Aku Pendosa Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Aku Pendosa. Here they are! All 3 of them:

“
LITANI MAKHLUK DI DALAM PERUT PELANTANG (Dongeng Singkat Tentang Seekor Anjing yang Mimpi Menjadi Mikropon, dan Sebuah Mikropon yang Diam-diam Ingin Menjadi Anjing) I. Retakan Kausa Dari atap takdir yang menggigil, hujan turun bukan sebagai air, melainkan sebagai serpih ingatan yang ditinggalkan generasi yang percaya bahwa pengeras suara lebih suci daripada detak jantung sendiri. Angin menghafal nama-nama yang diteriakkan— tetapi kini nama-nama itu berubah menjadi bulu-bulu halus yang mengelupas dari makhluk yang belum sempurna bentuknya. Ia berjalan pincang, mengendus karat, mendengarkan doa yang mendesis seperti minyak panas dari dasar kuali. II. Tubuh yang Menjadi Simbol dan Simbol yang Menjadi Makhluk Di museum moralitas, patung-patung pendosa tertawa. Namun malam itu, satu patung retak; dari celahnya keluar seekor anak anjing berwarna ungu kebiruan yang terlalu pucat untuk disebut hidup. Ia meminjam moncong dari sejarah nenek moyangnya, meminjam telinga dari debu pendiangan, dan meminjam suara dari mikropon yang lupa kapan ia berhenti bernyanyi. “Biarkan aku menjadi lidahmu,” katanya, “agar kata-kata yang kau lempar ke langit tak lagi memantul sebagai propaganda yang kehilangan ibu.” III. Doa dalam Dapur Penghakiman Dalam mimpimu, ia muncul sebagai penghibur yang lelah— alas bedaknya retak, gincunya belepotan di pipi, kakinya gemetar, tetapi matanya menyimpan tahapan-tahapan kesedihan yang jauh lebih tua daripada artefak yang kau yakini suci. Ia melihatmu mencari bayangan sendiri di dekat api yang tak pernah benar-benar menyala, dan tersenyum jenaka: “Barangkali kau benci bukan pada tubuhku, tapi pada suara yang tak berani kau sebutkan namanya.” Mikropon itu mendengar, dan getarannya menjadi litani— tanpa tuduhan, tanpa penghakiman, hanya gema dari mulut tanah yang gemetar. IV. Wajah Luka yang Tidak Dipamerkan Ketika kau akhirnya menyingkap wajah makhluk itu, kulitnya mengelupas, darahnya meletup; ia mengalir sebagai sungai merah yang sangat panjang, hampir seperti selendang yang menutup dunia setiap kali manusia kelelahan menipu dirinya sendiri. Di balik selendang itu, mikropon tua menunduk: “Apakah ini tubuhmu? Atau tubuhku? Atau tubuh semua kata yang tak pernah kita izinkan hidup?” V. Jalan Sunyi yang Menganga ke Dalam Tanah Makhluk itu—entah anjing, entah kesaksian— tak terbang ke langit. Ia menyelam ke lapisan bumi paling pekat, ke lorong-lorong di mana gema doa tak lagi memohon keselamatan tetapi memohon untuk dikenali. Di sana, telinganya mekar sebagai kaktus hijau berduri, tunggal, lapar, menunggu disentuh tetapi tak pernah mengizinkan dipetik. VI. Nyanyian Mikropon yang Tak Lagi Menguasai Apa Pun Di permukaan, mikropon itu masih terus bernyanyi. Namun kini suaranya serak— bukan karena kehilangan kuasa, tetapi karena ia akhirnya mendengar dirinya sendiri sebagai makhluk yang juga ingin disembuhkan. Ia menyanyikan nama-nama yang angin pernah hafal, yang langit pernah kutuki, yang bumi pernah telan: suara-suara yang hanya ingin satu hal sederhana— tidak menjadi yang paling benar, tidak menjadi yang paling suci, hanya menjadi lirih terdengar tanpa harus menggantikan suara siapa pun. VII. Litani Terakhir Dan di sela-sela jeda itu, kau