Wajah Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Wajah. Here they are! All 100 of them:

β€œ
Kecantikan yang abadi terletak pada keelokan adab dan ketinggian ilmu seseorang. Bukan terletak pada wajah dan pakaiannya.
”
”
Hamka
β€œ
Wahai, wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin kerana kekurangan fizikal, tidak ada kesempatan, atau tidak pernah 'terpilih' di dunia yang amat keterlaluan mencintai harta dan penampilan wajah.) Yakinlah, wanita-wanita solehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, bersedekah dan berkongsi, berbuat baik dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari syurga. Dan khabar baik itu pastilah benar, bidadari syurga parasnya cantik luar biasa.
”
”
Tere Liye (Bidadari Bidadari Surga)
β€œ
Ya Rabb, Engkaulah alasan semua kehidupan ini. Engkaulah penjelasan atas semua kehidupan ini. Perasaan itu datang dariMu. Semua perasaan itu juga akan kembali kepadaMu. Kami hanya menerima titipan. Dan semua itu ada sungguh karenaMu... Katakanlah wahai semua pencinta di dunia. Katakanlah ikrar cinta itu hanya karenaNya. Katakanlah semua kehidupan itu hanya karena Allah. Katakanlah semua getar-rasa itu hanya karena Allah. Dan semoga Allah yang Maha Mencinta, yang Menciptakan dunia dengan kasih-sayang mengajarkan kita tentang cinta sejati. Semoga Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk merasakan hakikatNya. Semoga Allah sungguh memberikan kesempatan kepada kita untuk memandang wajahNya. Wajah yang akan membuat semua cinta dunia layu bagai kecambah yang tidak pernah tumbuh. Layu bagai api yang tak pernah panas membakar. Layu bagai sebongkah es yang tidak membeku.
”
”
Tere Liye (Hafalan Shalat Delisa)
β€œ
Guruku mengatakan, coba tatap wajah suami di saat tidur. Pikirkan, seseorang yang tidak ada hubungan darah dengan kita, tiba-tiba sekarang berjuang untuk kita. Mencari nafkah, membahagiakan kita...
”
”
Asma Nadia (Catatan Hati Seorang Istri)
β€œ
Cinta sejati selalu menemukan jalan, Borno. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya. Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang dirudung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, khawatir, cemas, serta berbagai perangai norak lainnya. Tidak usahlah kau gulana, wajah kusut. Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya.
”
”
Tere Liye (Kau, Aku & Sepucuk Angpau Merah)
β€œ
ada banyakcara menikmati sepotong kehidupan saat kalian sedang tertikam belati sedih. salah satunya dengan menerjemahkan banyak hal yang menghiasi dunia dengan cara tak lazim. saat melihat gumpalan awan di angkasa. saat menyimak wajah-wajah lelah pulang kerja. saat menyimak tampias air yang membuat bekas di langit-langit kamar. dengan pemahaman secara berbeda maka kalian akan merasakan sesuatu yang berbeda pula. memberikan kebahagiaan utuh -yang jarang disadari- atas makna detik demi detik kehidupan.
”
”
Tere Liye (Sunset Bersama Rosie)
β€œ
Saat kita tertawa, hanya kitalah yang tahu persis apakah tawa itu bahagia atau tidak. Boleh jadi, kita sedang tertawa dalam seluruh kesedihan. Orang lain hanya melihat wajah. Saat kita menangis pun sama, hanya kita yang tahu persis apakah tangisan itu sedih atau tidak. Boleh jadi kita sedang menangis dalam seluruh kebahagiaan. Orang lain hanya melihat luar.
”
”
Tere Liye (Rindu)
β€œ
Cinta mempunyai wajah dan hati yang aneh. m/s-144
”
”
A. Samad Said (Cinta Fansuri)
β€œ
Orang hidup, termasuk saya, toh lebih sering memperhatikan wajah dan sifat-sifat orang lain ketimbang detail-detail selebihnya.
”
”
Sujiwo Tejo (Ngawur Karena Benar)
β€œ
O Allah! If I worship You for fear of Hell, burn me in Hell, and if I worship You in hope of Paradise, exclude me from Paradise. But if I worship You for Your Own sake, grudge me not Your everlasting Beauty. -- Ya Allah, jika aku menyembahMu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya, dan jika aku menyembahMu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya. Tetapi, jika aku menyembahMu demi Engkau semata, Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu Yang abadi padaku.
”
”
Rābiʻah al-ʻAdawīyah
β€œ
Bolehkah menyatakan kerinduan? Perasaan kepada seseorang? Tentu saja boleh. Tapi jika kita belum siap untuk mengikatkan diri dalam hubungan yang serius, ikatan yang bahkan oleh negara pun diakui dan dilindungi, maka sampaikanlah perasaan itu pada angin saat menerpa wajah, pada tetes air hujan saat menatap keluar jendela, pada butir nasi saat menatap piring, pada cicak di langit-langit kamar saat sendirian dan tak tahan lagi hingga boleh jadi menangis. Dan jangan lupa, sampaikanlah perasaan itu pada yang maha menyayangi. Semoga semua kehormatan perasaan kita dibalas dengan sesuatu yang lebih baik. Semua kehati2an, menghindari hal-hal yang dibenci, akan membawa kita pada kesempatan terbaik. Semoga.
”
”
Tere Liye
β€œ
Begitu kelamnya wajah kejahatan ini, hingga ia bahkan tak mampu bercermin di atas permukaan danau tanpa membuat air danau itu berubah menjadi keruh. - Harsimran Tapasvi, Tawanan Kepedihan
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Beberapakali aku menemukan mimpiku sendiri terjerembab di depan pintu. Kuyup oleh hujan. Seperti pakaian kotor berulangkali kucuci dan kujemur di halaman luas. Pada saat saat seperti itu aku selalu ingat wajah dan matamu saat menatapku; selalu teduh dan meneguhkan. Maka aku yakin pada akhirnya jarak hanya memisahkan raga. Tapi ia tak pernah sanggup menjauhkan mimpi, imaji dan kenangan yang kita semat bersama dalam rindu yang paling diam.
”
”
Helvy Tiana Rosa
β€œ
Jika masyarakat sudah dibuat tidak meyakini kebenaran ajaran agama, maka yang akan dijadikan pegangan adalah akal manusia semata atau hawa nafsu mereka. Tidak ada standar kebenaran. Pada ketika itulah masyarakat akan terseret ke dalam arus nilai yang serba relatif dan temporal. Kebenaran tergantung pada kesepakatan. Agama tidak diberi hak untuk campur tangan untuk menentukan baik dan buruk di tengah masyarakat. (Hal.17)
”
”
Adian Husaini (Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal)
β€œ
Cantik itu pilihan. Ketulusan serta bahagia yang selalu kau upayakan hadir di hatimu bagi diri dan orang lain, senantiasa akan memancar hingga wajah. Itulah kecantikan sejati
”
”
Helvy Tiana Rosa
β€œ
Usahlah memperkecilkan apa jua perbuatan baik, walaupun sekadar bertemu saudaramu dengan wajah yang tersenyum riang
”
”
Zabrina A. Bakar (Hidup Bukan Rahsia Anda, Saya dan Kita)
β€œ
perempuan tu aslinya pemalu. malunya pada mata, lalu perempuan pejam. malu juga ada pada wajah, lalu perempuan tunduk. perempuan itu juga sangat malu pada lidah, lalu perempuan diam.
”
”
Bahruddin Bekri (Penulis Yang Disayang Tuhan)
β€œ
Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, seorang pemikir yang dikenal cukup baik oleh dunia pemikiran Barat maupun Islam, memandang problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan sekular Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. (Kebingungan Liberalisme, hal.3)
”
”
Adian Husaini (Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal)
β€œ
Wajah alam merupakan sesuatu yang tidak dapat dikenal
”
”
Masanobu Fukuoka (The One-Straw Revolution)
β€œ
Entahlah, mungkin semacam keajaiban bahwa seringkali ketulusan yang ada dalam batin seseorang menjelma sinar yang tak pernah pudar di wajah. Padahal mungkin rupa dan penampilanmu biasa saja. Tapi kau indah. Cerlang. Itulah mengapa pada pertemuan pertama kita aku langsung menganggapmu sebagai seseorang yang akan kuabadikan selamanya dalam rinduku.
”
”
Helvy Tiana Rosa
β€œ
semuanya menikmati keindahan lantunan ayat-ayat cintaNya.. wajah-wajah berbagai bangsa yang penuh senyum dan hati-hati yang penuh ketakwaan
”
”
Dian Nafi (Miss Backpacker Naik Haji)
β€œ
Di angkringan malam itu, kita tak duduk berhadapan tapi bersisian. Kau bilang tak ingin difoto, karena merasa lagi jelek. Namun bagiku, kau selalu memesona seperti biasa. Meskipun langit sedikit mendung, meskipun cuma cahaya lampu senthir yang remang remang menerangi wajahmu. Malam mulai beranjak tua dan ada gurat usia yang makin menebal di wajah kita. Namun aku merasa, selalu ada cinta yang sama untukmu, yang aku tahu tidak akan pernah berubah.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Kegetiran itu, wajah sayu diantara gemerlap lampu-lampu. kepura-puraan untuk ketidaktahuan yang mutlak kita tahu. Kenapa tidak kita lepaskan saja? mari berbagi wajah, entah senyum atau tangis yang ada dibalik topeng kita. bukankah kita manusia yang sama?
