Azan Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Azan. Here they are! All 13 of them:

Reh Gyi Rasm-e-Azan, Rooh-e-Bilali Na Rahi Falsafa Reh Gya, Talqeen-e-Ghazali Na Rahi Azan yet sounds, but never now Like Bilal’s, soulfully; Philosophy, conviction-less, Now mourns its Ghazzali
Muhammad Iqbal
Manusia dilahirkan diiringi dengan laungan azan. Dan kematian pula diiringi dengan solat. Antara azan dan solat, satu tempoh yang amat singkat. Singkatnya hidup kita ni..
Ramlee Awang Murshid
I loved my little sister. When I looked at her, I felt the same way as when I stared into the ancient flame of the Atashkadeh. Or when I heard the azan ring out across the city.
Adib Khorram (Darius the Great Is Not Okay (Darius The Great, #1))
When Water is stop by hearing the Voice of Azan then Why not Human -Dadagari Jeelan
Dadagari Jeelan
- The Azan story - The five daily ritual prayers were regularly performed in congregation, and when the time for each prayer came the people would assemble at the site where the Mosque was being built. Everyone judged of the time by the position of the sun in the sky, or by the first signs of its light on the eastern horizon or by the dimming of its glow in the west after sunset; but opinions could differ, and the Prophet felt the need for a means of summoning the people to prayer when the right time had come. At first he thought of appointing a man to blow a horn like that of the Jews, but later he decided on a wooden clapper, ndqiis, such as the Oriental Christians used at that time, and two pieces of wood were fashioned together for that purpose. But they were never destined to be used; for one night a man of Khazraj, 'Abd Allah ibn Zayd, who had been at the Second 'Aqabah, had a dream whieh the next day he recounted to the Prophet: "There passed by me a man wearing two green garments and he carried in his hand a ndqiis, so I said unto him: "0 slave of God, wilt thou sell me that naqusi" "What wilt thou do with it?" he said. "We will summon the people to prayer with it," I answered. "Shall I not show thee a better way?" he said. "What way is that?" I asked, and he answered: "That thou shouldst say: God is most Great, Alldhu Akbar." The man in green repeated this magnification four times, then each of the following twice: I testify that there is no god but God; I testify that Muhammad is the messenger of God; come unto the prayer; come unto salvation; God is most Great; and then once again there is no god but God. The Prophet said that this was a true vision, and he told him to go to Bilal, who had an excellent voice, and teach him the words exactly as he had heard them in his sleep. The highest house in the neighbourhood of the Mosque belonged to a woman of the clan of Najjar, and Bilal would come there before every dawn and would sit on the roof waiting for the daybreak. When he saw the first faint light in the east he would stretch out his arms and say in supplication: "0 God I praise Thee, and I ask Thy Help for Quraysh, that they may accept Thy religion." Then he would stand and utter the call to prayer.
Martin Lings (Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources)
I was cut off by the azan sounding... I imagined... a neural network spread throughout the entire country and to the Iranian diaspora across the whole planet. I felt very Persian just then, even though I didn't understand the chanting. Even though I wasn't Muslim. I was one tiny pulsar in a swirling, luminous galaxy of years of culture and heritage. There was nothing like it back home. Maybe the Super Bowl.
