“
anjing-anjing buta melolong menangisi
lobang-lobang di tembok. melodi, tak lebih
dari dalih kesunyian dan cinta. erangan yang
memuakkan. percakapan itu terkesan mewah:
penyair yang lupa membawa topinya, dan
lintingan lisong yang tak mungkin mengerti
puisi bila disandingnya bukanlah kopi. oh,
betapa luka 300.213 centi itu melebar makin
timur, menorehkan nganga tempat nanah
menggembung dengan lapisan perih dan bau
amis.
mobil pikap tua, penuh kangkung dan ibu yang
tidur di atasnya, setenang Buddha. jalan terus
ke kiri, menyempil di antara truk-truk besar
yang tak mau kalah, tetap ngotot meski makin
di pojok. masih saja setenang Buddha: tidur
yang penuh rahma
”
”