana aku menerimamu sebagaimana engkau menerimaku dengan segenap pesona kegilaanmu. Kay oh Kay rembulan matahariku. Kaulah sungai sekaligus lautku. Hanya padamu mataku tertuju, hanya padamu hatiku tergetar. Kau biarkan aku menjadi kunci yang memasuki lobang jiwamu yang paling gelap. Bukan dalam keagunganmu anganku mengembara, melainkan dalam kemolekanmu yang memabukkan. Kau telah memenjara jiwaku yang paling celaka. Oh Kay kau pisau dapurku, kapakku, gergajiku, palu obengku. Kau perbudak aku dalam nafsu tak terlerai ini. Padamu aku menghamba bagai seorang pelayan yang bodoh. Kambing tuli dan buta yang cuma mengabdi pada satu tuan. Kaulah majikan dari semua hasrat dan kedegilan ini. Semua yang aku ketahui tentangmu adalah palsu. Bagaimana engkau berkenan mengijinkan aku mencintai orang lain selain dirimu? Kay oh Kay bila sungguh memujamu akan memberiku makna hakiki sebuah puisi, lalu bagaimana engkau bisa memberiku cinta sejati yang tak pernah engkau miliki?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Kau tahu β€œrindu” itu apa? Menurutku; Semacam rasa pahit dalam kopi, dan kesamaran makna dalam puisi.
”
”
Sobih Adnan (Lamar)
β€œ
Dari sekian yang ku tau, Doa adalah media terbaik untuk menampung hati para perindu ❀
”
”
Rahma Sinta
β€œ
Aku tak risau soal lemahnya daya ingatku akanmu, sebab Tuhan selalu berhasil mengembalikan kenangan kita lewat hujan yang berbau rindu itu.
”
”
Alfin Rizal (Februarindu)
β€œ
Bagian kasihku padamu sesederhana merah kuning biru menjadi warna primer, sisanya adalah hitam putihnya rindu yang bercampur pada ketiga warna itu
”
”
Alfin Rizal (Februarindu)
β€œ
aku akan pergi ke kota paling rindu itu, ningtyas kota yg tidak memiliki gigil dan hujan sebab angkasa dan langit-langitnya adalah bayanganmu
”
”
firman nofeki penggalan puisi firman nofeki ''ningtyas
β€œ
Adalah hamba yang diberi karunia oleh Nya, dan aku berusaha menjaga mata ibuku, dari hal-hal yang mengecewakannya #andra dobing
”
”
andra dobing
β€œ
Aku pernah menyapamu melewati senja, namun ia menolak dan menyuruhku menemuimu langsung !
”
”
RAP
β€œ
Maka apa saja yang didasari oleh cinta, pasti ia tidak mengharapkan apa-apa.
”
”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β€œ
Mencintai hujan, kau harus sudi demam tujuh hari tujuh malam. Tidak percaya? Coba saja!
”
”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β€œ
Apa yang paling abu, dari rindu yang dibakar masa lalu? Sekali lagi, aku menjadi orang asing bagimu.
”
”
Ilham Gunawan
β€œ
Perasaanku tau kapan harus menjadi sunyi dan kapan harus menjadi bingar Meski ia hanya sekedar bunyi yang tak bisa kau dengar
”
”
Firman Nofeki Sastranusa
β€œ
Batu sendu β€” di tengah sungai yang mengalir itu β€” tahu isi hatimu, maka diam ia tersipu.
”
”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β€œ
Dengan menyebut nama engkau yang kucinta, aku bersaksi! Bahwa minggu yang menggema di kepalaku ini, sepenuhnya menjadi milikmu dan sunyi.
”
”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β€œ
Kuhunjamkan pedangku ke bilah dadaMu Kautikam jantungku dengan belati Lihat siapa di antara kita yang abadi!
”
”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β€œ
Cinta itu hal yang tak terduga, sekali datang ia dapat berwujud seribu rupa.
”
”
Robi Aulia Abdi
β€œ
Celaka! Bagaimana bisa engkau berkelakar dengan janji yang kau pintal sebelumnya.