Adib Khorram (Darius the Great Is Not Okay (Darius The Great, #1))
Izinkan kita menggunakan analogi azan. Kita semua maklum bahawa azan sebagai suatu praktis keagamaan tetap bergema sejak dari Bilal r.a. dipilih Rasulullah saw melaungkannya sehinggalah ke hari ini. Azan adalah "religious presence" yang tidak dapat dikalah dan disenyapkan. Nada kesaksian (pengakuan akidah mempercayai Tuhan Yang Maha Esa serta keRasulan Muhammad) anjuran, peringatan dan harapan, semuanya terkandung dalam azan. Ia bukan saja dilaungkan pada masuknya setiap waktu solat, juga dikala suka dan duka umat Muhammad. Meskipun mungkin banyak yang tidak menunaikan solat tadi, azan tetap akan berkumandang, tanpa takut, tanpa segan dan tanpa ragu. Inilah simbol kehadiran, kesungguhan dan harapan ("religious presence"). Dan harapan dari praktis agama inilah yang akan menguatkan kita yang mahu menggerakkan visi profetis ( visi keRasulan ) bagi melawan nyahkemanusiaan (de-humanization ) , dengan kesaksian kita untuk bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Azhar Ibrahim (Cendekiawan Melayu Penyuluh Emansipasi)
Kalam Untaian Merjan Pada lagu balada Rendra aku melihat embus pasir Aspahani. Tangan angin yang giat mencangkuli hamparan tanah gembur di kebun buah Rosidi. Dalam kantungnya tersimpan rupa-rupa benih puisi melayu lama. Dari pantun hingga mantra, dari gurindam hingga karmina, dari talibun hingga seloka. Seuntai syair yang rajin menebar tawa Korrie bergirang hati. Merapal doa penawar rindu yang santun menampung embun luruh di telapak tangan Kyai Bisri dan gaung azan subuh di bibir para santri. Di bawah pelupuk langit Timur Sinar Suprabana aku bersujud, serupa lelai rumput Ahmadun. Menyambut lambai tangan hijau kanak-kanak menari bersama Helvy dan Herliany. Memulas kuning gading bulir padi di dada awang telanjang mandi di kali. Bocah-bocah keletah gembira menuai buah tufah berlimpah pada keras bebatuan Calzoum merah. Di balik celana Pinurbo aku jumpai gelisah mimpi Johani. Wajah Sunarta yang gemar menyamar. Mata Wisatsana yang cermat menelisik risik kerikil tajam terserak di taman kawi dunia. Juga jemari tangan Fansuri yang rajin mencabut ilalang di kebun para sufi. Kubaca wajah cuaca dalam bahasa sunyi Isbedi, kueja tagar Dahana, kudaras cahaya Kurnia. Balau debu tertaris gerimis yang lama tersimpan dalam setiap tetesan tinta Taufiq. Pada sajadah yang ia hamparkan dan pisau Takdir penawar risau pada hati yang terempas dan jantung yang putus. Pulau di mana dulu pernah tersemai benih-benih terbaik Chairil muda. Demi memetik buah rindu dendam yang telah lama didambakannya, Ia rela mati berkafan cindai diiringi lagu sunyi nyanyian Hamzah. Tapi justru di dulang kosong itu kutemukan pipih gosong telur Dewanto. Suara pekak mikrofon pecah dalam kamar gelap Afrizal. Leher botol tercekik dari separuh langit yang sengaja menyembunyikan wajah Srengenge di balik dengung nyamuk yang mengamuk dalam benak Rusmini. Sebelum kata-kata berlepasan dari dahan tempatnya bergantung, sebelum kamus jadi ingatan beku yang ditelan rakusnya waktu. Aku berusaha menemu laut. Laut yang dulu pernah melantunkan tembang Ainun dan syair pujian Pane dalam Madah Kelana. Laut yang akan mengizinkan aku mengaji bersama Toto dan Abdul Hadi, pada hampar lembar langit Zawawi yang senantiasa berkabut ini. Di bawah guyuran rintik-rintik hujan Damono yang entah mengapa hanya mungkin turun di pertengahan bulan Juni. Namun pada samar raut wajah Nadjira, jemari tanganku gugup menggali inspirasi di balik pikiran Armand. Dari rupa rupa arsitektur yang dengan cergas ia reka reka menjadi bait puisi. Hasrat yang gesit menimba air di sumur Mansyur. Menapak jejak Saut dan Sitor yang senantiasa hibuk mencari Tuhan. Dan demi tunas mata Subagyo dan sejuk air Zamzam, aku rela menemu jantung hati lapang di dalam inti sebuah poci. Keramik awanama, di antara batu undak-undakan meditasi Goenawan. Ia yang telah menguak rahasia jiwa Landung nan adi Luhung yang bersemi di hutan jati Umbu Paranggi. Tapi sekali-kali, tak akan pernah aku lupakan kesaksian Wiji yang tumbuh dari tangisan sejarah masa lalu. Noda yang tertera pada luka Sambodja. Sekiranya masih ada petilasan senyap dari para pendahuluku. Cabuhan air mata pilu para martir dan tangis para santo. Seruan kelu di bibir para nabi dan kubangan darah para syuhada. Tak akan aku biarkan diriku terpedaya oleh muslihat para penebah jenawi purba, hujah para tukang fitnah, hasutan orator-orator lancung, gonggong penadah puisi kosong. Juga sumpah serapah dan tipu daya para kritikus-kritikus gagap. Igauan busuk plagiator mabuk. Bualan epigon-epigon palsu dan ocehan para dilettante buta. Di mana waktu mengharuskanku mesti belajar lagi.
