Sore Hari Quotes

We've searched our database for all the quotes and captions related to Sore Hari. Here they are! All 15 of them:

Aku adalah airmata yang terlahir dari rahim ibuku. Aku bukanlah kebahagiaan yang terucap dari kehendak Tuhan. Kehendak yang tidak pernah aku ketahui atau sadari keberadaannya. Aku tak pernah menjelma menjadi sungai, danau atau bahkan laut. Aku bukanlah bianglala yang terlukis dari tangan keindahan. Bukan pula keajaiban matahari yang terbit di pagi hari. Aku adalah burung bulbul yang mati mengenaskan di atas pohon kesedihan. Aku adalah cacing yang dipatuk ayam dipekarangan. Aku adalah luka yang tergores di kulit pohon di halaman kelas lima. Aku adalah kesendirian yang duduk di aula sekolah di sore hari. Bola basket yang memantul ke lantai dan tidak pernah masuk ke dalam keranjang. Sapu ijuk yang tiba tiba beruban karena usia. Aku adalah serangkaian kata tanya yang tak pernah menemukan jawaban. Aku adalah laki laki yang terpenjara oleh ilusi dan pikiran pikiran liarnya sendiri. Aku adalah 0, angka yang terasingkan dari seluruh bilangan cacah. Ia adalah id yang menolak rasa sakit dan menjadikan dirinya kuda binal yang ditunggangi oleh nafsunya sendiri. Ia tak bisa memikirkan hal lain selain rasa lapar yang terpancar dari puting ibunya. Akan tetapi, ia juga adalah seorang serdadu yang kalah perang dan tak tahu arah jalan pulang. Ia adalah aku, air mata yang terlahir dari rahim ibuku.
Titon Rahmawan
Saat itu ku lihat senja dimana-mana. Di sawah, di jalan raya, di atap rumah, di layar kaca, senja dimana-mana. Pagi, siang, sore, malam, setiap waktu menjadi senja. Ia tak begitu menjadi istimewa. Saat itu ku lihat senja hanya sekedar senja. Senja yang sudah kelebihan kata-kata, kekurangan makna. Sial, Aku merindukanmu lagi.
silviamnque
Hujan lebat telah mengguyur kota sore ini. Namun selepas itu, senja pun masih saja ingin hadir menemani perjalanan pulang para pecintanya. Ia nampak mengintip di balik gelapnya awan mendung. Menyiratkan semburat indah warna jingganya. Dan seiring kepergiannya di balik horizon, rindu ini kembali menyeruak masuk ke dalam dada. Memaksa hati turut merasakan pilunya. Tak sabar menantikan hari esok tiba. Hari dimana kita bisa saling bertatap mata. Meleburkan rindu yang telah lama beku, sekali lagi.
imeragustin
Engkau Tak Pernah Pergi Suatu hari ia menemukanmu dalam lembar kenangan di dalam saku kemeja yang terlipat rapi di almari. Semestinya kau tak datang lagi setelah bertahun ingatan berusaha menghilang seperti hantu yang menolak untuk dicintai. Tapi ternyata engkau tak pernah pergi. Dan setelah itu, ia mendapatimu hadir di mana- mana. Sebagai rasa sakit yang bersikeras ingin membuat perhitungan yang tak kunjung selesai. Seperti pintu amarah yang digedor orang di malam hari hanya untuk mengambil kembali rahasia-rahasia yang dulu pernah di sembunyikannya. Mengapa engkau tak mau pergi, sebagai orang yang dicintai laut? Bukankah laut itu pula yang dulu menerima semua keluh-kesahmu tanpa pernah bertanya-tanya? Bukankah ia pula muara sungai yang sama yang mengantarkan dirimu menerjemahkan arti sebenarnya dari kata kebahagiaan? Tapi engkau tak mau pergi dalam wangi bunga arum dalu yang ingin di ingatnya selalu setiap jelang sore tiba. Atau sebagai tetes air hujan yang ingin disimpan dan diabadikannya sebagai kenangan di dalam pikiran yang senantiasa resah. Bukan pula butiran tasbih yang didaraskannya sebagai doa yang tak henti diucapkannya saat matanya terjaga sementara tubuhnya terbuai di dalam mimpi. Engkau tak pergi sebagai perempuan yang pernah mengisi hatinya dan selamanya akan terus dicintainya, sekalipun puisi-puisi yang dituliskannya atas namamu tak pernah lagi kaubaca. Sementara ia seperti sengaja membiarkan kebodohannya sebagai ungkapan perasaan cinta. Perasaan yang ia agungkan sebagai anggur penawar lupa, yang sesekali ia minum sebagai satu-satunya pengobat sepi. Kau tidak pergi sebagai kerinduan yang menghantui perasaan-perasaan yang tidak mampu ia terjemahkan selain sebagai penderitaannya sendiri. Dan ia masih menyimpan kesedihanmu, sayu tatap matamu, sikap diammu agar tak pernah terusik waktu. Walau engkau terus saja memberinya luka-luka baru, yang entah mengapa tak pernah dapat ia sembuhkan.
