β
Kalam Untaian Merjan
Pada lagu balada Rendra aku melihat embus pasir Aspahani. Tangan angin yang giat mencangkuli hamparan tanah gembur di kebun buah Rosidi. Dalam kantungnya tersimpan rupa-rupa benih puisi melayu lama. Dari pantun hingga mantra, dari gurindam hingga karmina, dari talibun hingga seloka. Seuntai syair yang rajin menebar tawa Korrie bergirang hati. Merapal doa penawar rindu yang santun menampung embun luruh di telapak tangan Kyai Bisri dan gaung azan subuh di bibir para santri.
Di bawah pelupuk langit Timur Sinar Suprabana aku bersujud, serupa lelai rumput Ahmadun. Menyambut lambai tangan hijau kanak-kanak menari bersama Helvy dan Herliany. Memulas kuning gading bulir padi di dada awang telanjang mandi di kali. Bocah-bocah keletah gembira menuai buah tufah berlimpah pada keras bebatuan Calzoum merah.
Di balik celana Pinurbo aku jumpai gelisah mimpi Johani. Wajah Sunarta yang gemar menyamar. Mata Wisatsana yang
cermat menelisik risik kerikil tajam terserak di taman kawi dunia.
Juga jemari tangan Fansuri yang rajin mencabut ilalang di kebun para sufi. Kubaca wajah cuaca dalam bahasa sunyi Isbedi, kueja tagar Dahana, kudaras cahaya Kurnia.
Balau debu tertaris gerimis yang lama tersimpan dalam setiap tetesan tinta Taufiq. Pada sajadah yang ia hamparkan dan pisau Takdir penawar risau pada hati yang terempas dan jantung yang putus. Pulau di mana dulu pernah tersemai benih-benih terbaik Chairil muda. Demi memetik buah rindu dendam yang telah lama didambakannya, Ia rela mati berkafan cindai diiringi lagu sunyi nyanyian Hamzah.
Tapi justru di dulang kosong itu kutemukan pipih gosong telur Dewanto. Suara pekak mikrofon pecah dalam kamar gelap Afrizal. Leher botol tercekik dari separuh langit yang sengaja menyembunyikan wajah Srengenge di balik dengung nyamuk yang mengamuk dalam benak Rusmini.
Sebelum kata-kata berlepasan dari dahan tempatnya bergantung, sebelum kamus jadi ingatan beku yang ditelan rakusnya waktu.
Aku berusaha menemu laut. Laut yang dulu pernah melantunkan tembang Ainun dan syair pujian Pane dalam Madah Kelana. Laut yang akan mengizinkan aku mengaji bersama Toto dan Abdul Hadi, pada hampar lembar langit Zawawi yang senantiasa berkabut ini. Di bawah guyuran rintik-rintik hujan Damono yang entah mengapa hanya mungkin turun di pertengahan bulan Juni.
Namun pada samar raut wajah Nadjira, jemari tanganku gugup menggali inspirasi di balik pikiran Armand. Dari rupa rupa arsitektur yang dengan cergas ia reka reka menjadi bait puisi.
Hasrat yang gesit menimba air di sumur Mansyur. Menapak jejak Saut dan Sitor yang senantiasa hibuk mencari Tuhan.
Dan demi tunas mata Subagyo dan sejuk air Zamzam, aku rela menemu jantung hati lapang di dalam inti sebuah poci. Keramik awanama, di antara batu undak-undakan meditasi Goenawan.
Ia yang telah menguak rahasia jiwa Landung nan adi Luhung yang bersemi di hutan jati Umbu Paranggi.
Tapi sekali-kali, tak akan pernah aku lupakan kesaksian Wiji yang tumbuh dari tangisan sejarah masa lalu. Noda yang tertera pada luka Sambodja.
Sekiranya masih ada petilasan senyap dari para pendahuluku.
Cabuhan air mata pilu para martir dan tangis para santo. Seruan
kelu di bibir para nabi dan kubangan darah para syuhada.
Tak akan aku biarkan diriku terpedaya oleh muslihat para
penebah jenawi purba, hujah para tukang fitnah, hasutan
orator-orator lancung, gonggong penadah puisi kosong. Juga sumpah serapah dan tipu daya para kritikus-kritikus gagap. Igauan busuk plagiator mabuk. Bualan epigon-epigon palsu dan ocehan para dilettante buta.
Di mana waktu mengharuskanku mesti belajar lagi.
β
β