”
”
nom de plume
β€œ
Ada saat ketika aku berjalan sendirian di tengah jalan yang sunyi senyap. Ada saatnya aku berpikir, bagaimana aku dapat keluar dari masalah yang berat ini? Ada saat di mana aku bahkan tak tahu pada apa yang bakal terjadi atas hidupku sendiri. Namun justru dalam situasi serupa itu, aku dapat melihat Wajah Kebenaran menyambut diriku di ujung jalan.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
tidak banyak tahu, tentang aku dan hujan di setiap tetesnya luruh jatuh menunuju bumi di setiap bulirnya menyentuh tanah di setiap rinainya menerepa wajah kutitip segenggam rindu kulirih sejuta pinta kupanjat doa dalam harapku semoga senyummu selalu merekah walau berselimut lelap
”
”
majdy
β€œ
Foto pelarian ini akan tampak bagus dalam hitam-putih.” Timur menurunkan kamera yang menutupi sebagian wajah.
”
”
Desi Puspitasari (The Strawberry Surprise)
β€œ
Dia seperti burung merak yang memekarkan seluruh ekornya dan aku tidak dapat memindahkan mataku darinya. Aku bahkan tidak dapat menutup sunggingan senyum dari wajahku.
”
”
Kusumastuti (Blue Vino)
β€œ
Ketika berhadapan ujian-NYA, kata ayah, meski wajah terlihat muram, seakan membendung air mata β€œKau perlu kuat, sayang. Ini urusan-NYA.” [petikan puisi Kata Ayah]
”
”
Ramlah Abdul Rasid (Kumpulan Puisi Perahu)
β€œ
Huruf yang jatuh di wajahmu, menjadi puisi paling rindu.
”
”
Alfin Rizal
β€œ
Lelaki yang tengah menyetubuhi si gadis segera mencabut kemaluannya, meninggalkan bunyi "splosh" yang menjijikan, dan berlari dengan wajah sepucat roti busuk, diikuti ketiga temannya.
”
”
Eka Kurniawan (Beauty Is a Wound)
β€œ
Malam adalah saat aku kembali padamu setelah hari yang melelahkan. Dan kau membuka pintu, menyambutku dengan senyum di wajah, lalu aku berpikir bahwa... belasan jam yang terlewat bukanlah apa-apa.
”
”
Yuli Pritania (Morning, Noon & Night)
β€œ
Seperti cicak yang menempel di dinding, wajah gadis itu menempel di dalam otak saya, tak usahlah saya bawa sampai ke bagian tubuh yang menghasilkan detak. Cukup di otak, tak usah sampai ke jantung hati.
”
”
Cynthia Febrina (Stasiun)
β€œ
Kita sering kali lupa bahwa seseorang terlihat hebat bukan karena ia benar-benar hebat, melainkan karena Allah masih menutupi aib-aibnya. Orang-orang yang memuji kita, membicarakan kebaikan-kebaikan kita, seandainya mereka mengetahui seluruh atau secuil saja aib kita, tentu akan punya pandangan dan penilaian lain.
”
”
Azhar Nurun Ala (Seribu Wajah Ayah)
β€œ
Apa yang mungkin engkau yakini sebagai sebuah hukuman, Kay? Bukankah langkah, semestinya tidak meninggalkan jejak yang di kemudian hari ingin engkau ingkari. Kenangan adalah getah yang menitik dari luka sebatang pohon. Sedang ingatan yang terkubur di halaman, adalah tulang tulang yang digali oleh anjing anjing pencuri di malam hari. Siapa yang akan datang untuk mencintaimu dengan wajah yang carut marut serupa itu? Karena tangkapan layar itu tak akan pernah menyatakan kebohongan yang lain selain dari apa yang sengaja engkau niatkan sejak semula, Kay. Apapun yang coba kau sembunyikan dibalik topeng _masquerade_ berenda renda itu selamanya tak akan pernah pergi. Kau tak mungkin jadi bunglon yang cukup pintar menyamarkan ketelanjanganmu sendiri. Sebagaimana waktu telanjur menyerap seluruh kehadiranmu di detik ini, di hari hari yang lampau atau di tahun tahun yang akan datang. Engkau tak akan pernah bisa berpaling darinya. Bagaimana kau bisa merasa yakin pada dirimu sendiri, Kay? Bahwa semua jejak yang engkau tinggalkan itu bukanlah sebuah petilasan kebodohan dan artefak kebohongan? Seperti buah terlarang yang dipetik Eva dari tengah taman Eden yang hilang itu. Ia telah menjelma menjadi labirin di dalam diri setiap anak keturunannya. Ia telah menjelma jadi Pandora, dan kotak laknat yang kemudian mengutuknya menjadi seorang wanita yang kesepian seumur hidup.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
KHASIDAH KHAFI Sungguh di dalam atmaku yang paling debu, aku tak layak mendamba dirimu sebagai kekasih hatiku. Karena engkau kelopak angsoka tumbuh kejora di mataku, dalam bius pesonamu aku tidur dan terlelap. Sementara debu, tak kutahu dengan apa aku harus nyatakan diriku kepadamu? Dalam balut ungu kelam sayapmu kau sembunyikan rembulan. Adakah kupahami engkau di balik hijau sihir kata-kata? Adakah kutangkap dirimu dalam misteri hitam sebait puisi? Seperti lenitrik sungai Alkausar menjangkau jerau jantungmu. Mengalunkan barzanji jauh ke dalam lubuk hatiku. Sekiranya ia mencipta rimbun semak lantana, perih luka atau sepoi pawana. Aku insaf, aku tak pernah memintamu jadi halimun atau kelam bayang-bayang. Ia yang dengan sengaja menyamarkan dirimu dari cerlang bintang atau benderang wajah mentari. Betapa cinta di ujung lidahku luluh untuk apa yang mungkin tak terucap. Biarlah engkau tetap menjadi apa yang tak mungkin aku mengerti. Yang tak terganti oleh rangkaian kata atau untaian sajak. Saat hasrat hati menembus nisbi ruang dan waktu. Merengkuh, mencekau sunyi, mengemas rindu atau redam masa lalu. Menjadi mekar mawar ahmar atau jingga semburat fajar.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Ada batas ketinggian maksimum untuk hak sepatu. Yang menurutnya patut dikasihani adalah orang-orang yang berupaya untuk mencuat dengan berjinjit di atas kemunafikan, haus akan elu-eluan tak bermakna, yang meletakkan harga dirinya di sewujud tubuh molek, atau seraut wajah cantik tapi mati. Yang menggantungkan jati dirinya di gedung perkantoran mewah bertingkat 40, di besar kecil kucuran kerdit bank, atau di sebuah titel yang memungkinkan mereka membodoh-bodohi sekian banyak orang bodoh lain. Lalu mereka semua tak henti-hentinya merasa letih.
”
”
Dee Lestari
β€œ
Karena jika mengendapkannya, itu sama saja dia masih meletakkan gadis itu di dalam hatinya, di dalam memorinya. Dia masih akan mengingat wajah gadis itu, dan hal seperti ini bukan hal yang bagus untuk kehidupannya nanti.
”
”
Jee (Because It's You)
β€œ
Sesekali mungkin, ia hadir dalam bayangan titik-titik air hujan yang mengetuk-ngetuk kaca jendela. : Wajah muram yang sepertinya tak bahagia. Tapi barangkali saja, aku salah menafsirkan hujan. Sebagaimana dulu, aku telah salah menafsirkan perasaan-perasaanmu pada diriku. Adakah engkau pernah melihat bayangan wajahku menangis di balik jendela kamarmu?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
X kepalkan tinju X hari trus berlalu kemarin banyak kisah yg tlah membisu gagu menunggu kaku hanya semakin lesu langit tersaput awan kelabu jalan tak terbatas makin berdebu lama sudah hati ini membiru ma’af ibu nan lugu dalam wajah nan sendu biarlah senyummu bangunkanku pastilah kan kukepalkan tinjuku pada manusia - manusia bermuka palsu buyarkan dunia yang semu { dave4fight }
”
”
David Tri Wijayanto
β€œ
Logika kebebasan individu--asal tidak merugikan orang lain ini telah menjebak Barat dan masyarakat sekular lainnya untuk menerapkan hukum yang berdasarkan pada 'hak individu', seperti dalam kasus hukum zina. Jika zina dihalalkan oleh masyarakat dan negara, lalu apa logikanya negara mau mengharamkan homoseksual? (Hal.11)
”
”
Adian Husaini (Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal)
β€œ
Sesungguhnya kebaikan (ketaatan kepada Allah) itu merupakan keceriaan di wajah, cahaya di hati, kelapangan pada rezeki, dan kecintaan di hati manusia. Adapun keburukan (kemaksiatan) merupakan kemuraman di wajah, kegelapan di hati, kelemahan di badan, dan kebencian di dalam hati manusia.
”
”
Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhu
β€œ
7 ALASAN MENCELA DIRI Tujuh kali aku pernah mencela jiwaku, Pertama kali ketika aku melihatnya lemah padahal seharusnya ia bisa kuat Kedua kali ketika melihatnya berjalan terjongket-jongket, dihadapan orang yang lumpuh Ketiga kali ketika berhadapan dengan pilihan yang sulit dan mudah ia memilih yang mudah Keempat kalinya, ketika ia melakukan kesalahan dan coba menghibur diri dengan mengatakan bahwa semua orang juga melakukan kesalahan Kelima kali, ia menghindar karena takut, lalu mengatakannya sebagai sabar Keenam kali, ketika ia mengejek kepada seraut wajah buruk padahal ia tahu, bahwa wajah itu adalah salah satu topeng yang sering ia pakai Dan ketujuh, ketika ia menyanyikan lagu pujian dan menganggap itu sebagai suatu yang bermanfaat
”
”
Kahlil Gibran
β€œ
Mereka sungguh tampak bahagia. Seolah tak pernah ada dendam masa lalu. Jantungku berdebar kencang, ya Tuhan, apakah benar yang kulihat? Lama aku merefleksikan apa yang telah terjadi selama ini. Dan kerelaan itu akhirnya muncul saat kulihat wajah mereka bagai ditakdirkan serupa. Itu artinya mereka berjodoh bukan?
”
”
Lea Agustina Citra (Autumn Once More)
β€œ
Pagiku ini Adalah kamu. Tak lain kamu Dan tetaplah kamu. Tidak berubah Hingga pagi berikutnya Berikutnya Dan berikutnya lagi... Wajah pagiku menjelma kamu...
”
”
xN10b
β€œ
Bau Kekasih, kalau boleh aku mahu kikis kulit wajah kamu untuk simpan dalam saku kerana; bila aku rindu aku boleh bau.
”
”
Fazleena Hishamuddin
β€œ
Wajah berseri & senyum tulus akan meringankan beban otot wajah. Lakukanlah, maka kita akan mendapatkan senyum yg lebih banyak.
”
”
Susilo Bambang Yudhoyono
β€œ
Wajah Ka’bah yg terekam dlm mataku yg terpejam,membuat air mata mengalir lagi.Aku sdg bergerak meninggalkan semua ini&blm tahu kpn kembali
”
”
Dian Nafi (Miss Backpacker Naik Haji)
β€œ
Wajah saya emoji-emoji.
”
”
Saharil Hasrin Sanin (Dentang)
β€œ
Banyak dari kita tak sadar. Entah sejak kapan mulai menanggalkan wajah, lalu meraut wajah yang baru lagi. (berkali-kali)
”
”
nom de plume
β€œ
Tahu tidak, tiap sore menjelang, ada sinar wajahmu di situ sedang menyapaku.
”
”
uwan urwan
β€œ
Asal kau tahu, punya keluarga itu menyenangkan. Seberat apa pun hal yang kita hadapi, kita bisa jadi bahagia hanya dengan melihat wajah mereka. Mukai
”
”
Gaku Yakumaru (λŒμ΄ν‚¬ 수 μ—†λŠ” 약속)
β€œ
Kalau aku tak memiliki tubuh indah dan wajah cantik mungkin aku jadi sebagian dari mereka yang dibunuh pelan-pelan itu.
”
”
Pramoedya Ananta Toer (Larasati)
β€œ
Apa yang kau lihat di layar yang berpendar ini, Kay? Serupa senja yang tumbuh dari sebatang pohon di sebuah tempat yang kau bayangkan seperti surga. Cahaya lampu itu menyapu wajahmu dengan warna lembayung dan berkilau seperti sayap kupukupu. Tapi tak ada apapun yang kutemukan pada seri wajahmu selain nafsu yang tertahan dan seulas senyum kemesuman. Persis di puncak penantian dari segala perhatian yang tertuju pada dirimu. Mata yang tak pernah menyadari, bahwa mereka tengah tersesat dalam raga belia yang entah milik siapa. Pada aura kemudaan yang berasa sia sia. Benarkah, telah kau reguk semua kebahagiaan dari wajah wajah tolol yang ditunggangi oleh nafsu alter egonya? Atau barangkali, telah habis kau hirup wangi dari kelopak mawar hitam yang tumbuh di ranjangmu setiap pagi? Sudah lama sekali rasanya waktu berlalu. Seperti ketika kau masih suka nongkrong di cafe sambil meneguk cappucino dari cangkir yang perlahan mulai retak. Sementara laju usia terus mengalir dari tenggorakanmu yang bening bagai pualam. Waktu meninggalkan jejak buta di dalam hand phonemu. Menyisakan tatap mata orang orang yang tak lagi mampu memahami atau menafsirkan apa yang tengah engkau lakukan. Bukankah, mereka tak lagi melihatmu sebagaimana adanya dirimu saat ini atau sepuluh tahun dari sekarang. Tak satu pun dari mereka yang percaya, bahwa saat itu usiamu masih belum lewat dua puluh tahun. Mereka hanya mendamba merah muda anggur kirmizi yang tumbuh di dadamu. Tetapi tak ada satu pun telinga yang sanggup melawan sihir dari gelak tawamu yang terdengar getir. Mata mata bodoh yang tak sanggup melupakan bayangan pisang yang dengan brutal kau kunyah sebagai kudapan di tengah jeda pertunjukan. Benarlah, hidup tak seperti kecipak ikan di dalam aquarium transparan yang tertanam di dinding. Atau air kolam di pekarangan yang seakan menjelma jadi bayangan jemari yang tak henti menggapai gapai. Menjadi gelembung gelembung kekhawatiran yang seakan tak sanggup memahami makna puisi yang sengaja ditulis untuk mengabadikan namamu. Ketauilah Kay, taman yang kau bayangkan itu bukanlah surga yang sesungguhnya. Di sana tak ada sungai keabadian atau pangeran tampan yang sengaja menunggu kehadiranmu. Yang ada cuma kelebat kilat dan hujan airmata hitam. Mengucur seperti lendir laknat yang mengalir dari hidungmu saat kau meradang karena influensa. Di sana tak ada satu hal pun yang menyenangkan, Kay. Hanya sedikit saja tersisa hal hal yang busuk dan menjijikkan, sebagai satu satunya bahan obrolan untuk perintang waktu.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Tapi aku kira di situlah letak dari kontradiksinya. Perempuan mati - matian merawat tubuh dan wajah agar tampil cantik dan menawan. Biar kulit jadi putih glowing kata mereka. Dan tentu saja, itu mereka lakukan bukan sekedar untuk menyenangkan diri sendiri. Apa lagi kalau bukan untuk memuaskan mata kita laki-laki. Cantik butuh modal katanya. Jadi jangan salahkan perempuan kalau ngomong demikian. Tapi jangan juga salahkan laki laki, kalau kita coba - coba ambil kesempatan. Sebab ini cara paling gampang untuk membuat perempuan senang; bilang saja mereka cantik! Walau semua tahu, itu cuma pujian semu. Kalau kulit mereka putih, cukup bilang kalau mereka punya kulit idaman para lelaki. Kalau agak gelap kecoklatan, tinggal bilang saja betapa eksotisnya tampilan mereka hahaha... Dan gobloknya, masih banyak wanita yang termakan oleh tipuan buaya serupa itu. Seolah segala nilai dan harga diri mesti dipertaruhkan demi persepsi atau pandangan kita para lelaki atas penampilannya. Padahal ada begitu banyak arti untuk memaknai kecantikan, ada banyak tafsir untuk mengartikan keindahan. Bukankah demikian, Kawan?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Samundhar se pooch raha hoon uski dayar kya hai... Jaise aashiq khuda se pooche khumaar-e eshgh ki wajah kya hai... Mudda ek kaash se lekar doosre kaash tak ka hi toh hai.. Toh kabhi zahir kar mijaaz main teri raza kya hai...
”
”
Jasz Gill
β€œ
kalau jadi Seorang Perempuan itu jangan hanya Mempercantik Wajah dan Penampilan tapi yang terpenting harus Mempercantik Hati Karena Cinta itu datangnya dari Hati, kalau Hati kita Tulus, Baik pasti dengan sendirinya Cinta yang Terbaik akan datang pada kamu. Gak ada yang lebih menyenangkan selain menjadi diri sendiri, kalau kamu mau berubah, Jangan pernah berubah untuk orang lain tapi Berubahlah untuk diri kamu sendiri, pasti kamu akan lebik baik" – farah
”
”
LoveinParisSeason2
β€œ
Aku ingat kenapa aku mencintaimu. Waktu itu pagi dan gravitasi Bumi sedang tidak berbaik hati. Kau yang membelakangiku berbalik dan aku, untuk kali pertama, menatap wajahmu. Lalu kakiku sepertinya tidak bertugas seperti biasa, karena tubuhku bergoyang, tidak tertopang dengan benar. Aku ingat kenapa aku mencintaimu. Saat itu siang. Kita tidak berjumpa dan aku berakhir merindukanmu sepanjang hari. Merana sendiri. Aku ingat kenapa aku mencintaimu. Di kala malam, saat semua manusia beristirahat, dan aku malah terpana, menatap wajah lelapmu dan berpikir keras, mengapa hanya dengan melakukan itu saja aku merasa bahagia? Yang aku tidak ingat... kenapa aku harus berhenti melakukannya?
”
”
Yuli Pritania (Morning, Noon & Night)
β€œ
Seorang bijak pernah memberikan nasihat serupa ini pada diriku: Bila engkau masih mencari dan belum berhasil menemukan makna kebahagiaan sejati, maka engkau tak perlu berkecil hati. Karena barangkali, engkau terlalu jauh mencari hingga kemudian tersesat. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kebahagiaan sejati tidak berada dalam harapan-harapan yang muluk, dalam angan-angan yang tak terselami atau tersembunyi di tempat yang jauh. Mereka yang telah menemukan tahu, bahwa sesungguhnya kebahagiaan itu berada tak jauh dari sisi kita. Ia bahkan ada di dalam hati kita. Yaitu pada penerimaan kita atas kekurangan dan kelebihan diri sendiri. Pada setiap hikmat dan kebajikan yang dengan tekun kita tabur dan tanpa kita sadari kemudian kita diberi kesempatan untuk menuainya. Juga pada setiap kesediaan kita berbagi dengan orang-orang yang berkesusahan, pada keiklasan kita memberi kepada mereka yang membutuhkan, pada setiap penghiburan yang kita bebatkan pada luka-luka orang yang sakit dan menderita. Serta seulas senyum yang senantiasa tersungging di wajah kita saat menyambut datang dan berlalunya hari-hari. Pada saat serupa itulah kita akan merasakan makna sesungguhnya dari kebahagiaan sejati.
”
”
Titon Rahmawan (Turquoise)
β€œ
Kita, siapa pun, sedikit banyak hidup dengan memakai topeng. Soalnya mustahil hidup di dunia yang ganas ini tanpa memakai topeng sama sekali. Di balik topeng roh jahat ada wajah asli malaikat, di balik topeng malaikat ada wajah asli roh jahat. Tidak mungkin hanya salah satu di antara keduanya. Itulah kita.
”
”
Haruki Murakami (First Person Singular: Stories)
β€œ
Menurutku," ucap Ian setelah menimbang-nimbang jawaban seperti apa yang akan diberikannya. "Penjelasan yang masuk akal adalah seorang pria tidak mencintai seorang wanita karena dia cantik, tapi wanita itu terlihat cantik karena dia mencintainya. Kau pernah lihat 'kan, ada pria-pria yang kalian para wanita anggap tampan, tapi memiliki pasangan yang biasa-biasa saja. Terlihat tidak pantas untuknya. Sesuatu yang seperti itu. Karena pria itu mencintai wanita tersebut, di matanya pasti wanita itu cukup cantik untuk membuatnya berpikir bahwa... dia tidak keberatan untuk menatap wajah yang sama setiap harinya. Kebanyakan wanita sepertinya tidak memahami hal ini.
”
”
Yuli Pritania (CallaSun)
β€œ
Apa yang bisa kau lakukan tanpaku, hmm?" gumam pria itu, membuat Hye-Na mendongak sampai wajah mereka berhadap-hadapan. "Kalau begitu kau tidak akan ke mana-mana, 'kan?" tanya gadis itu sambil tersenyum. Pria itu menggeleng enggan. "Tidak. Aku tidak akan ke mana-mana." "Memangnya aku bisa ke mana tanpamu?" lanjutnya dalam sebentuk gumaman tak terdengar.
”
”
Yuli Pritania (Morning, Noon & Night)
β€œ
Kebahagiaan yang membuncah hanya akan terasa bila kita pernah merasakan kepedihan yang dalam. Segala sesuatu memang menjadi lebih jelas karena kebalikan-kebalikannya.
”
”
Nurun Ala (Seribu Wajah Ayah)
β€œ
Ini tidak berarti permainan akan selesai dan aku boleh pergi meninggalkan gelanggang; barangkali peranan akan bertukar!
”
”
Fridolin Ukur
β€œ
Hal apa yang bisa membuatku meninggalkan banyak bekas yang bermanfaat buat orang banyak?
”
”
Nurun Ala (Seribu Wajah Ayah)
β€œ
Situasi ketidakpastian itulah yang membuat kita gentar. Membuat nyali kita ciut. Bagaimana kita bisa berasa yakin atas segala apa yang telah kita lakukan sebagai sebuah kesementaraan yang kemudian kita jadikan sebagai dasar bagi sesuatu yang sifatnya abadi? Bagaimana kita bisa menilai diri kita sendiri dari apa yang telah kita lakukan di masa lampau demi sesuatu yang sempurna namun berada di luar batas kemanusiaan kita? Bagaimana kita menjadi layak untuk itu? Untuk menggapai kesempurnaan surgawi yang kekal dari ketidak sempurnaan duniawi kita yang banal dan bersifat sementara. Apakah ada hukum untuk meluruskannya? Aturan aturan yang menjadikan hidup manusia menjadi lebih baik. Inikah tangga untuk naik ke atas menuju pada kesempurnaan itu? Sementara dunia ini dipenuhi dengan begitu banyak tipu daya. Kepalsuan dan kemunafikan. Tidak ada satu hal pun yang benar benar murni sebagai sebuah sumber asali yang serba pasti. Selalu ada keragu raguan yang mengganjal di setiap benak. Sementara, kebenaran tidak memberi kita sedikit pun ruang untuk berdebat, beradu argumentasi atau berdialektika. Untuk membuka sebuah dialog atau wacana yang akan mempertemukan kita dengan keelokan dari wajah kesempurnaan itu. Hasrat manusia, pikiran pikiran rendahnya, nafsu dan egoismenya. Semua itu telah menjadi penghalang bagi dirinya sendiri. Sebuah upaya pencarian hanya akan membenturkan pikiran manusia pada kedangkalan hasratnya sendiri. Kebebasan berkehendak yang kemudian justru akan menjadi keterkungkungan. Dan apa yang kita yakini justru akan menjadi jalan yang menjerumuskan kita pada kesesatan. Yang tak lain dan tak bukan hanyalah sebuah kesia siaan. Selama manusia masih tergantung pada akal budinya dia tidak akan mampu menyentuh esensi dari kebenaran itu. Jangankan menyentuh, untuk sampai pada kulit permukaannya sekali pun itu hampir merupakan sebuah kemustahilan. Bisa jadi, ini adalah sebuah pemikiran yang terasa sangat pesimistis. Segala upaya manusia pada kenyataannya tidak mengantarkan dirinya kepada rahasia kehidupan sejati. Ironisnya justru sebaliknya, semua daya upaya manusia pada akhirnya hanya akan berujung pada kematiannya sendiri.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Kau benar, Minke, wujud dan wajah manusia itu tetap sama, tidak lebih baik daripada di jaman-jaman sebelumnya. Khotbah-khotbah di gereja juga memperingatkan itu berulang-ulang. Dia tetap tinggal makhluk yang tak tahu apa sesungguhnya dia kehendaki. Semakin sibuk orang mencari-cari dan menemukan, semakin jelas, bahwa dia sebenarnya diburu-buru oleh kegelisahan hati sendiri.
”
”
Pramoedya Ananta Toer (Child of All Nations (Buru Quartet, #2))
β€œ
POHON HAYAT Demikianlah, ia melekapkan bunga pada malainya, putik pada tangkainya, daun pada rantingnya dan buah-buah berwarna kuning cerah pada setiap cabang dari dahan pohon pengetahuan itu. Sebagaimana ia melekatkan putih yang semenjana pada paras wajah perempuan yang ia ciptakan dari tulang rusukku. Sedemikian rupa, ia pulaskan secebis rona apel merah pada keluk bibirnya untuk menyenangkan hatiku. Lalu ia gabungkan kilau cahaya Sirius, Canopus dan Arcturus pada bening biji matanya agar aku dapat berkaca di kedalamannya yang hijau lumut. Dan kemudian, dibuatnya sepasang lengkung alis mata dari iring-iringan semut gajah agar menjadi taman tempat aku bermain-main. Sementara pada gerai rambutnya dibalutkannya hitam yang berombak seperti laut yang di dalamnya aku bisa bersembunyi. Tapi melampaui semua itu, dibuhulnya rimbun semerbak semak lantana tepat pada pangkal pahanya, yang padanya aku akan jatuh berahi. Dan lalu dipahatnyalah sepasang tempurung pembangkit nafsi yang kenyal mengkal, serupa tatahan sempurna ranum buah mangga pada busung dadanya. Tak lupa ditambahkannya puting anggur kirmizi pada puncak susu perempuan itu, agar nanti ia bisa menjelma sempurna menjadi ibu dari anak-anakku. Namun aku sengaja tak memberinya nama, sampai semua yang lain selesai aku beri sebutan. Pada yang hijau aku beri nama hujan. Pada yang biru aku beri nama langit. Pada yang kelam aku beri nama malam. Pada yang terang aku beri nama siang. Demikian pun pada mereka yang mengeriap. Pada mereka yang berjalan dengan empat kaki. Pada mereka yang melata dengan perutnya. Pada mereka yang terbang di langit. Pada mereka yang berenang di dalam air serta pada segala yang berkilauan di angkasa raya. Bahkan pada semua jenis kerikil dan batu-batu, aku menyematkan nama mereka satu persatu. Begitulah, segala sesuatu memperoleh nama dan sebutannya masing-masing. Supaya kepada setiap nama itu aku dapat memanggil dan di dalam nama itu mereka dapat dikenal. Akan tetapi, khusus bagi perempuan itu (sebab ia adalah satu-satunya yang tercipta dari tulang rusukku) maka aku hendak memberinya nama yang teristimewa. Sebuah nama yang paling indah dari semua nama yang telah aku berikan. Akan tetapi, aku tak kunjung menemukan nama yang sesuai bagi dirinya. Sampai kemudian, tepat di mana bertemu empat buah sungai, kulihat ia sedang memintal air matanya hanya sepuluh langkah dari pohon pengetahuan itu. Aku mendapati perempuan itu tengah duduk bersimpuh mengaduk-aduk tanah dan membuat adonan lempung dengan air matanya. "Apa yang sedang engkau perbuat, wahai Perempuan?" Tanyaku pada dirinya. "Aku sedang membuat ramuan cinta, untuk membuhul ikatan abadi di antara kita berdua..." demikian ia menjawab pertanyaanku. Dan pada saat itulah aku mendapatkan sebuah nama yang tepat untuk dirinya. Eva, itulah nama yang kemudian aku berikan padanya. Sebab ia adalah ibu dari semua kehendak alam dalam diriku. Aku persembahkan baginya nama yang paling indah, tepat di muara pertemuan empat buah sungai; Gihon, Pison, Eufrat dan Tigris. Jadilah ia lelai akar untuk menyempurnakan suratan tangan kami. Ia adalah telur kesunyian di mana aku akan menyemai seribu benih. Semenjak pertama kali aku menatap wajahnya saat aku terjaga dari tidur yang panjang dan mendapati dirinya berbaring telanjang di sebelahku. Aku tahu, ia telah ditakdirkan untuk menjadi pohon kehidupan. Ibu dari semua ibu yang akan melahirkan anak cucu keturunanku.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Pahlawan Tak Dikenal Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring Tetapi bukan tidur, sayang Sebuah lubang peluru bundar di dadanya Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang Dia tidak ingat bilamana dia datang Kedua lengannya memeluk senapan Dia tidak tahu untuk siapa dia datang Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang Wajah sunyi setengah tengadah Menangkap sepi padang senja Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu Dia masih sangat muda Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun Orang-orang ingin kembali memandangnya Sambil merangkai karangan bunga Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring Tetapi bukan tidur, sayang Sebuah lubang peluru bundar di dadanya Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda
”
”
Toto Sudarto Bachtiar
β€œ
Berani lihat? Berani bayangkan? bagaimana diri kalian yang telah hancur dikoyak kesedihan itu berwujud.. berani bayangkan? Wajah lelah penuh luka yang telah habis disayati sembilu itu berupa. Melihat dirimu mati setiap malam untuk terlahir kembali esok pagi sebagai anak haram kebahagiaan.. Hidup hanya mengajarkan 1 hal, tidak lebih. Ia mengajarkan dengan baik tentang apa itu β€˜kehilangan’.