Titon Rahmawan
Pada Minggu sore yang tenang itu, aku menikahi Dinda. Aku berpakaian Melayu lengkap persis seperti waktu aku melamarnya dahulu. Dinda berpakaian muslimah Melayu serbahijau. Bajunya berwarna hijau lumut, jilbabnya hijau daun. Dia memang pencinta lingkungan. Itulah hari terindah dalam hidupku. Jadilah aku seorang suami dan jika ada kejuaraan istri paling lambat di dunia ini, pasti Dinda juaranya. Dia bangkit dari tempat duduk dengan pelan, lalu berjalan menuju kursi rotan dengan kecepatan 2 kilometer per jam. Kalau aku berkisah lucu dan jarum detik baru hinggap di angka 7, aku harus menunggu jarum detik paling tidak memukul angka 9 baru dia mengerti. Dari titik dia mengerti sampai dia tersipu, aku harus menunggu jarum detik mendarat di angka 10. Ada kalanya sampai jarum detik hinggap di angka 5, dia masih belum paham bahwa ceritaku itu lucu. Jika dia akhirnya tersipu, lalu menjadi tawa adalah keberuntunganku yang langka. Kini dia membaca buku Kisah Seekor Ulat. Tidak tebal buku itu kira-kira 40 halaman. Kuduga sampai ulat itu menjadi kupu-kupu, atau kembali menjadi ulat lagi, dia masih belum selesai membacanya. Semua yang bersangkut paut dengan Dinda berada dalam mode slow motion. Bahkan, kucing yang lewat di depannya tak berani cepat-cepat. Cecak-cecak di dinding berinjit-injit. Tokek tutup mulut. Selalu kutunggu apa yang mau diucapkannya. Aku senang jika dia berhasil mengucapkannya. Setelah menemuinya, aku pulang ke rumahku sendiri dan tak sabar ingin menemuinya lagi. Aku gembira menjadi suami dari istri yang paling lambat di dunia ini. Aku rela menunggu dalam diam dan harapan yang timbul tenggelam bahwa dia akan bicara, bahwa dia akan menyapaku, suaminya ini, dan aku takut kalau-kalau suatu hari aku datang, dia tak lagi mengenaliku.
Andrea Hirata (Sirkus Pohon)
Jangan mempermainkanku dengan kata kata yang mempunyai banyak ilusi Jangan mengecokkanku ribuan majas yang makin tak bertepi Sejenuh, sejenak, mengapung menggantung, Apakah kau menganggapku selirih sepandang seperjalanan menanti berlalu? Jujur, kau seindah, semenarik, terpandang Memang, kau sejernih, selugu, segala terpancar Lalu mengapa kau, adapun mau, adapun membaur Berdatang dan berlalu Tiba-tiba kau tertarik dengan angin yang terasakan mengepoi-sepoi sore hari segala terlalu Sungguh, kini kau sesulit ini dipahami? Ber-entah kata jika ditata berbaris Ber-jenaka di alun syair Berujung ku me-nyudahi Terbegitukah ku lakui...? ... #medan, April 2020 Judul: MengapaKah
Manhalawa
Ada matahari terbit dan terbenam setiap hari, dan mereka benar-benar gratis. Jangan sering-sering melewatkannya!
Vergi Crush
Mengenakan iman setiap pagi, dan melucutinya di siang hari, mengenakan lagi di sore hari, melucuti kembali di malam hari. Bahkan keyakinan itu sendiri harus di periksa, agar menjadi sempurna.
Ayudhia Virga
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kafein pada sore hari dapat meningkatkan kemungkinan Anda berhenti merokok
Charles Duhigg (The Power of Habit: Why We Do What We Do in Life and Business)
Sore itu mengantarkanku pada hari-hari lalu, saat semua terasa begitu sederhana Percakapan yang mengalir deras, bising klakson yang bersahutan di depan lapas, suara azan yang sesekali terputus saat sang muazzin menarik nafas Alun-alun malam itu masih tak terasa dingin walau hujan tak henti-hentinya mengguyur tubuh Sampai semua kesepian itu memelukku di penghujung jalan memasuki Tarogong rasa dingin terasa menusuk tulang saat melewati jalanan Dangdeur yang gelap Sesekali kulirik percakapan kita dan mencari kehangatan di situ, saat dada mulai remuk oleh rasa kehilangan yang menghantui sepanjang gang Aku benci saat mengingatnya, tak pernah menyadari kata-katamu yang bagai sembilu, menggores luka yang tak henti-hentinya mengeluarkan darah Tak pernah kurasakan sakit saat itu, dan pikirku, mungkin semua akan baik-baik saja pada akhirnya Tak ada sesuatu yang menanti di ujung jalan itu selain rayuan dan tipuanmu, mengatasnamakan luka seorang wanita Aku tersesat di labirin gelap dengan kaki yang membusuk Dan kau di sana, dalam kehangatan di dalam selimut ranjang dalam pelukan seseorang, mengantarkan huruf-demi huruf, baris-demi-baris, bualan penuh muslihat Aku terlena dalam kehangatan palsu sepanjang tahun-tahun yang kelak akan kau buang dengan sia-sia Aku terlena dalam kata-katamu bahwa aku adalah satu-satunya Namun aku tak punya kuasa untuk memutar waktu, pun tak sanggup membuang semua racun itu yang telah membusukkanku dari dalam Sore ini mengantarkanku pada hari-hari lalu, saat semua terasa begitu sederhana Dan aku membencimu (Untuk Fadila Nazian)
Hurairo-san
Cinta Dari Rutinitas Sehari Hari II. Tentu saja, kita tak sempat bercengkerama karena aku harus segera berangkat kerja dan membiarkan sisanya tenggelam dalam kesibukan memintal kesendirian. Menunggu jarum jam bergerak malas dari delapan ke angka sembilan. Mungkin saat itu kau akan sedikit mencintaiku kurang dari bagaimana aku mencintaimu. Berharap sisa perjalanan akan menjadi sebuah perayaan kerinduan. Tanpa pernah merasa bosan, jenuh atau apapun itu. Hanya pada saat waktu bergerak memanjang ke pukul sepuluh siang, kau akan tertidur sejenak tanpa memikirkanku. Tanpa mimpi tentangku atau tanpa perasaan apa pun yang mengingatkanmu pada diriku. Dengkurmu akan cukup keras untuk membuat tetangga sebelah rumah menjadi tuli dan memaksa mereka melupakan mimpi-mimpi yang menakutkan atau tidak menyenangkan. Tetapi ketika waktu perlahan bergulir ke angka sebelas, cukuplah dirimu beristirahat dari segala macam kepenatan yang akan dengan segera membuatmu lupa pada diri sendiri. Merintang panas, memangkas daun-daun aglaonema kering di teras. Menyiapkan makan siang dan menikmatinya sendiri saja tanpa mengingat siapa yang pernah