”
”
Robi Aulia Abdi
β€œ
Terkadang sebuah janji ada, namun bukan untuk ditepati, terkadang ia terikat hanya untuk sekedar berkata lalu pergi.
”
”
Robi Aulia Abdi
β€œ
pada waktu yang semakin renta aku hanya mampu menuliskan sebait cerita tentang rasa ini yang tanpa ujung seiring denyut degup didalam palung padamu.. bacalah seperti lengkung pelangi setelah gerimis sebelum malam membungkam dalam selambu kelam atau seperti rona lazuardi pada serambi petang itulah gubahan tentangmu dari hati terdalam sampai ketika gulita menyunting sepi aku hanya mampu memahat sebaris doa dalam sedangkup iklhas bertengadah menggiring mimpi indah dalam setapak lelapmu hingga kau akan terjaga pada pagi yang rindu kepada waktu... aku titipkan rindu yang tak terjeda
”
”
Beething
β€œ
Dan janganlah engkau ragu dengan cita rasa makanan ibu, entah itu kelihatan enak atau tidak, tetap saja itu membuatmu jilat siku, lantaran dalam setiap masakannya ia sudi menumpahkan segenap bumbu rahasia, yakni cinta.
”
”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β€œ
Jika tak cinta seharusnya biarkan saja, tak perlu diumbar secara luas kepada media. Jika tak suka seharusnya lupakan saja, biar benci itu menghilang dengan sendirinya. Terkadang kita hanya perlu menerka, sebatas mana kita mampu mengemban rasa.
”
”
Robi Aulia Abdi
β€œ
Apakah kita akan melenyapkan seluruh kenangan demi mengamputasi secuil perasaan bersalah? Apakah kita akan mendapatkan kelegaan dengan mengorbankan perasaan-perasaan orang lain, terlebih itu adalah perasaan orang yang kita cintai? Bagaimana kita bisa memenangkan hati yang tak pernah merasa memiliki atau perduli? Apakah reuni akan kembali menyatukan pikiran dan perasaan yang telah lama berpisah? Sekiranya saja aku bisa membaca hatimu sebagaimana engkau menakar sejumput rindu dalam benakku Betapa pun rindu itu ingin bertaut pada harapan yang tak mudah dimengerti. Sebagaimana sungai mengalir jauh dari lubuk hatiku Susah payah mencari jalan menuju laut di mana hatimu bermuara.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Tetesan air hujan menyelinap setiap gemiricik di atas atap. Ia patri setiap suara dan bunyi seperti bait-bait dalam puisi, untuk menenangkan dunia tanpa hati yang luka. Ia pasti datang lagi, ketika kota membutuhkannya, ia serahkan hidupnya kepada angin dan musim serupa nasib-nasib yang datang pada pagi ataupun seperti kupu-kupu yang hinggap di jendela.
”
”
Musa Rustam (Melukis Asa)
β€œ
MaghfirahMU Titip rindu untuk RasulMu.. Dengan sejuta shalawat dalam keheningan malam.. Airmataku terlalu keruh untuk diusap... Setidaknya ini sebagai ungkapan taubatku yang tersirat.... Sembari melantunkan kata-kata ini.. Diriku seperti senyap dalam ruang sempit penuh hewan yang tak kukenal... Mungkinkah itu cerminan amalku...??? Ya Rabb........ Betapa congkaknya Aku dalam nestapa.. Sombong menembus atmosfer batas aturan-aturan.... SyariahMu menuntunku .. Kenapa diriku masih bergelayutan dalam hiruk-pikuk hedonisme.. Detik-detik sakral telah Kau buka.. Segenap jiwa dan raga kini kupasrahkan... Aku tak sanggup lagi bersua.. Bahkan berkutik mencari oksigen dunia.. Ya Rabb... Ceburkanlah diriku dalam lautan MaghfirahMu... Astaghfiruka Waatubu ilaik....
