Ada Aku Kisah Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Ada Aku Kisah. Here they are! All 15 of them:

Sebab setelah hujan selalu ada seseorang yang datang sebagai pelangi, dan memelukmu. : Aku ingin orang itu selamanya aku.
Abdurahman Faiz (Nadya: Kisah dari Negeri yang Menggigil)
Anggap saja pertemuan di awal huruf dalam doaku adalah sapaan manja untukmu Aku akan mengajakmu menyusuri barisan puisi Kubangun sebuah pohon rindang agar kita bisa berteduh dari jauhnya jarak pandang Setiap waktu hatiku meredamkan gelisah langkahnya Ada gurat rasa yang masih merunduk malu-malu untuk kumengerti Disetiap alur jalan yang Allah hadiahkan Kita masih berpapasan, menatap jawaban, Sebab mata masih enggan bersinggungan Diantara poros takdir, kuingin engkaulah rotasiku Tempat barisan ingatan berputar pada titik yang sama, Terjebak dalam lingkaran bahagia yang tak berjeda Kisah yang belum runtun ini biarkan Allah menata Karena kita telah menitipkannya, maka percayakan ia pada penciptaNya
firman nofeki
mungkin pada akhirnya ini adalah jalan untuk menciptakan dunia tanpamu daya magis darimu perlahan memudar semuanya akan menjadi biasa dan mungkin akan lenyap tak berbekas di mulai dari tatapan.. tak lagi mampu merona hatiku kemudian senyuman.. tak lagi terbayang saat ku jemput malamku juga baumu.. tak lagi memerbak anggunmu namun semua itu bukan akhir, juga bukan sebuah permulaan akhir penutup kisah antara kau dan aku pun permulaan hidupku yang tidak ada lagi kamu di situ hanya sebuah permainan takdir tega membolak balik perasaan kalbuku yang kali ini sesaat buatku normal yang tanpa terkira kembali jerumuskan aku dalam pedih
majdy
Menulis berarti menciptakan duniamu sendiri.” Stephen King “Menulis itu pekerjaan orang kesepian. Punya seseorang yang memercayaimu dapat membuat perbedaan besar. Hanya percaya saja biasanya sudah cukup.” Stephen King “Menulis fiksi seperti memasak.” Donatus A. Nugroho "Menulis itu gampang." Arswendo Atmowiloto “Tulislah apa yang kau ketahui seluas dan sedalam mungkin.” Stephen King “Sedapat mungkin aku tidak melakukan keduanya, yaitu membuat alur cerita dan berbohong. Cerita itu terjadi dengan sendirinya, tugas penulis adalah membiarkan cerita itu berkembang.” Stephen King “Engkau harus berkata jujur, jika ingin dialogmu punya gema dan realistis.” Stephen King “Semua novel pada dasarnya adalah surat-surat yang ditujukan kepada seseorang.” Anonim/Stephen King “Aku menulis setiap hari, termasuk hari libur. Aku termasuk pecandu kerja.” Stephen King “Membaca adalah pusat kreatif kehidupan seorang penulis. Aku membawa buku ke mana pun aku pergi dan menemukan peluang untuk menenggelamkan diri dalam bacaan.” Stephen King “Kalau engkau ingin menjadi penulis, ada dua hal yang harus kau lakukan, banyak membaca dan menulis. Setahuku, tidak ada jalan lain selain dua hal ini. Dan tidak ada jalan pintas.” Stephen King "Menulis fiksi seperti permainan Roller Coaster." RL Stine “Aku akan menulis (terus) sekalipun belum tahu akan diterbitkan atau tidak.” JK Rowling “Aku ingin menulis, bukan harus menulis.” Anonim “Seseorang yang menuliskan suatu kisah, terlalu tertarik pada kisah itu sendiri sehingga tidak bisa duduk tenang dan memerhatikan (cara teknik) bagaimana ia menuliskannya.” CS Lewis “Aku menulis untuk diri sendiri, aku rasa tak seorang pun akan