Dekat Tapi Jauh Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Dekat Tapi Jauh. Here they are! All 7 of them:

.... Dan semua itu berjalan dari detik ke detik, hari ke hari. Akhirnya orang jadi biasa juga dengan keadaannya. Dan mereka, yang tidak kena kerja paksa, tidur sehari-harian, atau berjalan-jalan mengedari pelataran dalam yang sempit itu, mengelamun, berangan-angan. Ya itu pun berjalan saja dan berjalan saja. Kadang-kadang orang tak sempat menginsyafi apa sesungguhnya yang telah dialami sehari-harian. Tapi dengan pasti hidupnya telah gompal sejam demi sejam. Kadang-kadang orang tidak sempat mengenangkan hari-depannya. Orang lebih suka memikirkan hal-hal yang dekat-dekat: makan, buang air, nyanyi, mengobrol tak berkeputusan, memaki-maki, atau mengaduh dengan tiada maksud. Atau-orang memikirkan sesuatu yang jauh, yang besar, yang takkan tercapai oleh tenaga dan tangan manusia-terutama sekali manusia yang dipenjarakan. Kemudian.. Kemudian semua berjalan saja. Berjalan saja. Berjalan saja. Juga umur manusia berjalan mendekati akhirnya. Juga balatentara kedua belah pihak berjalan mendekati keruntuhan atau kemenangannya. Dan tak ada tangan manusia yang kuasaa membatalkan proses itu ...
Pramoedya Ananta Toer (Mereka Yang Dilumpuhkan)
Ada satu waktu di mana orang berjalan bermil mil untuk mendapatkan air. Sedang yang lain mesti menggali berkilo meter dalamnya untuk menemukan sumbernya. Tapi, bukankah ada mata air di dalam setiap hati, dan telaga jernih di dalam setiap pikiran? Mereka yang bijak tahu bagaimana mereka bisa minum tanpa harus membuang energi dengan percuma dan sia-sia. Mereka yang bijak tahu di mana letak samudra kebenaran yang sesungguhnya. Bukan jauh di luar sana, melainkan dekat di dalam diri mereka sendiri.
Titon Rahmawan
REMBULAN ITU MALU Di suatu waktu ketika sejumlah insan masih terjaga, menanti fajar melepas rindunya kepada penghuni kolong langit. aku melihat sosok rembulan bersolek tak seperti biasanya. ada yang berbeda, ia tampak kemerahan; mungkin karena dirinya sedang tersipu malu. bagaimana tidak, adalah sebuah keindahan saat matahari berjumpa dengan sang rembulan pada jarak yang sangat dekat; seperti halnya setiap orang yang telah lama jauh menemui kekasihnya kembali. "tapi...", kata bunga rumput; "hal penting seringkali tak terlihat dari mata", lanjutnya.
Epaphras Ericson Thomas
Kesedihan seperti telaga yang hening di dinding ibu. Dinding yang terisak dan mengukir lagi masa kecilku. Seberapa sepinya aku saat itu? Sungguh. Aku tak mengerti, mengapa kubuat dinding itu menangis? Ia sudah seperti rumah bagiku. Tempat aku tidur dan terlelap di malam hari. Tempat aku bermain dengan kesendirianku. Lalu, mengapa aku buat ia menangis? Ada hal hal yang ingin kulupa dari waktu kecilku sendiri. Detik detik yang tidak berarti. Kemarahan yang perlahan hangus dan lalu mengabu dalam hatiku. Walau kini, ia sudah bukan lagi api. Ia sudah menjadi dingin. Tapi, mengapa luka itu masih saja ada di sana? Bukankah aku laki laki yang dibesarkan oleh dinding ibuku? Lalu, mengapa aku berpaling daripadanya? Mengapa aku kenakan topeng itu, hanya untuk melihat ia tersenyum? Aku sudah menjadi lelaki yang lain. Lelaki yang bukan kanak kanak yang ia besarkan dulu. Ada banyak topeng yang kini aku kenakan. Salah satunya adalah kesendirian, yang lain adalah amarah. Aku tahu, aku telah membuatnya bersedih. Dinding itu telah lama menjelma jadi sebatang pohon dengan kulit yang renta, mengelupas di banyak tempat. Rantingnya mulai merapuh dan daun daunnya yang gugur, berserakan di mana mana. Ia bukan lagi pohon yang dulu biasa aku panjat. Bukan, ia tidak sedang menjadi pohon yang lain. Melainkan diriku. Akulah yang kini berubah. Seperti langit biru yang mendadak kelam. Seperti mendung yang menaungi hati yang tak hentinya menangis. Apakah untuk menjadi seorang lelaki, aku harus mengorbankan perasaan perasaanku sendiri? Apakah untuk menjadi seorang lelaki aku harus meninggalkan masa kecilku hanya untuk mendengarkan suara suara orang lain; hardikan, umpatan, cemoohan dan teguran teguran yang seringkali menyakitkan hati. Aku sudah lama sekali tenggelam, mungkin sejak terakhir kali aku terlelap di bawah pohon ibu. Pohon di mana dulu jadi tempatku bernaung. Pohon itu masih ada di sana, sunyi dan sendiri. Berasa jauh tapi pun dekat. Aku terkadang ingin menyentuhnya, seperti aku menyentuh dinding ibu untuk pertama kali. Tapi aku tahu, aku sudah bukan yang dulu lagi. Dan ibu seperti rumah yang merindukan kehadiranku. Ia ingin aku pulang padanya. Tapi entahlah, apakah besok masih cukup ada waktu untukku untuk menjadi diriku sendiri?