”
”
Hilaludin Wahid
β€œ
aku kembali lagi ke dalam elok puisi mencari pelepasan atau sekedar rindu maukah ikut bersamaku menjadi burung terbang bebas pada lanskap senja maukah ikut bersamaku menjadi kabut pada segenggam gelap subuh maukah ikut bersamaku menjadi embun di daun atau ingin tetap berpilu perih dengan cinta yang kau sembunyikan sendiri Akhirnya, aku kembali lagi ke dalam lorong sunyi puisi mencari pelepasan atau sekedar rindu maukah ikut bersamaku
”
”
Nailal Fahmi (Mencari Jalan Pulang)
β€œ
kematian yang ia buru kini lesap di matamu, direbahkan tubuhnya dikuburan dangkal jiwa kekasih, yang ia gali dengan tangan-tangan takdirnya sendiri ia adalah musafir malang yang pernah mengistirahkan pengembaraan di negeri anganmu dirahim hatimu,kekasih pernah dirambahnya ladang-ladang luka yang purba kemudian ditanaminya sekebun pohon2 cinta yang rimbun tempat kelak engkau dapat berjalan dibawah rindangnya, meneduhkan rindumu ditiap cabang-cabangnya
”
”
firman nofeki
β€œ
Karena aku tak pernah punya keberanian untuk menyapa dirimu. Gugup menakar diri, cuma bisa menatap sosokmu dari kejauhan. Atau menguntit setiap langkah yang membuat bayang-bayangmu justru kian menjauh. Daun daun berguguran dari tubuhmu, meninggalkan jejak wewangian yang tak mau pergi. Sementara aku cuma bisa mengumpulkan serpihan pikiran dan perasaan yang hancur berantakan. Lalu dengan susah payah menjadikannya sketsa wajah Grafiti yang aku terakan di bak belakang mobil truk, di kolong-kolong jembatan, di dinding-dinding pencakar langit, di antara kerlip bintang-bintang di tengah deras guyuran hujan atau di mana saja, hanya untuk menebalkan kerinduanku padamu. Sudah bertahun lamanya aku mencoba bertahan pada perasaan keterasingan ini. Tak pernah tahu; apakah kau juga merasakan hal yang sama? Diam-diam merasa rindu. Diam-diam memendam harapan. Bersikeras mencari jawaban pada diri sendiri; Apakah rindu ini hanyalah hasrat kepalsuan belaka? Apakah harapan ini adalah asa kekosongan belaka? Susah sungguh ternyata, hanya untuk menyatakan perasaan kepada seseorang yang diam-diam kita cintai. Namun entah mengapa, tetap saja tak mampu kita lupakan.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Tak ada yang perlu disesali dari apa yang pernah hadir di dalam hidup. Awan kelabu, hujan dan airmata. Ia yang kautafsir sebagai rindu dan mungkin cinta. Semua kata-kata yang terangkum dari seluruh perjalanan waktu. Seluruh kisah yang menamatkan semua momen dan peristiwa. Yang sedih ataupun yang gembira. Yang mendatangkan tangis haru dan juga tawa. Semua perasaan yang menggugah hati dan lalu kita abadikan jadi puisi. Semua impresi, kesan, memori, kenangan atau apa pun yang menghubungkan kita dengan seseorang. Ingatan yang tak pernah pergi. Bagaimana kita sematkan arti kebahagiaan pada hati yang masih menaruh harapan. Sekecil apapun itu. Ia tak pernah sia-sia.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Langit Jingga Laut Biru Tak semua pertanyaan memiliki jawaban. Tak semua kesulitan membutuhkan penjelasan. Hidup terlalu banyak menghadirkan kata tanya. Dan kita tak selalu menemukan maksud dari pertanyaan-pertanyaan itu. Kubayangkan pertanyaan itu mampir ke dalam benakmu: "Kenapa kau melihat jingga sebagai representasi hatimu dan aku menganggap biru, sepenuhnya milikku? Mengapa kita, dua warna kontras yang tak bisa saling melengkapi? Mengapa jingga langitmu tak kunjung bertemu dengan laut biruku?" Betapa sulit untuk berbagi pikiran dan perasaan masing-masing. Setelah sekian masa, masih saja engkau mengganggap diriku sebagai orang asing. Dan aku, tak kunjung mampu mengikhlaskan hatiku untuk jadi milikmu. Lama sudah, kita jalan bersama saling bertukar cerita. Menjalani waktu sebagai jalan untuk menyatukan perbedaan. Tapi tetap saja, jingga hatimu tak mau bersinggungan dengan biru pikiranku. Kucoba menggandeng tanganmu. Kutawarkan segelas air menawarkan dahagamu. Tapi lagi-lagi, langkah kita terpisah oleh persimpangan. Memaksa kita mengambil jalan yang saling bertolak belakang. Cinta menjadi kata yang gamang untuk diucap. Dan rindu, adalah puisi hambar dalam selembar kertas lusuh yang tak sampai-sampai kepadamu. Terlalu lama sudah, kita menafikan semua perasaan yang sempat singgah walau terasa hanya sebentar saja. Kau bersikukuh dengan jingga hatimu yang berdarah-darah. Dan aku, dengan lebam biru yang kian tak tertanggungkan rasa sakitnya.