“
Nafsu, Kehati-hatian dalam Suasana Tepat untuk Bercinta
(Shades of "In the Mood for Love, 2046, Lust, Caution, Infernal Affairs, Chungking Express, Hero & Neo-Noir.")
Tony,
setiap kali kau melintas di layar,
dunia berhenti bernapas
seolah kamera Wong Kar-wai
telah mengikat denyut bumi
pada nadi kecil di bawah matamu.
Tapi aku hendak menulis tentang hal lain—
tentang kota-kota yang menua
atau tentang tubuh manusia yang gagal memahami keinginan—
lalu kau muncul begitu saja,
seperti bisikan neon
yang memaksa ingatan mundur
ke jalan-jalan sempit Hong Kong
pada menit yang tak pernah diputar ulang.
Bagaimana mungkin kau memikul
begitu banyak kesepian, Tony?
Kesepian yang licin seperti hujan,
dan setajam bilah yang pernah kau selundupkan
ke balik lengah sejarah.
Setiap peran yang kaumasuki
bukanlah karakter—
melainkan lorong psikis
yang kau bongkar dengan tangan hening.
Chow Mo-Wan,
yang menyembunyikan rahasia di lubang kuil Angkor Wat,
Masih berjalan di belakangmu
seperti bayangan yang tak rela mati.
Aku ingin bicara denganmu, Leung
bukan sebagai penulis,
bukan sebagai penonton,
tetapi sebagai seseorang
yang tahu bagaimana rasanya
menjadi rahasia yang tidak ingin disembunyikan.
Aku membawa segelas bir,
angin malam,
dan suara klakson yang patah.
Di meja kecil itu,
kau hanya menatap;
seolah seluruh sejarah ketidaksetiaan
sedang berusaha menulis ulang dirinya sendiri
di balik tajam sorot matamu.
Chiu-wai,
aku tak lupa bagaimana kau mencabik tubuh gadis itu
dalam Lust, Caution:
bukan dengan jemarimu,
tetapi dengan kehampaan yang mematuhi logikanya sendiri.
Aku benci padamu—
sekaligus iri pada dingin pisau itu,
pada caramu memegang nafsu
sebagai alat penyiksaan.
Mr. Yee,
kau bilang:
"Satu sudah mati. Separuh otaknya hilang.
Saya mengenali yang lainnya."
Dan aku tahu,
bahkan tanpa kamera,
kau tetap akan tersenyum
dengan keanggunan seorang pembunuh
yang terlalu elegan untuk merasa bersalah.
Namun ketika kau berlari
menembus lampu-lampu jalan raya
untuk menyelamatkan sekelebat hidup yang terlihat rapuh,
seolah kematian pun ragu menelanmu.
Adegan itu indah—
indah karena dunia sesaat lupa
bahwa kau tidak pernah benar-benar ingin hidup.
Kau tahu, Tony,
aku masih mengikutimu
ke kedai mie yang tua itu.
Aku memilih kursi paling belakang,
mendengar sumpit menemukan mangkukmu
seperti dentang jam
yang menunda takdir.
Kau berbicara lewat telepon
kepada perempuan yang bukan istrimu
dan tanpa sadar
menghidupkan kembali dosa-dosa
yang lupa kau kubur.
Aku melihatmu di meja mahyong.
Aku tahu ekspresi wajah pemain curang.
Dan kau, Leung—
kau bukan Dewa Judi Ko Chun,
meski dunia ingin percaya
bahwa keberuntunganmu datang dari langit,
bukan dari kehancuran batin
yang luar biasa detail.
Aku seharusnya membunuhmu waktu itu,
waktu kau telanjang dan tertidur
bersama istriku dalam mimpi yang kau curi.
Tubuh kalian basah,
sunyi,
dan terlalu jujur.
Tapi aku tidak jadi melakukannya.
Bukan karena kau tak layak mati—
melainkan karena aku ingin melihat
apa yang tersisa dari cahaya
ketika ia melewati matamu.
Apa itu keberanian, Tony?
Apa itu kehati-hatian?
Apa itu keinginan yang terus mengintai
di balik sutra, kain, dan rahasia?
Kau tak akan bisa menjawab.
Kau hanya bisa hidup dalam kilau film
yang selalu menunda tamat,
karena realitas terlalu sempit
untuk menampung duka yang kau bawa.
Dan aku,
aku akan terus membuntutimu
dari film ke film,
dari kehidupan ke kehidupan,
menunggu saat kau sadar
bahwa yang kukagumi bukanlah dirimu—
tetapi kehancuranmu
yang tak pernah berakhir.
(2024 - 2025)
”
”