Titon Rahmawan
Kalau ada yang aku inginkan selain membahagiakan dirimu, itu adalah menata kembali perasaanku dari banyak peristiwa yang ingin aku lupakan. Tapi perasaan bukanlah pikiran yang bisa aku ajak kompromi. Ia seringkali berbicara dengan caranya sendiri. Seperti menata taman yang berantakan di halaman. Membersihkan belukar dan rumput rumput liar atau sekedar mengecat pagar agar bisa kembali indah seperti dulu. Menambahkan sesuatu pada yang tak ada atau tak pernah hadir dalam hubungan kita. Seperti mengharap yang hampa dari sebuah kekosongan yang tanpa makna. Betapa banyak sudah kebohongan yang kita reka-reka agar kita tak saling menyakiti. Bukankah kita pernah menjadi begitu dekat dan jauh sekaligus dalam kesempatan yang sama? Bukankah kita pernah saling mencintai? Tapi waktu seperti melupakan perannya dalam kehidupan. Ia seperti tak pernah memihak kepada kita. Ia seperti kendaraan yang berjalan sendiri tanpa orientasi. Tak tahu mau apa atau kemana. Aku hanya ingin berhenti memelihara rasa sakit dari ingatan akan cinta yang tak mau pergi. Sebagaimana aku merasa, betapa sia-sia menunggumu untuk mengisi gelas kosong di dalam hatiku lagi. Hanya bisa menduga-duga, apakah kau masih akan menungguku untuk membawamu pulang? Ternyata, teramat susah menjaga dan memelihara perasaan. Lalu, apa yang masih bisa kita ingat dari percakapan yang hanya hidup dalam imajinasi? Raut wajahmu, senyummu atau hangat ciuman bibirmu adalah kesedihan yang bersikeras tak mau pergi. Tapi sudahlah, kita sudahi saja semuanya. Sebab aku hanya ingin berhenti. Aku tak ingin lagi tinggal dalam rumah yang hanya mendatangkan rasa sakit dan kepedihan.
Titon Rahmawan
Dinding Ibu Kesedihan seperti telaga yang hening di dinding ibu. Dinding yang terisak dan mengukir lagi masa kecilku. Seberapa sepinya aku saat itu? Sungguh. Aku tak mengerti, mengapa kubuat dinding itu menangis? Ia sudah seperti rumah bagiku. Tempat aku tidur dan terlelap di malam hari. Tempat aku bermain dengan kesendirianku. Lalu, mengapa aku buat ia menangis? Ada hal hal yang ingin kulupa dari waktu kecilku sendiri. Detik detik yang tidak berarti. Kemarahan yang perlahan hangus dan lalu mengabu dalam hatiku. Walau kini, ia sudah bukan lagi api. Ia sudah menjadi dingin. Tapi, mengapa luka itu masih saja ada di sana? Bukankah aku laki laki yang dibesarkan oleh dinding ibuku? Lalu, mengapa aku berpaling daripadanya? Mengapa aku kenakan topeng itu, hanya untuk melihat ia tersenyum? Aku sudah menjadi lelaki yang lain. Lelaki yang bukan kanak kanak yang ia besarkan dulu. Ada banyak topeng yang kini aku kenakan. Salah satunya adalah kesendirian, yang lain adalah amarah. Aku tahu, aku telah membuatnya bersedih. Dinding itu telah lama menjelma jadi sebatang pohon dengan kulit yang renta, mengelupas di banyak tempat. Rantingnya mulai merapuh dan daun daunnya yang gugur, berserakan di mana mana. Ia bukan lagi pohon yang dulu biasa aku panjat. Bukan, ia tidak sedang menjadi pohon yang lain. Melainkan diriku. Akulah yang kini berubah. Seperti langit biru yang mendadak kelam. Seperti mendung yang menaungi hati yang tak hentinya menangis. Apakah untuk menjadi seorang lelaki, aku harus mengorbankan perasaan perasaanku sendiri? Apakah untuk menjadi seorang lelaki aku harus meninggalkan masa kecilku hanya untuk mendengarkan suara suara orang lain; hardikan, umpatan, cemoohan dan teguran teguran yang seringkali menyakitkan hati. Aku sudah lama sekali tenggelam, mungkin sejak terakhir kali aku terlelap di bawah pohon ibu. Pohon di mana dulu jadi tempatku bernaung. Pohon itu masih ada di sana, sunyi dan sendiri. Berasa jauh tapi pun dekat. Aku terkadang ingin menyentuhnya, seperti aku menyentuh dinding ibu untuk pertama kali. Tapi aku tahu, aku sudah bukan yang dulu lagi. Dan ibu seperti rumah yang merindukan kehadiranku. Ia ingin aku pulang padanya. Tapi entahlah, apakah besok masih cukup ada waktu untukku untuk menjadi diriku sendiri?