menikmati buku ini lebih dari yang kurasakan saat membacanya.” JK Rowling “Menulis novel harus berbekal sesuatu yang Anda yakini agar Anda tetap bertahan.” JK Rowling “Selalu ada ruang untuk sebuah cerita yang dapat memindahkan pembaca ke tempat lain.” JK Rowling “Aku takut kalau tak dapat menemukan alasan untuk melanjutkan menulis.” JK Rowling “Bila aku tidak menulis, aku merasa hidupku tidak normal.” JK Rowling “Beberapa hal memang lebih baik tinggal menjadi imajinasi belaka.” JK Rowling “Harry tak pernah menyerah terus berjuang menggunakan kombinasi antara intuisi, ketegangan syaraf dan sedikit keberuntungan.” JK Rowling “Kamu mungkin tidak akan bisa membuat karyamu diterbitkan di penerbit manapun.” Marion D. Bauer “Kebanyakan para penulis, bahkan karya penulis dewasa, tidak akan diterbitkan. Selamanya. Namun, mereka tetap saja menulis karena ini menyenangkan.” Marion D. Bauer “Bagi semua penulis, profesional maupun amatir imbalan yang terbesar terletak dalam proses penulisan, bukan dalam sesuatu yang terjadi sesudahnya. Mengumpulkan ide dan melihatnya menjadi hidup dalam kertas sudah cukup menggembirakan.” Marion D. Bauer “Kabar buruk: Sangat sulit untuk membuat bukumu diterbitkan. Jika tulisanmu berhasil diterbitkan, kamu mungkin tidak akan menjadi terkenal, kamu tidak akan menjadi kaya. Seorang penulis harus belajar sendiri dan bekerja sendiri. Kabar baik: Membuat tulisanmu diterbitkan akan menjadi lebih mudah setelah kamu berhasil menapakkan kaki di pintu penerbitan. Kamu bahkan mungkin bisa menjadi terkenal, atau mungkin saja kamu lebih memilih kehidupan yang sederhana. Beberapa penulis menjadi kaya. Bekerja sendirian mungkin bukan masalah bagimu. Kamu bisa menjadi penguasa bagi kehidupan kerjamu sendiri. Yang terpenting dari segalanya kamu bisa melakukan pekerjaan yang kamu cintai.” Marion D. Bauer “Aku akan terus menulis meski tulisanku tidak menghasilkan uang sesen pun, bahkan jika tidak ada orang yang mau membacanya. Aku merasa sangat beruntung bisa merintis karir di bidang penulisan.” Marion D. Bauer "Menulis dapat membuat orang bisa menjadi lebih baik karena dia melihat pantulan dirinya." Asma Nadia
Ahmad Sufiatur Rahman
Kamu, Sejuta kisah atas nama Rindu Semua hal yang telah berlalu Tebal mendebu ter arsip oleh waktu Masih perihal Merindu Yang menjulang tinggi menembus cakrawala yang membentang luas bagai Samudera Rinduku pekat sulit untuk di ungkap Rumit indah tak dapat terlukis oleh kata-kata Hanya dapat tertulis oleh pena dan kertas Biarkan aku memikul semua rasa di hatiku Yang kubawa pergi demi kebaikanmu Sebab aku tau akan ada pelangi setelah hujan Dan akan ada Rindu disetiap kepergian For Anis
Murfadhillah
Mungkin seharusnya aku menulis buku motivasi saja, mengutip ucapan para tokoh besar dunia dan meramunya dengan sedikit kisah perjuanganku menggapai mimpi. Pasar pembaca seperti itu tampaknya lebih luas—ada terlalu banyak orang yang sebentar-sebentar harus disuapi dengan petuah-petuah untuk memulai hari mereka. Mereka akan dengan rakus membeli dan melahap setiap buku-bukuku. Kelaparan mereka akan mengisi penuh pundi-pundiku. Akan tetapi tanganku terasa kaku setiap aku hendak memulai. Bagaimana aku bisa menulis dan menjadi inspirasi buat banyak orang bila aku sendiri merasa hidupku membosankan—dan hidup dalam rasa frustrasi berkepanjangan?
Jessica Huwae (Skenario Remang-Remang)
Saudariku.. pernahkah ada seorang yang melukaimu, menuduhmu atas suatu hal yang tidak anda lakukan ? memanggilmu dengan sebutan yang tidak layak dilontarkan, mengatakan hal – hal yang sangat tidak pantas diucapkan kepada sesama muslimah… mungkin dia adalah keluarga dekatmu, mungkin dia adalah temanmu, atau bahkan..... keluarga dari calon pendampingmu… :) Jangan bersedih ! tidak hanya anda yang mengalaminya… saya pun pernah mengalaminya.. duhai saudariku… Tidak semua orang mampu memahami kesalahan yang telah dilakukannya, Tidak semua orang mampu menerima kesalahan,dan tidak semua orang mampu meminta maaf kepada anda, meskipun dia sudah menyadari kesalahannya… Duhai saudariku…Lepaskan keegoisanmu agar cahaya iman masuk kedalam nuranimu, maafkanlah mereka dengan tulus…. jangan menunggu permintaan maaf mereka kepadamu!... Saudariku… apakah masih ingat dengan kisah Rasululloh SAW berikut ini : ” Suat saat ketika Rasulullah SAW sedang duduk – duduk bersama sahabatnya, Rasulullah SAW bersabda, “Sebentar lagi,salah satu ahli surga akan muncul di hadapan kalian.” Tak lama, seorang laki-laki dari kaum Anshar muncul dengan sisa air wudhu masih menetes dari janggutnya. Ia menenteng terompah di tangan kirinya. Hari berikutnya, Rasulullah SAW mengulang perkataannya dan orang itu kembali melintas seperti pada kali pertama. Di hari ketiga, Rasulullah SAW mengulang perkataannya, dan kejadian itu kembaliterulang. Mendengar ucapan Rasulullah SAW, Abdullah bin Amr mengikuti lelaki yang dimaksud Rasulullah SAW lalu berkata kepadanya, “Aku bertengkar dengan ayahku, aku tidak akan menemuinya tiga hari, apakah engkau berkenan memberiku tempat menginap?” lelaki itu menjawab, “Silahkan, dengan senang hati.” Abdullah bin Amr pun menginap di rumah lelaki itu hingga tiga malam berlalu dan Abdullah belum melihat dari laki-laki itu melakukan amal yang disebut sebagai penghuni surga. Sehingga Abdullah memberanikan diri bertanya, “Sudah tiga hari disini, aku tidak melihatmu mengerjakan amal yang membanggakan. Mengapa Rasul menyebutmu sebagai salah satu calon penghuni surga?”. Lelaki itu menjawab, “Aku memang tidak melakukan amalan-amalan yang istimewa, tetapi sebelum tidur, aku mengingat kesalahan-kesalahan saudaraku seiman, lalu aku berusaha untuk memaafkannya. Aku hilangkan rasa dengki dan iri terhadap karunia Allah yang diberikan kepada saudaraku.” Setelah mendengar itu, Abdullah berkata, “Ya,itulah yang menyebabkan engkau disebut sebagai calon penghuni surga.” Subhanallah ! Begitu dahsyatnya efek memaafkan,saudariku… semoga Allah menjadikan kita para pemaaf, yang mampu membalas keburukan dengan kebaikan… Semoga Bermanfaat.. :)
Nuci Priatni
Pada Minggu sore yang tenang itu, aku menikahi Dinda. Aku berpakaian Melayu lengkap persis seperti waktu aku melamarnya dahulu. Dinda berpakaian muslimah Melayu serbahijau. Bajunya berwarna hijau lumut, jilbabnya hijau daun. Dia memang pencinta lingkungan. Itulah hari terindah dalam hidupku. Jadilah aku seorang suami dan jika ada kejuaraan istri paling lambat di dunia ini, pasti Dinda juaranya. Dia bangkit dari tempat duduk dengan pelan, lalu berjalan menuju kursi rotan dengan kecepatan 2 kilometer per jam. Kalau aku berkisah lucu dan jarum detik baru hinggap di angka 7, aku harus menunggu jarum detik paling tidak memukul angka 9 baru dia mengerti. Dari titik dia mengerti sampai dia tersipu, aku harus menunggu jarum detik mendarat di angka 10. Ada kalanya sampai jarum detik hinggap di angka 5, dia masih belum paham bahwa ceritaku itu lucu. Jika dia akhirnya tersipu, lalu menjadi tawa adalah keberuntunganku yang langka. Kini dia membaca buku Kisah Seekor Ulat. Tidak tebal buku itu kira-kira 40 halaman. Kuduga sampai ulat itu menjadi kupu-kupu, atau kembali menjadi ulat lagi, dia masih belum selesai membacanya. Semua yang bersangkut paut dengan Dinda berada dalam mode slow motion. Bahkan, kucing yang lewat di depannya tak berani cepat-cepat. Cecak-cecak di dinding berinjit-injit. Tokek tutup mulut. Selalu kutunggu apa yang mau diucapkannya. Aku senang jika dia berhasil mengucapkannya. Setelah menemuinya, aku pulang ke rumahku sendiri dan tak sabar ingin menemuinya lagi. Aku gembira menjadi suami dari istri yang paling lambat di dunia ini. Aku rela menunggu dalam diam dan harapan yang timbul tenggelam bahwa dia akan bicara, bahwa dia akan menyapaku, suaminya ini, dan aku takut kalau-kalau suatu hari aku datang, dia tak lagi mengenaliku.
Andrea Hirata (Sirkus Pohon)
Selalu ada cara lain untuk menafsirkan kebahagiaan," begitu katamu. Seperti mengisi kanvas yang kosong dengan kepenuhan imajinasi, dan membiarkan khayalan bergerak serupa gambar yang hidup di dalam pikiran. Seperti menemukan sebuah kata yang tepat untuk mengawali sebuah puisi. Selalu ada euforia serupa itu yang ingin kau ciptakan dari gairah dan riuh rendah suara bising yang terdengar di dalam benak semua orang. Sudah lama aku curiga, kau bisa menebak apa yang orang lain inginkan hanya dengan membaca gelagat dan ekspresi wajah mereka. Mencoba membuktikan, bahwa waktu tidak cuma menciptakan kekacauan dan kegaduhan. Ia bisa juga menghadirkan semacam kegembiraan walau mungkin semu. Seperti kisah tentang bunga mawar yang tumbuh di tepi jalan yang pernah aku ceritakan kepadamu. Tapi tak semua orang mau menerima realitas seperti itu. Mereka selalu menemukan cara untuk menilai orang lain dengan caranya sendiri. Kebanyakan orang terlalu sibuk dengan kerumitan pikiran yang hilir mudik setiap hari. Mereka tak menghiraukan hal lain selain kepuasan diri. Mereka tak pernah mau mengerti, bahwa kegembiraan kecil tidak selalu harus dimulai dari diri sendiri. Ini seperti melihat dunia dengan sebuah kaca pembesar. Dunia yang retak dan jauh dari kata sempurna. Dunia yang sering absurd dan kadang membingungkan. Tapi kita tidak punya hak untuk mencemooh orang lain dengan cara konyol seperti itu. Dunia yang kita kenal sudah terlampau sering membiarkan orang membuat penilaian lewat satu satunya pandangan dari apa yang ingin mereka percayai. Tak bisa membedakan api dari asap, panas, nyala dan cahaya yang dihasilkannya. Bukankah satu satunya hal yang bisa kita yakini di dunia yang centang perenang ini adalah sebuah kemustahilan? Akan tetapi, bagaimana kita bisa melihat dunia dengan kacamata ambiguitas? Ketika kita menyadari, bahwa realitas tak lebih dari sebuah fatamorgana. Dan ilusi, adalah kenyataan hidup kita sehari hari. Bagaimana kita bisa menyandarkan diri pada sebuah asumsi untuk mampu mencerna apa yang sesungguhnya tidak kita ketahui? Bagaimana kita bisa memastikan, apa yang tidak pernah kita pahami sebagai buah dari pohon pengetahuan? Bahwa kebaikan dan keburukan adalah hasrat yang terlahir dari rasa ingin tahu manusia. Hanya saja, pikiran kita ingin menelan semuanya sendirian. Kerakusan yang membuat manusia kerasukan oleh ego dan ambisi yang membutakan dirinya sendiri. Kerasukan yang pada akhirnya . menciptakan kerusakan. Apa yang bisa memenuhi diri kita dengan pengetahuan yang serba sedikit tentang makna kebenaran yang kita cari selama ini? Bagaimana kita mampu mengidentifikasi kebenaran yang tidak pernah kita kenal? Bukankah tuhan tak mungkin hadir dalam setitik keraguanmu? Apa yang tidak engkau pahami sebagai sebuah paradoks, tidak punya nilai apa pun dibanding dengan kegamangan dan kebodohan dirimu sendiri. Sementara kita masih saja jumawa, dengan kepala dipenuhi oleh hasrat dan juga kesombongan. Dan terus menerus melahirkan ilusi ilusi semu dari pikiran pikiran hampa yang hanya akan mengelabui manusia dengan kepalsuan sejarah. Sejarah yang diam diam kita rekayasa sendiri. Sejarah yang tidak pernah mengenal makna kesejatian. Sejarah yang mengubur peradaban manusia dengan semacam orgasme palsu, yang anehnya terlanjur kita dewa dewakan sebagai satu satunya kebenaran.
