“
Namun demikian, fakta ironisnya adalah tidak ada satu pun budaya dan tradisi di dunia ini yang mengajarkan orang untuk menghargai keberadaan seorang pelacur atau seorang sundal. Dalam strata kehidupan masyarakat sejak era primordial hingga saat ini, orang orang semacam mereka cuma layak menempati tempat yang paling rendah dan kasta yang paling hina. Kita tidak pernah diajarkan orang tua kita untuk menghargai sampah masyarakat serupa itu, walau pun keberadaan mereka tetap saja dibutuhkan. Kita tak bisa menyangkal keberadaan mereka, namun di sisi lain kita sekaligus ingin menafikannya. Sebuah pandangan stereotype bahwa eksistensi mereka itu semata mata hadir karena dalam kehidupan manusia dibutuhkan sebuah peran antagonis.
Hidup yang keras ini membutuhkan kehadiran seekor kambing hitam. Bahwa hakekat kehidupan selalu diwarnai oleh dikotomi hitam dan putih. Bila ada kebaikan harus ada kebusukan sebagai kontra indikasinya. Dan para pelacur serta sundal itu dibutuhkan untuk mengukuhkan eksistensi dan keberadaan moral di dalam masyarakat. Moral tidak mungkin eksis tanpa keberadaan para pelacur. Sebagaimana tubuh tidak eksis tanpa kehadiran ruh. Tapi apakah keberadaan tubuh hanya untuk mengukuhkan keberadaan ruh sebagai sumber kehidupan? Sebagaimana anggapan bahwa mereka para pelacur dan sundal itu adalah sebuah antitesis dari kesucian dan moral kebaikan para santa? Bukankah penebusan Kristus tidak akan pernah terjadi tanpa pengkhianatan Judas? Namun pertanyaan yang sering menggelayuti benakku adalah, siapa yang semestinya layak kita sebut sebagai pahlawan dan siapa pula yang harus jadi pecundang. Bagaimana nasib Judas Iscariot dibandingkan dengan Titus, seorang perampok yang beruntung karena disalibkan bersama Kristus? Apakah Judas adalah seorang yang terkutuk dan harus menjalani siksa api neraka karena pengkhianatannya? Sementara itu, Titus adalah orang yang beruntung dan terberkati karena setelah kematiannya ia akan langsung diterima di dalam surga?
Aku tak hendak mempermasalahkan kemalangan dan keberuntungan orang lain. Ataupun pilihan pilihan hidup mereka, seandainya saja mereka memang masih punya pilihan. Alangkah baiknya bila kita bisa menanyakan hal itu kepada setiap dari mereka itu. Apakah sedari kecil mereka memang berkeinginan dan bercita cita jadi pelacur, pembegal, pencoleng, perampok atau bahkan pengkhianat? Apakah setelah dewasa mereka sengaja menyundalkan diri dan menyesatkan diri sendiri? Sekiranya orang diselamatkan atas dasar apa yang mereka imani, lalu apakah mereka juga akan menerima hukuman atas apa yang mereka perbuat kemudian? Semoga terberkatilah mereka yang malang dan terkutuk, karena mereka harus mengambil peran sebagai orang orang yang tidak beruntung dan terpaksa harus menjalani apa yang sesungguhnya tidak ingin mereka jalani. Sebagaimana aku pernah membaca sebuah kutipan yang hingga hari ini aku merasa betapa aku sungguh beruntung karena pernah membacanya. Bahwa dialektika itu bukanlah hitam atau putih, dan bukan pula terang atau gelap. Karena surga dan neraka bukanlah milik kita. Saat segalanya berakhir, cuma suara Sang Pencinta yang masih bergema dalam keheningan rimba raya, beriak di atas permukaan danau, "Duhai Kekasih, bagaimana aku hendak memberikan jantungku hanya untukmu?"
Suara itulah yang sedari dulu bergema di tengah padang gurun. Suara yang mengetuk pintu di malam buta. Dialah desau suara angin. Dialah tangisan burung bul bul. Mengapa hujan turun tergesa? Mengapa matahari lari bergegas? Mengapa manusia masih juga bertengkar, memperebutkan kebenaran yang sesungguhnyalah bukan miliknya?
”
”