Titon Rahmawan
Mama tak meneruskan ceritanya. Kisahnya seakan jadi peringatan terhadap hari depanku, Mas. Dunia menjadi semakin senyap. Yang kedengaran hanya nafas kami berdua. Sekiranya Mama tidak bertindak begitu keras terhadap Papa, begitu berkali-kali diceritakan oleh Mama, tak tahu aku apa yang akan terjadi atas diriku. Mungkin jauh, jauh lebih buruk daripada yanag dapat kusangkakan. "Tadinya terpikir olehku untuk membawanya ke rumah sakit jiwa. Ragu, Ann. Pendapat orang tentang kau Ann, bagaimana nanti? Kalau ayahmu ternyata memang gila dan oleh Hukum ditaruh onder curateele (di bawah pengampunan)? Seluruh perusahaan, kekayaan dan keluarga akan diatur seorang curator yang ditunjuk oleh Hukum. Mamamu, hanya perempuan Pribumi, akan tidak mempunyai sesuatu hak atas semua, juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk anakku sendiri, kau, Ann. Percuma saja akan jadinya kita berdua membanting tulang tanpa hari libur ini. Percuma aku telah lahirkan kau, karena Hukum tidak mengakui keibuanku, hanya karena aku Pribumi dan tidak kawin secara syah. Kau mengerti?" "Mama!" Bisikku. Tak pernah kuduga begitu banyak kesulitan yang dihadapinya. "Bahkan ijin kawinmu pun akan bukan dari aku datangnya, tapi dari curator itu, bukan sanak bukan semenda. Dengan membawa Papamu ke rumah sakit jiwa, dengan campur tangan pengadilan, umum akan tahu keadaan Papamu, umum akan ... kau, Ann, nasibmu nanti, Ann. Tidak!" "Mengapa justru aku, Ma?" "Kau tidak mengerti? Bagaimana kalau kau dikenal umum sebagai anak orang sinting? Bagaimana akan tingkahmu dan tingkahku di hadapan mereka?" Aku sembunyikan kepalaku di bawah ketiaknya, seperti anak ayam. Tiada pernah aku sangka keadaanku bisa menjadi seburuk dan senista itu. "Ayahmu bukan dari keturunannya menjadi begitu," kata Mama meyakinkan. "Dia menjadi begitu karena kecelakaan. Hanya orang mungkin akan menyamakan saja, dan kau bisa dianggap punya benih seperti itu juga." Aku menjadi kecut. "Itu sebabnya dia kubiarkan. Aku tahu dimana dia selama ini bersarang. Cukuplah asal tidak diketahui umum." Lambat-lambat persoalan pribadiku terdesak oleh belas kasihanku pada Papa. "Biarlah, Ma, biar kuurus Papa." "Dia tidak kenal kau." "Tapi dia Papaku, Ma." "Stt. Belas kasihan hanya untuk yang tahu. Kaulah yang lebih memerlukannya, anak orang semacam dia. Ann, kau sudah mengerti, dia sudah berhenti sebagai manusia. Makin dekat kau dengannya, makin terancam hidupmu oleh kerusakan. Dia telah menjadi hewan yang tak tahu lagi baik daripada buruk. Tidak lagi bisa berjasa pada sesamanya. Sudah, jangan tanyakan lagi.
Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia)