Cahaya Pagi Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Cahaya Pagi. Here they are! All 12 of them:

Saya mengetahui malam selalu datang dengan gelap dan ketenangan, sayapun juga mengetahui adanya cahaya dan kebisingan disaat pagi hingga senja dan akhirnya kembali datang malam ditemani tiupan angin yang sunyi. Saat itu saya belajar tentang keseimbangan hidup. Belajar tentang banyak hal yang terjadi diantara kedua hal tersebut. Sunyi dan kebisingan, keduanya selalu mendampingi walau mereka berada hampir selalu berjauhan. Senja tahu tentang kepenatan dan rasa bosan yang diciptakan oleh kebisingan yang memuakan, senjapun juga sempat menyaksikan kebahagian yang diciptakan oleh sunyi walau sebentar tetapi itu sangat indah karna senja berwujud cantik selalu berwarna jingga berkilau emas diiringi sinari matahari yang tenggelam untuk tertidur.
Randy Juliansyah Nuvus
Saat aku masih bergelung di balik selimut, kehidupan di luar sana sudah jauh terlebih dahulu dimulai. Ada orang-orang yang adu cepat dengan cahaya pertama yang terbit pada pagi hari, berlomba-lomba memperjuangkan nasib, semangkuk nasi, hari yang lebih baik, atau apa pun itu.
Jessica Huwae (Javier)
Ada luka sumbing serupa gempil bibir poci di hati semua orang. Cacat yang berusaha keras mereka sembunyikan dari dunia. Tapi tak semestinya kita mengenakan topeng hanya demi menutup secebis luka. Tak semua hal mesti kita cerna dengan tatapan mata curiga serupa itu. Maka dari itu, coba dengarkan apa kata Bundamu ini, Nak. Manusia tak perlu harus jadi sempurna agar ia dihargai. Sebagaimana keindahan bisa muncul dari hal kecil dan sederhana. Termasuk apa yang tampak pada selembar kain batik yang lusuh atau cangkir teh yang somplak ujungnya. Kita bisa belajar dari kintsugi, menjadi bijak tanpa harus bergegas menjadi tua; bagaimana menorehkan pernis emas pada sebuah cawan tembikar yang terlanjur retak. Betapa sesungguhnya, sebuah guci porselen yang jatuh, pecah dan bahkan rusak tak berarti kehilangan semua nilai yang dimilikinya. Ketidaksempurnaan tidak akan mengecilkan arti dirimu. Sebab hanya ketangguhanmu melewati bukit penderitaanlah yang akan membuatmu menemukan cahaya kebahagiaan yang sesungguhnya. Bagaimana kamu bisa belajar menghargai kekurangan pada diri sendiri. Bagaimana kamu bisa menerima kesalahan dan bahkan kegagalan. Sebagaimana alam memaknai wabi sabi, ketidak sempurnaan bukan sesuatu yang harus ditolak atau disangkal. Ia mesti disambut sebagai air telaga yang jernih, kesegaran embun di pagi hari, atau aroma petrichor di musim penghujan. Setiap kali engkau jatuh dan menjadi rapuh, engkau bisa merangkaikan kembali serpihan serpihan hatimu. Tak akan pernah kehilangan tujuan yang engkau perjuangkan. Sebab setiap bekas luka seperti juga keringat dan airmata, adalah permata yang lahir dari segenap jerih payahmu. Ia terlalu berharga untuk kamu sia siakan. Manik manik gemerlap yang dapat engkau rangkai menjadi perhiasan unik nan cantik yang akan selamanya jadi milikmu. Jangan pernah takut terantuk batu. Jangan sekalinya jeri dicerca burung. Jangan merasa ngeri terempas badai. Sebab saat nanti engkau sampai ke puncak, kau akan bisa melihat dunia sebagai miniatur lanskap yang permai dan elok untuk dikenang. Karena demikianlah semestinya hidup, ia adalah keindahan yang tercipta dari kekurangan dan ketidaksempurnaan diri kita.
