“
Menjadi Tua vs Muda Selamanya
Ada sebuah lagu yang dulu sering kita dengar, sebuah nyanyian abadi tentang kerinduan manusia:
keinginan untuk tetap muda selamanya. Selamanya cantik, selamanya kuat.
Kita menyanyikannya dengan penuh semangat,
seolah hidup bisa berhenti pada satu titik di mana segalanya masih terasa indah.
Tapi waktu pasti berlalu, tak pernah bisa ditawar tak pernah bisa diganggu. Ia seperti arus sungai yang menyeret kita perlahan menuju laut. Keriput muncul tanpa permisi, gigi tiba-tiba tanggal sendiri, rambut memutih, punggung bungkuk berasa nyeri. Tubuh yang dulu perkasa menyerah kalah pada sendi yang berderit seperti engsel pintu kurang minyak,
mata yang dulu tajam mulai mengabur,
ingatan yang dulu terang mulai berkabut.
Menjadi tua adalah pelan-pelan menjadi pohon yang kehilangan daunnya—satu per satu gugur ke tanah, tanpa bisa menahan angin.
Rambut memutih bukan hanya tanda waktu, melainkan salju yang diam-diam turun di atas kepala. Kulit keriput adalah peta retakan bumi, menandai gempa-gempa kecil yang pernah terjadi: cinta yang bertepuk sebelah tangan, kehilangan yang menyakitkan.
Menjadi tua kadang seperti sungai mengalir kembali ke pangkuan bumi—bukan karena ingin, tapi karena tubuh memaksa demikian. Kita tak bisa terus-terusan berjalan menentang angin melawan kodrat.
Tangan yang dulu menggenggam dunia, kini gemetar hanya untuk meraih segelas air.
Kaki yang dulu tegak menjejak lantai, kini tersandung karpet di ruang tamu.
Mata yang dulu berkilat penuh ambisi, kini berair tanpa sebab, seolah meneteskan kesedihan yang tak sanggup terucap.
Orang bilang, masa tua adalah anugerah.
Tapi di sela doa panjang dan pujian syukur, ada luka diam yang tak tersampaikan: rasa ditinggalkan, dilupakan, bahkan dianggap beban.
Seperti lilin yang perlahan habis, ia tetap menerangi, namun nyala kecilnya sering tak lagi berarti.
Ada yang berjuang mati-matian mempertahankan wajah mudanya dengan segala cara: operasi plastik, krim pemutih, suntikan botox, bahkan polesan ilusi digital.
Seolah ketakutan pada keriput lebih besar daripada ketakutan pada kehilangan jiwa dan akal sehat.
Namun sungguh, waktu tak bisa ditipu—ia adalah pedang tak kasatmata yang terus menggores, menghujam, mengingatkan kita bahwa keabadian hanyalah mitos dalam lagu dan doa.
Tua adalah penantian yang sepi dan menggetarkan hati: menunggu suara pintu dibuka cucu kesayangan, menunggu kabar telepon yang jarang berdering, menunggu tubuh ini menyerah pada bayang penyakit yang mendera.
Dan pada akhirnya, menunggu saat di mana semua luka akan dihapuskan oleh timbunan tanah.
Ironi yang pahit dan menohok ulu hati:
dulu kita ingin cepat dewasa, kini kita takut menjadi tua.
Dan saat akhirnya tua itu datang tanpa diundang, hidup terasa seperti lingkaran aneh:
perlahan kita kembali menjadi anak kecil lagi. Butuh dituntun, butuh ditemani, butuh dijaga.
Tapi kali ini, tak ada lagi masa depan panjang yang girang menanti
yang ada hanyalah penantian akan sebuah perpisahan yang berasa menyedihkan.
Dan ketika semua gemerlap memudar, barulah kita sadari: menjadi muda selamanya hanyalah ilusi. Yang abadi bukanlah tubuh kita,
melainkan jejak kebaikan, cinta yang kita tinggalkan, cerita yang kita wariskan. Menjadi tua itu getir, memang. Tapi menjadi tua tanpa pernah benar-benar hidup, tak punya makna, itulah tragedi yang sesungguhnya.
Mungkin kita tak bisa memilih untuk selamanya muda,
tapi kita bisa memilih untuk tetap hidup dengan hati yang selamanya muda: tetap belajar, tetap mencintai, tetap memberi arti pada hidup, pada sesama. Karena tubuh akan mulai rapuh, tapi jiwa yang penuh kasih dan empati—akan selamanya abadi.
Surakarta, September 2025
”
”