â
Dulu kalau aku tak begitu, kini bagaimana aku?
Dulu kalau aku tak di situ, kini di mana aku?
Kini kalau aku begini, kelak bagaimana aku?
Kini kalau aku di sini, kelak di mana aku?
Tak tahu kelak ataupun dulu
Cuma tahu kini aku begini
Cuma tahu kini aku di sini
Dan kini aku melihatmu
â
â
Ilana Tan
â
TÄ dzÄ«voju mÄneĆĄiem. Laidu akmentiĆus caur pirkstiem: neviens neiemirdzas. Situ ar Ämuru pa pirkstiem: neviens nesÄp. Un tad tu parÄdÄ«jies!
â
â
Imants Ziedonis (EpifÄnijas)
â
Soalnya, di mana masalah dihayati, di situ masalah lain berkembang. Itu hidup.
â
â
Remy Sylado (Hotel Pro Deo)
â
Siapa suruh kau pergi? Kau berdiri kat situ, tunggu sampai aku habis makan. Aku nak tunjuk kat anak kau betapa sedapnya makanan aku ni. Mesti budak cacat dalam perut kau tu, hari-hari makan nasi dengan air garam kan? Aku tau kicap pun dah habis, jangan berani kau nak mintak aku beli yang baru. Tak pasal-pasal botol kicap tu aku hentak kat kepala kau nanti.
â
â
Siti Rosmizah
â
Children always wanted their parents in situ, in stasis. The faster they changed, the more their parents should remain the same.
â
â
Marge Piercy (The Longings of Women)
â
Jika fantasi sama dengan kebohongan, para penulis mestilah merupakan pembohong yang paling antusias. Mereka hidup dari situ dan orang-orang dengan sukarela membeli cerita hasil kebohongan mereka. Beberapa orang senang berbohong sedangkan yang lain senang dibohongi.
â
â
Jostein Gaarder (Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken)
â
Salah sekali persangkaanmu, Sahabat! Bahwasanya air mata tiadalah ia memilih tempat untuk jatuh, tidak pula memilih waktu untuk turun. Air mata adalah kepunyaan berserikat, dipunyai oleh orang melarat yang tinggal di dangau-dangau yang buruk, oleh tukang sabit rumput yang masuk ke padang yang luas dan ke tebing yang curam, dan juga oleh penghuni gedung-gedung yang permai dan istana-istana yang indah. Bahkan di situ lebih banyak orang menelan ratap dan memulas tangis. Luka jiwa yang mereka idapkan, dilingkung oleh tembok dinding yang tebal dan tinggi, sehingga yang kelihatan oleh orang luar atau mereka ketahui hanya senyumnya saja, padahal senyum itu penuh dengan kepahitan.
â
â
Hamka (Di Bawah Lindungan Ka'bah)
â
Saya masih terlalu muda, masih sangat idealis, polos lebih tepatnya. Namun, dari situ saya petik pelajaran yang sangat berharga yang tidak akan lupa sampai kapan pun. Betapa jahatnya politik. Ini baru tingkat kampus, bagaimana tingkat negara? Bagaimana selanjutnya politik tingkat dunia? Chairul Tanjung (page 29)
â
â
Tjahja Gunawan Diredja (Chairul Tanjung Si Anak Singkong)
â
Di mana ada kehidupan, di situ pasti ada kematian. Mati itu mudah ; hiduplah yang sulit. Semakin berat kehidupan yang dihadapi, semakin kuat keinginan untuk bertahan. Dan semakin besar ketakutan untuk mati, semakin besar pula perjuangan untuk terus hidup.
â
â
Mo Yan (Big Breasts & Wide Hips)
â
Kalau ada orang yang datang kepadamu dan bilang dia akan membuatmu jadi lebih kaya, bantingkan saja pintu di depan hidungnya. Tapi kalau orang itu bilang ia akan membuatmu lebih pintar dan maju, suruh dia masuk. Kita boleh menolak uang karena bisa saja ada setan yang bersembunyi di situ. Namun hanya orang bodoh yang menolak diberi ilmu cuma-cuma. Ilmu itu jauh lebih berharga daripada uang, Nak. Ingat itu
â
â
Anindita S. Thayf
â
Cinta, meski dua karakter berbeda bisa membuat gaya tarik-menarik. Di situ letak indahnya cinta.