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Oh kau, gerimis yang jatuh di kala subuh. Dingin yang menggigit tulang. Cahaya lampu yang bergelung di balik selimut yang tebal. Engkaulah, pengharapan dari terbitnya matahari. Keindahan yang bergulir seperti butiran embun di atas dedaunan, lebih cemerlang dari permata. Bagaimana hatiku tak terpikat oleh keceriaanmu kala menyambut pagi? Kelopak kelopak bunga yang bermekaran, gemulai tangkai tangkai mawar tertiup angin. Terpesona oleh tawamu yang renyah, oleh kehangatan pribadimu yang bersinar dari dalam lubuk hati. Bagaimana aku tak jatuh hati pada kecantikanmu yang anggun bersahaja? Betapa kau sebarkan kebahagiaan dengan cara yang tak aku mengerti. Kau getarkan dawai pengharapan di jiwaku yang letih lesu. Dan kau buat diriku tak henti memikirkanmu siang dan malam. Kau balaukan tidurku yang resah gelisah oleh pantulan cahayamu yang menyilaukan serupa lampu neon di seberang jalan. Senyummu terbayang bayang dalam mimpiku serupa layang layang yang terbang di permai langit biru dalam rindu masa kanak kanakku. Kau aduk aduk hatiku seperti biduk yang terombang ambing di atas ombak. Menanti angin pasang yang akan membawaku pulang. Janganlah kau putus pengharapanku untuk sampai ke pantaimu. Ijinkan aku berjalan di atas pasirmu yang lembut. Berlindung di bawah payungmu yang menutupiku dari panas matahari yang melukai. Kau terima diriku dalam pondokmu yang kecil dan sederhana namun tertata rapi penuh oleh bunga bunga. Kau menyambutku dengan penuh suka cita di depan pintumu yang sekokoh kayu jati. Dan kau akan menjamuku bukan lagi sebagai tamu asing dalam rumahmu yang bersih melainkan sebagai diriku sendiri. Dalam cinta yang bersemi oleh penantian, doa dan pengharapan. Dalam penghiburan hati demi untuk mewujudkan mimpi mimpi abadi.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Menuju Kamu Saat nama indah mu disebut-sebut mentari pun meredup rembulan pun menunduk alunan nama mu umpama ritma dengan bait-bait keindahan seakan ada tangan-tangan yang menjemput siapa pun yang mendengarkan terkumat-kamit menyanyi-nyanyi meliuk-lentok menari-nari bertemasya aku dengan nama mu biar kamu tak aku temukan namun kamu yang aku rasakan biar kamu tak mereka pedulikan namun kamu yang aku bicarakan kerana ini barangkali bukti mengerti kerana ini barangkali erti memahami masih berbicara tentang mu semilir angin menyinggahi waktu menyapa bahuku dingin dan nyaman ini umpama ilusi sayangku umpama titis embun yang terlihatkan di padang pasir yang bosan dan menghampakan umpama bintang timur yang bergemerlapan di langit hitam yang hujan dan mengecewakan apa ilusi-ilusi ini hadiah aku kerana bekerja keras menuju kamu? dan semestinya ilusi yang paling menenangkan adalah menemui kamu lantas terus jatuh cinta yang paling dalam hingga kedalaman muka bumi aku ragukan jatuh cinta yang paling besar hingga besarnya alam ini aku bimbangkan Aku yakini yang mencari lantas menemui hingga akhir nanti tetap sahaja dengan nama mu menyanyi aku menari aku deria-deria lantas bertumbuh melawan aras mencari cinta yang paling deras; Kamu pancaindera pantas bercambah lebih tegal menuju rindu yang paling tebal; Tetap Kamu, Penciptaku Rumah Gapena, 4 April 2015
”
”
Nuratiqah Jani
β€œ