mungkin menangkap bisikan: bahwa tidak ada anjing yang benar-benar mati, tidak ada mikropon yang benar-benar berkuasa, tidak ada doa yang benar-benar berbohong— hanya makhluk-makhluk yang terus belajar menerima wujudnya tanpa harus menutup mata kepada siapa pun atau menyalakan api yang dapat membakar siapa saja. Litani selesai. Tidak ada amin. Yang tersisa hanya gema yang mengingatkan bahwa kebenaran— kadang-kadang— membutuhkan seekor anjing yang terlahir dari lumpur dan sebuah mikropon berkarat untuk saling menyelamatkan. Desember 2025
”
”
Titon Rahmawan
“
LIMA MONOLOG KOSMIK: Tubuh yang Dijadikan Alibi 4. Batsyeba — Air yang Jatuh dari Atap Istana Aku mandi di bawah cahaya senja dan menjadi cermin bagi seorang raja yang kehilangan dirinya. Mereka menuduhku penggoda. Seolah aku yang menulis surat perintah pembunuhan itu, seolah aku yang menabur benih ambisi di atas ranjang kekuasaan. Tidak. Aku hanyalah air yang jatuh dari tubuhku sendiri, Air mata yang luruh ke dalam sejarah yang tidak kuminta. Ketika pintu istana terbuka, aku melangkah masuk bukan sebagai ratu, tapi sebagai pertukaran: nyawa suamiku diganti dengan tempat di dalam rahimku. Tubuhku menjadi akta politik. Anak dalam tubuhku menjadi legitimasi. Kesedihanku menjadi hiasan bagi hikayat raja yang ingin terlihat suci. Tidak ada yang menanyakan apakah aku menginginkannya Tidak ada yang mempermasalahkan bila tubuhku ternyata bukan milikku. Mereka lebih sibuk menulis pujian tentang raja yang selamanya mulia, daripada mendengar suara air yang pernah jatuh dari atap, mengabarkan: “Kesucian seorang lelaki selalu dibangun dari air mata perempuan yang sengaja disembunyikan.” 4. Tamar — Gaun Robek Sebelah Dada Aku datang hanya untuk membawa roti bagi seorang saudara. Sungguh sederhana— begitu sederhana sehingga dunia tidak menganggapnya berbahaya. Sampai tangan itu menutup pintu. Sampai suaraku patah. Sampai tubuhku terbelah menjadi sebelum dan sesudah. Ketika aku keluar dari kamar itu, gaunku robek di sisi jantung. Robekan itu bukan tanda kehinaan; itu adalah peta jalan menuju kebenaran yang tidak sanggup dibaca oleh siapa pun. Ayahku diam. Saudaraku murka. Negeri ini mencatat tragedi itu sebagai alasan pembunuhan, bukan sebagai seruan keadilan bagi diriku. Tubuhku menjadi mata air kebencian, dan dari mata air itu lahir pemberontakan, darah saudara, hilangnya martabat raja. Mereka menyebutku korban. Mereka menyebutku sumber bencana. Sebenarnya aku hanya perempuan yang kehilangan suara, dan dunia— dunia memanfaatkan kesunyianku sebagai genderang perang. Hingga kini aku masih meletakkan abu di kepalaku dan membawa gaun itu: robek di sebelah dada, menjadi bendera kecil yang berkibar dalam angin sejarah. Tidak untuk memohon belas kasihan, tetapi untuk mengingatkan: “Luka yang tidak dipulihkan selalu menjadi alasan bagi sebuah kehancuran.” 