Titon Rahmawan
Wahhab set out to extinguish all Islamic practices that he considered not to have come from either source: thus Wahhabi mosques lack minarets—the towers that the caller to prayer, the muezzin, climbs in order to chant the azan, the call to prayer. Wahhab also rejected the veneration of Muslim saints and prayers at their shrines, a practice that had become widespread by the eighteenth century. Wahhab pointed to hadiths in which Muhammad himself condemned this practice, calling it shirk, the combination of idolatry and polytheism that is the worst sin of all in Islam: associating partners with Allah in worship. The Wahhabis were often just as brutal as the Islamic State is today. In an 1803 attack that could have come from today’s headlines about ISIS, the Wahhabis entered Ta’if, a city near Mecca, massacred all the men, and enslaved all the women and children.
Robert Spencer (The Complete Infidel's Guide to ISIS (Complete Infidel's Guides))
Rahmat is an act of azan, Rahmat is what makes us holy. When Rahmat and Azan manifest as one, That's the beginning of Ramazan, Christmas and Deepavali.
Abhijit Naskar (Vande Vasudhaivam: 100 Sonnets for Our Planetary Pueblo)
Türkiye’de körüklenmeye çalışılan ordu düşmanlığını büyük bir kaygıyla izliyorum ve bir dedektif mantığı ile kendime şu soruyu soruyorum: Türkiye’ye fenalık etmek isteyenlerin ilk yapmaları gereken nedir? Cevap belli. Bu ülkenin tek sağlam kurumunu ortadan kaldırarak ülkenin dağıtılmaya hazır bir yığın haline gelmesini sağlamaktır. O zaman hedef bellidir: Türk Silahlı Kuvvetleri. Bu hedefe yönelik hücumlar son yedi yıldır giderek azan bir şiddet ve kesafete ulaşmıştır. Bunu görmeyip gündelik tekil olaylara takılmak bir bilim insanının değil, ancak bir yobazın davranışı olabilir.
A.M. Celâl Şengör (Aptalı Tanımak)
Sore itu mengantarkanku pada hari-hari lalu, saat semua terasa begitu sederhana Percakapan yang mengalir deras, bising klakson yang bersahutan di depan lapas, suara azan yang sesekali terputus saat sang muazzin menarik nafas Alun-alun malam itu masih tak terasa dingin walau hujan tak henti-hentinya mengguyur tubuh Sampai semua kesepian itu memelukku di penghujung jalan memasuki Tarogong rasa dingin terasa menusuk tulang saat melewati jalanan Dangdeur yang gelap Sesekali kulirik percakapan kita dan mencari kehangatan di situ, saat dada mulai remuk oleh rasa kehilangan yang menghantui sepanjang gang Aku benci saat mengingatnya, tak pernah menyadari kata-katamu yang bagai sembilu, menggores luka yang tak henti-hentinya mengeluarkan darah Tak pernah kurasakan sakit saat itu, dan pikirku, mungkin semua akan baik-baik saja pada akhirnya Tak ada sesuatu yang menanti di ujung jalan itu selain rayuan dan tipuanmu, mengatasnamakan luka seorang wanita Aku tersesat di labirin gelap dengan kaki yang membusuk Dan kau di sana, dalam kehangatan di dalam selimut ranjang dalam pelukan seseorang, mengantarkan huruf-demi huruf, baris-demi-baris, bualan penuh muslihat Aku terlena dalam kehangatan palsu sepanjang tahun-tahun yang kelak akan kau buang dengan sia-sia Aku terlena dalam kata-katamu bahwa aku adalah satu-satunya Namun aku tak punya kuasa untuk memutar waktu, pun tak sanggup membuang semua racun itu yang telah membusukkanku dari dalam Sore ini mengantarkanku pada hari-hari lalu, saat semua terasa begitu sederhana Dan aku membencimu (Untuk Fadila Nazian)
Hurairo-san
The first sound a child hears is very important. It determines character. A Muslim child always hears the Azan first. Words in praise of God. Words to live by.
Jinat Rehana Begum (First Fires)