“
Sutra Hening: Jalan Tengah di Antara Ada dan Tiada”
Di titik ketika suara tak lagi membutuhkan gendang telinga,
aku duduk—bukan untuk mencari terang,
melainkan untuk melihat siapa yang paling gigih merindukan cahaya.
Hampa menyelimuti seperti udara pagi; tidak dingin, tidak hangat—
hanya ada.
Bodhidharma duduk di depanku, wajahnya setegas gunung purba.
Ia berkata tanpa suara:
“Jika pikiran tak tenang, siapa yang ingin kau tenangkan?”
Aku terdiam—bukan karena tak mengerti,
tapi karena aku melihat tanganku sendiri hilang
ketika hendak menggenggam pertanyaan itu.
Lalu Huineng datang, bukan sebagai guru,
melainkan sebagai angin yang menyingkap tirai:
“Tak ada cermin. Tak ada debu.
Siapa yang membersihkan apa?”
Sekali lagi aku mencoba menjawab,
dan sekali lagi jawabanku runtuh
seperti bayang yang kehilangan tubuh.
Thich Nhat Hanh datang sebagai mimpi,
mengajarkan cara menatap embun tanpa menginginkan arti.
Ia bilang:
“Tersenyumlah pada kehadiranmu sendiri.
Kesadaran itu bukan menahan apa pun, tetapi membiarkan semuanya lewat.”
Dan untuk pertama kalinya, aku sadar
bahwa napas bisa menjadi jembatan antara dunia yang retak
dan hati yang ingin pulang.
Alan Watts mengangguk, tertawa,
seolah tahu bahwa tawa adalah pintu gerbang paling rahasia.
“Kau bukan penumpang di dalam tubuhmu,” katanya,
“kau adalah tarian antara bentuk dan kekosongan.”
Aku melihat gelombang naik dan turun
bukan sebagai metafora kehidupan
melainkan sebagai bukti
bahwa kehilangan dan penemuan selalu saling memasuki tanpa konflik.
Lalu aku bertanya—dalam diam yang membungkus semuanya:
Jika aku bukan murni ada dan bukan murni tiada,
apa sebutan untuk jarak tipis yang senantiasa berubah
antara keduanya?
Jawaban yang datang bukan kata, bukan isyarat,
melainkan kejernihan:
bahwa paradoks bukan masalah yang harus diselesaikan
melainkan lanskap yang harus ditapaki dengan sepenuh hati.
Bahwa kekosongan bukan lubang
tetapi ruang untuk segala kemungkinan.
Bahwa kehadiran bukan beban
tetapi kelahiran ulang pada setiap kedipan mata.
Bahwa penyerahan bukan pasrah
tetapi melihat bahwa tidak ada musuh selain cengkeram cakar sendiri.
Aku menutup seluruh panca inderaku,
dan untuk pertama kalinya aku memandang tanpa melihat.
Aku membuka tangan,
dan untuk pertama kalinya aku memiliki tanpa menggenggam.
Aku membiarkan diriku diam,
dan untuk pertama kalinya aku menjadi gema dari sesuatu
yang jauh lebih besar dari kata “aku”.
Di titik itu aku tahu:
puitika paling terang lahir bukan dari hasrat yang ingin hebat,
melainkan dari kalimat yang rela lenyap
agar makna dapat muncul tanpa penjara.
Dan di dalam lenyap itu,
sebuah pertanyaan lain mengalir:
Jika keheningan adalah guru
yang paling jujur,
siapa lagi yang harus
kita dengarkan?
November 2025
”
”