β
Seperti halaman pembuka buku yang berulang kali kita baca, apakah bagimu hidup sungguh-sungguh berasa hampa? Seperti langkah yang tak memiliki jejak kaki, seberapa centang-perenang dunia yang kita tinggali?
Meskipun ada banyak hal yang jauh lebih penting dari tragedi Yunani. Sudah beberapa waktu orang tak lagi mengenal Dionisos. Kita tak selalu larut dalam pesta anggur kegilaan, ritual pemujaan jiwa atau tenggelam dalam percakapan filosofis antara hidup dan mati.
Persahabatan kita adalah timbunan lumpur sepanjang pematang sawah, yuyu gembur yang merayap di selokan, merah hitam biji saga, permainan bola di tengah derasnya hujan atau aliran sungai keruh tempat di mana kita berenang sambil bersenang-senang.
Namun setelah persimpangan jalan itu, kita tak lagi melihat dunia dari mata Hamlet atau Macbeth. Nyatanya, itu adalah suratan nasib yang menyatukan dan sekaligus memisahkan jarak di antara kita berdua.
Kita telah mengarungi perjalanan waktu dalam sebuah rangkaian cerita dan sekumpulan nama-nama; Dari Agatha Cristhie hingga O. Henry, dari Shakespeare hingga Hemingway, dari Tolstoy hingga Dostoevsky, dari Kawabata hingga Murakami, dari Sartre hingga Derrida.
Waktu meluber dalam kemabukan kata-kata. Engkau yang tak henti membuatku merenung, sementara aku cuma bisa memaksamu tertawa. Begitulah kita lewatkan hari-hari demi membunuh sepi. Sampai kemudian, seperti sepasang kekasih - ajal memisahkan.
Kalaupun sungguh, hidup adalah sebuah tragedi. Aku tak tahu mengapa engkau mesti mengakhiri hidupmu dengan cara seperti ini? Kelabu asap knalpot itu berasa menyesakkan dada. Cekikan tangan kematian yang akan terus menghantui pikiranku bertahun-tahun lamanya.
Kepastian takdir yang mempertemukan. Takdir pula yang menceraikan. Adakah engkau lebih mencintai maut daripada kehidupan? Adakah engkau telah menemukan kebahagiaan yang engkau cari?
β
β