Titon Rahmawan
Apa yang kau lihat di layar yang berpendar ini, Kay? Serupa senja yang tumbuh dari sebatang pohon di sebuah tempat yang kau bayangkan seperti surga. Cahaya lampu itu menyapu wajahmu dengan warna lembayung dan berkilau seperti sayap kupukupu. Tapi tak ada apapun yang kutemukan pada seri wajahmu selain nafsu yang tertahan dan seulas senyum kemesuman. Persis di puncak penantian dari segala perhatian yang tertuju pada dirimu. Mata yang tak pernah menyadari, bahwa mereka tengah tersesat dalam raga belia yang entah milik siapa. Pada aura kemudaan yang berasa sia sia. Benarkah, telah kau reguk semua kebahagiaan dari wajah wajah tolol yang ditunggangi oleh nafsu alter egonya? Atau barangkali, telah habis kau hirup wangi dari kelopak mawar hitam yang tumbuh di ranjangmu setiap pagi? Sudah lama sekali rasanya waktu berlalu. Seperti ketika kau masih suka nongkrong di cafe sambil meneguk cappucino dari cangkir yang perlahan mulai retak. Sementara laju usia terus mengalir dari tenggorakanmu yang bening bagai pualam. Waktu meninggalkan jejak buta di dalam hand phonemu. Menyisakan tatap mata orang orang yang tak lagi mampu memahami atau menafsirkan apa yang tengah engkau lakukan. Bukankah, mereka tak lagi melihatmu sebagaimana adanya dirimu saat ini atau sepuluh tahun dari sekarang. Tak satu pun dari mereka yang percaya, bahwa saat itu usiamu masih belum lewat dua puluh tahun. Mereka hanya mendamba merah muda anggur kirmizi yang tumbuh di dadamu. Tetapi tak ada satu pun telinga yang sanggup melawan sihir dari gelak tawamu yang terdengar getir. Mata mata bodoh yang tak sanggup melupakan bayangan pisang yang dengan brutal kau kunyah sebagai kudapan di tengah jeda pertunjukan. Benarlah, hidup tak seperti kecipak ikan di dalam aquarium transparan yang tertanam di dinding. Atau air kolam di pekarangan yang seakan menjelma jadi bayangan jemari yang tak henti menggapai gapai. Menjadi gelembung gelembung kekhawatiran yang seakan tak sanggup memahami makna puisi yang sengaja ditulis untuk mengabadikan namamu. Ketauilah Kay, taman yang kau bayangkan itu bukanlah surga yang sesungguhnya. Di sana tak ada sungai keabadian atau pangeran tampan yang sengaja menunggu kehadiranmu. Yang ada cuma kelebat kilat dan hujan airmata hitam. Mengucur seperti lendir laknat yang mengalir dari hidungmu saat kau meradang karena influensa. Di sana tak ada satu hal pun yang menyenangkan, Kay. Hanya sedikit saja tersisa hal hal yang busuk dan menjijikkan, sebagai satu satunya bahan obrolan untuk perintang waktu.
Titon Rahmawan
Sepasang hati akan membaringkan rindunya di atas ranjang malam yang berselimut cahaya bulan. Menyemai benih-benih harapan yang berbalut doa, menyimpannya dalam jiwa mereka hingga menjadi tunas-tunas impian yang direkahkan oleh embun saban pagi tiba.
Sri Ulfanita
Oh kau, gerimis yang jatuh di kala subuh. Dingin yang menggigit tulang. Cahaya lampu yang bergelung di balik selimut yang tebal. Engkaulah, pengharapan dari terbitnya matahari. Keindahan yang bergulir seperti butiran embun di atas dedaunan, lebih cemerlang dari permata. Bagaimana hatiku tak terpikat oleh keceriaanmu kala menyambut pagi? Kelopak kelopak bunga yang bermekaran, gemulai tangkai tangkai mawar tertiup angin. Terpesona oleh tawamu yang renyah, oleh kehangatan pribadimu yang bersinar dari dalam lubuk hati. Bagaimana aku tak jatuh hati pada kecantikanmu yang anggun bersahaja? Betapa kau sebarkan kebahagiaan dengan cara yang tak aku mengerti. Kau getarkan dawai pengharapan di jiwaku yang letih lesu. Dan kau buat diriku tak henti memikirkanmu siang dan malam. Kau balaukan tidurku yang resah gelisah oleh pantulan cahayamu yang menyilaukan serupa lampu neon di seberang jalan. Senyummu terbayang bayang dalam mimpiku serupa layang layang yang terbang di permai langit biru dalam rindu masa kanak kanakku. Kau aduk aduk hatiku seperti biduk yang terombang ambing di atas ombak. Menanti angin pasang yang akan membawaku pulang. Janganlah kau putus pengharapanku untuk sampai ke pantaimu. Ijinkan aku berjalan di atas pasirmu yang lembut. Berlindung di bawah payungmu yang menutupiku dari panas matahari yang melukai. Kau terima diriku dalam pondokmu yang kecil dan sederhana namun tertata rapi penuh oleh bunga bunga. Kau menyambutku dengan penuh suka cita di depan pintumu yang sekokoh kayu jati. Dan kau akan menjamuku bukan lagi sebagai tamu asing dalam rumahmu yang bersih melainkan sebagai diriku sendiri. Dalam cinta yang bersemi oleh penantian, doa dan pengharapan. Dalam penghiburan hati demi untuk mewujudkan mimpi mimpi abadi.
