Yang Fana Adalah Waktu Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Yang Fana Adalah Waktu. Here they are! All 8 of them:

YANG FANA ADALAH WAKTU Yang fana adalah waktu. Kita abadi: memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. “Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita abadi. Perahu Kertas, Kumpulan Sajak, 1982
Sapardi Djoko Damono (Perahu Kertas)
Yang fana adalah waktu, kita abadi
Sapardi Djoko Damono (Perahu Kertas)
TRIPTIK TRIMURTI KEMBANG: SANGKAN PARANING DUMADI (Kidung Kosmogonis dalam Tiga Siklus Penciptaan) I. PADMA — ”Wiji Brahman ing Samudra Pradhana” Padma muncul dari lumpur hening mula-mula, dari titik suwung yang terbelah. Bukan lumpur bumi, tapi lumpur Pradhana tempat materi masih samar dan belum bernama. Ia tegak laksana sabda dadi yang diucapkan oleh Hyang Wening, sebuah mantra yang melupakan lidah pertamanya sebab ia adalah getaran sebelum waktu ada. Air di sekelilingnya memucat, bukan air semenjana, melainkan Tirta Kamandanu yang beku, menahan napas di tepi Bhurloka, mendengar derap para resi sejati yang berjalan melintasi batas kesadaran tanpa bayangan. Kelopak itu membuka diri bukan sebagai bunga, melainkan sebagai Candi Tirtayasa, sebuah yoni retak, menolak menyimpan rahasia Manikmaya yang lebih tua dari ingatan para dewa. Di ujung daun, menggantung aksara tunggal yang menggigil— cahaya yang pernah menjadi sumbu jagad, sebelum bhagawan waktu membebaskannya kembali ke dalam nirwana sunyi. Padma tidak mekar untuk Tri Loka. Ia mekar untuk Kalpasastra yang telah kehilangan pusat kosong-nya. Ia adalah kembalinya Yang Tak Pernah Pergi. II. KEMUNING — ”Jiwatman ing Mandala Bhuwahloka” Kemuning menggantung di udara madya loka, seperti Sasmitaning Gusti yang tertunda, sebuah gapura yang gagal menjejak tanah perwujudan. Kuningnya bukanlah warna, tetapi wanci kencana, yang terhambur dari perut akasa, ketika para hyang niskala meninggalkan panggung bhuwana. Di permukaan kelopaknya, aku melihat lintasan rekaman karmaphala yang halus, serupa prasasti kuno yang tergores di pupil mata ketiga. Kemuning berdiri di antara dua suwung: Suwung Pradhana sebelum cipta, Suwung Pralaya setelah bubar. Ia tidak memikat bhramara, kumbang pengecap madu. Ia memikat Dharma. Dan laku jiwa datang seperti bayu prana, sang angin kehidupan: dinginnya adalah disiplin, patahnya adalah pengertian, kaburnya adalah waskita, membawa kabar lelampahan dari arah yang tidak pernah dipertanyakan jejer manungsa. III. MAWAR — ”Maya Sukma lan Titah Wusananing Jagad” Mawar tumbuh dari celah watu waringin yang ditinggalkan api tunggal sedalam tiga yuga. Merahnya bukan darah manungsa, tetapi gema tapa brata yang pernah terbakar oleh rasa sejati yang telah melampaui vedana. Duri-durinya tegak laksana panah cakra, pusaran energi yang menolak bergerak, sebab tahu setiap gerak adalah pengkhianatan kecil pada keabadian wiyata. Ketika ananta bayu, angin tak berakhir melewati tubuhnya, aku mendengar suara lirih, serupa Gending Gadhung Mangkara, yang dimainkan di ruangan Swa-loka, tempat roh-roh purba masih belajar mengenali wujud niskala mereka sendiri. Mawar menguasai medan Karmala bukan dengan kecantikan fana, melainkan dengan tatu kasampurnan yang tahu bagaimana menjaga dirinya tetap tak bernama di hadapan takdir. Dan pada puncak kelopaknya, suwung sejati duduk menunggu wekasane tumitah yang bahkan Hyang Wening belum berkenan memberi tafsir. Desember 2025
