“
LITANI MAKHLUK DI DALAM PERUT PELANTANG
(Dongeng Singkat Tentang Seekor Anjing yang Mimpi Menjadi Mikropon,
dan Sebuah Mikropon yang Diam-diam Ingin Menjadi Anjing)
I. Retakan Kausa
Dari atap takdir yang menggigil, hujan turun bukan sebagai air,
melainkan sebagai serpih ingatan yang ditinggalkan generasi
yang percaya bahwa pengeras suara lebih suci daripada detak jantung sendiri.
Angin menghafal nama-nama yang diteriakkan—
tetapi kini nama-nama itu berubah menjadi bulu-bulu halus
yang mengelupas dari makhluk yang belum sempurna bentuknya.
Ia berjalan pincang, mengendus karat,
mendengarkan doa yang mendesis seperti minyak panas
dari dasar kuali.
II. Tubuh yang Menjadi Simbol dan Simbol yang Menjadi Makhluk
Di museum moralitas,
patung-patung pendosa tertawa.
Namun malam itu, satu patung retak;
dari celahnya keluar seekor anak anjing berwarna
ungu kebiruan yang terlalu pucat untuk disebut hidup.
Ia meminjam moncong dari sejarah nenek moyangnya,
meminjam telinga dari debu pendiangan,
dan meminjam suara dari mikropon yang lupa kapan ia berhenti bernyanyi.
“Biarkan aku menjadi lidahmu,” katanya,
“agar kata-kata yang kau lempar ke langit
tak lagi memantul sebagai propaganda yang kehilangan ibu.”
III. Doa dalam Dapur Penghakiman
Dalam mimpimu, ia muncul sebagai penghibur yang lelah—
alas bedaknya retak,
gincunya belepotan di pipi, kakinya gemetar,
tetapi matanya menyimpan tahapan-tahapan kesedihan
yang jauh lebih tua daripada artefak yang kau yakini suci.
Ia melihatmu mencari bayangan sendiri
di dekat api yang tak pernah benar-benar menyala,
dan tersenyum jenaka:
“Barangkali kau benci bukan pada tubuhku,
tapi pada suara yang tak berani kau sebutkan namanya.”
Mikropon itu mendengar,
dan getarannya menjadi litani—
tanpa tuduhan, tanpa penghakiman,
hanya gema dari mulut tanah yang gemetar.
IV. Wajah Luka yang Tidak Dipamerkan
Ketika kau akhirnya menyingkap wajah makhluk itu,
kulitnya mengelupas,
darahnya meletup;
ia mengalir sebagai sungai merah yang sangat panjang,
hampir seperti selendang yang menutup dunia
setiap kali manusia kelelahan menipu dirinya sendiri.
Di balik selendang itu, mikropon tua menunduk:
“Apakah ini tubuhmu? Atau tubuhku?
Atau tubuh semua kata yang tak pernah kita izinkan hidup?”
V. Jalan Sunyi yang Menganga ke Dalam Tanah
Makhluk itu—entah anjing, entah kesaksian—
tak terbang ke langit.
Ia menyelam ke lapisan bumi paling pekat,
ke lorong-lorong di mana gema doa
tak lagi memohon keselamatan
tetapi memohon untuk dikenali.
Di sana, telinganya mekar sebagai kaktus hijau berduri,
tunggal, lapar,
menunggu disentuh tetapi tak pernah mengizinkan dipetik.
VI. Nyanyian Mikropon yang Tak Lagi Menguasai Apa Pun
Di permukaan, mikropon itu masih terus bernyanyi.
Namun kini suaranya serak—
bukan karena kehilangan kuasa,
tetapi karena ia akhirnya mendengar dirinya sendiri
sebagai makhluk yang juga ingin disembuhkan.
Ia menyanyikan nama-nama
yang angin pernah hafal,
yang langit pernah kutuki,
yang bumi pernah telan:
suara-suara yang hanya ingin satu hal sederhana—
tidak menjadi yang paling benar,
tidak menjadi yang paling suci,
hanya menjadi lirih terdengar
tanpa harus menggantikan suara siapa pun.
VII. Litani Terakhir
Dan di sela-sela jeda itu,
kau mungkin menangkap bisikan:
bahwa tidak ada anjing yang benar-benar mati,
tidak ada mikropon yang benar-benar berkuasa,
tidak ada doa yang benar-benar berbohong—
hanya makhluk-makhluk yang terus belajar
menerima wujudnya
tanpa harus menutup mata kepada siapa pun
atau menyalakan api yang dapat membakar siapa saja.
Litani selesai.
Tidak ada amin.
Yang tersisa hanya gema yang mengingatkan
bahwa kebenaran—
kadang-kadang—
membutuhkan seekor anjing yang terlahir dari lumpur
dan sebuah mikropon berkarat
untuk saling menyelamatkan.
Desember 2025
”
”