â
â
Ragatnia Clara (Keegan's Matchmaking)
â
Perempuan ini memang berpikiran cepat dan tajam, langsung dapat mengetahui apa yang hidup di dalam dada. Barangkali di situ letak kekuatannya yang mencekam orang dalam genggamannya, dan mampu pula mensihir orang dari kejauhan. Apalagi dari dekat.
â
â
Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia)
â
*coba deh meriksa tumit lo (sekalian naik ke dengkul) kale aja otak lo nyasar ke situ bhahahaha*
â
â
Li Loh
â
Humans might be difficult to transport between planets but seeds are idealâsmall and lightweight. If only humans could be grown in-situ. One day, they will.
â
â
Peter Cawdron (Losing Mars (First Contact))
â
Aku sering berpikir pengorbanan adalah perbuatan yang egois. Ada kepentingan pribadi di situ. Kepentingan untuk meyakinkan diri bahwa kita adalah orang yang mulia.
â
â
Venerdi Handoyo (Pemetik Bintang)
â
Ada waktunya perasaan itu mencapai klimaksnya ketika terjadi sebuah pengakuan, kesepahaman."
"Bukan penyatuan?"
"Cinta kadang memiliki dimensi yang terbatas pada rasa saja. Kebutuhannya sampai di situ.
â
â
Tasaro G.K.
â
Les montagnes jouent Ă front renversĂ©. Les reflets sont plus beaux que la rĂ©alitĂ©. L'eau fĂ©conde l'image de sa profondeur, de son mystĂšre. La vibration Ă la surface situe la vision aux lisiĂšres du rĂȘve.
â
â
Sylvain Tesson (Dans les forĂȘts de SibĂ©rie)
â
Travel Tip: The term is
in situ
-- in the place of origin. We travel to put ourselves
in situ
, in a place where we belong. The feeling that one was born in the wrong place is an ancient an universal experience, such that I suspect (a) it is part of our human DNA; and (b) is why our kind are born wanderers. We travel to find the place where we can recognize ourselves for once. Be on the lookout for that jolt of unexpected familiarity in a foreign land: that's how you'll know you are
in situ
.
â
â
Vivian Swift (Le Road Trip: A Traveler's Journal of Love and France)
â
Sebutir benih yang bertunas di bawah kaki pohon induknya tetap berada di situ sampai ia dipindahkan..Setiap manusia, kalau sudah tiba saatnya, harus pergi dan mewujudkan potensi masing-masing dengan caranya sendiri. [Ramayana-Mahabharata, hal. 28]
â
â
R.K. Narayan
â
Chat dihapus lalu diketik lagi,
kalau sudah kehabisan kata,
paling banter ngirim emoji.
Lalu berkilah,
ngetiknya nggak pakek hati,
cuma buat having fun pemecah sunyi.
Tapi giliran chatnya nggak dibalas,
malah ngamuk-ngamuk nyari Kapsagi.
Situ sehat?
â
â
Robi Aulia Abdi (@aksarataksa)
â
If a man's life could be capitalized as X, the risk at Y, and the estimated damage from explosion at V, then a logician might contend that if V is less than X over Y, the bomb should be blown up; but if V over Y is greater than X, an attempt should be made to avoid explosion in situ.