Titon Rahmawan
Anima Apakah engkau akan izinkan aku membuka ruang ini dengan jernih tanpa terseret arus sungai yang membuatmu tenggelam? Lalu siapa juru peta yang menempatkan kita; aku, kamu dan seluruh emanasi alter ego itu ke dalam fragmen yang saling berebut peran? Suara yang menjawab gemulai ranting-ranting pohon: Ia yang membaca gelagat Ia yang mengajukan pertanyaan Dan ia yang menembus inti Lalu bersama mereka semua menyatu ke dalam bumi. Bukankah kisah ini tidak menawarkan kita penjelasan atas dirinya sendiri? Ini bukan tentang cinta, hidup atau mati. Ini tentang bagaimana engkau memahami luka yang tak pernah sembuh. Pertama adalah ia yang menyebut dirinya Cakra Wahana, yang bekerja, berpikir dan menjaga kelangsungan hidup. Ia yang membiarkan dirinya jatuh dan bangkit. Ia adalah pemasang pasak dan penegak tiang-tiang layar. Ia adalah pemilik kapal yang terpaksa mengambil alih kemudi. Tapi pemilik yang satu lagi bukanlah pelarian dari lebatnya hujan. Melainkan pernyataan yang mengembalikan dirinya kepada sumber kreativitas dan spontanitas. Ia adalah penyair yang menyebut dirinya sebagai Tirta Rengganis. Udara yang membuatmu bernapas, tangan yang mengajakmu menulis, sayap yang mengajarkanmu terbang. Ia hanya butuh ruang sunyi agar namamu abadi. Kanal penyembuh yang bekerja lewat simbol, estetika dan fiksi. Sementara yang lainnya adalah anima milik semua. Batin yang berfungsi sebagai inkuisisi alam bawah sadarmu. Ia bukan sekadar perempuan Melainkan arketipe yang membongkar segala kepalsuan. Ahli geologi yang menggali luka trauma, Dorongan nafsu amarah ingatan purba. Sebab itulah mengapa ia mesti turun ke sumur terdalam hanya untuk menemukan dirimu. Bila kau temukan ia dalam lubukmu, maka ia adalah dewi yang sedang melucuti diri sendiri dari jubah kemunafikan Agar ia bisa jadi kebenaran paling radikal. Ia seperti rembulan yang muncul di waktu yang tepat saat integritas batin memanggil. Sedang seluruh alter ego itu adalah helai baju berlapis tujuh. Mereka adalah dirimu yang fana; pelepasan tensi sensualitas, ketajaman mata pisau yang dingin, tradisi masa lalu yang memudar, logika equilibrium, luka yang menolak pergi, cinta tak berbalas dan amarah yang tak mau tunduk. Mereka adalah tujuh pilar yang menjaga gedung tiga puluh lantai itu tak runtuh oleh beban emosi sendiri. Telah aku dekati dirimu dengan diagnosaku yang paling tajam Dan kutemukan inti yang bukan simptom; Apa yang kau takutkan untuk jadi dominan? Kemana kalian harus pulang bila tak kau temukan rumah? Ketika kapal kehilangan arah, siapa yang semestinya jadi nahkoda? November 2025
Titon Rahmawan
VIBRASI DUA BUNGA DALAM DEFORMASI WAKTU I. SAKURA: Cahaya yang Gagal Menjadi Aksara Sakura gugur, bukan sebagai kelopak tetapi sebagai fragmentasi waktu yang terpental dari pusat realitasnya. Ia melayang di udara beku yang tak membutuhkan penjelasan, seperti roh purba yang menolak mengakui asal kegemilangan-nya. Aku melihatnya terapung di bayang cakrawala yang retak, memantulkan siluet cahaya yang terjatuh dari ingatan yang seharusnya tidak pernah kupanggil dengan nadi fana. Sakura itu tak menuntut jawaban, bukan tentang ilusi cinta manusia, melainkan tentang retakan raga dari jiwa yang pertama kali memisahkan eksistensi dari ketiadaan. Dan aku menjawabnya dengan sunyi yang lebih tua dari dinding jagad, hembus napas yang terlalu dingin untuk dimiliki oleh manifestasi. II. KAMBOJA: Napas Kesadaran dari Akar Penderitaan Kamboja mekar di lapisan ilusi yang mengingat kesudahan. Ia mengeluarkan aroma yang menafikan tubuh, melainkan terlahir dari ingatan bumi, tanah di mana ia tumbuh atas setiap pergantian wujud yang telah dilebur. Kelopaknya tebal, seperti daging waktu yang ditinggalkan oleh kesadaran yang telah selesai bersemayam. Ia tidak meminta kemuliaan. Tidak menagih pemujaan. Ia hanya menunggu— seperti gua suwung yang tahu bahwa segala manifestasi pada akhirnya adalah asimilasi ke dalam diri. III. Dialog Dua Bunga Dalam Pergeseran Dimensi Di tengah pergeseran dimensi, fragmen cahaya Sakura berbicara pada penyerap akhir Kamboja. Bukan dengan garis bahasa, melainkan dengan tegangan kosmos yang hanya dipahami oleh yang tercerahkan: Sakura: “Aku adalah saksi cahaya yang terlambat tiba di tepi keabadian.” Kamboja: “Aku adalah gua gelap yang lebih dulu menjaga kekosongan.” Sakura: “Aku gugur karena perspektif tidak sanggup memeluk Inti-ku.” Kamboja: “Aku mekar karena pembubaran yang tidak pernah menolak wujud apa pun.” Sakura: “Ada fragmentasi jiwa yang mencari pembebasan melalui diriku.” Kamboja: “Ada ketakutan dasar yang pulang kepadaku.” Sakura: “Kita berasal dari retakan luka yang sama.” Kamboja: “Tetapi kita menjaga keseimbangan dengan aksioma yang berbeda.” IV. Titik Hening Manusia di Antara Dua Bunga Aku berdiri Jauh, di batas luar lorong waktu, menyaksikan dua bunga yang lebih mengerti jati diri-ku daripada ilusi cinta-ku sendiri. Sakura memanggil dengan energi cahaya yang menjanjikan lupa. Kamboja menunggu dengan gelap lembut yang menjamin pulang. Keduanya tahu Jejak karma siapa yang terpatri di tulang-tulang kesadaran-ku. Dan di udara tanpa vibrasi itu, aku mendengar perjanjian purba yang tidak pernah kutulis di kitab kehidupan: Bahwa gairah terlarang bukanlah drama eksistensi manusia— melainkan kesepakatan kosmik antara Animus, cahaya yang gagal menjaga asas dan Anima, gelap yang berusaha tetap bertahan dengan setia. Mereka adalah dua sisi mata uang waktu. Tubuhku adalah tempat di mana mata uang itu berputar dan hilang. Dan sunyi yang tersisa adalah kebenaran yang paling jujur. Desember 2025
Titon Rahmawan
RETASAN DUA BUNGA DI PUSAT KETIADAAN (Percakapan Sakura–Kamboja dalam Konflik Kefanaan & Keabadian) I. SAKURA — Cahaya yang Tidak Selesai Menjadi Cahaya Sakura gugur bukan sebagai kelopak, melainkan sebagai serpih cahaya yang gagal menutup luka waktu. Ia melayang rendah— dingin, retak, mineral— seperti sisa bintang yang ditolak langitnya sendiri. Cahayanya tidak menghangat, tidak menuntun, hanya menunjuk ke celah tipis tempat dunia pertama kali terbelah. Ia berbicara dalam napas patah: bahwa kefanaan adalah jam rusak yang tetap berdetak meski jarumnya telah berhenti. II. KAMBOJA — Gelap yang Mengetahui Nama Kematian Kamboja mekar di tanah lembab yang mengingat setiap tubuh yang pernah menyerah kepada diam. Kelopaknya tebal seperti daging realitas yang sudah ditinggalkan kesadaran. Aromanya tidak semerbak: ia adalah katalog kematian, desis lembut yang mengafirmasi bahwa segala yang hidup hanya mampir di permukaan gelap yang menunggu dengan kesabaran purba. Ia tidak bergerak. Ia tidak meminta. Ia hanya menunggu kepulangan segala hal yang lupa bahwa ia berasal dari sunyi. III. DIALOG ASIMETRIS — Cahaya yang Terlambat vs Gelap yang Terlalu Awal Sakura berbicara lebih dulu, seperti cahaya yang memaksakan arti: Sakura: Aku adalah cahaya yang tersesat dari pusat kejadian. Kamboja: Aku adalah gelap yang telah tiba sebelum apa pun diberi bentuk. Sakura: Aku gugur karena waktu tidak sanggup memikulku. Kamboja: Aku mekar karena kematian menerima semua yang tidak selesai. Sakura: Ada seseorang yang menahan namaku di ujung lidahnya. Kamboja: Ada seseorang yang menghilang dalam diamku tanpa meminta izin. Sakura: Aku rapuh karena aku masih percaya ada yang bisa diselamatkan. Kamboja: Aku tegas karena aku tahu tidak ada yang perlu diselamatkan. IV. RETAK PRIMORDIAL — Tubuh Manusia sebagai Celah Semesta Di tengah mereka, ada aku— bukan sebagai saksi, bukan sebagai pecinta, tetapi sebagai retak primordial tempat cahaya dan gelap bertarung tanpa alasan dan tanpa akhir. Tubuhku bukan tubuh: ia adalah lorong, goa tanpa gema, batu basah yang mencatat dua bunga yang mencoba menulis ulang suratan takdir. Sakura memanggil dengan cahaya yang retak, ingin mengangkatku ke kefanaan yang pura-pura lembut. Kamboja menunggu dengan gelap yang samar menawarkan keabadian yang tidak menjanjikan apa pun. Dan aku— yang lahir dari kesalahan waktu— mendengar perjanjian yang tak pernah terucap: Bahwa cinta terlarang bukan pertemuan dua tubuh, melainkan benturan dua kosmos yang berebut celah di dalam retakan jiwa. Di sanalah, Sakura kehilangan maknanya. Di sanalah, Kamboja menemukan dirinya. Dan aku— yang tidak bisa memilih cahaya, juga tidak bisa pulang ke gelap— menjadi tiada yang mempersatukan keduanya. Desember 2025
Titon Rahmawan
EPISTEMA DUA SUWUNG: Liturgi Pertubrukan yang Tak Dikutip Para Dewa I. LITURGI ASAL — Titik Singularitas dan Retakan Hukum Pada mula yang menafikan permulaan, jagad hanyalah retakan tipis di punggung kegelapan. Getar tunggal yang tersesat di antara dua sunyi abadi. Ia lupa kepada siapa ia harus kembali, sebab ia adalah perjalanan itu sendiri. Di kekosongan itu, ada dua simpul energi, bukan nama, bukan bentuk, hanya tegangan purba di antara dua ruang hampa yang saling memanggil tanpa panca indra. Mereka tidak dirancang oleh konsep keseimbangan. Kosmos yang buta menggambar garis pemisah penderitaan: Satu arus waktu dan satu arus ketiadaan, larangan yang terukir dalam bahasa sandi di pintu gerbang kreasi. Namun gravitasi asal mula segala akar lebih tua dari hukum. Dan hasrat purba selalu tahu jalur tembus yang bahkan cahaya manifestasi tak sanggup menemukannya. Cinta adalah ilusi di alam fana. Di median kosmik ini, yang terjadi hanyalah: Dua prinsip dualitas yang menemukan retakan waktu untuk bersemayam sejenak. Tidak ada saksi yang menoleh. Tidak ada pencatat moral yang bertugas. Hanya kegelapan mutlak yang sedikit mengencang dan membeku di titik singularitas pertemuan itu. II. LITURGI TENGAH — Sembah Raga di Kuil Antariksa Kepekatan primordial tidak perlu lebih dalam untuk menyembunyikan mereka. Mereka sudah tersembunyi di bawah lapisan kesadaran sebelum saling bertemu. Arus energi mereka berkerabat dalam satu darah ibu. Wujud fana mereka berjarak. Di antara keduanya, terbentang jembatan nadi yang dibangun oleh rasa dahaga pralaya yang tuli terhadap silsilah tatanan. Wujud menyentuh wujud seperti dua logam dingin yang saling mengenali suara getarannya, dua dimensi waktu yang lelah karena terpisah terlalu lama. Tak ada kidung kakawin. Tak ada ikrar. Tak ada permohonan. Tak ada seserahan. Yang ada hanya raga. Wadhag yang menghafal sunyi lebih lembut daripada mantra sejati. Di waktu yang bukan waktu, Hukum berjalan seperti fatwa: Bintang raksasa terbakar perlahan di langit ketujuh, Planet terus berputar di orbital karma, seekor nyamuk mati di ruang hampa, Arus cakra mengalir mengangkut kisah-kisah Vedana. Pertubrukan arketipal ini tidak mengubah asas kosmik apa pun. Ia hanya menggores garis batas nadi terlarang yang akan terus berdenyut dalam gelap bahkan setelah semua wujud usai menjadi. Mereka tidak memuja. Tidak memohon ampun. Tidak menyebut nama dewi atau dewa siapa pun. Mereka hanyalah dua pusat pusaran yang bertubrukan di medan magnet kosmos yang salah. Medan yang tak peduli siapa seharusnya menjaga kodrat, siapa seharusnya melindungi keseimbangan, siapa seharusnya tidak menyentuh siapa. Yang tahu hanyalah suwung yang bersemayam tepat di tengah antara dua napas yang saling menghirup—saling menghembus.
Titon Rahmawan
PUCUNG — EPITAF SINGULARITAS (Debu yang Bernafsu Menggenggam Bintang) Tudung batu. Tudung ilusi. Manusia tegak, tiang ambisi— leher terulur, menjerat horizon yang fana, meyakini langit adalah milik kepala. Cahaya lahir dari kebutaan purba, fatamorgana lelahnya indera. Mengukur semesta dengan benang rapuh, seolah rembulan bisa dibelah hanya dengan memperpanjang tulang. Lupa: ia hanya nyala sekejap, napas pendek, waktu gagal mencari saksi. Renung batu. Renung jurang. Manusia menggali diri, sumur keras kepala, tak sadar kedalaman yang ia takuti hanya pantulan sunyi dirinya sendiri. Ia mencari "akhir," menemukan riak gelap yang tak bernama, menelan semua tanya, tanpa menyisakan gema. Ia mengejar "pengetahuan": tetapi bintang tak tahu mengapa ia harus terbakar menjadi abu. Tenung batu. Tenung kekosongan. Manusia membuka sayap akal, mengira bintang kejora sedekat pendek lengan sendiri. Sepenuhnya lupa: galaksi tidak membungkuk pada akal siapa pun. Pengetahuan hanya serpihan api di pinggir gelap tak bertepi. Saat ia menatap titik paling jauh, ia hanya menemukan void— lubang hitam menelan semua pahlawan tanpa menoleh. Pucung tertulis sebagai epitaf: bukan kabar duka, bukan pujian, hanya goresan kecil bagi spesies yang terlalu percaya diri, mengira dirinya pusat segalanya, namun tak pernah menyentuh apa pun selain bayangan sendiri. Semesta menutup buku tanpa perasaan, tanpa penyesalan. Satu penggal kalimat di cahaya dingin pusat singularitas: “Angkuh tetaplah debu. Pencarian hanya perjalanan pulang. Yang merasa tahu, tak pernah melihat apa pun.” Desember 2025
Titon Rahmawan