“
LITURGI LUKA ATHALIA
1. Sebuah Ruangan yang Dibiarkan Terbuka
Aku berjalan melewati tempat yang dulu kita impikan.
Debu di lorong, seperti uap yang pecah
Ada catatan di pintu yang tak pernah kutulis
Tapi aku tetap membacanya... dengan tenggorokan tercekat.
Aku menyalakan lampu untuk berjaga-jaga jika kau datang.
Sebuah bayangan berlalu,
tapi tak pernah memberi nama.
Beberapa kata tersisa hanya setengah terdefinisi.
Sebuah puisi yang kita lipat... tapi tak pernah ditandatangani
Sebuah ruangan yang dibiarkan terbuka,
sebuah nama yang tak terucap
Sebuah waktu yang terhenti, tapi tak pernah terputus
Aku masih duduk di tempat kesunyianmu berada.
Dan kau masih tidur di tempat arwahku pernah berdoa.
Kita adalah napas antara selamat tinggal dan jiwa
yang selalu mengembara—selamanya gelisah, selamanya bertanya.
Kau menggores langit seperti bekas luka di senyummu.
Dan aku berdiri diam—memerhatikan,
untuk sementara.
Tapi cinta itu kejam ketika waktunya salah.
Dan kesunyian menjadi tempat kita berdua tinggal
selamanya.
Kutulis namamu di kaca
yang berkabut.
Kehangatan terdekap sekilas, yang kutahu takkan bertahan seutuhnya.
Namun sengaja kubisikkan hanya untuk mendengar
gema yang kau tinggalkan masih bergetar di hatiku.
Inilah ruangan yang dibiarkan terbuka,
sebuah janji yang tak terpatahkan
Sebuah halaman yang terbakar,
namun tak pernah terucap.
Aku menyimpan suaramu di antara ketakutanku.
Kau menyimpan wajahku
di tahun-tahun yang berlalu.
Dan meskipun kita pergi tanpa menutup pintu,
beberapa ruangan… masih mengingat lebih dari yang seharusnya.
Mungkin… kita tak pernah berniat pergi.
Atau mungkin… kita tak pernah tahu bagaimana caranya untuk tinggal.
2. Litani Gelas Pecah
Ada hari di mana aku percaya
kesucian bisa kusimpan
di telapak tangan,
dan kau—
kau adalah bening yang kutatap terlalu dekat
hingga aku lupa
betapa rapuhnya cahaya
jika disentuh oleh laki-laki sepertiku.
Kau bukan luka.
Kau adalah harapan yang kubangun dari obsesi,
kuil kecil tempat aku meletakkan imajinasi
yang tak pernah kuakui sebagai dosa.
Dan ketika gelas itu jatuh—
aku mendengar diriku sendiri pecah
lebih keras dari kepingan kristal berserakan di lantai.
Tak ada jeritan,
hanya diam yang membeku,
diam yang menua,
diam yang terus memakan waktu dan sunyi di dadaku.
Aku marah, Athalia.
Bukan padamu.
Bukan pada ingatan.
Tapi pada diriku
yang selalu percaya ia bisa menjaga sesuatu
yang seharusnya dibiarkan hidup
tanpa rasa takut.
Sekiranya kau tahu:
Sungai tidak cukup mampu
menahan gempuran yang menelan dirinya—
itu bukan salah siapa-siapa.
Namun tetap saja,
akulah yang memungut pecahan itu
dengan tangan telanjang,
membiarkan darah mengalir
dari kusut rambut matahari.
Aku masih menyimpan ingatanmu
seperti bekas luka yang tidak memilih sembuh.
Bukan karena aku tak bisa melepaskan,
tapi karena sebagian dari diriku
masih ingin mengingat
bagaimana rasanya percaya pada obsesinya sendiri.
Dan mungkin,
kalau dunia ini sedikit lebih lembut,
kita tidak akan pernah pecah berkeping.
Atau mungkin—
kita memang ditakdirkan
menjadi dua bayang
yang hanya saling menyentuh
di permukaan kaca
yang dingin.
Athalia,
aku tidak pernah ingin melukaimu.
Tapi aku lebih tidak ingin
melupakanmu.
Karena di antara serpihan itu,
aku masih mendengar gema
dari sesuatu
yang dulu kusebut
cinta.
Dan darahku—
biarlah ia mengalir.
Itu satu-satunya cara
aku tahu
bahwa aku masih hidup di tengah dunia yang menuntut melupakan.
”
”