Titon Rahmawan
Seperti pagi yang senantiasa menyajikan cahaya untuk langit Begitulah rasaku terbit Kicau-kicau permai Alunan-alunan rindu di setiap musim yang menyebutmu, aku ada Berusaha menyatukan pelangi yang diderai hujan kemaren sore Mungkin kisah kita masih puisi-puisi lugu yang mengendap di punggung-punggung kertas Syair-syair bisu yang tercipta dari jemari bertaut dengan kecemasan Ia belum memiliki panggung untuk menunjukkan jati diri Hanya gigil hati tak bernama yang dipeluk doa-doa Apakah kita bertemu untuk tinggal? Sebab tamu tidak pernah menetap Hanya datang sesaat, mengetuk pintu hatimu hanya untuk kepentingannya belaka Waktu tidak pernah memanipulasi keadaan Juli dimusim hujan kala itu Semua adalah keadaan yang telah direkam semesta Bahkan jauh sebelum kita ada Aku mungkin adalah cerita yang tak pernah kau impikan di diarymu sebelumnya Dan kau adalah bahasa yang acap kusebut dalam doa Yang belum mampu aku defenisikan untuk sebuah nama
firman nofeki
Perihal Langit Malam: aku teringat sebuah kisah, tentang bulan dan bintang yang tak pernah menyoal siapa sejatinya yang pertama hadir, atau siapa yang harus lebih dulu ada; tiba-tiba langit bergemuruh, katanya demikian: mereka hanya bergerak, sekali tempo menjauh, dua kali mendekat, hingga mereka bertemu, suatu saat nanti.
Epaphras Ericson Thomas
Aku membayangkan dirimu berbaring di atas sofa seperti sebuah novel yang belum selesai aku baca. Kutemukan sebuah luka yang selama ini engkau tutup-tutupi. Sebuah luka parut di bawah perutmu yang baru kemudian aku ketahui ternyata menyiratkan begitu banyak kebahagiaan. Telah bertahun tahun lamanya aku ingin mengungkap apa yang sebenarnya engkau pikirkan. Tapi engkau bukanlah sebuah cerita yang mudah untuk dimengerti. Aku memasang kamera pengintai jarak jauh hanya untuk memperbesar wujudmu dan mengenali karaktermu. Menelisik detail dari sidik jarimu atau mengintai apakah engkau akan menyingkap rok abu abu yang engkau kenakan itu dengan sepenuh harap. Tapi pada wajahmulah aku menemukan apa yang selama ini aku cari-cari. Bukan pada sepasang bola matamu yang kecoklatan dan seolah mengantuk itu, melainkan pada terakota bibirmu yang merona seperti daun peperomia. Pesona sebentuk kerinduan atas sebuah akhir cerita yang sama sekali tak terduga. Baru aku sadari, bahwa kebahagiaan itu hanyalah sebagian saja dari apa yang aku rasakan, penggalan dari sebagian bab yang sudah aku tamatkan sebelumnya. Aku tak pernah mendapati riwayat yang lebih menggugah dari kisahmu. Cerita yang memaksaku berpikir, hanya untuk melihat betapa beruntungnya diriku bisa merasakan mirakel-mirakel kecil yang engkau ciptakan lewat sentuhan jari tanganmu. Bagaimana kau hadirkan pagi dan kehangatan mentari pada sebuah gelas yang engkau minum, atau temaram rembulan pada kasur yang engkau tiduri. Lewat mimpi kau membagikan cinta untuk semua orang. Dan di setiap lembaran baru yang aku baca aku selalu menemukan keajaiban baru yang tak pernah aku temukan dalam hikayat manapun. Meskipun aku tak habis mengerti, bagaimana engkau bisa menghadirkan kisah yang menakjubkan serupa itu? Seperti tak letih melahirkan makna-makna baru bagi kehidupan. Seperti mengajak orang untuk menjadi bahagia. Dari bibirmulah aku mengerti bagaimana mengucap kata-kata cerdas yang akan mengubah hidup orang lain. Seperti seolah memanipulasi pikiran orang demi untuk menuruti apa yang engkau inginkan. Di atas sofa itu engkau berbaring. Seperti seorang putri raja yang tengah tertidur dalam keabadian, dan menunggu kehadiran