”
”
Ayudhia Virga
β€œ
Danau dengan air yang amat tenang permukaannya, tapi apa yang ada di dalamnya, ekosistem liar, habitat para monster, hening, dan dalam. Apa yang akan kamu rasakan ketika ada di dalamnya? Seseorang dengan emosi yang amat tenang di raut wajah dan sikapnya, tapi apa yang ada di dalamnya, goncangan kehidupan, pengalaman pahit, kesepian, dan depresi. Apa yang kamu rasakan ketika menjadi dirinya?
”
”
Achmad Aditya Avery
β€œ
Bukankah sungguh menakjubkan, betapaΒ  sekarang ini kita bisa dengan mudah menemukan para badut berkeliaran di mana mana. Bukan di panggung hiburan, melainkan di jalan, di mall, di internet, di televisi, di kancah politik dan pergaulan sosial. Orang orang dengan mimik wajah dan karakter yang bisa membuat kita semua tertawa. Namun fakta yang lebih lucu lagi adalah, orang orang ini tidak pernah menyadari tengah menjalankan peran sebagai seorang badut.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
BIRU Biru tak selalu biru di matamu. Ia bisa menjadi laut yang lain atau langit yang berbeda dari yang pernah ada. Ia adalah batu permata yang tak pernah engkau temukan. Pisau yang tak pernah engkau asah. Pakaian yang tak pernah engkau kenakan. Guci porselen yang belum pernah engkau bentuk. Wajah yang tak pernah engkau kenal. Sosok yang selamanya engkau rahasiakan keberadaannya. Ia adalah sebuah puisi gelap yang tak pernah engkau tulis dan tak pernah dibaca oleh siapa pun.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Ada tiga hal yang mencegahku untuk menjadi seorang Muslim." jawab Simoen si Penyembah Api. "Yang pertama adalah kenyataan bahwa sekalipun kalian membenci keduaniawian, tetapi siang dan malam kalian mengejar harta kekayaan. Yang kedua, kalian mengatakan bahwa mati adalah suatu kenyataan yang harus dihadapi, namun kalian tidak bersiap-siap untuk menghadapinya. Yang ketiga, kalian mengaatakan bahwa wajah Allah akan terlihat namun hingga saat ini kalian melakukan segala sesuatu yang tidak diridhai-Nya.
”
”
Abu Khalid MA. (Seribu Kisah Nabi Khidir dan 9 Tokoh Sufi)
β€œ
Berikan aku 1 pelukan & senyuman, Lalu diamlah... jangan tanyakan apapun Cukup dengarkan laraku... dan biarkan air mata ku jatuh Mungkin hanya dengan cara itu aku bercerita Berikan sentuhan dari usapan halus di punggungku... Agar aku mampu menjadi tegar... Meski hatiku layu... Meski mataku sayu... Setidaknya aku tak memamerkan lara ini pada semua wajah di muka bumi... Dan... dalam pelukan hangat... dalam sentuhan lembut, jangan pernah memintaku untuk sabar.. karena kalimat itu hanya perih dalam kesakitan. diamlah... aku hanya butuh itu sahabat.. tapi... adakah itu?????
”
”
Debra R. Sanchez
β€œ
Karena aku tak pernah punya keberanian untuk menyapa dirimu. Gugup menakar diri, cuma bisa menatap sosokmu dari kejauhan. Atau menguntit setiap langkah yang membuat bayang-bayangmu justru kian menjauh. Daun daun berguguran dari tubuhmu, meninggalkan jejak wewangian yang tak mau pergi. Sementara aku cuma bisa mengumpulkan serpihan pikiran dan perasaan yang hancur berantakan. Lalu dengan susah payah menjadikannya sketsa wajah Grafiti yang aku terakan di bak belakang mobil truk, di kolong-kolong jembatan, di dinding-dinding pencakar langit, di antara kerlip bintang-bintang di tengah deras guyuran hujan atau di mana saja, hanya untuk menebalkan kerinduanku padamu. Sudah bertahun lamanya aku mencoba bertahan pada perasaan keterasingan ini. Tak pernah tahu; apakah kau juga merasakan hal yang sama? Diam-diam merasa rindu. Diam-diam memendam harapan. Bersikeras mencari jawaban pada diri sendiri; Apakah rindu ini hanyalah hasrat kepalsuan belaka? Apakah harapan ini adalah asa kekosongan belaka? Susah sungguh ternyata, hanya untuk menyatakan perasaan kepada seseorang yang diam-diam kita cintai. Namun entah mengapa, tetap saja tak mampu kita lupakan.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Aku Pernah Memberimu Nama Aku pernah memberimu nama, mungkin kau lupa. Apa arti sebuah nama? Kaupetik ungkapan itu dari sebuah buku dan aku hanya tersenyum mengiyakan. Tapi aku menyukai nama yang aku berikan kepadamu. Meski sudah lama sekali rasanya aku tak menyapa dirimu dengan sebutan itu. Seperti ada yang hilang dari almanak. Hari-hari tanpa jejak. Waktu yang tak lagi memberi kita sekadar jarak untuk menghitung lagi apa yang pernah saling kita beri. Katamu, ini bukan tentang apa yang pernah engkau terima. Engkau tak merasa menyimpan apa-apa. Juga perasaan-perasaan yang dulu pernah aku titipkan kepadamu. Sebuah buku yang lusuh berisi potret kelabu. Mungkin perjalanan, mungkin juga kenangan. Beberapa penggal puisi yang tak lagi mampu menyembunyikan dirinya dari air mata. Dan lukisan wajah senja yang mengabur saat matahari perlahan tenggelam di dalam hitam bola matamu tak lagi mengingat namaku.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
PERCAKAPAN DUA DUNIA Dari sepasang ranting aku pernah mendengar percakapan yang seperti ini; Bukankah tak ada yang bersua dulu untuk apa yang kita kehendaki kini? Bagaimana menghadirkan cinta ketika waktu tiba tiba berhenti? Bila cinta tak lagi memiliki ketulusan, apakah hati mesti berkorban? Kepada siapa hati mesti berserah, ketika semua wajah telah berpaling? Saat tak ada makhluk lain yang bakal peduli. Lalu siapa yang akan menimbang semua kesedihan yang ditinggalkannya? Ia yang sejenak mempertanyakan Tuhan ada di mana? Ketika andai tak pernah jadi mungkin. Dan mungkin tak pernah hadir sebagai kenyataan. Menunggu, ya cuma menunggu sampai seseorang atau malaikat atau iblis barangkali akan menyapanya kembali. Hari ini, esok atau entah kapan? Saat musim menghentikan semua ritualnya. Bersikeras membalut luka luka waktu yang diciptakannya sendiri. Waktu yang jadi gamang dan kehilangan arah. Waktu yang tak lagi menuju ke masa depan. Saat biji tak lagi bertunas, daun tak kunjung gugur, ranting tetap menghijau, kuncup tak mampu mekar dan pohon berhenti menua. Tak ada yang berubah kecuali dirinya. Terjerat pada kenisbian waktu. Semacam relativitas, sebuah semesta lain yang tak terlukiskan.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
...Kita hanya manusia yang kerdil yang mendiami daerah-daerah bumi. Kita hidup di sini untuk mencari bekal satu perjalanan hidup ke alam akhirat yang kekal abadi. Orang-orang yang tidak berjuang dalam kehidupan ini akan pergi ke sana jua. Orang-orang yang berjuang memang menyedari dunia ini sementara. Ada sesuatu yang perlu ditinggalkan untuk kebaikan manusia di dunia yang fana ini. Ada juga sesuatu yang diusahakan sebagai bekalan untuk kehidupan abadi di samping Pencipta Yang Maha Agung, Allah. Jika hidup itu ialah menanti perginya pagi dan datangnya petang, menanti perginya petang dan hadirnya dinihari; apalah kemanisan yang dapat dikecap daripada kehidupan sebegitu. Hidup ini ialah perjuangan hidup segigihnya. Manusia yang mengerti tidak akan mengalah terhadap cabaran masa dan tempat. Hidup menjadi indah dengan hadirnya perjuangan. Isyraf Eilmy terasa pernah terbaca sebuah wacana kecil erti kehidupan. Saudaraku. Tegakkan mukamu dan ukir senyuman di wajahmu. Senyuman itu ialah sedekah daripada orang yang punyai harta dan jiwa. Sekuntum senyumanmu ialah wajah sebuah kehidupan yang tidak terhakis oleh kesusahan. Selagi kau menundukkan mukamu lalu merenung kedua-dua belah kakimu, selagi itu kau masih terbelenggu dalam simpulan-simpulan kekusutan yang membalut sudut hatimu. Apabila jiwamu kosong daripada cahaya hidayah, maka kehidupanmu umpama lorong duka lara yang menjerit pekik minta dikasihani, simpang-siur kesepiannya ialah kekeliruan dan kekecewaan yang menerpa sedangkan deru angin semilirnya ialah nyanyian kedukaan yang tidak didendangkan oleh jiwa yang kental. Mengapakah kau rasa tiada lagi keindahan pada mahligai tersergam juga kecintaan terhadap segala kemewahan dan solekan dunia? Mengapakah harus kau mencari suatu kepastian tentang bila akan berakhirnya kehidupan sedangkan baki usiamu tidak pernah menjanjikan rumusan kebahagiaan? Usah lagi kau mimpikan ke manakah perginya kelazatan pada sajian hebat yang terhidang di meja kehidupan. Usah lagi kau kenangkan dari manakah datangnya kepanasan di ruang cinta syahdu penuh keasyikan. Kembalilah kepada martabat diri. β€” ms.9-10, Sarjana Bangsa
