β
LAKSAMANA PERKASA DI BAWAH TINTA WAKTU (Reinterpretasi dari Hikayat Hang Tuah)
I. Muara dan Takdir yang Terukir
Selat Malaka, denyut nadi dunia, membasuh pusara takdir.
Bukan sekadar pohon, hikayat tegak dari akar Berbintang Tujuh,
Berkat Sendayangβizin langit dan azimat pelautβpelepah kelapa,
menjadi layar bahtera para perantau dari hulu sungai ke kuala.
Naskah lama, kitab undang-undang laut, lama tersaput debu di gudang aksara.
Di tangan para pandai besi yang tak hanya menempa badik, keris, dan kelewang,
mereka merajah rembulan sebagai panji, matahari sebagai sumpah janji setia.
Di mana pernah berdiri pondok nelayan, gubuk reyot penuh cahaya rembulan,
konon dari rahimnya terlahir Laksamana Agung yang menandingi kedigdayaan Patih Gajah Mada.
Ah, betapa payah bagi lidah patik untuk mengukir riwayat itu sekali lagi.
II. Pelayaran Tujuh Angin dan Dilema Keadilan
Laut, mata air peradaban yang tak pernah terpejam, kini merangkai epik hikayat itu.
Sang Bentara Gagah, bukan menunggang gajah bertelinga lebar, melainkan Naga Sembilan,
Mengayun langkah dari puncak Gunung Ledang, menembus kabut Awan Pualam.
Mengayuh armada melintasi Pulau Pinang hingga Tumasik Singapura
yang telah bersalin nama.
Ia mendarat di Pantai Barat Semenanjung, di bawah Musim Angin Barat yang mematikan.
Saat pintu langit terbuka, ia dan empat sahabatnya melangkah tanpa terhalang.
Setiap langkahnya adalah tinta waktu yang mencatat takdir negeri di atas lembaran daun lontar.
Ia menyaksikan betapa, lima pemuda kampung sanggup menaklukkan sekawanan perompak.
Namun di antara kemenangan itu,
ia merenung dengan getir di hati yang berkarat:
βNegeri ini berlimpah pahlawan dan harta karun tujuh muara yang tiada ternilai,
tapi mengapa rakyat jelata masih memanggul beban kemiskinan
yang tiada terperi?β
III. Prasasti Kebijaksanaan dan Hutan Belantara Moral
Kapal perompak itu karam, bukan pada batu biasa, tapi pada batu bersurat.
Ia menjelma prasasti takdir, tertanam di dasar samudra.
Ikatan mati yang bukan simpul, tapi sayap garuda tunggal yang telah gugur.
Batu hitam bukan bersanding, tapi batu meteorit yang jatuh di tanah Pelinggam.
Kekuatan pedang tak sebatas gerinda, tapi tuah keris tiga warisan yang bernyawa.
Ia tak lagi terbang, tapi arwah Nusantara terus mengitari delapan penjuru angin,
demi menaklukkan seribu pulau jajahan, menyatukan lima suku bangsa.
Namun jantungnya kini tertambat pada hasrat untuk menjadi pohon kokoh kehidupan,
berdaun rimbun Cendana, berdahan sekuat Jati Melaka, berbuah Kearifan Raja-raja.
Betapa ia lupa, negerinya adalah rimbalaya yang sunyi di bawah bulan.
Di mana serigala kekuasaan mencuri, singa buas menindas kawanan yang lemah,
dan gajah-gajah tuli bertahta di dalam istana yang tak sanggup mendengar.
IV. Epilog dan Rumah Keabadian
Kisah ini tak mungkin tuntas, sebab jemari dingin terasa ingin mencekik leher sendiri,
sebagaimana senja berdarah dan kabut likat di Bukit St. Paul yang menyelimuti,
saat Hang Tuah mengakhiri riwayat Hang Jebat dengan satu tusukan Keris Taming Sari.
Keris itu bukan menancap di dada, tapi berumah di pusaran batin sahabat sejati.
Biarkan mata kosmik yang nyalang itu menemukan halaman terakhir hikayat,
Menyelubungi jasad yang terbujur dengan selimut leluhurβkain tenun songket emas,
dan mengirim ruhnya menuju rumah keabadian di puncak Gunung Ledang.
Barangkali dengan cara seperti ini, kita akan terhindar dari tikaman kemalangan sejarah.
Barangkali dengan cara serupa itulah,
kita, para pembaca yang sunyi ini
dapat merangkul kebenaran sejati yang telah lama tenggelam di Selat Malaka.
Jakarta, Januari 2014
(rekonstruksi ulang)
β
β