Kalam Untaian Merjan Pada lagu balada Rendra aku melihat embus pasir Aspahani. Tangan angin yang giat mencangkuli hamparan tanah gembur di kebun buah Rosidi. Dalam kantungnya tersimpan rupa-rupa benih puisi melayu lama. Dari pantun hingga mantra, dari gurindam hingga karmina, dari talibun hingga seloka. Seuntai syair yang rajin menebar tawa Korrie bergirang hati. Merapal doa penawar rindu yang santun menampung embun luruh di telapak tangan Kyai Bisri dan gaung azan subuh di bibir para santri. Di bawah pelupuk langit Timur Sinar Suprabana aku bersujud, serupa lelai rumput Ahmadun. Menyambut lambai tangan hijau kanak-kanak menari bersama Helvy dan Herliany. Memulas kuning gading bulir padi di dada awang telanjang mandi di kali. Bocah-bocah keletah gembira menuai buah tufah berlimpah pada keras bebatuan Calzoum merah. Di balik celana Pinurbo aku jumpai gelisah mimpi Johani. Wajah Sunarta yang gemar menyamar. Mata Wisatsana yang cermat menelisik risik kerikil tajam terserak di taman kawi dunia. Juga jemari tangan Fansuri yang rajin mencabut ilalang di kebun para sufi. Kubaca wajah cuaca dalam bahasa sunyi Isbedi, kueja tagar Dahana, kudaras cahaya Kurnia. Balau debu tertaris gerimis yang lama tersimpan dalam setiap tetesan tinta Taufiq. Pada sajadah yang ia hamparkan dan pisau Takdir penawar risau pada hati yang terempas dan jantung yang putus. Pulau di mana dulu pernah tersemai benih-benih terbaik Chairil muda. Demi memetik buah rindu dendam yang telah lama didambakannya, Ia rela mati berkafan cindai diiringi lagu sunyi nyanyian Hamzah. Tapi justru di dulang kosong itu kutemukan pipih gosong telur Dewanto. Suara pekak mikrofon pecah dalam kamar gelap Afrizal. Leher botol tercekik dari separuh langit yang sengaja menyembunyikan wajah Srengenge di balik dengung nyamuk yang mengamuk dalam benak Rusmini. Sebelum kata-kata berlepasan dari dahan tempatnya bergantung, sebelum kamus jadi ingatan beku yang ditelan rakusnya waktu. Aku berusaha menemu laut. Laut yang dulu pernah melantunkan tembang Ainun dan syair pujian Pane dalam Madah Kelana. Laut yang akan mengizinkan aku mengaji bersama Toto dan Abdul Hadi, pada hampar lembar langit Zawawi yang senantiasa berkabut ini. Di bawah guyuran rintik-rintik hujan Damono yang entah mengapa hanya mungkin turun di pertengahan bulan Juni. Namun pada samar raut wajah Nadjira, jemari tanganku gugup menggali inspirasi di balik pikiran Armand. Dari rupa rupa arsitektur yang dengan cergas ia reka reka menjadi bait puisi. Hasrat yang gesit menimba air di sumur Mansyur. Menapak jejak Saut dan Sitor yang senantiasa hibuk mencari Tuhan. Dan demi tunas mata Subagyo dan sejuk air Zamzam, aku rela menemu jantung hati lapang di dalam inti sebuah poci. Keramik awanama, di antara batu undak-undakan meditasi Goenawan. Ia yang telah menguak rahasia jiwa Landung nan adi Luhung yang bersemi di hutan jati Umbu Paranggi. Tapi sekali-kali, tak akan pernah aku lupakan kesaksian Wiji yang tumbuh dari tangisan sejarah masa lalu. Noda yang tertera pada luka Sambodja. Sekiranya masih ada petilasan senyap dari para pendahuluku. Cabuhan air mata pilu para martir dan tangis para santo. Seruan kelu di bibir para nabi dan kubangan darah para syuhada. Tak akan aku biarkan diriku terpedaya oleh muslihat para penebah jenawi purba, hujah para tukang fitnah, hasutan orator-orator lancung, gonggong penadah puisi kosong. Juga sumpah serapah dan tipu daya para kritikus-kritikus gagap. Igauan busuk plagiator mabuk. Bualan epigon-epigon palsu dan ocehan para dilettante buta. Di mana waktu mengharuskanku mesti belajar lagi.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Apa yang sia-sia dari manusia sejatinya adalah bertahan dalam kebodohan, kekasihku. Dan kau tak akan pernah mengerti, betapa aku lebih memilih menjadi sia-sia, dibandingkan harus melupakanmu.