â
â
Michael Ondaatje (The English Patient)
â
Coba kau pikirkan baik-baik. Kondisi semua orang sama saja. Sama seperti ketika kita naik pesawat rusak. Tentu saja di situ ada orang yang bernasib baik dan bernasib buruk. Ada yang tangguh, ada juga yang lemah; ada yang kaya, ada pula yang miskin. Hanya saja, tidak ada orang yang memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada orang lain. Semua orang sama. Orang yang memiliki sesuatu selalu khawatir, jangan-jangan apa yang dia miliki sekarang akan hilang, sedangkan orang yang tidak memiliki apa-apa selalu cemas, jangan-jangan selamanya aku akan tetap menjadi orang yang tidak punya apa-apa. Semua orang sama! Karena itu, manusia yang menyadari hal itu lebih cepat harus berusaha menjadi sedikit lebih tangguh. Sekadar pura-pura pun tidak apa. Betul kan? Di mana pun tidak akan ada manusia yang tangguh. Yang ada hanyalah manusia yang pura-pura tangguh.
â
â
Haruki Murakami (Hear the Wind Sing (The Rat, #1))
â
Jika akan memilih buku apa saja, mari bertanya; Apakah di dalamnya terkandung penalaran abstrak mengenai kuantitas atau angka..? 'Tidak'. Apakah di situ terkandung penalaran eksperimental tentang kenyataan dan keberadaan..? 'Tidak'. Maka buanglah buku itu ke nyala api, sebab ia tak berisi apapun kecuali cara berpikir yang menyesatkan dan ilusi.
â
â
David Hume
â
Sin haber sido un sueño tu vida es un campo perfecto para el estudio
in situ de la irrealidad
â
â
Enrique Lihn (Diario de muerte)
â
Di saat aku merenung matamu yang basah,
aku lihat ada aku di situ.
â
â
A.D. Rahman Ahmad
â
Walau sekali sesuatu itu tidak nampak punya harapan, tetapi apabila kita mahu mencuba dan berusaha, di situ ada garis harapan.
Man jadda wajada
â
â
A.D. Rahman Ahmad
â
bunga yang sekuntum
madu yang setetes
belalang yang lahir di situ
tak mengetahui rahsianya
kumbang yang berbatu-batu
datang menikmati
(rahsia)
â
â
T. Alias Taib (Seberkas Kunci)
â
pernahkah kamu menengok sejenak masa lalu? mengais rinduku yang tercecer di situ.
â
â
Fitrotul Maulidiyah
â
Aku tak ingin menjadi orangtua yang hebat seperti Bapak. Aku hanya ingin menjadi orangtua yang memiliki anak. Cukup sampai situ. Sudah.
â
â
Valerie Patkar (Serangkai)
â
Tahu tidak, tiap sore menjelang, ada sinar wajahmu di situ sedang menyapaku.
â
â
uwan urwan
â
Pour la plupart des enfants qui vivent une scolaritĂ© difficile, la cause du problĂšme ne se situe pas au niveau de la classe oĂč ils sont arrivĂ©s mais bien avant, au niveau des bases.
â
â
L. Staes (Psychomotricité: éducation et rééducation)
â
Aku menyayangi buku-buku seperti Maria menyayangi Isa, lembar demi lembar, tiap tepiannya, wangi aroma kertasnya yang khas, dan saat aku melihat di dalamnya, aku tahu, dunia ada di situ...
â
â
Khafid Maulana
â
I donât think I verbalized it to anyone, including myself, but I knew then that I wanted to be a perpetual traveler. I was happiest receiving and experiencing new information about the world, in situ.
â
â
Jason Wilson (The Best American Travel Writing 2021 (The Best American Series))
â
Les traducteurs transmettent moins un message qu'ils ne réécrivent l'original. Et c'est là que se situe la difficulté - réécrire reste écrire, et écrire reflÚte toujours l'idéologie et les préjugés de l'auteur.
â
â
R.F. Kuang (Babel)
â
Le veritable voyage consiste toujours en la confrontation d'un imaginaire a une realite: il se situe entre ces deux mondes.
Une secrete melancolie s'attache aux etres que l'on quitte apres les avoir beaucoup aimes.
â
â
Ăric-Emmanuel Schmitt (La Nuit de feu)
â
La vraie bonté de l'homme ne peut se manifester en toute liberté et en toute pureté qu'à l'égard de ceux qui ne représentent aucune force. Le véritable test moral de l'humanité (le plus radical, qui se situe à un niveau tel qu'il s'échappe à notre regard), ce sont ses relations avec ceux qui sont à sa merci; les animaux. Et c'est ici que s'est produite la plus grande déroute de l'homme, débùcle fondamentale dont toutes les autres découlent.