Titon Rahmawan
...Kita hanya manusia yang kerdil yang mendiami daerah-daerah bumi. Kita hidup di sini untuk mencari bekal satu perjalanan hidup ke alam akhirat yang kekal abadi. Orang-orang yang tidak berjuang dalam kehidupan ini akan pergi ke sana jua. Orang-orang yang berjuang memang menyedari dunia ini sementara. Ada sesuatu yang perlu ditinggalkan untuk kebaikan manusia di dunia yang fana ini. Ada juga sesuatu yang diusahakan sebagai bekalan untuk kehidupan abadi di samping Pencipta Yang Maha Agung, Allah. Jika hidup itu ialah menanti perginya pagi dan datangnya petang, menanti perginya petang dan hadirnya dinihari; apalah kemanisan yang dapat dikecap daripada kehidupan sebegitu. Hidup ini ialah perjuangan hidup segigihnya. Manusia yang mengerti tidak akan mengalah terhadap cabaran masa dan tempat. Hidup menjadi indah dengan hadirnya perjuangan. Isyraf Eilmy terasa pernah terbaca sebuah wacana kecil erti kehidupan. Saudaraku. Tegakkan mukamu dan ukir senyuman di wajahmu. Senyuman itu ialah sedekah daripada orang yang punyai harta dan jiwa. Sekuntum senyumanmu ialah wajah sebuah kehidupan yang tidak terhakis oleh kesusahan. Selagi kau menundukkan mukamu lalu merenung kedua-dua belah kakimu, selagi itu kau masih terbelenggu dalam simpulan-simpulan kekusutan yang membalut sudut hatimu. Apabila jiwamu kosong daripada cahaya hidayah, maka kehidupanmu umpama lorong duka lara yang menjerit pekik minta dikasihani, simpang-siur kesepiannya ialah kekeliruan dan kekecewaan yang menerpa sedangkan deru angin semilirnya ialah nyanyian kedukaan yang tidak didendangkan oleh jiwa yang kental. Mengapakah kau rasa tiada lagi keindahan pada mahligai tersergam juga kecintaan terhadap segala kemewahan dan solekan dunia? Mengapakah harus kau mencari suatu kepastian tentang bila akan berakhirnya kehidupan sedangkan baki usiamu tidak pernah menjanjikan rumusan kebahagiaan? Usah lagi kau mimpikan ke manakah perginya kelazatan pada sajian hebat yang terhidang di meja kehidupan. Usah lagi kau kenangkan dari manakah datangnya kepanasan di ruang cinta syahdu penuh keasyikan. Kembalilah kepada martabat diri. — ms.9-10, Sarjana Bangsa
Hasanuddin Md. Isa
Cinta Dari Rutinitas Sehari Hari I. Ada saat di mana aku sangat mencintaimu, seperti berlama- lama memandang ikan yang berenang tenang di dalam kolam di pekarangan yang dulu pernah kita miliki. Itu rutinitas yang mesti aku mulai saat terjaga dari tidur di malam hari. Buang air kecil di toilet dan diam diam merenungi wajahmu yang terlelap di dalam gelap. Aku mencintaimu saat itu melebihi bagaimana kamu mencintaiku, mungkin dengan sedikit rasa belas kasihan. Seperti biasa, pagi tak pernah alpa mengungkap perasaannya. Terang cahaya matahari tak pernah berbasa basi. Ia bebas dan leluasa keluar masuk dari balik kaca jendela. Dan aku akan kembali mencintaimu untuk ruap wangi susu tanpa gula, menggantikan segelas kopi yang sudah lama tak pernah lagi aku nikmati. Kau melebur dalam jarum dan benang waktu yang menisik setiap butiran uap yang mengembang di dalam cangkir menjadi hem dan celana panjang untuk aku kenakan. Sesekali menuangkan wewangian ke dalam mesin cuci sambil menghindari letupan minyak dari penggorengan yang riuh menawarkan sarapan. Buatku cukup beberapa potong ubi buat pengganti nasi dan roti. Buatmu telur mata sapi dan bakmi goreng sisa semalam yang kita beli di pengkolan jalan. Masih ada sepotong pisang yang terusik dari nyenyak tidurnya dan tangan yang sibuk menyisihkan butiran garam dari cairan lupa. Setelah itu kau mulai ritual menggosok sepatu dengan keringat yang menetes dari dahimu. Diam-diam mengantar pesan rahasia daftar barang belanjaan ke telingaku sambil melambaikan tangan ke arah tetangga melewati pagar berkarat rumah kita. : Seperti itulah cinta yang bagimu sederhana.