kaucintai atau diam-diam mencintaimu. Tapi kau akan dengan mudah jatuh cinta lagi pada dirimu sendiri pada jam dua belas. Tanpa harus bersusah-payah meyakinkan bukan siapa-siapa bahwa penantianmu tak akan pernah sia-sia. Setelah puas menyemaikan daun-daun sirih belanda kesayanganmu pada pukul satu. Kau bongkar semua ingatan dari satu pot dan memindahkannya ke dalam pot yang lain tanpa pernah merasa jemu. Tahu-tahu waktu mengetuk pintu keras keras mengabarkan sore tiba pada jam tiga. Dan kerinduan akan datang lagi berhamburan sebagai orang orang yang pernah pergi. Mereka yang sekejap singgah entah kemana, namun pada akhirnya akan kembali pulang ke rumah. Itulah waktu untuk berbenah, membuang semua sampah dan kekotoran. Memandikan kecemasan dan mengelupas kekhawatiran dari daster lusuh yang kau kenakan, lalu menyulapnya menjadi sedikit pesta kegembiraan; Mencuci sendok dan garpu melipat kertas tisu, mengelap piring dan gelas, mengeluarkan semua isi kulkas lalu menatanya rapi di atas meja tanpa alas. Kau isi setiap gelas dengan perasaan cinta yang meluap luap. Membagikan hati, perasaan dan pikiranmu di atas piring yang terbuka buat makan malam kita berdua. Sejenak mengabaikan rasa letih demi mendambakan sedikit ciuman yang akan mendarat di pipi atau keningmu dan barbagi pelukan hangat yang akan mengantarmu ke peraduan. Lalu setelah itu, kita akan melupakan semua ritual yang mesti kita ulang setiap hari dari permulaan lagi. Meskipun sesungguhnya kita tidak pernah tahu dari mana garis start keberangkatannya dan di mana ia akan berakhir. Karena semua mimpi akan berubah menjadi taman bunga yang memekarkan lagi warna- warni kelopak cintanya di malam hari. Dan seribu kunang kunang akan menyinari rumah yang telah kita tinggali lebih dari sepuluh tahun ini. Kebahagiaanmu sesungguhnya tak pernah beranjak jauh-jauh dari rumah. Setiap hari selalu memberi warna abu abu muda yang sama. Kecuali pada saat di mana aku datang membawa segepok keberuntungan di akhir bulan. Itu barangkali adalah hari paling berwarna yang kau tunggu-tunggu. Tapi meskipun begitu, aku selamanya mencintaimu. Sebagaimana aku mencintaimu seperti hari yang sudah-sudah tanpa pernah berubah. Kau tetap akan jadi perempuan dalam hidupku satu satunya. Dan kukira engkau pun merasa demikian selamanya. Waktu boleh datang dan pergi sesukanya. Tapi ada kalanya kerinduan mesti kita simpan rapi dalam lemari menunggu saat yang tepat untuk dikenakan lagi. Dan cinta mesti mengisi lagi baterenya, terutama pada saat-saat yang paling menjemukan.Tentu saja, kita hanya perlu sedikit mempersoleknya agar ia tetap senantiasa wangi, bersih dan segar saat kita nanti membutuhkan lagi kehadirannya.
Titon Rahmawan
... Setelah puas menyemaikan daun-daun sirih belanda kesayanganmu pada pukul satu. Kau bongkar semua ingatan dari satu pot dan memindahkannya ke dalam pot yang lain tanpa pernah merasa jemu. Tahu-tahu waktu mengetuk pintu keras-keras mengabarkan sore tiba pada jam tiga. Dan kerinduan akan datang lagi berhamburan sebagai orang orang yang pernah pergi. Mereka yang sekejap singgah entah kemana namun pada akhirnya akan kembali pulang ke rumah.
Titon Rahmawan
Peristiwa - Peristiwa yang Aku Alami Sendiri Hari ini Tanpa Kehadiranmu Aku menyelami pagi seperti menelusuri rutinitas sehari-hari yang menyakitkan seluruh panca inderaku. Sudah beberapa saat lamanya sejak aku tak lagi dapat melihat realitas, tak bisa mendengar kebenaran dan tak mampu berbicara fakta. Segala hal berubah toksik dan menakutkan. Aku terpaksa harus mengenakan kacamata dan masker kemana-mana. Aku memaknai siang seperti menjalani momen yang sama berulang-ulang. Tak ada kutemukan kegembiraan atau keceriaan di situ. Seperti dipaksa minum jamu yang pahit rasanya dan membuat kerongkonganku terbakar. Sudah sebulan ini aku mencerna sore hari tak lebih menyenangkan dari membaca koran pagi, menyeruput segelas kopi dan lalu berdiam diri seolah tak pernah terjadi apa-apa. Aku menakrifkan malam seperti mengeja kata-kata yang berloncatan dari balik kaca jendela yang terbuka menghadap ke langit yang gelap gulita. Kata-kata berguguran menjelma nir makna, bermula dari kekosongan berjalan beriringan menuju kehampaan. Demikianlah, tak aku temukan jejakmu dari semua liputan berita di televisi, tayangan drama sinetron, panorama senja yang berlarian dari laju kendaraan yang bersicepat di jalan atau dari kabar-kabar hoax yang bertebaran di mana-mana. Namamu tak aku dapati di antara butiran partikel yang berterbangan di udara, di dalam hembusan asap rokok atau dalam lembaran pamflet yang tertempel di dinding-dinding kota. Sudah lama sekali aku tidak pernah lagi merasakan getaran hatimu sebagai kerinduan yang ditawarkan kegelapan yang terbaring mati di luar sana. Entah mengapa aku merasa, ada semacam ironi dari rintik hujan yang baru saja turun sebagai isyarat yang selalu gagal kutangkap maknanya saat aku sedang sendirian memikirkan keberadaanmu. Bukankah kita sudah tidak pernah menangis lagi seperti dulu? Sebagaimana kita tak pernah bertengkar lagi setelah masing-masing merasa kehilangan perasaan yang dulu pernah sama-sama kita percayai. Malam ini adalah malam terakhir aku memutuskan untuk menunggu kepulanganmu. Aku melihat troli-troli berjalan sendiri di pusat perbelanjaan bersama sarat beban kemarahan yang mesti ditanggungnya. Seperti ingatan yang tak mampu melupakan beberapa petikan kalimat yang dulu pernah kamu pertanyakan; 1. Menunggu kedatangan kereta adalah sebuah pekerjaan yang membosankan, tapi mengapa tetap saja engkau lakukan? 2. Waktu adalah hal yang paling artifisial di era digital ini. Apa yang mesti kita bantah dari pernyataan serupa itu? 3. Benarkah cinta sudah menjadi komoditi yang sangat murah, tak ubahnya barang kodian yang banyak dijajakan di pinggir jalan? 4. Apakah ada puisi yang sengaja ditulis melulu hanya untuk mempertanyakan eksistensinya sendiri? 5. Kebahagiaan, apa itu kebahagiaan? Entahlah! Marilah kita sama-sama rehat sejenak dan melupakan semua masalah yang hanya menghadirkan kesedihan ini.
Titon Rahmawan
Sepasrah rembulan yang berpendar di pasifik, setegar karang di waka tobi Sekuat salmon menuju hulu sungai, setenang semilir angin di sore hari Sebanyak buih di lautan, serumit kalkulus tingkat expert Seasyik menuai kopi dari gilingan, setakut kehilangan nyawa Seperti itu berjuang padamu?
Elvina Mahdyah
The Lord God had caused a cursing to come upon the Lamanites, a sore cursing because of their iniquity.
Hari Kunzru (Gods Without Men (Vintage Contemporaries))