â
â
Milan Kundera (The Unbearable Lightness of Being)
â
Devenir une femme est un parcours semĂ© d'humiliations. Face Ă la police, face Ă la justice comme dans l'espace public, ĂȘtre une femme est un inconvĂ©nient. Comme l'Ă©crivait le romancier turc Livaneli dans son roman DĂ©livrance (Gallimard), 'dans toute la MĂ©diterranĂ©e, la notion d'honneur se situe entre les jambes des femmes.' Un poids bien lourd Ă porter pour la moitiĂ© de la population. IdĂ©alisĂ©e, mythifiĂ©e, la virginitĂ© est Ă©videmment un outil de coercition destinĂ© Ă garder les femmes chez elles et Ă exercer sur elles une surveillance de tous les instants. Elle est un objet de prĂ©occupation collective au lieu d'ĂȘtre une question d'ordre privĂ©. Elle est aussi devenue une manne Ă©conomique pour tous ceux qui pratiquent des dizaines de reconstitutions d'hymen chaque jour et pour certains laboratoires qui commercialisent de faux hymens, censĂ©s saigner le jour du rapport sexuel. La misĂšre sexuelle, nous le verrons, est un capitalisme comme un autre.
â
â
LeĂŻla Slimani (Sexe et mensonges: La vie sexuelle au Maroc)
â
Penjual nasi tim sudah mulai membuka pintunya. Dari dalam, keluar buar harum yang sedap. Orang-orang yang pulang dari Missa pertama seringkali singgah ke situ. Mengherankan, tidak ada seorangpun yang teringat untuk berkhotbah terhadap laki-laki setengah tua itu beserta isteri dan anak menantunya. Siapa tahu mereka akan tertarik dan ikut masuk gereja. Namun orang-orang mungkin akan cemas juga: kalau mereka berbondong-bondong menghadiri Missa boleh jadi tidak akan ada nasi tim kalau mereka pulang. Atau: nasi tim itu terlalu enak, membuat orang lupa melakukan sesuatu yang ingin dilakukannya.
Bagaimanapun, itulah mereka. Dari hari ke hari, sejak puluhan tahun, dengan setia membuka satu per satu papan-papan di muka rumah pada jam enam pagi. Sebuah meja dan sebuah tungku dikeluarkan. Di atasnya terdapat sebuah panci kaleng, setinggi setengah meter, tempat memasak nasi tim itu. Kemudian mangkuk-mangkuk dikeluarkan dan diletakkan di atas meja. Menantu perempuan memasang taplak-taplak meja seperti yang telah dilakukan sejak ia menikah. Anak laki-laki memeriksa apakah tungku itu cukup arangnya. Sedangkan laki-laki setengah tua itu mulai memotong-motongayam rebus dibantu isterinya yang turut memeriksa kalau-kalau ada bumbu-bumbu yang kurang.
Setiap pagi, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, itulah kerja mereka. Anak laki-laki setelah tamat sekolah, tidak mempunyai tujuan lain kecuali belajar mewarisi keahlian masak ayahnya untuk kemudian menggantikannya setelah dia mati. Orang-orang yang sederhana, yang tidak perlu jauh-jauh dalam mencari bahagia. Mereka sudah lama menemukannya: dalam hati mereka sendiri.
Monik melirik ke arah warung itu, Dilihatnya laki-laki setengah tua itu. Dilihatnya isterinya. Mereka betul. Mereka tidak perlu ke gereja. Tuhan sudah ada dalam hati mereka.
â
â
Marga T.