”
”
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
β€œ
Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium menjadi bekas. Betapa curangnya rindu. Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.
”
”
Joko Pinurbo (Baju Bulan: Seuntai Puisi Pilihan)
β€œ
Seperti pagi yang senantiasa menyajikan cahaya untuk langit Begitulah rasaku terbit Kicau-kicau permai Alunan-alunan rindu di setiap musim yang menyebutmu, aku ada Berusaha menyatukan pelangi yang diderai hujan kemaren sore Mungkin kisah kita masih puisi-puisi lugu yang mengendap di punggung-punggung kertas Syair-syair bisu yang tercipta dari jemari bertaut dengan kecemasan Ia belum memiliki panggung untuk menunjukkan jati diri Hanya gigil hati tak bernama yang dipeluk doa-doa Apakah kita bertemu untuk tinggal? Sebab tamu tidak pernah menetap Hanya datang sesaat, mengetuk pintu hatimu hanya untuk kepentingannya belaka Waktu tidak pernah memanipulasi keadaan Juli dimusim hujan kala itu Semua adalah keadaan yang telah direkam semesta Bahkan jauh sebelum kita ada Aku mungkin adalah cerita yang tak pernah kau impikan di diarymu sebelumnya Dan kau adalah bahasa yang acap kusebut dalam doa Yang belum mampu aku defenisikan untuk sebuah nama
”
”
firman nofeki
β€œ
Rindu. Kadang pahit seperti empedu, kadang manis bagai senyumanmu.
”
”
Candhikkala
β€œ
Hal yang paling busuk dari sebuah hubungan barangkali adalah menjadikan cinta sebagai alasan untuk melegitimasi perpisahan.
”
”
Robi Aulia Abdi
β€œ
Siapa rindu menanti? Di sini. Di kepung gerah mencekik ini. Di tengah gegar panas cuaca ini.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Pada Sebuah Malam Minggu Engkau seperti sengaja tidak mengikat kaki sang waktu saat aku bertandang ke rumahmu. Dengan santainya ia leluasa mondar-mandir ke mana saja. Berjalan berlenggang dari teras ke ruang tamu. Berjingkat dari dapur ke ruang makan, lalu berbaring seenaknya di tempat tidurmu. Padahal aku tak datang dengan tangan kosong malam itu. Jauh-jauh hari aku sudah mempersiapkan diri. Sengaja kubawa oleh-oleh sebungkus martabak kesukaanmu, serta banyak buku bacaan tentang hujan demi menyenangkan hatimu. Walau sudah beberapa jenak lamanya kita tidak bercakap-cakap sebagai sepasang kekasih yang saling merindukan. Dalam hati aku ingin sekali memelukmu, menghirup wangi rambutmu. Seperti angin memeluk mesra seekor burung prenjak yang bertengger di atas pohon jambu di luar sana. Sayangnya, ada bidak-bidak catur yang membatasi jarak di antara kita. Secangkir kopi dingin di atas meja, dan pemikiran-pemikiran sepi yang teramat sulit dimengerti. Aku berusaha menafsirkan sikap diammu sebagaimana engkau menerjemahkan awan kelabu yang tercipta dari asap rokok yang dihembuskan bapakmu di balik layar televisi. Kita memang tak sedang menciptakan ingatan lewat lagu-lagu Broery Marantika. Juga tidak melalui sisa-sisa puntung yang memenuhi asbak dan percakapan yang sekadar berbasa-basi. Sebab sudah lama sekali aku mencintaimu dengan caraku sendiri. Aku tak menunggumu semalaman hanya untuk menyambut pelukan atau setidaknya uluran tangan. Aku juga tak mengharap untuk mendapatkan sebuah ciuman. Sudah terlalu lama aku mencurigai kebebalan pikiranku sendiri. Seperti menanti sesuatu yang