Hijrah Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Hijrah. Here they are! All 14 of them:

Tentang doa, tentang harapan, kepada semua perihal yang ingin di sampaikan, seorang hamba, tanpa menjumlah dosa, ia terlelap, namun tak bangun memburu ampunan. #andradobing
andra dobing
Hijrah dari air mata kepada sukacita. Hijrah dari masa lalu dengan menutupnya rapat-rapat, memberi tanda “selesai” hingga tak menjadi beban ketika melangkah menuju masa depan. Hijrah dari kenangan kepada kenyataan. Bersiap mengganti memori yang usang dengan serangkaian kejadian baru. Hijrah dari kekecewaan dengan memaafkan. (135)
Asma Nadia (Assalamualaikum, Beijing!)
D’you know why God made Hijras? It was an experiment. He decided to create something, a living creature that is incapable of happiness. So he made us.
Arundhati Roy (The Ministry of Utmost Happiness)
In ten short years since the hijrah, Muhammad had irrevocably changed the political and spiritual landscape of Arabia.
Karen Armstrong (Muhammad: A Prophet for Our Time (Eminent Lives))
questioned by a Companion about the best possible hijrah, the Prophet was to answer: “It is to exile yourself [to move away] from evil [abominations, lies, sins].”12 This requirement of spiritual exile was to be repeated in different forms.
Tariq Ramadan (In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad)
Muhammad had become the head of a collection of tribal groups that were not bound together by blood but by a shared ideology, an astonishing innovation in Arabian society. Nobody was forced to convert to the religion of the Quran, but Muslims, pagans and Jews all belonged to one ummah, could not attack one another, and vowed to give each other protection. News of this extraordinary new ‘supertribe’ spread, and though at the outset nobody thought that it had a chance of survival, it proved to be an inspiration that would bring peace to Arabia before the death of the Prophet in 632, just ten years after the hijrah.
Karen Armstrong (Islam: A Short History (UNIVERSAL HISTORY))
The violent secularism of al-Nasser had led Qutb to espouse a form of Islam that distorted both the message of the Quran and the Prophet’s life. Qutb told Muslims to model themselves on Muhammad: to separate themselves from mainstream society (as Muhammad had made the hijrah from Mecca to Medina), and then engage in a violent jihad. But Muhammad had in fact finally achieved victory by an ingenious policy of non-violence; the Quran adamantly opposed force and coercion in religious matters, and its vision—far from preaching exclusion and separation—was tolerant and inclusive. Qutb insisted that the Quranic injunction to toleration could occur only after the political victory of Islam and the establishment of a true Muslim state. The new intransigence sprang from the profound fear that is at the core of fundamentalist religion. Qutb did not survive. At al-Nasser’s personal insistence, he was executed in 1966. Every Sunni fundamentalist movement has been influenced by Qutb. Most spectacularly it has inspired Muslims to assassinate such leaders as Anwar al-Sadat, denounced as a jahili ruler because of his oppressive policies towards his own people. The Taliban, who came to power in Afghanistan in 1994, are also affected by his ideology.
Karen Armstrong (Islam: A Short History (Modern Library Chronicles))
Dua tanda mata di pipi kanannya menyiratkan air mata yang tak pernah dititikkannya. Sebab luka itu seperti candu yang membuat niatnya hijrah tak kesampaian. Sesungguhnya, ia tak ingin pergi kemana mana selain ke surga. Oleh sebab itulah, mengapa ia membuat sebuah tangga menuju ke langit. Yang tak ia ketahui adalah, bahwa sebenarnya tak ada surga di sana. Lalu, kenapa ia melepas hijab itu hanya untuk memunggungi dunia? Ataukah demi mengingkari masa lalu yang terlanjur gagal memberinya kebahagiaan? Aku tak pernah tahu siapa nama gadis itu yang sesungguhnya. Ia mungkin saja bernama Lisa, Manda atau pun Maia. Aku hanya mengenalnya sebagai perempuan bermata abu abu muda seperti bulan badar yang berpendar di kegelapan malam. Tetapi orang orang menyebut dirinya sebagai Arunika, yang dalam bahasa Hindi berarti jingga seperti cahaya terbitnya matahari. Yang tak aku mengerti, mengapa ia mendudukkan dirinya sendiri dengan cara seperti itu? Membuat pikiran orang lain silau dan mabuk oleh candu yang ia tuangkan ke dalam gelas gelas kosong yang kesepian. Mereka tak lagi mampu melihat kepolosan wajahnya sebagai pantulan cermin yang menyejukkan. Sebab ia bukanlah Godiva, yang berkuda telanjang keliling kota untuk menemukan kebenaran yang ia cari. Wanita mulia yang menyingkap kebejatan dunia lewat tatapan mata semua orang. Sebaliknya, ia adalah perwujudan pikiran yang absurd dan carut marut. Ia telah menjadi kontradiksi yang tidak bisa dimengerti. Akan tetapi, ia tidak mewakili siapa pun selain dirinya sendiri. Karena kukira, ia telah mencemooh dunia ini dengan cara yang membuat orang takjub. Dunia yang sepertinya akrab, tapi tak sungguh sungguh kita pahami. Ia dikenal sebagai Arunika, tetapi di lain kesempatan ia bisa saja menjelma sebagai Lisa, Manda ataupun Maia. Dan sekalipun ia bercadar, kita akan selalu bisa mengenalinya lewat abu abu muda matanya yang berpendar seperti bulan badar di kegelapan malam.