5. Maria Magdalena — Kebenaran Tanpa Dada, Tanpa Luka Aku adalah tubuh yang menjadi perumpamaan, bukan perempuan yang bernapas dengan paru-paru. Mereka menulis namaku dengan tinta pengampunan, tapi memahat tubuhku dengan stigma yang tak layak kuterima, batu yang hendak merajam tubuhku. Orang-orang berkata aku wanita pendosa. Orang-orang yang sama menaruh tangannya di pundakku untuk mencari keselamatan. Sungguh aneh, bukan? Aku yang dianggap kotor justru menjadi cermin air tempat mereka datang mencari wajah Tuhan. Aku mencium debu dari kaki seorang lelaki yang membawa terang; tetapi dunia hanya melihat ikal rambutku, bukan jiwaku. Mereka menghapusku dari sejarah agar yang kudus tetap bersih dan yang manusia tetap bersalah. Setiap malam aku mendengar suaraku sendiri memantul di dalam gua: “Jika aku pendosa, mengapa aku berdiri yang paling depan mengetuk pintu belas kasihan?” Mungkin dosa bukan milikku. Mungkin dosa adalah nama yang diberikan dunia pada perempuan yang berani melihat wajahnya sendiri yang penuh luka.” Aku tidak suci. Aku tidak najis, jika itu sangkamu. Aku hanya perempuan yang menolak diam. Dan dunia— dunia tidak pernah siap menghadapi perempuan yang tahu bahwa air mata adalah saksi yang lebih jujur daripada kitab apa pun. Desember 2025
”
”
Titon Rahmawan
“
SUARA PEREMPUAN YANG TIDAK DIPETAKAN I. Tubuh — Arsip Retakan, Bukan Peta Aku terbentuk dari goresan. Tidak ingin tahu asalnya. Garis-garis itu: Tangan yang mencintai. Tangan yang ingin mematikan suara. Aku bukan penolak. Bukan penerima. Tubuhku—hanya permukaan. Bukan peta. Setiap retak adalah koordinat yang tidak menunjuk. Aku tidak menyebut diriku luka. Aku adalah material beku. Cukup keras untuk menahan semua beban. Cukup tajam untuk memecahkan ilusi. II. Bayangan—Kode Murah Tanpa Negosiasi Aku pernah berjalan tanpa tubuh. Hanya garis gelap di antara pandangan. Tatapan itu—pisau yang mengiris, memotong. Merampas suara sebelum ia sempat bicara. Aku tidak punya identitas. Mereka memberi satu. Kode paling mudah. Paling murah. Paling cocok untuk tubuh yang tidak akan dibela. Aku tidak membantah. Bayangan tidak bernegosiasi. Terutama dengan cahaya yang mengutuknya. III. Bukti—Dakwaan yang Tidak Perlu Peristiwa Aku pernah mencoba menyebut namaku. Udara di sekelilingku sudah dipenuhi label. Namaku—pecahan kaca di kerongkongan. Aku tahu rasanya ditetapkan sebagai kesalahan. Bahkan sebelum peristiwa apa pun terjadi. Di sini, aku menjadi dakwaan bergerak. Sekadar hidup, dan itu sudah cukup. Aku adalah alasan yang terlalu nyaman. Bagi mereka yang menolak mencari penyebab yang sebenarnya. IV. Warisan—Beban Tanpa Peringatan Aku membawa beban. Diberikan tanpa jeda. Warisan tanpa nilai jual, Tak ada yang mau beli. Tapi harus dikenakan. Setiap langkah adalah upacara mekanis. Menegaskan: Aku bukan milikku. Malam tidak memberiku perlindungan. Malam hanya memberikan bentuk presisi pada takut yang sudah lama mati. KLIMAKS — KEKOSONGAN YANG MEMBEKU Dan Inilah Aku. Tanpa wajah. Tanpa sejarah. Tanpa apa pun yang bisa dipakai untuk menyelamatkan. Aku—ruang kosong. Tempat bayangan berkumpul. Untuk memastikan aku utuh sebagai kemungkinan. Dan hilang sebagai identitas. Jangan sebut. Bukan korban. Bukan pendosa. Bukan peringatan. Bukan pelajaran. Aku bukan siapa-siapa. Aku adalah apa yang tersisa. Ketika semua penjelasan berhenti bekerja. Moral? Bohong! Sejarah? Omong kosong! Mereka tidak ingat siapa yang dulu dilempar pertama kali ke tanah yang haus darah. Jika aku harus menyatakan diri, maka hanya ini: Aku adalah Perempuan yang harus disalahkan. Titik! Bahkan jika dunia sudah berakhir. Dan aku akan tetap di sini. Bukan ampunan. Bukan balasan. Hanya tekad yang keras kepala: Aku akan hidup lebih lama dari semua alibi mereka. Itu saja. Desember 2025
”
”
Titon Rahmawan