sesungguhnya aku sendiri tak mampu pahami. Apa yang mungkin ditawarkan langit kosong sepi yang tak mengisyaratkan hujan? Barangkali cuma desah nafas tertahan, atau mimik wajah dan gerak tangan yang memancarkan bosan. Tak kutangkap isyarat rindu dalam matamu. Lalu, mengapa aku mesti sibuk mencarinya pada tumpukan majalah remeh-temeh perintang waktu? Bukankah masih ada sketsa goresan tangan yang sengaja tak engkau tuntaskan di atas meja kaca yang nyata-nyata kesepian? Tatapan mata dingin tanpa ekspresi pada potret keluarga di atas meja credenza dan foto almarhumah ibumu yang terpajang di dinding. Hanya sedikit sisa ampas kopi yang nekat berani menerka-nerka perasaanmu saat itu. Apakah waktu akan terus bersahabat dengan diriku? Apakah waktu, akan mempertemukan hati kita lagi, satu saat nanti?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Aku Rindu Sungguh lucu untuk menyadari kenyataan, bahwa aku sungguh senang bercakap-cakap denganmu. Sekalipun kau lebih banyak diam mendengarkan dan sedikit sekali yang kau ucapkan. Walau demikian, aku tidak merasa seperti angin yang bercakap sendirian. Buatku, engkau adalah daun gugur yang bisa aku bawa terbang ke mana saja. Ke segala tempat yang aku mau. Aku merasa bebas bercerita padamu tentang hari-hari yang aku lalui. Tentang pikiran-pikiran yang aku renungkan. Tentang hal-hal yang aku rasakan. Atau tentang semua peristiwa yang aku alami. Saat aku mengunjungi tempat-tempat jauh. Bertemu orang-orang dengan berbagai watak dan perilaku. Kadang aku menemukan peristiwa yang unik dan menggelikan. Dan kau selalu tergelak saat mendengarkannya. Aku sungguh beruntung pernah memilikimu, karena aku bisa menjadi diri sendiri. Tapi meski begitu aku juga merasa sedih, karena tak banyak yang aku ketahui tentang dirimu. Oleh karena itu kutulis surat ini hanya untuk menyatakan kerinduanku padamu. Aku rindu menjadi angin dan kau adalah daun gugur yang aku terbangkan ke mana saja. Apakah kau juga tengah merindukan diriku saat ini? Setidaknya, tidakkah kau rindu mendengar ocehan-ocehanku?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Kalau Kamu Kalau kamu pernah buat aku bersedih, itu karena keberadaanmu punya arti bagiku. Dan sedih itu adalah pertanda bahwa aku kehilangan dirimu. Kalau kamu pernah buat aku kecewa, itu karena kehadiranmu senantiasa aku butuhkan. Dan kecewa itu adalah perasaan yang lahir saat engkau menolak hadir. Kalau kamu pernah bikin aku bahagia, itu karena kamu telah membuat aku merasa berharga. Dan aku tak perlu menjelaskan kenapa bahagia itu ada. Kalau kamu pernah bikin aku rindu, itu karena aku tak dapat menghalau pikiranku dari bayang-bayangmu. Dan sedahsyat apapun rindu aku berusaha untuk menangungnya. Kalau kamu pernah bikin aku jatuh cinta, itu karena kamu memang pantas untuk dicintai. Dan sayang sekali bila kemudian kepantasan itu sirna begitu saja. Kalau kamu pernah bikin aku menangis, itu karena kamu mengajari aku untuk menjadi kuat. Dan untuk menjadi kuat itu ternyata sulit sekali rasanya. Walaupun demikian, aku merasa bersyukur telah mengenal dirimu. Darimu aku belajar menerima kekurangan dan berdamai dengan diri sendiri. Belajar memberi lebih banyak perhatian walau kadang diacuhkan. Belajar untuk tetap mencintai walau pada akhirnya dikecewakan. Terimakasih untuk segala apa yang pernah kamu lakukan dalam hidupku. Semoga kau di sana bahagia dan baik-baik saja.