Titon Rahmawan
In thirty years of going to study in Medina, “sitting with the ‘ulama,” “making hijrah,” distributing books from Saudi Arabia, making Dawah, pointing out bid’as, tearing down imams, taking over mosques, backbiting Muslims, putting people on and off “the minhaj,”  and calling other Muslims names, Salafis have established absolutely nothing.
Umar Lee (The Rise and Fall of the Salafi Dawah in America: a memoir by Umar Lee)
The pseudonymous apostate Ibn Warraq makes an important distinction: there are moderate Muslims, but no moderate Islam. Millions of Muslims just want to get on with their lives, and there are--or were--remote corners of the world where, far from Mecca, Muslim practices reached accommodation with local customs. But all of the official schools of Islamic jurisprudence commend sharia and violent jihad. So a "moderate Muslim" can find no formal authority to support his moderation. And to be a "moderate Muslim" publicly means standing up to the leaders of your community, to men like Shaker Elsayed, leader of the Dar al Hijrah, one of America's largest mosques, who has told his core-ligionists in blunt terms: "The call to reform Islam is an alien call.
Anonymous
Ia merasa dirinya sebagai raja yang ingin menaklukkan nafsunya sendiri. Menelisik setiap susunan bidak bidak yang berdiri di hadapannya. Algoritma rumit yang menimbang setiap langkah yang terlintas dalam benak seorang Grandmaster. Adakah sebuah varian istimewa yang bisa mewakili siasat yang ingin ia mainkan? Menentukan strategi pembukaan yang akan memastikan sebuah kemenangan berada di dalam genggaman tangannya. Menetapkan langkah, apakah ia mesti maju menyerang atau justru mundur bertahan? Pertaruhan martabat memaksanya berpikir keras, kemana pion pion hitam itu harus beranjak? Demi menegakkan wibawa yang menyerupai sebuah batu penjuru. Hasrat yang menunggu pintu gerbang terbuka untuk membuka jalan menuju kastilnya sendiri. Istana nan megah dengan halaman luas berupa taman yang tertata indah persis seperti di dalam mimpi Raja Nushirvan. Demikianlah ia melihat Xiangqi terlahir di China, berkelana ke India sebagai Chaturanga dan lalu hijrah ke Persia sebagai Shatranj. Petak petak hitam putih di atas papan yang kemudian menjelma menjadi lingkaran ouroboros. Bala tentara Maharaja Gupta mulai bergerak serentak melewati setiap tatahan batu dan undak undakan tangga melewati lebih dari lima belas abad perjalanan waktu yang tak tahu kapan bakal berhenti. Ialah titisan Sang Chandragupta, memberi aba aba kepada segenap prajuritnya dengan suara lantang. Langkah kakinya tegap dan mantap. Walau tidak seperti dulu, ia masih sanggup tegak berdiri, melihat dirinya sendiri di dalam pantulan cermin. Anggun dan memesona seperti seekor kuda bangsawan. Elok seperti Akhal Teke dan rupawan bagai Friesian. Dengan tubuh yang liat, kaki yang kuat, mata yang ekspresif dengan lengan berotot dan kejantanan yang tak ingin ia sembunyikan di balik benteng pikiran seekor gajah yang keras kepala dan keangkuhan hati seorang menteri yang bersikeras ingin diakui. Itulah sebab mengapa ia tak akan pernah mengibarkan bendera putih. Walau ia tahu, setiap langkah punya arti untuk menang atau ditaklukkan. Ia tak akan menyerah tanpa melakukan perlawanan. Pada sisa waktu yang berdetak kian lambat dan perlahan memojokkan dirinya hingga sudut terjauh dari pertahanan papan caturnya sendiri. Setiap petak hitam putih adalah pertaruhan antara hidup dan mati. Jengkal tanah yang mesti ia bela mati matian. Sepenuhnya tahu, di atas permukaan papan yang seakan tenang dan hening itu, ada pertempuran dahsyat dan berdarah darah. Perang yang telanjur mengubur semua ingatan atas waktu yang seolah tak pernah berubah. Masih seperti dulu. Waktu yang masih bisa menertawakan kenaifannya akan dunia. Waktu yang mengajarkannya memahami absurditas hidup. Waktu yang secara ironis justru ingin menghancurkannya. Memaksa ia mencermati setiap langkah melewati  jebakan tarian tango sang ratu yang akan mengantarkannya menjemput ajal. Maut yang setia mengintai di setiap sudut dan tak akan pernah berhenti memaksanya untuk menyerah.
Titon Rahmawan
Hijrah itu tidak mudah, karena surga tidaklah murah
Ningsih, Ellya (Elena)
Iman sifatnya naik-turun. Apalagi baru mau hijrah, banyak sekali godaannya. Bukan berarti kita bebas menghakimi orang yang nyakitin kita dengan sebutan munafik, atau sebutan apa pun. Kita juga nggak punya hak buat menilai iman seseorang apalagi menghakiminya. Elsa
Achi TM (Belok Kiri Langsing)
Percayalah, bahwa setiap yang berbicara setidaknya pernah menghasilkan satu atau dua kebohongan.
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)