”
”
Hasanuddin Md. Isa
β€œ
Selalu ada cara lain untuk menafsirkan kebahagiaan," begitu katamu. Seperti mengisi kanvas yang kosong dengan kepenuhan imajinasi, dan membiarkan khayalan bergerak serupa gambar yang hidup di dalam pikiran. Seperti menemukan sebuah kata yang tepat untuk mengawali sebuah puisi. Selalu ada euforia serupa itu yang ingin kau ciptakan dari gairah dan riuh rendah suara bising yang terdengar di dalam benak semua orang. Sudah lama aku curiga, kau bisa menebak apa yang orang lain inginkan hanya dengan membaca gelagat dan ekspresi wajah mereka. Mencoba membuktikan, bahwa waktu tidak cuma menciptakan kekacauan dan kegaduhan. Ia bisa juga menghadirkan semacam kegembiraan walau mungkin semu. Seperti kisah tentang bunga mawar yang tumbuh di tepi jalan yang pernah aku ceritakan kepadamu. Tapi tak semua orang mau menerima realitas seperti itu. Mereka selalu menemukan cara untuk menilai orang lain dengan caranya sendiri. Kebanyakan orang terlalu sibuk dengan kerumitan pikiran yang hilir mudik setiap hari. Mereka tak menghiraukan hal lain selain kepuasan diri. Mereka tak pernah mau mengerti, bahwa kegembiraan kecil tidak selalu harus dimulai dari diri sendiri. Ini seperti melihat dunia dengan sebuah kaca pembesar. Dunia yang retak dan jauh dari kata sempurna. Dunia yang sering absurd dan kadang membingungkan. Tapi kita tidak punya hak untuk mencemooh orang lain dengan cara konyol seperti itu. Dunia yang kita kenal sudah terlampau sering membiarkan orang membuat penilaian lewat satu satunya pandangan dari apa yang ingin mereka percayai. Tak bisa membedakan api dari asap, panas, nyala dan cahaya yang dihasilkannya. Bukankah satu satunya hal yang bisa kita yakini di dunia yang centang perenang ini adalah sebuah kemustahilan? Akan tetapi, bagaimana kita bisa melihat dunia dengan kacamata ambiguitas? Ketika kita menyadari, bahwa realitas tak lebih dari sebuah fatamorgana. Dan ilusi, adalah kenyataan hidup kita sehari hari. Bagaimana kita bisa menyandarkan diri pada sebuah asumsi untuk mampu mencerna apa yang sesungguhnya tidak kita ketahui? Bagaimana kita bisa memastikan, apa yang tidak pernah kita pahami sebagai buah dari pohon pengetahuan? Bahwa kebaikan dan keburukan adalah hasrat yang terlahir dari rasa ingin tahu manusia. Hanya saja, pikiran kita ingin menelan semuanya sendirian. Kerakusan yang membuat manusia kerasukan oleh ego dan ambisi yang membutakan dirinya sendiri. Kerasukan yang pada akhirnya . menciptakan kerusakan. Apa yang bisa memenuhi diri kita dengan pengetahuan yang serba sedikit tentang makna kebenaran yang kita cari selama ini? Bagaimana kita mampu mengidentifikasi kebenaran yang tidak pernah kita kenal? Bukankah tuhan tak mungkin hadir dalam setitik keraguanmu? Apa yang tidak engkau pahami sebagai sebuah paradoks, tidak punya nilai apa pun dibanding dengan kegamangan dan kebodohan dirimu sendiri. Sementara kita masih saja jumawa, dengan kepala dipenuhi oleh hasrat dan juga kesombongan. Dan terus menerus melahirkan ilusi ilusi semu dari pikiran pikiran hampa yang hanya akan mengelabui manusia dengan kepalsuan sejarah. Sejarah yang diam diam kita rekayasa sendiri. Sejarah yang tidak pernah mengenal makna kesejatian. Sejarah yang mengubur peradaban manusia dengan semacam orgasme palsu, yang anehnya terlanjur kita dewa dewakan sebagai satu satunya kebenaran.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Kalam Untaian Merjan Pada lagu balada Rendra aku melihat embus pasir Aspahani. Tangan angin yang giat mencangkuli hamparan tanah gembur di kebun buah Rosidi. Dalam kantungnya tersimpan rupa-rupa benih puisi melayu lama. Dari pantun hingga mantra, dari gurindam hingga karmina, dari talibun hingga seloka. Seuntai syair yang rajin menebar tawa Korrie bergirang hati. Merapal doa penawar rindu yang santun menampung embun luruh di telapak tangan Kyai Bisri dan gaung azan subuh di bibir para santri. Di bawah pelupuk langit Timur Sinar Suprabana aku bersujud, serupa lelai rumput Ahmadun. Menyambut lambai tangan hijau kanak-kanak menari bersama Helvy dan Herliany. Memulas kuning gading bulir padi di dada awang telanjang mandi di kali. Bocah-bocah keletah gembira menuai buah tufah berlimpah pada keras bebatuan Calzoum merah. Di balik celana Pinurbo aku jumpai gelisah mimpi Johani. Wajah Sunarta yang gemar menyamar. Mata Wisatsana yang cermat menelisik risik kerikil tajam terserak di taman kawi dunia. Juga jemari tangan Fansuri yang rajin mencabut ilalang di kebun para sufi. Kubaca wajah cuaca dalam bahasa sunyi Isbedi, kueja tagar Dahana, kudaras cahaya Kurnia. Balau debu tertaris gerimis yang lama tersimpan dalam setiap tetesan tinta Taufiq. Pada sajadah yang ia hamparkan dan pisau Takdir penawar risau pada hati yang terempas dan jantung yang putus. Pulau di mana dulu pernah tersemai benih-benih terbaik Chairil muda. Demi memetik buah rindu dendam yang telah lama didambakannya, Ia rela mati berkafan cindai diiringi lagu sunyi nyanyian Hamzah. Tapi justru di dulang kosong itu kutemukan pipih gosong telur Dewanto. Suara pekak mikrofon pecah dalam kamar gelap Afrizal. Leher botol tercekik dari separuh langit yang sengaja menyembunyikan wajah Srengenge di balik dengung nyamuk yang mengamuk dalam benak Rusmini. Sebelum kata-kata berlepasan dari dahan tempatnya bergantung, sebelum kamus jadi ingatan beku yang ditelan rakusnya waktu. Aku berusaha menemu laut. Laut yang dulu pernah melantunkan tembang Ainun dan syair pujian Pane dalam Madah Kelana. Laut yang akan mengizinkan aku mengaji bersama Toto dan Abdul Hadi, pada hampar lembar langit Zawawi yang senantiasa berkabut ini. Di bawah guyuran rintik-rintik hujan Damono yang entah mengapa hanya mungkin turun di pertengahan bulan Juni. Namun pada samar raut wajah Nadjira, jemari tanganku gugup menggali inspirasi di balik pikiran Armand. Dari rupa rupa arsitektur yang dengan cergas ia reka reka menjadi bait puisi. Hasrat yang gesit menimba air di sumur Mansyur. Menapak jejak Saut dan Sitor yang senantiasa hibuk mencari Tuhan. Dan demi tunas mata Subagyo dan sejuk air Zamzam, aku rela menemu jantung hati lapang di dalam inti sebuah poci. Keramik awanama, di antara batu undak-undakan meditasi Goenawan. Ia yang telah menguak rahasia jiwa Landung nan adi Luhung yang bersemi di hutan jati Umbu Paranggi. Tapi sekali-kali, tak akan pernah aku lupakan kesaksian Wiji yang tumbuh dari tangisan sejarah masa lalu. Noda yang tertera pada luka Sambodja. Sekiranya masih ada petilasan senyap dari para pendahuluku. Cabuhan air mata pilu para martir dan tangis para santo. Seruan kelu di bibir para nabi dan kubangan darah para syuhada. Tak akan aku biarkan diriku terpedaya oleh muslihat para penebah jenawi purba, hujah para tukang fitnah, hasutan orator-orator lancung, gonggong penadah puisi kosong. Juga sumpah serapah dan tipu daya para kritikus-kritikus gagap. Igauan busuk plagiator mabuk. Bualan epigon-epigon palsu dan ocehan para dilettante buta. Di mana waktu mengharuskanku mesti belajar lagi.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
... Wajah-wajah pengendara adalah wajah para raja jalanan. Wajah-wajah yang mengusung semua lambang kekotaan; keakuan yang kental, manja, dan kemaruk luar biasa. Pamer. Ah, tetapi Karsim tahu, pamer diri itu penting. Karsim pernah mendengar itu diucapkan oleh dalang dalam sebuah pentas wayang.