seorang pangeran untuk membangunkan dirimu dengan sebuah ciuman di bibir. Seperti seekor putri duyung yang menangis di atas sebuah batu karang menunggu kekasih hatinya yang tak kunjung tiba. Demikianlah engkau menyihir diriku dengan rangkaian peristiwa dalam sebuah prosa liris, tak mengharap kisah tragis serupa Cleopatra - Mark Antony atau Salim - Anarkali. Seperti membaca sebuah dongeng yang tak ada habisnya, sebab setiap paragraf bisa setiap waktu berubah dan kau reka ulang beribu bahkan berjuta kali. Sedang aku hanya bisa menduga-duga bagaimana kisah itu akan berakhir.
Titon Rahmawan
Perasaan-Perasaan yang Telah Menyusun Dirinya Sendiri Ketika ia dan aku telah menjadi kita: "Aku akan melakukan apa saja untuk membuat kita bahagia," begitu katanya kepadaku, seperti ia berkata kepada dirinya sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar pernyataannya: "Aku pun demikian. Aku akan melakukan apa saja untuk membuat kita bahagia," jawabku kemudian sambil menggenggam tangannya, sebagaimana aku menggenggam tanganku sendiri. Lalu, ia dan aku saling berpelukan sebagai kami. Begitulah awal mula kisah bagaimana kami menikah. Setelah itu tak ada lagi ia atau aku, seterusnya hanya ada kami atau kita. Beranak pinak dan berbagi cinta dalam segala hal. Semua perasaan telah menyatu, menyusun dirinya sendiri sebagai sebuah kebersamaan yang tak lagi terpisahkan satu dengan yang lain. Begitulah akhir kisah bagaimana kami tetap hidup berbahagia sampai hari ini.
Titon Rahmawan
Soliloqui Sudah ribuan kali aku bertanya pada diriku sendiri; apakah aku sungguh merindukanmu sebagaimana engkau adanya dulu? Ataukah ini hanya sekedar perasaan yang ingin kembali kunikmati seperti ketika kita masih bersama? Apakah sebegitu mudahnya buat kita untuk saling melupakan segala perasaan yang pada mulanya sederhana? Setelah semua kisah kita tamatkan dan seluruh perjalanan cerita kita tuntaskan. Tak ada lagikah catatan yang menyisakan tempat untuk kita terus bertahan? Apakah kita masih mampu belajar untuk peduli? Berusaha keras untuk saling mengerti, berikhtiar untuk saling memahami. Perasaan-perasaan yang dulu sempat kita pertahankan mati-matian, namun pupus di tengah jalan. Haruskah kita tutup buku dan membiarkan semua kenangan itu berlalu? Segampang apapun aku berusaha menyatakannya. Apakah memang tak ada lagi yang patut diingat dari semua perjalanan masa lalu? Asa yang mendekatkan diriku padamu dan mimpi bahagia untuk senantiasa berbagi. Susah senang dijalani bersama, tangis tawa diarungi berdua. Lalu kemana perginya semua harapan itu? Apakah aku harus berpura-pura tak lagi mengenal dirimu? Sekalipun sungguh aku menangis di dalam hati, setiap kali berpapasan denganmu dalam lintasan waktu yang membawaku kembali ke jalan di mana pertama kali kita dipertemukan. Hatiku yang lara hanya bisa bertanya; Apa susahnya untuk menyapaku sebagai teman atau sahabat? Sekalipun jujur bukan itu yang aku inginkan. Apakah aku harus berpura-pura tidak mengindahkanmu, sementara jauh di dalam sana batinku meronta-ronta? Ataukah sebaliknya, kita akan membuang segala kebohongan dan pada akhirnya berdamai dengan diri sendiri. Berani mengungkap seluruh kebenaran walau kita tahu itu bakal menyakitkan. Tapi entahlah, seperti melempar sebutir kerikil ke dalam senyap sebuah telaga. Aku hanya bisa menduga-duga, seberapa dalam batu kerikil itu bakal tenggelam? Setelah sekian waktu lamanya kita tak lagi bertegur sapa, apakah engkau pernah merasa diam-diam merindukan diriku, sebagaimana aku diam-diam merindukanmu?
Titon Rahmawan
Baru kali ini aku tahu bagaimana caramu memasukkan babi, kuda, gajah, ular, hiu dan monyet itu ke dalam puisimu. Setelah aku temukan bahwa setiap peristiwa selalu membawa kegembiraannya sendiri. Dan apa yang aku alami hari ini hanyalah sebuah bukti dari sekian banyak peristiwa, sebelum aku telanjur lupa untuk memberinya sebuah penafsiran. Dan demikianlah, sebuah kisah telah mengantarkan aku menemukan rasa takjub dalam setiap ekor monyet yang aku temui di sebuah area perbukitan yang telah lama dikenal orang dengan sebutan Gunung Krincing, di sebuah Dukuh yang bernama Talun Kacang. Pada sebuah legenda tentang seorang Wali yang dulu pernah bertemu dengan empat ekor kera berwarna merah, kuning, putih dan hitam. Rasa takjub yang kemudian terantuk pada sebuah batu bertuliskan kata-kata: "Mangreho." Sebuah perintah yang terukir pada kulit setiap pokok-pokok kayu jati, yang sengaja dibiarkan kentir di atas sebatang sungai yang akan mengantarkan Sang Wali pulang ke Demak untuk mendirikan sebuah masjid. Ketakjuban itu kini telah tumbuh memenuhi tempat itu dengan hutan buatan, bendungan, jalan beraspal, warung, kedai makan, restoran, lahan parkir dan pemukiman juga. Ia telah menjelma menjadi kegembiraan yang aku temukan pada setiap butir kacang yang dilemparkan orang. Juga pada setiap buah pisang, manggis, nangka atau salak yang mereka jajakan dengan murah. Ada tawa pengunjung dan juga tangis kanak-kanak yang bisa memberiku sebuah penafsiran baru dari kata lucu dan takut sekaligus. Akan tetapi, dari situlah kemudian aku menemukan kegembiraan dan kebahagiaanku sendiri; pada langgam musik keroncong yang dinyanyikan seorang biduan dengan merdunya. Lebih dari seekor monyet yang bebas berkeliaran kesana kemari. Bebas menyanyi, menari, tertawa atau berteriak-teriak sekaligus. Monyet- monyet yang mewarnai dunia dengan ekspresi wajah yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Monyet-monyet kelabu, putih, merah, hitam dan bahkan biru. Monyet-monyet sewarna pelangi. Monyet-monyet yang transparan dan bening kehijauan. Monyet-monyet yang telah melepaskan diri dari rutinitas dan kesibukan dunia. Monyet-monyet yang telah purna memaknai hidup yang carut-marut dan menjemukan ini. Berusaha melupakan dasi, kemeja, pantalon, dan jas yang selama ini membungkus ego mereka rapat-rapat. Monyet-monyet lucu tanpa bedak dan gincu dan juga tanpa perhiasan. Monyet-monyet yang tak lagi malu bertelanjang dada, pamer pantat dan kemaluan mondar-mandir kemana-mana. Mereka bukan representasi Sugriwa, Subali atau mungkin Hanoman. Mereka hanya sebatas monyet biasa. Monyet yang sebagaimana telah lama kita kenal. Namun mereka telah melepaskan diri dari topeng-topeng artificial, dan tampil sederhana apa adanya sebagai dirinya sendiri.
Titon Rahmawan