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Perjalanan Pulang Demi Menemukan Rindu Gerimis menemaniku saat aku tiba di kotaku sendiri. Bukan lagi tempat menyimpan kenangan atau lembar sejarah, melainkan tempat yang dipenuhi aroma yang setia menyelimuti tubuhku dengan segala apa yang aku kenal. Seperti aliran sungai banjir kanal yang membanjiri pikiranku dengan rupa-rupa perasaaan; luapan kesedihan, kegembiraan, kemuraman, kebahagiaan, kegalauan yang asing dan segala entah yang bercampur aduk jadi satu. Tapi Entah mengapa tak kutemukan rindu? Apakah sungguh aku tak pernah menjadi bagian dari hiruk-pikuk kota ini? Gamang mencari apa yang tak kunjung terselami. Kuhela waktu bergerak di atas roda berjalan lambat mengelilingi taman-taman kota. Larut sepenuhnya dalam perhelatan nikmat menyantap hidangan penggugah selera yang dijajakan di pinggir jalan sambil menekuri panorama gedung-gedung lama. Lalu menyempatkan diri berpose sejenak di depan tugu belia yang seolah memiliki mata yang menatap ke segala arah. Kota tua ini berasa makin membungkuk oleh beban usia yang entah sudah berapa lama ditanggungnya. Tenggelam dalam kerumitan labirin dan lorong-lorong dengan seribu pintu yang akan mengantarkan kita menuju ke segala tempat yang kita mau. Hanya saja aku masih merasa tak menemukan apa yang aku cari di setiap sudut kota ini. Mungkin tanpa aku sadari ia sudah jauh merasuk ke dalam diriku sendiri; Mata yang gundah, senyum yang selalu resah dan penggalan kata-kata tak utuh yang tak mungkin dapat kurangkai untuk menjadi sebuah puisi cinta. Entahlah... Gerimis masih menemani perjalananku pulang ke tempat yang ingin sekali kusebut sebagai rumah. Dan berharap, masih akan kutemukan rindu itu di sana.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Separuh Perasaan yang Tertinggal di Kota M Peluit kereta mungkin satu satunya pertanda yang masih aku dengarkan. Setelah semua detak itu terhenti di perempatan yang memisahkan diriku dari dirimu, mungkin hanya beberapa kilometer saja jauhnya. Aku duduk merenung sendiri di salah satu taman di sudut kota di mana kutahu kau berada. Tentu saja tak ada hujan dan perasaan-perasaan yang kini telah menjadi lapuk di makan usia. Riuh kendaraan ternyata tak mampu menyembunyikan kerinduanku padamu. Perasaan yang sempat aku curigai telah berubah tuli sejak bertahun-tahun lalu. Bagaimana mungkin kita bisa bercakap lagi, sementara jarak adalah batas yang nyata-nyata kita ciptakan sendiri? Jauh yang berasa dekat atau dekat yang berasa jauh tak lagi punya pengaruh. Dan demikian pula dengan pikiranku. Hanya separuh masa terlanjur letih menunggu dan lalu langkah roda kereta bergegas meninggalkan kotamu. Tanpa hujan, tanpa satu pun ucapan perpisahan.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Ini malam tak ada jejak yang membaca cinta. Rindu siapa nganga di jurang puisi?
”
”
Helvy Tiana Rosa
β€œ
Jika tak ada puisi hari ini, akan kuisi puisi haru hari ini dengan wajah paling murung di muka bumi. Sampai ia jatuh terperangah di ruang kedap harap. Harapan memilikimu.
”
”
Alfin Rizal