”
”
Ahmad Tohari (Mata yang Enak Dipandang)
β€œ
Ketika sang Hodja sedang pergi keluar bersama murid-muridnya, ia duduk di punggung keledai dengan wajah menghadap arah ekor si keledai. Para murid bertanya meminta penjelasan. β€œSebagai guru, aku harus berada di depan. Tapi jika aku menghadap ke depan, aku takkan bisa melihat apa yang kalian kerjakan di belakangku. Oleh karena itu, aku duduk seperti ini sehingga bisa mengawasi kalian dengan mudah.
”
”
Nasruddin Hodja
β€œ
Bukan mencari seseorang perempuan yang cantik bahkan sangat cantik karena ada masa kalanya nanti dibuat jelek karena memiliki rautan wajah. Namun mencari perempuan yang ideal seperti bisa masak, bisa mencuci manual, selalu bersemangat, sayang dan cinta kepada kita dan keluarga, itu pastinya dia cantik, tak perlu diragukan lagi
”
”
@danangme
β€œ
Kecantikan, musuhnya yang paling utama adalah masa. Setiap detik yang merangkak, setiap saat yang bergerak, mengajak wajah melupakan bentuk asalnya. Perlahan, merubahkan arah garis-garisnya. Perlahan, tetapi pasti, masa akan menjamah.
”
”
A.D. Rahman Ahmad
β€œ
Jendelaku tak beralaskan kaca Terbuka! Menjemput hembusan angin kehidupan meraba wajah Di dada bermukim warkah lagenda hikayat nusantara dongengan Tun Teja bercengkerama membeningkan mata
”
”
A.D. Rahman Ahmad
β€œ
Malam itu, Pilar Ternera mengompres bengkak di di wajah JosΓ© Arcadio dengan ramuan, meraba-raba botol dan kain di kegelapan, serta melakukan apa saja yang diinginkan berdua sepanjang hal itu tidak mengganggu JosΓ© Arcadio; ia mencoba untuk mencintainya tanpa melukainya. Akhirnya, mereka berdua berada dalam suasana akrab, tanpa menyadari mereka berbisik satu sama lain.
”
”
Gabriel GarcΓ­a MΓ‘rquez (One Hundred Years of Solitude)
β€œ
2. Coba larutkan aku dalam segelas malam-mu, maka ungu wajahku akan bermalih rupa menjadi biru cerah yang berasa nikmat dalam seduhan setetes air lemon dan sebongkah gula batu. Aku akan mengubah pagimu menjadi sumber energi, kesegaran, kesehatan dan umur panjang seiring terbitnya matahari. Parfum yang aku kenakan di tubuhku memang tidaklah seharum mawar atau melati. Dan rupaku tak juga seelok kenanga atau cempaka. Tapi hasrat yang tak terkendali itu, yang aku simpan rapat-rapat sebagai sebuah rahasia yang sengaja aku sembunyikan dari dunia bakal jadi milikmu selamanya. Akan tetapi, aku bukanlah gelas kosong yang minta diisi. Namun sebaliknya, terimalah pemberianku ini; setiap tetes mukjizat kepenuhan yang datang daripadaku ini adalah perwujudan hati yang bersih dan juga ikhlas. Aku akan selalu hadir dalam setiap momen kegembiraan dan kebahagiaanmu. Sebab, violet warnaku yang rupawan akan turut menghias wajah pengantinmu dan pemulas gaun adi busana yang ia kenakan. Agar penampilannya jadi kian sempurna, bersanding dengan tuxedo mewah yang engkau pakai. Tak akan aku lewatkan setiap kesempatan untuk menghias kue ulang tahunmu atau menjadi puding pemanis sajian makanan di atas meja perjamuan di mana kau undang para selebriti dan artis papan atas dunia. Bukan karena mereka hadir untuk mengambilΒ flavonol, glikosida, antioksidan, peptida, dan amylase daripadaku. Maka kau akan mengerti betapa, bila kau minum aku di pagi hari sebagai larutan teh atau kau hidangkan aku sebagai salad atau sayuran di atas pinggan yang cantik itu aku dapat melipur dukamu, membantu mengobati rasa lelahmu, menambah daya ingat dan vitalitasmu, menghilangkan kesesakanmu, meredakan amarahmu dan mengatasi kekhawatiranmu. Tetapi orang melihatku hanya sebagai tanaman liar belaka, sebab aku biasa tumbuh di mana pun yang aku mau, entah di hatimu atau di dalam pikiran orang-orang lain. Dan oleh karena itulahΒ  mengapa, aku menjadi sangat populer di antara para pecinta, penggemar, dan para pembenciku sekaligus. Di tengah-tengah dunia, yang sesungguhnya terasa betapa sangat menyedihkan.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Pada palang pintu gerbang yang mengganjal kehadiranmu, aku merasa, sungguh betapa dekat engkau padaku hari ini. Bersikeras memindahkan waktu, memungut ribuan kelopak bunga mangga yang berguguran di halaman. Adakah garis yang bisa kita lewati? Pintu garasi itu berderit di belakangku. Dan aku sekali lagi merasa, akan menemukan engkau di sana. Berdiri sendirian, larut dalam sepi dan seraut wajah muram yang lupa arti kebahagiaan.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
SEPERTI SEBUAH PERCAKAPAN DALAM DIAM Kesunyian mungkin tak pernah menjadi seperih ini. Akan tetapi, kalau ia sungguh hadir bagaimana hendak kutolak? Sekiranya aku temukan airmata pada luka yang terlanjur kutorehkan sendiri, bagaimana hendak kutuntaskan hari hariku dalam kesendirian serupa itu? Senyap angin yang menggigilkan hati. Perahu karam dan ombak yang menyerpih di antara karang dan bebatuan. Seperti temaram yang turun selepas mendung yang menutupi wajah matahari. Amarah yang menjelma jadi seekor naga, bayangan hitam menyapu pelangi yang mengambang di atas laut. Apa yang menahan hujan meninggalkan kenangan di balik kabut? Lalu datanglah esok hari. Tapi mengapa pagi tak selalu seperti angan yang kita rindukan? Seperti juga sisa malam yang senantiasa bermuram durja, terlihat lusuh dan terlalu bersahaja. Ia lebih serupa jelaga yang mengotori pikiran pikiran kita dengan syak wasangka. Siapa di sana bakal menemu wajah sang kekasih? Aku ataukah dirimu? Mengapa bukan kita? Mengapa hanya cuma keluh kesah? Cuma sekedar angan yang tinggal. Pada hari hari kelabu dan seolah tanpa harapan. Siapa yang akan memberi kita semua cinta dan perhatian yang mungkin? Kecuali kita sama sama telah lelah dan terpaksa berhenti di titik ini. Saat ketika kita sudah tak lagi bertegur sapa. Ketika kita menjadi terlalu sibuk dengan pikiran masing masing. Menumpuk kedengkian dan semakin banyak jerat di benak. Semua sisa kenangan yang sempat datang dan pergi. Tak lagi menyisakan percakapan antara dua hati yang mendadak saling membenci. Antara dua perasaan yang kian berkecamuk. Benih cinta yang dulu sempat ada. Yang pernah hadir... Dan lalu pergi entah kemana?
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Kau memang tidak mengganggu siapapun, tetapi mulutmu selalu bungkam. Katanya kau pernah mengalami trauma hebat. Sejak itu kau mulai melupakan wajah. Kau lupa siapa-siapa saja tetanggamu bahkan ketika mereka berpapasan denganmu di pasar. Orang-orang pun mulai malas menyapamu, tak ingin tertular kesedihanmu.
”
”
Intan Paramaditha (Sihir Perempuan)
β€œ
Seperti hujan turun di pagi hari. Kabut mengambang di atas perairan. Bayangan gunung di kejauhan. Desau angin di hutan bambu dan wajah si mati mengusik rasaku. Demikianlah aku mengenangkan dirimu.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Sejak hari di mana aku berhenti merokok, aku teringat ucapanmu, "Bila saatnya tiba, kita semua akan mati." Pemantik api pemberianmu masih kusimpan bukan sebagai kenangan, melainkan pengingat bagi diriku sendiri. Sudah lama aku tak pernah lagi menggunakannya. Sungguh aneh sekali, aku tidak bisa mengingat kapan terakhir kali kita duduk berdua dan saling bicara: Siapa orang yang telah membunuh rembulan itu dan mencampakkan jasadnya ke dalam tong sampah? Sepertinya ini bukanlah kisah yang akan kita kenangkan. Mobil patroli itu dan polisi yang bersliweran di depan rumahmu. Apakah mereka telah mengendus bau si pembunuh? Tetesan darah dari bagasi, golongan darah tipe O, Moonlight Sonata karya Beethoven dan wajah yang tak bisa dikenali. Aku tak mencatat waktunya, ketika kutatap wajahmu untuk yang terakhir kali. Kabut turun memutih lebih menyerupai salju. Putih, sepucat wajahmu pagi itu.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Tak ada kebetulan di dunia ini. Jangan tatap wajahku seperti itu. Aku tidak sedang tertidur atau bermimpi. Si pembunuh telah menyalangkan matanya, menanti rembulan terlena sekali lagi. Ini semua tentang masa lalu, dan masa depan yang belum tentu ia miliki. Lalu apa yang terlintas dalam benakmu? Kita tak pernah melihat hujan yang sama saat ia turun membasahi bumi. Ingatan yang tiba tiba saja meloncat di atas genangan air, "Jangan pernah lagi kau dekati diriku! Aku bukanlah orang yang sama yang kau kenal dahulu." Si Pembunuh menghunus tajam matanya dan menusukkan pisaunya berkali-kali. Wajahnya datar dan tatapannya dingin. Nyaris tanpa ekspresi. Wajah yang sama yang tak akan pernah terhapuskan dari dalam ingatan.
”
”
Titon Rahmawan
β€œ
Ketika aku mencari hadrat-Mu maka janganlah Engkau menyembunyikan wajah-Mu Tajallilah kepadaku dengan tajalli yang tidak memeranjatkanku. (Mazmur XXIX)
”
”
Sutung Umar RS (Puisi: Nyanyian Mazmur)
β€œ
Makanya jangan menilai buku hanya dari sampulnya.β€œ β€œEh, aku tidak menilai, hanya menyayangkan. Wajahnya cantik, polos.β€œ β€œBerarti yang boleh merokok atau memakai snus, hanya yang wajahnya jelek?
”
”
Kusumastuti (Berlabuh di Lindoeya)
β€œ
Lagipula, apa ada lagi yang lebih aneh dari kamu? kamu, iya kamu, makhluk yang niscayanya membosankan tetapi malah memiliki kemampuan untuk merasa bosan. Butiran pasir yang selalu merasa dirinya lebih unik dari butiran lainnya di hamparan gurun. Diri-diri jamak yang bertumpukan membentuk noktah. Berjejal seperti sekumpul garis yang membentuk seraut wajah muram. Titik-titik kecil yang berserak terpisah dari garis hubung yang tak pernah terhubung.
”
”
Ayudhia Virga
β€œ
Kamu, iya kamu. Butiran pasir yang selalu merasa dirinya lebih unik dari butiran lain di hamparan gurun. Diri-diri jamak yang bertumpuk membentuk noktah. Berjejal seperti sekumpul garis yang membentuk seraut wajah muram. Titik-titik kecil yang selamanya hilang, terpisah dari garis hubung yang tak pernah terhubung.
”
”
Ayudhia Virga
β€œ
Itu nggak sopan. Wajah nggak berekspresi adalah turunan keluarga kami. Atau bu guru... bilang manusia yang nggak tertawa itu nggak merasakan bahagia? Chihiro nggak boleh sekolah di taman kanak-kanak seperti ini. Mulai hari ini dia akan mengundurkan diri.
”
”
Masami Morio (Omake No Kobayashi Kun 9)
β€œ
Kita harus melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh yang membelenggu kita pada masa lalu yang memalukan, seperti para pelayan, jongos, dan orang desa yang tidak punya nama dan tidak punya wajah.
”
”
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)
β€œ
Bila satu negara baru lahir dan orang-orang yang sebelumnya tidak pernah punya apa-apa itu ditempatkan pada jabatan yang "basah", terdapatlah salah urus dan korupsi, bahkan pada kalangan atas. Baru-baru ini aku mengeluarkan ancaman hukuman mati untuk pengacau ekonomi. Seorang pemilik penggilingan padi membuat harga beras membumbung tinggi dengan menimbun enam ribu ton. Bila dia nanti ternyata bersalah, aku sendiri yang akan menandatangani perintah hukuman mati terhadapnya. Banyak dari para pengusaha kami menyimpan hartanya di bank luar negeri. Aku tahu hal itu. Tetapi selagi mereka bekerja membantu kami, bukan menentang kami, hak milik perorangan tidak akan dihapus sebagaimana di sejumlah negara sosialis lain. Sukarno dengan gembira membolehkan warga negaranya kaya. Beberapa orang kawanku sendiri adalah kapitalis-sosialis. Tetapi hal itu harus dibatasi. Mereka yang menghisap kekayaan negara dan menjadi patriot apabila sakunya berisi, akan ditembak mati. Undang-undang kami sekarang harus tegas, atau ekonomi kami tidak pernah beres. Di negara Barat kehidupan sangat menyenangkan. Orang bisa membeli gula, dasi bagus, barang-barang mewah seperti lipstik dan krim wajah. Di Timur terjadi kekurangan yang serius. Di negara-negara kapitalis orang dapat bergerak bebas. Di negara-negara sosialis apa yang disebut kebebasan tidak ada. Bahkan kelaparan masih sering terjadi. Ada pembatasan di setiap bidang, ini bukan karena sistem kami yang salah, melainkan karena kami masih dalam proses mewujudkan cita-cita. Menderita akan membuat kuat. Aku tidak menghendaki rakyatku menderita, tetapi kalau semua diperoleh dengan mudah, mereka pikir Bung Karno adalah Sinterklas. Mereka akan duduk saja menunggu Sukarno mengerjakan semua untuk mereka. Mungkin kalau aku memiliki kemampuan untuk memberikan kesenangan, aku tidak akan menjadi pemimpin yang baik. Aku harus memberi rakyatku makanan untuk jiwanya bukan hanya untuk perutnya. Seandainya aku memakai semua uang untuk membeli beras, mungkin aku akan dapat mengatasi kelaparan mereka. Tapi bila aku memiliki uang 5 dollar, aku akan mengeluarkan 2.50 dollar untuk membuat mereka kuat. Membesarkan suatu bangsa merupakan pekerjaan kompleks. Semangat suatu bangsa yang pernah tertindas tidak boleh disia-siakan. Di Kalimantan Barat sungainya tidak dapat di lewati, perhubungan tidak mungkin diadakan. Sebagian besar bahan makanannya diimpor. Ketika aku pertamakali berkunjung ke sana, tahukah engkau apa yang sangat mereka inginkan? Bukan bantuan teknis. Bukan pembangunan pertanian. Tapi sebuah fakultas hukum! Dan begitulah sekarang telah berdiri sebuah universitas di tengah-tengah rimb raya Kalimantan. Manusia tidak hanya hidup untuk makan. Meski gang-gang di Jakarta penuh lumpur dan jalanan masih kurang, aku memutuskan membangun gedung-gedung bertingkat, jembatan berbentuk daun semanggu, dan sebuah jalan raya "superhighway", Jakarta Bypass. Aku juga menamai kembali jalan-jalan dengan nama para pahlawan kami. Jalan Diponegoro, Jalan Thamrin, Jalan Cokroaminoto. Aku menganggao pengeluaran uang untuk simbol-simbol penting seperti itu tidak akan sia-sia. Aku harus membuat bangsa Indonesia bangga terhadap diri mereka. Mereka sudah terlalu lama kehilangan harga diri. Banyak orang memiliki wawasan picik dengan mentalitas warung kelontong menghitung-hitung pengeluaran itu dan menuduhku menghambur-hamburkan uang rakyat. Ini semua bukankah untuk keagunganku, tapi agar seluruh bangsaku dihargai seluruh dunia. Seluruh negeriku membeku ketia Asian Games 1962 akan diselenggarakan di ibukotanya. Kami lalu mendirikan stadion dengan atap melingkar yang tak ada duanya di dunia. Kota-kota di mancanegara memiliki stadion yang lebih besar, tetapi tak ada yang memiliki atap melingkar. Ya, memberantas kelaparan memang penting, tetapi memberi jiwa mereka yang telah tertindas dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan ini juga penting.
”
”
Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia)