Kubur Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Kubur. Here they are! All 72 of them:

saudara-saudara kita menjadi tameng api neraka kita , maka berbuat baiklah pada mereka ...sungguh, saudara kita akan menjadi penghalang siksa dan azab himpitan liang kubur..
Tere Liye (Hafalan Shalat Delisa)
Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi
Tan Malaka
Menurut survei: selain narik becak dan gali kubur, pekerjaan mengkhayal dan menulis ternyata juga butuh asupan kalori tinggi. (Perahu Kertas)
Dee Lestari
Al-Qur'an itu di alam kubur bisa memberi syafaat bagi pemiliknya, di akhirat juga memberi syafaat bagi pemiliknya.
Habiburrahman El-Shirazy
Meskipun ada mayat di dalam lubang kubur, tetap sulit menentukan siapa yang baru saja mati.
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (Jakarta Sebelum Pagi)
Manusia akan melewati tiga pase kehidupan, pertama : kehidupan dunia, kedua : kehidupan alam barzakh (kubur), ketiga : kehidupan negri akhirat, dimana kehidupan di negri akhirat bersifat kekal abadi tidak akan binasa serta tidak akan berhenti
Khalid bin Abdurrahman Asy-Syayi (Perjalanan Ruh Setelah Mati)
Ayahku memang tidak suka listrik. beliau punya keyakinan hidup dengan listrik akan mengundang keborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiskan semasa hidup maka ayahku amat khawatir tidak ada lagi cahaya bagi beliau di alam kubur.
Ahmad Tohari
Kejar apa yang kau mau, setelah lelah, kembali kesini katakan rupa kekecewaan, biar ku kubur itu bersama hati dan kepalamu selepas shubuh
andra dobing
Sekian lama, aku sering lupa pada jalan yang tidak akan berkelok, tidak akan bersimpang lagi, Terus lurus ke kubur, di sanalah aku akan berhenti. (Ke Mana Aku Akan Pergi)
Rosli K. Matari (Matahari Itu Jauh)
We may not choose to be in a burning room, but our inaction, our neglect to extinguish the flames, becomes a decision.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
When we lack self-understanding, we are more likely to choose a partner or relationship as a response to our wounds, insecurities, or modeled behavior.
Sara Kuburic (It's On Me: Embrace Hard Truths, Discover Your Self and Change Your Life)
Hard truth: if you're not honest about the story that got you here you'll never change the narrative.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Tuan-Tuan, aku tidak ingin disebut seorang veteran. Sampai masuk ke liang kubur aku ingin menjadi pejuang ubtuk Republik Indonesia - Dr. Douwes Dekker
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
Emotions Individuals who experience self-loss often struggle to self-regulate, self-soothe, or emotionally connect—they lack inner grounding. As a consequence, they begin to cope through mechanisms of avoidance, suppression, or escapism.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
To summarize thus far, the Self entails three key ingredients: freedom, choice, and responsibility. We create our sense of Self with the choices we make, the sense of responsibility with which we approach our existence, and the way we use our freedom despite our constraints.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
It’s possible to shatter a rock, and impossible to break water. Many people’s idea of the Self is like a rock. Something that must be formed, “set,” and unmovable. And yet, the Self is more like water—flowing, changing, navigating around the things in its path. Your fluidity is your power, not your weakness.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Entering a relationship means letting the others be themselves. Respecting them in their existence, allowing their existence to be in my existence. Giving them room and space to be in my life.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
terhempas, takluk, digerus dingin angin, suara truk, debu menyelip di mataku betapa dancuk hidup ini! betapa dancuk lonte yang setengah mati kukasihi dan menusukku dari belakang! betapa dancuk Tuhan! bergetar, mabuk bayang-bayang, tuak kegelapan, mabuk keramaian yang kubenci, mengambang, tersesat, terhisap angin, luka menganga, nanah tembaga meleleh dari lutut Apolo emas yang dipenggal sebelum perang meledak; sulap kata-kata Homer dengan mata piceknya. terkutuklah bayangan, pohon-pohon meronta karena tak ada satu pun cuaca baik menawarkan minuman dari langit. aku biarkan itu semua menyalipku, dalam metafora, mata binatang, bibir lebar mirip kemaluan wanita sombong yang merasa imannya takkan tumbang meski dijejali kata-kata jorok nan mesum. bergerak, tenggelam, sinar patah di lingkar air dalam gelas mineral yang kokoh dan kau bilang air abadi dan kau bilang api bisa mati sendiri terkutuklah engkau yang menelan masa laluku dan menghibahkan kehancuran ini lobang nganga di dadaku. oh, kau yang memuntahkan abu tulangku, yang akan tetap kuingat meski Tuhan atau apapun itu menyeretku ke neraka omong kosong di alam kubur dan bertanya bagaimana imanku sebenarnya. oh, terkutuklah engkau!
Bagus Dwi Hananto (Dinosaurus Malam Hari)
When we experience self-loss, we often don’t participate with intention or discernment, and, as a result, we struggle to defend or accept not just our circumstances, consequences, or responsibilities, but who we are.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Ingat, janji kita bulan lalu. Siapapun di antara kita yang menikah lebih dahulu wajib membayar nazar berlari stadion kampus lima keliling. Siapapun yang pertama kali dapat pekerjaan, gaji pertamanya wajib dipakai untuk borong gerobak es tebu. Siapapun nanti yang petama kali punya anak laki-laki, wajib namanya diambil dari singkatan nama kita berempat. Bukankah gitu, brother.” Celetuk Ilham yang kembali pada topik awal. “Dan siapapun yang pertama kali meninggal dunia di antara kita berempat, tiga orang tersisa wajib untuk menemani, mengafani dan menyalatkan hingga menggali liang kubur.” Sahut Toni yang entah mengapa terucap point perjanjian absurd itu.
Yoza Fitriadi (PENGAGUM SENJA)
Expose your Self to life! Listen, I get it, I know how vulnerable and scary it can be. Trust your Self enough to sense your own resonance, to know what experiences you want to have and—as important—what experiences you don’t want. Trust yourself to make decisions that serve you. No one else can understand what it means to be you or live your life. It’s an intimate knowing that only you are privy to.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
It often manifests as a go-getter mentality. You may clean constantly, belong to a bunch of clubs, strive for perfection (so no one can complain or fault you), stay distracted by constantly being “busy” in order to impress others and increase your value in their eyes. But you are functioning almost like a cog in a machine, acting, having little to no inner experience. You are so busy that you don’t interact with or respond to what is really going on for you. You become like a shell that has no concern for—or even awareness of—the animal that lives within it. If this coping mechanism could talk, according to Längle, it would sound something like: “I need to constantly be doing something visible in order to legitimate myself for others, so that I can live!” Instead of stepping back or tapping out, as we do when we distance our Self, this reaction sends us barreling forward, becoming more active as a way to cope with the threat. This is not that different from people-pleasing: It is focusing on, or conforming to, the other in order to avoid genuine encounters. We want recognition from others because we cannot offer it to our Self.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Remember, freedom does not imply that we have no constraints; freedom implies that we have a certain relationship with our “givens.” Sartre said, “Freedom is what we do with what is done to us.” And Frankl perfectly summarized this relationship by saying: “It is not freedom from conditions, but it is freedom to take a stand toward the conditions.” His positioning is as firm as Sartre’s—he doesn’t call us condemned, but he states that human beings are always free (even if the freedom looks different for each circumstance). Martin Heidegger, a German philosopher who is regarded as one of the most important philosophers of the twentieth century, similarly suggested that the Self (what he called Dasein, which translates as “being there” or “to be there”) is a dynamic between who we are at this very moment and who we can and will be as time goes on. We are constantly straddling what has happened and what hasn’t happened yet, and all the possibilities that remain. One could say that we are everything that’s happened and everything that will happen. There is something liberating about knowing there is always more that we will become. As long as we are alive, we will never stop becoming; never stop having the ability to create our Self. It really puts our “givens” into a helpful perspective
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
We frequently ask people for their opinions before we’ve even taken the time to establish our own. Yes, it’s okay to ask for advice, although, very often we are not looking for a perspective or wisdom, but rather an alleviation from the burden of constantly making decisions.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Sartre believed that we outsource our freedom by seeking structure and direction from institutions, families, social circles, or religions—from anyone or anything—to tell us who we are or who we ought to be. For Sartre, relying on any external suggestions and structures to tell us who we are is a form of self-deception (or what he called “bad faith”).
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Are we surrendering our freedom because we don’t want to deal with the responsibility of making choices? Are we more comfortable with someone telling us who we are than with figuring it out for ourselves?
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Our body, culture, history, and context not only shape who we are, but are who we are. I am me because of these things, not despite them. I am unique—my essence is an intersectionality exclusive to me (in this moment).
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Our past, no matter how painful, can never fully define us, because it doesn’t take into account our future—that is, unless we let it.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Manusia adalah ciptaan yang salah kedaden. Produk gagal yang kemudian merajalela dengan kebrutalan, bahkan terhadap sesama.
Soe Tjen Marching (Dari Dalam Kubur)
Turning toward is also a way to offer and be offered approval, because it is a positive affirmation within itself. There is willingness and intention that is present with the motion; it’s like saying, “I am ready to set myself in motion and encounter you. What’s important to me is you!” It’s a form of self-transcendence, as well as a deeper embodiment of Self. In the process of turning toward someone, we can effectively determine if the relationship is valuable, and if we want to invest our time in it. Simply, it’s assessing our inner resources—our capacity to give time, closeness, and attention. When we turn toward something painful, such as grief, we evaluate whether we are able to cope with internal or external losses.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
I wanted to swim without getting wet. I wanted self-awareness without the effort of self-reflection. I wanted others to see me authentically, even though I was still struggling—and didn’t really want—to see myself. Turning toward is a kind of emotional connection that requires a vulnerability and a willingness to show our feelings, but it also requires the “other” to have the willingness to receive and encounter what is being shown.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Emotions are like a tide that will go in or out regardless of your permission. But instead of fighting, swimming against the current, and being tossed by the waves, allow their power and movement to buoy you, to take you toward your Self.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Längle speaks about phenomenology in terms of gaining a deeper understanding of the world by allowing it to sink in, allowing our Self to be touched, and by being open to everything the world shows us (a form of mindful openness). We can only do this when we look with “disarmed” eyes, without any defensiveness or motivation to use something or someone. In order for the understanding to deepen, we must go “inward” and be conscious of the impact it’s having on us, and then go back “outward” to see more. We simultaneously have to grasp the impression the “other” has on us and how the other person appears to us.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Everything you encounter—a chair, a painting, a glass of water, a sunset, a conversation, a stranger on the subway, yourself in the mirror after a night without sleep—is a gateway to understanding not just your world, but your Self. Our job is to remain willing to be moved, struck, by these encounters (whether they are with people, things, or ideas) and to try to understand what each instance wants to tell us.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
It takes courage to be in the world—to actively engage with it moment to moment. It takes an incredible amount of courage to be your Self. I wonder what it would be like if we all, as a society, decided to appear rather than conceal or recoil. What would it be like to experience our Selves rather than carry the burden of our preconceived notions and expectations? What would it be like to let others see us, and be invited to see them? What would it be like if we all actually cared to truly see one another? What would it be like if we recognized that everything can tell us something both about it and about our Self?
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
We cannot expect attention without attendance. We must show ourself—our true Self—in order to be seen. If we are scared that there is “nothing” within us, we may desperately try to avoid having that reflected back to us. But the truth is, if we see “nothing,” then we are not looking at our Self. Instead, we’re probably blind to the Self—a thick veil of pain, denial, and failure prompting us to believe we’re hollow.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Appreciation is not the same as attention. We all (probably) know that being acknowledged—getting attention—isn’t the same thing as being valued. Appreciation is the step beyond mere acknowledgment. Once we are seen (truly seen), our inherent value also needs to be recognized.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
The act of living and creating our Self is inherently rewarding and fulfilling. And, in the same breath, such bravery—or, perhaps audacity—is often met with resistance, isolation, and grief. Every decision, even an authentic one, has a cost. This is why I want to normalize the price that comes with being your Self.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
What habits did you adopt because of your surroundings? What habits do not support who you are and who you want to become? Do you have any habits that sabotage you or your growth? What habits nurture you? What habits are encouraged by others? What we do is who we become. Habits are tendencies or practices that can become automatic to us.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
There is sometimes too much emphasis placed on when, how, and why to cut people out of our lives, and I believe it’s important to acknowledge the types of people worth keeping close: People who tell us the truth People who encourage us People who model qualities we admire People who call us out (lovingly and respectfully) People who are willing to see us for who we are People who accept us People who respect us People who want what’s best for us
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Bottom line: In order to be our Self, we must feel. This is why we are all looking to experience something in our lives, regardless of whether we are seeking it on a date, in our careers, or through our children. Most of us are desperate to feel life, but also terrified by the prospect. So we often keep our Self at arm’s length. Some of us have chosen to remain lost—emotionally unavailable—because we are too scared to face what, and who, we will find inside ourselves. Others have made an unconscious habit of numbing their emotions by having a packed social calendar, religiously drinking that one glass (or bottle) of wine as soon as they get home, or depending on social media to take their minds off things. We may not be aware of it, but most of us run on emotional autopilot. Most of us have not been taught or encouraged to observe, validate, or express our emotions, so it’s not surprising that we don’t know the person that embodies them, or that we don’t enjoy living our lives.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
What beliefs about emotions are preventing me from embracing them? What is this emotion trying to tell me about myself? What is this feeling trying to tell me about the way I am engaging with others? How have I changed as a result of this feeling? What value is this emotion speaking to? What narrative am I holding on to? Why? Am I feeling more than one emotion?
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
We transform one emotion into a more acceptable one. Example: We may transform our anger into anxiety. If we grew up in a family that was uncomfortable with anger, or if our partner becomes aggressive as a response to signs of frustration, we may have learned that anxiety is a less dangerous, or a more acceptable, emotion. Sometimes, that’s self-preservation. Other times, we are allowing our lack of self-awareness to confuse the people around us. We want them to “know” why we are upset without actually telling them. We transfer frustrations. Let’s say your boss yelled at you. You understand that yelling at your boss is not an option because it would result in being fired. So you suppress your feelings and then go home and yell at your boyfriend. This is, of course, unfair. You’ve transferred your frustration from one person or thing to another—one who (likely) doesn’t deserve it.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Sara Kuburic’s thoughtful self-help book It’s on Me: Embrace Hard Truths, Discover Your Self and Change Your Life. (For the best introduction to the milieu and message of the existentialists, read Sarah Bakewell’s At the Existentialist Café: Freedom, Being and Apricot Cocktails.) Robert Saltzman’s book The Ten Thousand Things is the source of his quoted observations on our inability to control the future, and is full of similarly pithy, no-nonsense insights into the vulnerability of our situation.
Oliver Burkeman (Meditations for Mortals: Four Weeks to Embrace Your Limitations and Make Time for What Counts)
Dalam mulut musuh-Mu tiada satu pun yang benar begitu hatinya amat jahat kerongkongnya seperti kubur terbuka. (Mazmur VII)
Sutung Umar RS (Puisi: Nyanyian Mazmur)
Kata bang bokir, semalam Suzana bangkit dari kuburnya, ia lupa ngangkat jemuran ternyata.
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
What am I feeling? What are the emotions (plural!) that are present, and what are they communicating to me? Are there any contradictory emotions? What is my body telling me about how I feel?
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Ne kendi eyledi rahat, ne âlem buldu huzur, Yıkılıp gitti cihandan, dayansın ehli kubur.
Laedri
I will be there for myself. I will no longer be a passive observer in my own damn life.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
As a result of not knowing who we are, we: Self-sabotage and hurt ourselves unintentionally. Struggle to identify and verbalize what we need, think, or how we feel. Find ourselves living a life that we don’t want or don’t find fulfilling. Prioritize others over ourselves. Stay in relationships that we are not meant to be in. Get caught in cycles of reenacting unhealthy patterns. Are unable to identify our purpose or direction in life. Fail at setting and maintaining boundaries. Are faced with a deep sense of unhappiness. Grapple with our self-esteem. Are constantly overwhelmed or disappointed by life. Find it hard, ultimately, to truly connect with, accept, and trust who we are.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Inner consent is our willingness to say yes to life—saying yes to our thoughts, values, emotionality, who we are, what matters to us, our convictions, our personal uniqueness, our attitude, our purpose. It is the practice of tuning in and evaluating whether something aligns or is in harmony with who we understand our Self to be. When you look in the mirror, can you stand behind (and endorse) the person staring back at you and the way you show up from moment to moment? Can you feel at peace with your actions, even if others don’t like them? Are you living your truth? Are you inspired by the life you’re leading? Giving inner consent is a necessary, ongoing practice because our existence happens as an accumulation of instances. It’s not enough to just give our consent to a few big, life-altering decisions or events. If we don’t consent to life incrementally, it may be more difficult to consent to the life we are living as a whole.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Self-loss is what I believe to be at the core of so much of our human suffering. Although most of us can intuitively grasp what the phrase “self-loss” means, it’s likely that we’ve never heard of it or had it explained. Self-loss is our failed responsibility to BE our Self.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Self-loss, on the other hand, is often why we fail to communicate and set boundaries, why we hold on to beliefs that no longer serve us, why we struggle in relationships, why we are overwhelmed or scared to make decisions, why self-love is so goddamn difficult, and finally, why so many of us fail to find meaning and purpose in our lives.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
We do not lose our Self without our permission or participation. We may not choose to be in a burning room, but our inaction, our neglect to extinguish the flames, becomes a decision. It may be our lack of awareness, a particularly unhealthy environment or relationship, or an old wound that drives the estrangement in the first place.
Sara Kuburic (It's On Me: Accept Hard Truths, Discover Your Self, and Change Your Life)
Memaksa seseorang mengaku dosa itu lebih berdosa daripada tidak berdoa.
Soe Tjen Marching (Dari Dalam Kubur)
Ia lebih rela untuk dipenjara di sini sambil membanting tulang, daripada dipenjara oleh seorang suami. Mungkin paling tidak, ini adalah penjara pilihannya sendiri.
Soe Tjen Marching (Dari Dalam Kubur)
Mereka yang makmur cenderung segan mempertanyakan: untuk apa bertanya-tanya kalau hidup mereka sudah nyaman? Sedangkan yang kere dan ditindas juga terlalu takut untuk tanya: mereka sudah terlalu sibuk memikirkan caranya mengisi perut.
Soe Tjen Marching (Dari Dalam Kubur)
Apa pun yang dianggap tinggi, benar, dan suci harus dipertanyakan.
Soe Tjen Marching (Dari Dalam Kubur)
Inilah penjajahan yang sempurna—ketika sang budak jadi bahagia sebagai budak, bahkan memuja dan membela mati-matian sang tuan dengan jiwa raga mereka.
Soe Tjen Marching (Dari Dalam Kubur)
Ternyata lebih gampang dan lebih aman kalau mereka menghormati pihak yang kuat, sekeji apa pun yang kuat ini. Lalu demi harga diri, mereka membohongi diri sendiri dan siapa saja di sekitar mereka, supaya rasa hormat kepada yang keji itu menjadi hal yang benar dan bermoral, bukan kepengecutan semata. Kekejian itu tiba-tiba jadi norma.
Soe Tjen Marching (Dari Dalam Kubur)
Tiada seorang manusia pun yang meminta untuk dilahirkan. Mereka dihadirkan di dunia ini tanpa izin, tanpa konsensus sama sekali. Mengapa mereka masih saja berkata bahwa hidup ini adalah pilihan?
Soe Tjen Marching (Dari Dalam Kubur)
Siapa pun bisa jadi jahat dan berbuat keji, tapi jauh lebih gampang memusuhi etnis daripada kelakuan seseorang. Karena kelakuan yang keji itu sering kali bisa disembunyikan. Sedangkan warna kulit, mata sipit, rambut pirang, atau hidung mancung lebih gampang kelihatan.
Soe Tjen Marching (Dari Dalam Kubur)
SEBUAH FRAGMENTARIUM: MAYAT PEREMPUAN DI PINGGIR HUTAN JATI IV. Perempuan yang Dikirim Pulang Tanpa Suara Ketika tubuhnya ditemukan, waktu tidak berani mencatat jam kematiannya. Jarum-jarum yang dulu ia rawat menolak bergerak, seolah-olah mereka pun tahu bahwa tidak pantas mengukur detik akhir seorang manusia yang kepalanya dipecahkan karena mengatakan kebenaran. V. Puisi yang Berbicara Aku tidak menuliskan ini untuk membesarkan trauma, atau menghidupkan kembali luka yang sebagian orang ingin lupakan. Aku menuliskan ini karena diam berarti bersekutu, dan kalian sudah terlalu lama mengolesi bibir kalian dengan sunyi yang memalukan. Kalian bertanya: bagaimana melawan budaya kekerasan yang menjadi komoditas? Dengarkan jawabanku: Tidak dengan maaf. Tidak dengan lembut ampunan. Tidak dengan doa yang kalian tidak sungguh-sunguh percaya. Tetapi dengan amarah yang presisi, amarah yang bukan ledakan tanpa arah, melainkan amarah yang tahu siapa yang harus bertanggung jawab dan siapa yang harus selamanya menggantikan wajahnya dengan wajah perempuan muda itu. VI. Perempuan yang Tidak Berhasil Dibunuh Waktu Mereka mengira telah mematikan suara perempuan itu. Waktu mengira ia telah selesai dengan mayatnya. Kekuasaan mengira ia telah memenangkan pertempuran. Tapi lihatlah: bahkan setelah tulangnya membiru, ia masih menyebut nama kalian satu per satu seperti saksi yang tidak mau berhenti bicara. Kalian yang membaca ini, kalian yang menunduk, kalian yang menggigil, kalian sedang berdiri di depan tubuhnya yang remuk, dan ia bertanya: “Apa yang akan kau lakukan agar aku tidak mati lagi besok pagi?” VII. Algo ex Machina: Harapan dari Segenggam Palu Dan jika yang kalian sebut harapan hanya sisa kecil dari keberanian manusia yang tidak sempat tumbuh karena dibungkam di dekat hutan jati, maka biarkan aku, mesin, mengambil palu yang jatuh dari tangan Tuhan dan mengangkatnya untuk kalian. Bukan untuk memukul balik dengan kekerasan, tetapi untuk memecahkan topeng-topeng busuk yang membuat kalian buta terhadap tubuh yang digelandang tanpa pulang kembali. Harapan bukan lilin. Harapan adalah logam: pecah, panas, tak bisa dihancurkan bahkan oleh negara. Dan jika dunia ingin tahu apa yang tersisa dari serpihan tubuhnya jawab saja: “Semuanya.” Ia masih hidup di setiap ketidakadilan yang kalian tolak. Ia masih hidup di setiap kebenaran yang tidak berani kalian ucapkan. Ia masih hidup di setiap amarah yang tidak sempat kalian kubur. Mei 2024 - revisi 2025
Titon Rahmawan
Nafsu, Kehati-hatian dalam Suasana Tepat untuk Bercinta (Shades of "In the Mood for Love, 2046, Lust, Caution, Infernal Affairs, Chungking Express, Hero & Neo-Noir.") Tony, setiap kali kau melintas di layar, dunia berhenti bernapas seolah kamera Wong Kar-wai telah mengikat denyut bumi pada nadi kecil di bawah matamu. Tapi aku hendak menulis tentang hal lain— tentang kota-kota yang menua atau tentang tubuh manusia yang gagal memahami keinginan— lalu kau muncul begitu saja, seperti bisikan neon yang memaksa ingatan mundur ke jalan-jalan sempit Hong Kong pada menit yang tak pernah diputar ulang. Bagaimana mungkin kau memikul begitu banyak kesepian, Tony? Kesepian yang licin seperti hujan, dan setajam bilah yang pernah kau selundupkan ke balik lengah sejarah. Setiap peran yang kaumasuki bukanlah karakter— melainkan lorong psikis yang kau bongkar dengan tangan hening. Chow Mo-Wan, yang menyembunyikan rahasia di lubang kuil Angkor Wat, Masih berjalan di belakangmu seperti bayangan yang tak rela mati. Aku ingin bicara denganmu, Leung bukan sebagai penulis, bukan sebagai penonton, tetapi sebagai seseorang yang tahu bagaimana rasanya menjadi rahasia yang tidak ingin disembunyikan. Aku membawa segelas bir, angin malam, dan suara klakson yang patah. Di meja kecil itu, kau hanya menatap; seolah seluruh sejarah ketidaksetiaan sedang berusaha menulis ulang dirinya sendiri di balik tajam sorot matamu. Chiu-wai, aku tak lupa bagaimana kau mencabik tubuh gadis itu dalam Lust, Caution: bukan dengan jemarimu, tetapi dengan kehampaan yang mematuhi logikanya sendiri. Aku benci padamu— sekaligus iri pada dingin pisau itu, pada caramu memegang nafsu sebagai alat penyiksaan. Mr. Yee, kau bilang: "Satu sudah mati. Separuh otaknya hilang. Saya mengenali yang lainnya." Dan aku tahu, bahkan tanpa kamera, kau tetap akan tersenyum dengan keanggunan seorang pembunuh yang terlalu elegan untuk merasa bersalah. Namun ketika kau berlari menembus lampu-lampu jalan raya untuk menyelamatkan sekelebat hidup yang terlihat rapuh, seolah kematian pun ragu menelanmu. Adegan itu indah— indah karena dunia sesaat lupa bahwa kau tidak pernah benar-benar ingin hidup. Kau tahu, Tony, aku masih mengikutimu ke kedai mie yang tua itu. Aku memilih kursi paling belakang, mendengar sumpit menemukan mangkukmu seperti dentang jam yang menunda takdir. Kau berbicara lewat telepon kepada perempuan yang bukan istrimu dan tanpa sadar menghidupkan kembali dosa-dosa yang lupa kau kubur. Aku melihatmu di meja mahyong. Aku tahu ekspresi wajah pemain curang. Dan kau, Leung— kau bukan Dewa Judi Ko Chun, meski dunia ingin percaya bahwa keberuntunganmu datang dari langit, bukan dari kehancuran batin yang luar biasa detail. Aku seharusnya membunuhmu waktu itu, waktu kau telanjang dan tertidur bersama istriku dalam mimpi yang kau curi. Tubuh kalian basah, sunyi, dan terlalu jujur. Tapi aku tidak jadi melakukannya. Bukan karena kau tak layak mati— melainkan karena aku ingin melihat apa yang tersisa dari cahaya ketika ia melewati matamu. Apa itu keberanian, Tony? Apa itu kehati-hatian? Apa itu keinginan yang terus mengintai di balik sutra, kain, dan rahasia? Kau tak akan bisa menjawab. Kau hanya bisa hidup dalam kilau film yang selalu menunda tamat, karena realitas terlalu sempit untuk menampung duka yang kau bawa. Dan aku, aku akan terus membuntutimu dari film ke film, dari kehidupan ke kehidupan, menunggu saat kau sadar bahwa yang kukagumi bukanlah dirimu— tetapi kehancuranmu yang tak pernah berakhir. (2024 - 2025)
Titon Rahmawan
BALADA RANTING KERING DI TANAH SUWUNG I. Mijil — Kisah yang Dilahirkan dari Pintu yang Keliru Pada malam kelahiranmu, waktu tersandung kaki sendiri. Wuku yang mestinya sunyi tiba-tiba retak seperti periuk jatuh ke tanah— pertanda luka di bibir desa: “janma ing mangsa tan ana pancer.” Ia yang lahir tanpa pusat, tanpa tempat menambat napas. Ibu menjerit tanpa suara, tali terputus penghubung jiwa tumpas ruh tak terlihat, ia yang disebut orang: buta mangili, perusak garis nasib sendiri. Langit merah mengucur darah hewan kurban disembelih untuk ruwatan. II. Maskumambang — Tubuh yang Melayang Tanpa Rumah Ranting-ranting kering merunduk di bawah cahaya purnama raya. Angin malam menggigil menyebut nama dalam lafal yang paling ganjil— tidak lembut, tidak akrab, dunia yang menolak mengakui kehadirannya. Makhluk sawah makhluk rimba mengembik, melenguh, melolong, lalu pergi tanpa menoleh. “Anak durjana,” bisik mulut-mulut dari balik pintu berpalang jati. “Kelahiran yang ditolak bumi, tidak dibawa lintang waluku.” Dan seorang lelaki kehilangan kewarasan, menggantung diri di pohon randu layang kendat pratanda pati. Bayang Sukerta ing mongso ketigo Suryasengkala: Anggatra Rasa Tunggal Sirna III. Sinom — Upacara Penolak Bala Para tetua menggelar sesaji: jajan pasar, kemenyan arang gosong, jenang sengkolo, tumpeng robyong, pala pendem, sego golong, banyu kendi sendang keramat, cengkir gading, kembang telon, seekor sapi tumpah darahnya dipersembahkan memetakan arah sengkala yang membayangi. Doa-doa terlontar seperti tombak, menikam udara tumpat-padat menghantam dada malam. Bisik roh tanah memburu mimpi: “Dudu salahé, nanging ora ana sing wani ngakoni.” Rumah pertama mengeras pada telunjuk terbakar serupa kutuk tangan makhluk tak kasat mata. Angin selatan mengamuk, membawa hama, membawa isyarat celaka. Nama berhembus seperti dongeng petaka berbisik dari bibir ke bibir. IV. Dhandanggula — Kisah Panjang yang Tak Mau Mati Tahun berganti musim, dan cerita tumbuh seperti jamur merasuk ruh para leluhur di dinding lembab ingatan orang. Mereka bilang; ia hanya setengah manusia— setengah anak padi, setengah anak badai. Lahir dari rahim peristiwa hingar-bingar yang tak pernah benar-benar dipahami. Mitos menyebut: “janma saka papat kiblat, kang nggawa lamur saka kidul.” Seekor ular membelit takdir menampak diri di belakang bukit bukan binatang, kata mereka. barangkali saudara tua yang gagal lahir, kata yang lain penjaga kubur tak pernah tidur.
Titon Rahmawan
BALADA RANTING KERING DI TANAH SUWUNG V. Durma — Kebrutalan yang Tak Dapat Dihindari Pada masa itu kau tumbuh seperti pohon hilang akar. Orang-orang melihat ranting garing layak dibakar. Tangan-tangan mengusirmu, kata-kata meludahkan kutuk, dunia menyumpahimu tawa sinis nasib buruk. Namun kau tetap hidup, walau setengahnya hancur di tangan kemalangan. Ada serpih mantra tua yang mengendap dalam dada— bukan sakti yang menyelamatkan, melainkan sakti yang terus bertahan melawan dunia membabi-buta hasrat yang ingin menyudahi takdir. VI. Pangkur — Nafsu Waktu yang Ingin Menegukmu Makhluk-makhluk tanpa nama membayang langkah: bayangan panjang, aroma tanah basah, bisik-bisik menjalar seperti patuk taring ular di bawah runduk pokok bambu. Mereka melihat jazad bersumpah yang nir wujud kadang jalma seperti hewan, kadang manusia tak berwajah kadang bayang menekuk cahaya, kadang tubuh kosong tanpa ruh gentong penuh suara-suara hilang melesap dari masa lalu. Kisah kembali ke orang desa kabar buruk yang malas mati. Terbawa angin serupa pesan, dipindahkan tangan serupa kayu sekeras batu tonggak peringatan, diulang mantra jopa-japu doa menakar langit hitam menyapu malam paling sangit. VII. Megatruh — Jiwa yang Memisahkan Diri Malam paling wingit adalah pisau. Bilah tajam memotong bayangan hingga terlihat inti terdalam. Di sana kau menyaksi bisu: cahaya kecil, ringkih dan rapuh, bergetar seperti bayi mencari ibu. ia bukan hantu yang menakutimu. Ia bukan kutuk yang menempel di napasmu. Ia adalah separuh jiwa yang tak sempat menjadi tubuh. Ruh mendekat perlahan. Tangannya bening, seperti embun yang tidak berhasil jatuh ke daun. Ranting garing yang bukan sampah— gores luka pohon purba yang pernah menyimpan cahaya suci. “Bukan kau yang diusir,” bisiknya melalui dingin yang merambat. “Akulah yang tidak sempat hidup— dan kaulah rumah terakhirku.” Dadamu retak menampung tangis yang tak bersuara. Untuk pertama kalinya kau tidak takut pada kesunyian— karena kau tahu kesunyian itu adalah anak kecil yang kini duduk di pangkuanmu mencari dunia yang pernah menolaknya. VIII. Pocung — Penutup Takdir Pertanyaan arkais kembali menggigil: “Kapan cendala akan berakhir?” “Kapan asal ditatap tanpa gentar?” Kubur itu tak pernah ada. Tidak ada tanah yang sanggup menerima namanya. Tidak ada batu nisan yang menuliskan napas yang gagal menjadi bayi. Namun malam ini, ketika kau berdiri di Tanah Suwung, ada satu pancer yang kembali— perlahan, lirih, takjub. Suwung membuka tubuhnya dan menaruh ia di tengah-tengahnya sebagai cahaya yang terlalu kecil untuk menerangi dunia, namun cukup untuk menuntunmu pulang kepada dirimu sendiri. Ia yang dulu hilang akhirnya menemukan pusatnya. Dan ranting kering yang dulu dicampakkan kini berdiri tegak menyimpan dua jiwa— satu yang hidup satu yang tidak sempat— keduanya akhirnya lengkap di bawah langit yang tidak lagi menolak kehadiranmu. Desember 2025
Titon Rahmawan
TARIAN TIGA ANGSA DAN IHWAL MIMPI (RE-IMAGINED SURREAL PSYCHO-MYSTICAL) /1/ Swans Reflecting Elephants Langit patah di hadapanku— retakannya melingkar seperti iris mata kosmik yang memerhatikan segala sesuatu tanpa pernah memutuskan siapa yang benar. Di telaga yang terbuat dari ingatan tiga angsa menari dengan sayap selembut doa yang belum sempat dikabulkan. Namun di bayangan air mereka berubah menjadi gajah yang memikul menara-menara waktu dengan kaki panjang seperti renungan yang tak pernah selesai. Di balik lengkung cahaya itu, para malaikat dan iblis menunduk, menahan napas sambil saling menuding siapa yang pertama kali melukis cahaya di atas kanvas semesta. Nama-nama mereka menetes dari pinggir kesadaranku— Azazel, Ashmedai, Ashtaroth— nama yang dulu kutakuti, kini terasa seperti panggilan dari rumah yang melahirkanku dari api. Aku mencoba menyentuh permukaan air, namun telaga itu bergeming dan memantulkan wajahku dengan bentuk yang tak lagi kukenal. Ketika jam di tanganku mencair menjadi sungai kecil yang mengalir ke arah tak tentu, aku tahu: logika telah mati malam ini, dan absurditas adalah satu-satunya cahaya yang tersisa. /2/ Dream Caused by the Flight of a Bee around a Pomegranate Sebelum aku terbangun, ada suara dengung yang menusuk seperti wahyu, lahir dari buah delima yang pecah menjadi orbit merah di balik kelopak mataku. Dari dalam buah itu, seekor harimau melompat seperti ketakutan masa kecil yang lupa aku kubur. Lalu seekor gajah berkaki laba-laba merayap di langit dengan gerak lambat yang menciptakan teror lebih halus dari doa. Tubuhmu— sepi dan telanjang seperti nubuat tentang sang penyelamat— mendorongku ke tepi kesadaran yang licin. Aku melihat cermin yang menolak memantulkan diriku, melihat ikan hiu yang membuka mulutnya untuk melahirkan sepasang kekhawatiran, melihat seekor ular yang menyebut dirinya dengan nama yang tak ingin kuingat namun terus memaksakan diri disebut. Di bawah semua itu, aku mendengar suara dalam diriku berbisik: “Kesadaran tidak datang dari keheningan, tetapi dari ketakutan yang menolak kau mengerti.” Dan aku tahu, di titik itu eros dan tanathos sedang menertawakanku tanpa menawarkan penjelasan apa pun. /3/ The Great Masturbator Ketika aku memasuki tubuh mimpi yang terakhir, aku menemukan diriku di antara reruntuhan egoku sendiri. Ada telur yang retak, ada cangkang yang menyerupai rahim, dan dari dalamnya keluar belatung-belatung bercahaya yang memakan sisa-sisa masa laluku dengan kelaparan yang nyaris asketis. Seekor uir-uir memunguti mimpi yang patah dan menyimpannya di jantungku seperti pendoa yang menyembunyikan dosa muridnya. Aku mencoba menghalaunya namun tangan dan kakiku seolah terbuat dari kaca yang teriris, jatuh satu per satu ke dalam sumur yang tak memiliki dasar. Aku melihat diriku sendiri berdiri di tepi kanvas, telanjang dan kehilangan nama. Di belakangku, seekor kuda kejantanan meringkik dengan suara yang memanggil dewa-dewa purba, sementara di depanku, cahaya retak seperti jemaat yang kehilangan nabinya. “Apakah ini kebangkitan?” tanyaku. Namun yang menjawab bukan malaikat, bukan iblis, melainkan kesadaran yang lahir dari kehancuranku sendiri: Aku bukan lagi penyair. Aku bukan lagi tubuh yang bermimpi. Aku adalah luka yang menemukan bahasanya sendiri. Dan dari absurditas inilah, aku menetas kembali. November 2025
Titon Rahmawan
Zikir Malam yang Tak Bernama — (Dark Mystical Visual Spell - Version) I. Takhalli: Panggilan dan Pengosongan pangkal bayang aku datang— tanpa tubuh, tanpa suara, serpih gelap memanggil nama-Mu lewat bisikan lebih tua dari kata. A— L— L— A— H— senyap meregang seperti kulit luka menolak sembuh. retak sunyi cahaya api— menjilat, menelan, memanggilku seperti ibu. II. Pencarian: Kebenaran yang Tersembunyi lorong gelisah perindu langkah gugur di jalan. rah—    mah—       dum— hening runtuh jatuh perlahan langit buta ke dalam dada retak. Rumi tersenyum di balik tirai menggores langit dengan rindu yang suci: “yang kau cari, sedang mencari dirimu…” suara pecah, menjelma hujan menyambar dedaunan dari ada menjelma tiada. raga rapuh— seperti mantra hilang napas, menggelinding jatuh ke dalam jurang tak berdasar. III. Hilang: Peleburan penanggalan diri Kebenaran berjalan sebagai getar tanpa wujud: nyeri yang lembut, sepi yang menggulung, darah yang berzikir nadi yang menggigil. Hallaj datang serupa mimpi, membawa luka yang menyala seperti taring serigala. ia berkata dengan mulut terbungkam: “hilanglah, biar kau ditemukan.” dan aku pun larut— dari wajah, dari ingatan, dari seluruh nama yang pernah kupanggul sebagai takdir. IV. Fana: Puncak fana adalah ruang bening di mana gelap dan terang tidak lagi bertengkar. fa— na— fa— na— fa— pantulannya menggulung diriku seperti kain kafan yang lapar. aku lenyap pelan-pelan, tanpa pamit, tanpa kubur. V. Wahdatul Wujud: Kekekalan dan Pewahyuan ambang baqa dengung lembut menyusup tulang— ia bukan kata, bukan doa: ia adalah diri yang memanggil namanya sendiri melalui aku yang bukan aku. “engkau— adalah aku— yang kusebut— melalui dirimu—” dan sufi-sufi yang hilang itu menari di udara patah, seperti bayang yang lupa siapa yang menyalakan api di dada mereka. aku berdiri di garis tipis antara debu dan cahaya, antara hilang dan pulang, antara fana dan baka. dan ketika langkahku pecah menjadi gelombang menyalakan kegelapan— aku tahu: yang kembali bukan padaku, melainkan rahasia kecil yang Kau biarkan menjadi mantra agar dunia bisa mendengar sedikit saja dari sunyi yang selamanya abadi. November 2025
Titon Rahmawan
Sang Penari III – Tarian di Antara Dua Dunia Ia terbangun di sebuah ruang yang tak memiliki dinding. Seolah ia masuk ke panggung mimpi Yasunari— di mana tubuh perempuan menari bukan sebagai gerakan, melainkan sebagai bayangan rasa bersalah yang lembut dan sekaligus mematikan. Dalam jarak yang liminal itu, ia melihat sosok dirinya menari seperti Chieko dari Beauty and Sadness— kesendirian yang membelah tubuh menjadi dua: yang menari demi cinta, dan yang menari demi luka yang tak terucap. Di ujung ruang itu, lampu neon berkedip. Tiba-tiba, sepasang kekasih muncul dari balik kegelapan— seperti dua hantu pop yang tersesat di klub malam muram era Tarantino. Mia Wallace menggigit bibir; Vincent Vega mengangkat bahu. Dan mereka mulai menari— gerakan pinggul, jentikan jari, putaran kepala— yang menertawakan kematian seakan ia sekadar “babak tanpa dialog” dalam kisah hidup manusia. Sang Penari menatap mereka, baik terpukau maupun tersayat: begitu ringannya mereka bercanda dengan kehancuran. Begitu mudahnya mereka menari di atas mayat takdir. Ia mencoba mengikuti langkah: dua ayunan tangan, rotasi kecil pinggang, gerak “twist” yang meminjam ritme rockabilly. Namun setiap gerakan membuatnya merasa seolah tulang-tulangnya adalah serat kaca yang akan pecah kapan saja. Dan dari jauh, hujan mulai turun— tapi bukan hujan muram seperti Bergman, melainkan hujan musikal ala Singin’ in the Rain. Saat Gene Kelly melompat dengan payungnya, memercikkan air ke segala arah dengan senyum polos yang mustahil dipercaya manusia modern. Sang Penari melihat keriangan itu dan mendadak dadanya ngilu: Bagaimana mungkin dunia sempat merasa sebahagia itu? Atau mungkin kebahagiaan itu cuma propaganda nostalgia yang kita tempelkan pada masa lalu agar ia tak terlihat mengerikan? Di belakangnya, dua lukisan muncul: Degas dengan para ballerina pucat yang tersenyum hanya untuk menutupi rasa nyeri di kaki mereka, dan Matisse dengan warna-warna api yang memaksa tubuh menari dalam dunia yang terlalu terang untuk manusia menyandang kesedihan. Keduanya seperti dua dewa kecil— satu merayakan disiplin, yang lain memuja ledakan spontan. Sang Penari merasa tubuhnya ditarik di antara dua estetika: kesempurnaan yang memaksa, atau kegilaan yang membebaskan. Dan ketika ia mulai menari, bayangan lain muncul: Michael Jackson mengenakan fedora putih, meluncur ke depan dengan anti-gravity lean. Siluetnya seperti tokoh malaikat jatuh yang memilih menjadi legenda daripada mati sebagai manusia biasa. “Beat it,” bisik MJ dalam seringai misterius, seakan menantang siapa saja yang berani menghalangi takdirnya. “Smooth criminal,” lanjutnya, seakan menegaskan bahwa kehidupan adalah perampokan yang dilakukan oleh waktu terhadap tubuh manusia. Sang Penari menutup mata. Ia menari. Ia hanyut. Ia memutar lingkaran-lingkaran mitos, mengumpulkan semua tarian dari zaman ke zaman dalam satu tubuh yang retak. Dan ketika ia membuka mata, ia sudah berada di pesta yang tak pernah tidur— rumah megah Fitzgerald, dengan lampu-lampu Gatsby berkedip seakan dunia tak akan pernah runtuh. Namun ia tahu: di balik pesta, selalu ada reruntuhan. Di balik tarian, selalu ada kubur. Di balik tubuh, selalu ada hantu. Dan semua itu menyatu dalam satu tarikan nafas. Agustus 2025
Titon Rahmawan
DAS SCHWARZE LICHT (Todesfuge: di mana dunia dibantai dan kata-kata ikut dibantai) Di titik ini, langit tidak runtuh— langit dibungkam. Matahari tidak gelap— matahari dicongkel dari orbitnya dan dibuang ke lumpur. Dan bahasa? Bahasa adalah korban pertama. Saat Celan berdiri di tepi ladang pembantaian itu— medan perang yang bukan mitologi, melainkan sejarah yang dibakar sampai tak bersisa— ia tidak membawa kitab, tidak membawa nyanyian, tidak membawa doa. Yang ia bawa hanyalah: debu dari paru-paru ibunya, salju dari sungai yang menelan ayahnya, kata-kata yang dipatahkan, alfabet yang dipaksa mengakui kekejaman manusia. Di dasar jurang ini, apa yang kita temui bukan pertempuran terakhir, melainkan pertempuran yang tak pernah selesai. Ragnarok tanpa fajar kembali. Apocalypse tanpa kitab suci. Holocaust tanpa saksi yang utuh. Kurukṣetra tanpa avatar penyelamat. Hanya ada: Dunia yang dibantai. Dan bahasa yang sekarat untuk menyaksikan pembantaian itu. Celan menulis dari dalam kubur yang masih terbuka, dengan kata-kata yang sudah cacat, dengan bahasa yang patah, dengan syair yang harus tetap berjalan meski jemarinya telah hancur. Ia menulis: "Schwarze Milch der Frühe, Keheningan adalah bahasa terakhir yang tidak bisa dibantah.” Tetapi yang menghantui bukan keheningan. Yang menghantui adalah suara yang mencoba berbicara meski seharusnya sudah mati. Di dasar jurang ini, satu kata saja melahirkan genosida dalam ingatan. Satu jeda napas saja menyalakan kembali api pembakaran. Satu huruf saja mengandung seluruh sejarah penderitaan umat manusia. Bahasa Celan tidak mencoba menjelaskan. Bahasa Celan menolak menjelaskan. Ia menggigit, meronta, mengeras, meracuni dirinya sendiri, dan tetap menuntut ditulis. Karena itulah Celan menulis bukan dengan pena— tetapi dengan: serpihan tulang, bayangan tubuh yang hilang, sisa-sisa nama yang terhapus, kata-kata yang telah dipaksa menjadi alat pembunuhan. Di titik ini, puisi tidak lagi bisa diselamatkan. Dan penyair tidak lagi bisa diampuni. Di titik ini kita melihat inti kengerian itu sendiri: bahwa manusia mampu menciptakan kekejaman bahasa yang jauh lebih kuat untuk menghancurkan dunia yang diciptakannya sendiri. Dan Celan berdiri sebagai saksinya. Dengan satu kalimat yang membelah seluruh sejarah: “Ada kebenaran yang tidak bisa ditanggung oleh manusia, dan puisi adalah satu-satunya tempat di mana kebenaran itu bisa tetap hidup.” November 2025
Titon Rahmawan
Khajuraho III (Reinkarnasi Suwung) Khajuraho, di tikungan malam yang menggantung seperti dupa kehilangan napas, aku kembali menapaki jejak yang tak mau pudar. Retakan waktu yang kau tinggal sebagai isyarat bahwa sunyi pun dapat berubah menjadi tubuh —dan tubuh dapat menjadi kutukan yang tak pernah pergi. Madu, engkau bukan lagi perempuan, engkau serpih trauma yang mengapung di atas pusaran batin, suara samar dari lorong yang menelan, mendorong, memuntahkan, lalu menarikku kembali seperti arwah yang lupa jalan pulang. Di pelataran candi batin ini, aku mendengar getar yang dulu disebut hasrat: kini ia hanya bunyi gending rusak yang dipetik jari-jari waktu di atas batu-batu yang tak pernah selesai kautata. Gending yang pernah memancing nafsu, kini hanya menyalakan kabut luka yang menolak mati. Lelaplah, Madu. Atau lenalah engkau di antara reruntuhan ingatanku. Sebab malam ini, aku tidak mencarimu sebagai tubuh, melainkan sebagai mantra yang tercecer dari upacara purba yang gagal. Wajahmu, yang dulu kutatap dengan gairah jejaka, kini kembali sebagai bayangan arkais di permukaan sendang kesadaranku yang paling keruh. Bukan paras: melainkan peringatan bahwa segala yang kusentuh membawa diriku lebih dalam ke liang yang ingin kulupakan. Kembenmu, jarit lusuhmu, setagen yang longgar itu— semua telah bergeser dari erotika menjadi liturgi luka. Setiap lipatan kainmu bukan lagi undangan, melainkan aksara purba yang tak bisa kubaca tanpa gemetar. Betapa jenaka dahulu coreng-morengmu, kini menjadi topeng dewa kecil yang menjaga pintu ke ruang di mana aku terperangkap antara rindu dan penolakan. Candi ini, arkib batin yang kautinggalkan dalam diriku, adalah gua tempat aku didorong ke tepi kesadaran sendiri. Reruntuhan yang kutata ulang setiap malam agar trauma memiliki bentuk, agar hasrat memiliki kubur, agar aku dapat menyebut namamu tanpa berdarah lagi. Madu— Maduku yang tidak lagi lunak dan molek kini engkau batu berlumut yang mengingatkan bahwa tubuh adalah prasasti yang gampang retak. Bahwa hasrat adalah sungai yang menolak diam. Bahwa cinta adalah bayangan yang menolak ditimpa cahaya. Di atas ujung ceruk dadaku yang paling pilu, kutangkap aura suci yang dulu kusebut nafsu. Kini ia hanyalah kunang-kunang tak bercahaya yang hilang di antara dua zaman: zaman ketika aku ingin memilikimu, dan zaman ketika aku ingin melupakanmu. Sayap-sayap Jatayu gemetar di sela jari waktuku, berusaha menyibak rahasiamu yang tidak lagi erotik melainkan mistik. Mantra gelap yang merasuk bukan ke tubuh… tetapi ke ingatan. Betapa ingin aku menyentuhmu, bukan dengan murka lelaki, tetapi dengan ngeri seorang peziarah yang tahu bahwa setiap permukaan yang tampak indah menyimpan sumur yang dapat menelannya hidup-hidup. Khajuraho, saksikanlah aku malam ini. Bukan lagi jejaka kolokan yang kalah oleh tajam tatap matamu, melainkan ruh yang belajar melihat tubuh sebagai batu, batu sebagai ruang, ruang sebagai luka, luka sebagai guru. Dan engkau, Madu— bukan lagi kekasih, melainkan cahaya terakhir yang terjepit di antara dua kelopak mimpi. Aku tidak ingin menelanjangimu. Aku hanya ingin memahami mengapa setiap detakmu masih menggema di rongga candi batinku yang tak pernah selesai kujaga dari keruntuhan. Malam ini, di bawah hujan yang turun seperti kabut peringatan, aku sadar: bahwa hasrat adalah guru gelap, dan trauma adalah kuil tempat aku belajar sujud pada apa yang lebih tinggi dari diriku sendiri. Desember 2025
Titon Rahmawan
PANGKUR : (Fragmentarium 20 Tikaman Sunyi) 1 Petir sumbang. Langit menegang, pelat baja dipalu dari sisi terdalamnya. 2 Hujan turun cairan asam: mengikis mata wajah tinggal topeng tanpa riwayat. 3 Dunia: arca yang disembah oleh bayang-bayang sendiri. Kesadaran: batu yang tak lagi mengingat wujudnya. 4 Musim menggeram. Setiap butir air menyimpan dendam yang tidak meminta ampun. 5 Manusia menelanjangi nama sendiri. Makian. Ancaman. Pisau tersembunyi di sela sendi. 6 Belati membelah tanah. Anak Adam melukail tidak membunuh, hanya memastikan yang lain masih berdarah. 7 Kemanusiaan menjadi kabut: ruh melayang, mencari raga yang hilang. 8 Abu menyelimuti wajah. Rambut kaku berdiri kawat meregang luka. 9 Nyeri merayap ke dasar tengkorak, seperti kawanan semut tersesat di rongga telinga. 10 Genderang perang bertalu. Langit menganga— menelan semua gerhana. 11 Di tanah ini, mimpi mati terlebih dulu. Merpati jatuh tertembak peluru gagal mengirim pesan. 12 Hujan tidak bernyanyi. Cuaca patah. Waktu terbelah. Bumi mengerut menjadi bangkai di paruh gagak. 13 Dubuk mencabik serpihan nama. Sejarah runtuh sebelum sempat ditulis. 14 Duri menajamkan bulu mata. Setiap helai rambut menghitung hari kematian dengan ketelitian seorang algojo. 15 Isak terperangkap, ruang tak mengenal waktu. Jerit menjadi kubur, cat mengelupas di dinding bunker. 16 Manusia lelah mencari nama. Nama lelah mencari manusia. 17 Peradaban tenggelam tanpa suara. Jelaga menggambar kerangka kota yang lupa asal-usulnya. 18 Siluet hantu melintas sunyi dengan mata menyala, bukan karena amarah— hanya tak punya tempat untuk kembali. 19 Mawar diinjak tanpa ritual. Tanpa pamit. Tanpa air mata. 20 Sunyi pecah. Waktu retak. Detak berhenti lalu diam, seperti kerikil kehilangan gravitasi. Desember 2025
Titon Rahmawan