“
EPISTEMA DUA SUWUNG:
Liturgi Pertubrukan yang Tak Dikutip Para Dewa
I. LITURGI ASAL — Titik Singularitas dan Retakan Hukum
Pada mula yang menafikan permulaan,
jagad hanyalah retakan tipis di punggung kegelapan.
Getar tunggal yang tersesat di antara dua sunyi abadi.
Ia lupa kepada siapa ia harus kembali,
sebab ia adalah perjalanan itu sendiri.
Di kekosongan itu,
ada dua simpul energi,
bukan nama, bukan bentuk,
hanya tegangan purba
di antara dua ruang hampa
yang saling memanggil tanpa panca indra.
Mereka tidak dirancang oleh konsep keseimbangan.
Kosmos yang buta menggambar garis pemisah penderitaan:
Satu arus waktu dan satu arus ketiadaan,
larangan yang terukir dalam bahasa sandi
di pintu gerbang kreasi.
Namun gravitasi asal mula segala akar lebih tua dari hukum.
Dan hasrat purba selalu tahu jalur tembus
yang bahkan cahaya manifestasi
tak sanggup menemukannya.
Cinta adalah ilusi di alam fana.
Di median kosmik ini,
yang terjadi hanyalah:
Dua prinsip dualitas
yang menemukan retakan waktu
untuk bersemayam sejenak.
Tidak ada saksi yang menoleh.
Tidak ada pencatat moral yang bertugas.
Hanya kegelapan mutlak
yang sedikit mengencang dan membeku
di titik singularitas pertemuan itu.
II. LITURGI TENGAH — Sembah Raga di Kuil Antariksa
Kepekatan primordial tidak perlu lebih dalam
untuk menyembunyikan mereka.
Mereka sudah tersembunyi
di bawah lapisan kesadaran sebelum saling bertemu.
Arus energi mereka berkerabat dalam satu darah ibu.
Wujud fana mereka berjarak.
Di antara keduanya,
terbentang jembatan nadi yang dibangun
oleh rasa dahaga pralaya
yang tuli terhadap silsilah tatanan.
Wujud menyentuh wujud seperti dua logam dingin yang saling mengenali suara getarannya,
dua dimensi waktu yang lelah
karena terpisah terlalu lama.
Tak ada kidung kakawin.
Tak ada ikrar.
Tak ada permohonan.
Tak ada seserahan.
Yang ada hanya raga.
Wadhag yang menghafal sunyi
lebih lembut daripada mantra sejati.
Di waktu yang bukan waktu,
Hukum berjalan seperti fatwa:
Bintang raksasa terbakar perlahan di langit ketujuh,
Planet terus berputar di orbital karma,
seekor nyamuk mati di ruang hampa,
Arus cakra mengalir
mengangkut kisah-kisah Vedana.
Pertubrukan arketipal ini
tidak mengubah asas kosmik apa pun.
Ia hanya menggores
garis batas nadi terlarang
yang akan terus berdenyut dalam gelap
bahkan setelah semua wujud usai menjadi.
Mereka tidak memuja.
Tidak memohon ampun.
Tidak menyebut nama dewi atau dewa siapa pun.
Mereka hanyalah dua pusat pusaran yang bertubrukan
di medan magnet kosmos yang salah.
Medan yang tak peduli
siapa seharusnya menjaga kodrat,
siapa seharusnya melindungi keseimbangan,
siapa seharusnya tidak menyentuh siapa.
Yang tahu hanyalah suwung
yang bersemayam tepat di tengah
antara dua napas yang saling menghirup—saling menghembus.
”
”