Titon Rahmawan
Kauikat kedua tanganku pada simbol warna biru tato naga itu. Apakah telah kaucuri rahasiaku yang paling dalam, sehingga engkau bisa menyelam jauh ke dasarnya? Jangan kau pecahkan gelas itu! Biar kusesap dulu nektar manis madu itu dengan lidahku. Dahaga yang selama berabad-abad telah menghantuiku dengan trauma masa lalu. Apakah engkau telah melihat wajahku yang sesungguhnya? Pada temaram ungu bayang-bayangmu aku menemukan kekuatan, keberanian dan kelembutan. Serupa akar liat merambat pada lenganmu yang berbulu atau telanjang dadamu yang menaungi diriku dengan perasaan yang tak terlukiskan. Ijinkan aku menyadap merah getah dari tegas lekuk bibirmu atau biarkan aku menetak batang lehermu yang sekeras pokok Misutirutein itu. Lalu ijinkan aku mengikatkan shimenawa tali simpul keramat ini demi untuk menghormatimu, agar tak kaukutuk aku dengan mantra sucimu. Sebab aku ingin sembunyi selamanya di dalam lembayung biji matamu. Sekiranya engkau adalah penjelmaan ruh pohon yang tumbuh di tengah hutan yang hadir dalam mimpiku. Bukankah engkau adalah kodama yang tengah jatuh cinta? Bola cahaya redup di kejauhan. Lukisan lembut pegunungan dan rimbun hijau dedaunan di rimba raya. Wajahmu serupa samar bayang-bayang. Datang seperti kabut di senja hari dan pergi seperti cahaya lilin yang pudar saat pagi menjelang. Namun mengapa, tajam teluh matamu masih juga sedingin pisau sang penjagal?
Titon Rahmawan
Rumah terpencil di pinggiran sawah itu dan cupang merah di lehermu, bagaimana engkau bisa menjelaskannya? Apakah itu bentuk kekerasan pada diri sendiri? Bagaimana aku bisa melindungi dirimu dari kejahatan yang aku ciptakan? Hatiku telah mengeras seperti batu. Otakku mengerut lisut seperti walnut. Penuh dengan ulat dan kebusukan. Aku tak mampu lagi mengenali hasratku sendiri. Ingatan mengabur seperti malam menjelang pagi. Langit gelap tertelan mimpi. Cahaya putih di mana mana. Apa yang engkau rencanakan untuk mengelabui sang waktu? Menidurkan diriku dalam buaian gelombang. Erangan demi erangan. Tangan yang mencekik lehernya sendiri. Kelam mimpi yang menikam mati. Layar lap top berkedip mengisahkan kebohongan yang lama menghantuiku. Gambaran brutal pembunuhan keji. Gadis kecil yang aku cintai. Rembulan mata hatiku. Engkau atau aku yang sebenarnya? Siapa dari kita yang sesungguhnya iblis? Kita berdua adalah pembunuh dengan jubah yang sama. Engkau alibi sempurna bagi keberadaanku, demikian pula sebaliknya. Hidup adalah neraka walau hanya sekejap.
Titon Rahmawan
Seperti pagi yang senantiasa menyajikan cahaya untuk langit Begitulah rasaku terbit Kicau-kicau permai Alunan-alunan rindu di setiap musim yang menyebutmu, aku ada Berusaha menyatukan pelangi yang diderai hujan kemaren sore Mungkin kisah kita masih puisi-puisi lugu yang mengendap di punggung-punggung kertas Syair-syair bisu yang tercipta dari jemari bertaut dengan kecemasan Ia belum memiliki panggung untuk menunjukkan jati diri Hanya gigil hati tak bernama yang dipeluk doa-doa Apakah kita bertemu untuk tinggal? Sebab tamu tidak pernah menetap Hanya datang sesaat, mengetuk pintu hatimu hanya untuk kepentingannya belaka Waktu tidak pernah memanipulasi keadaan Juli dimusim hujan kala itu Semua adalah keadaan yang telah direkam semesta Bahkan jauh sebelum kita ada Aku mungkin adalah cerita yang tak pernah kau impikan di diarymu sebelumnya Dan kau adalah bahasa yang acap kusebut dalam doa Yang belum mampu aku defenisikan untuk sebuah nama
firman nofeki
Bagaimana jika tirai ini aku buka dan ternyata sudah pagi? Bagaimana jika pendekar yang kamu ceritakan itu ternyata sudah selesai bertarung dan alun-alun kota sudah sepi? Bagaimana jika sepanjang kita ada di sini, ternyata di luar sana kota ini telah bangkit dari reruntuhan dan kita tidak mengenalinya lagi?
Raka Ibrahim (Bagaimana Tuhan Menciptakan Cahaya)