â
mungkin pada akhirnya ini adalah jalan untuk menciptakan dunia tanpamu
daya magis darimu perlahan memudar
semuanya akan menjadi biasa dan mungkin akan lenyap tak berbekas
di mulai dari tatapan.. tak lagi mampu merona hatiku
kemudian senyuman.. tak lagi terbayang saat ku jemput malamku
juga baumu.. tak lagi memerbak anggunmu
namun
semua itu bukan akhir, juga bukan sebuah permulaan
akhir penutup kisah antara kau dan aku
pun permulaan hidupku yang tidak ada lagi kamu di situ
hanya sebuah permainan takdir
tega membolak balik perasaan kalbuku
yang kali ini sesaat buatku normal
yang tanpa terkira kembali jerumuskan aku dalam pedih
â
â
majdy
â
282 Paradoks: Kesucian itu lebih mudah dicapai daripada ilmu pengetahuan, tetapi lebih mudah menjadi orang terpelajar daripada menjadi orang kudus.
283 Hiburan sekadar untuk mengalihkan perhati-an: Engkau memerlukannya! Buka matamu lebar-lebar sehingga gambaran-gambaran segala benda masuk, atau tutuplah matamu sebagai akibat dari kepicikanmu.
Tutuplah matamu terhadap segala hall Miliki ke-hidupan batin dan engkau akan melihat keajaiban dari dunia yang lebih baik, dunia baru dengan segala warna dan perspektif yang tak pernah terbayangkan sebelumnya dan engkau akan mengenal Allah. Engkau akan dapat merasakan kelemahan-kelemahanÂŹmu, dan engkau akan lebih menyerupaimu Allah ... dengan keilahian yang akan membuatmu lebih meÂŹrupakan saudara-saudaramu sesama manusia, ketika engkau menjadi lebih dekat dengan Allah Bapamu.
284 Cita-cita: supaya aku menjadi balk, dan agar orang-orang lain menjadi lebih balk dari diriku.
285 Pertobatan adalah suatu usaha sekejap. Penyucian adalah suatu usaha untuk seumur hidup.
286 Tak ada sesuatu yang lebih baik di dunia ini, selain daripada hidup dalam rahmat Allah.
287 Kemurnian dalam niat: engkau akan selalu memilikinya, bila engkau selalu dan di dalam segala hal berusaha untuk menyenangkan Allah.
288 Masuklah ke dalam luka-luka Kristus yang tersalib. Di situ engkau akan belajar menjaga indramu, engkau akan memiliki kehidupan batin dan dengan tak henti-hentinya engkau mempersembahkan kepada Bapa penderitaan Allah kita Yesus Kristus dan penÂŹderitaan Bunda Maria, untuk menebus dosamu dan dosa semua manusia.
289 Ketidaksabaranmu yang mulia untuk meng-abdi Allah tidak mengecewakan-Nya. Akan tetapi, ketidak-sabaran itu akan menjadi sia-sia bila tidak disertai dengan penyempurnaan yang efektif dalam tingkah lakumu sehari-hari.
290 Memperbaiki diri. Sedikit demi sedikit setiap hari. Itulah yang harus menjadi usahamu yang tetap jika engkau benar-benar ingin menjadi orang kudus.
â
â
JosemarĂa EscrivĂĄ
â
Kami adalah anak manusia biasa, sangat biasa, campuran antara jahat dan baik, seperti jutaan anak yang lain. Boleh jadi pada saat ini dalam diri kami terdapat lebih banyak yang baik daripada yang jahat, tetapi sebabnya tidak perlu dicari lebih jauh. Orang yang hidup dalam lingkungan yang sederhana, tidak sukar untuk menjadi baik; seolah-olah dengan sendirinya dia akan menjadi baik. Sama sekali bukan hikmat, bukan suatu jasa untuk tidak berbuat jahat; apabila tidak terbuka kesempatan bagi kita untuk berbuat demikian. Kelak apabila kami telah meninggalkan sarang orang tua yang hangat dan aman; berdiri dalam kehidupan manusia sepenuhnya; di situ tidak ada lagi tangan orang tua yang setia memeluk kami. Jika di sekeliling hidup kami angin ribut mengamuk dengan garang, tidak ada tangan yang penuh cinta menopang dan memegang kami. Jika kaki kami goyang, barulah pertama-tama akan nyata, apa sebenarnya kami ini.
â
â
Sulastin Sutrisno (Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya)
â
Yet another strategy for encoding in Renaissance works involved environmental âspecial effects.â Messages were ingeniously inserted so that they could be viewed only when one was in situ, in the very spot where the artist intended for the viewer to receive his true intent. Often this would be determined by how light coming from an actual window at the site would stream into the painting, thus literally and figuratively illuminating the piece. Leonardo did this with the light in his Last Supper fresco,
â
â
Benjamin Blech (The Sistine Secrets: Michelangelo's Forbidden Messages in the Heart of the Vatican)
â
Kematian memang selalu datang mendadak. Namun, pada saat yang sama, juga datang terlampau pelan-pelan. Meski merupakan peristiwa sekejap mata, kejadian itu sekaligus dapat diulur panjang-panjang tak terbatas. Sepanjang Pantai Timur ke Pantai Barat - atau sepanjang sampai keabadian. Di situ gagasan yang disebut waktu hilang. Dalam arti itu, aku barangkali telah mati meski masih menjalani hidup sehari-hari. Tapi, walaupun begitu, kematian nyata yang sesungguhnya beratnya tak terhingga. Segala sesuatu yang pernah ada sampai saat itu sekonyong-konyong lenyap tanpa sisa. Menjadi hampa total. Dan dalam kasusku, yang pernah ada itu adalah aku ini sendiri.
â
â
Haruki Murakami (First Person Singular: Stories)
â
tanganku terayun cepat
sesuatu melesat, tak lama bunyi benda pecah terdengar
kulirik lenganku. ada yang hilang di situ
ada yang nampak berbeda
kuperhatikan saksama, setelah awalnya, jarum panjang dan pendeknya
menyatu di angka 12 beberapa minggu lalu
kini pelapis tembus pandang serta lingkaran putih
penghias deretan angka itu raib
aku merabanya, mengelusnya pelan
sepertinya, inilah waktunya...
inilah waktu yang tepat yang mengucap pisah
setelah setahun lebih menuntunku
sebagai pengingat atas waktu yang sering terabai
sebagai aksesori lenganku yang kadang kuacuh
Maaf, karena aku yang tidak terlalu pandai merawatmu
maaf, karena aku tak pernah membiarkanmu istirahat
terima kasih, karena hadirmu, senyumku selalu teruntai..
â
â
majdy
â
LâĂ©criture est un moyen de saisir lâinstant. Pas comme dans lâexpression carpe diem, parce que lâĂ©criture en simultanĂ©, tout comme la prise frĂ©nĂ©tique de photos, masque le rĂ©el au moment oĂč il se produit, empĂȘche de vivre le voyage. LâĂ©criture nâest pas une photo qui figerait Ă jamais une seconde dâintense singularitĂ© â quitte Ă la provoquer, comme le font parfois les photographes. Elle est un clichĂ© Ă postĂ©riori, qui essaie dâembrasser tout le souvenir de lâinstant. Dans le petit ou grand Ă©cart entre le temps racontant et le temps racontĂ© se situe tout le jeu et tout lâenjeu des rĂ©cits â ceux du rĂ©el ou ceux de la fiction. La poĂ©sie, elle qui ne nĂ©cessite pas la narration, permet de condenser les temps en une seule Ă©nonciation qui les contient tous.
â
â
Sylvie BĂ©rard (Oubliez)
â
So much of the most important personal news I'd received in the last several years had come to me by smartphone while I was abroad in the city that I could plot on a map, could represent spatially the events, such as they were, of my early thirties. Place a thumbtack on the wall or drop a flag on Google Maps at Lincoln Center, where, beside the fountain, I took a call from Jon informing me that, for whatever complex of reasons, a friend had shot himself; mark the Noguchi Museum in Long Island City, where I read the message ("Apologies for the mass e-mail...") a close cousin sent out describing the dire condition of her newborn; waiting in line at the post office on Atlantic, the adhan issuing from the adjacent mosque, I received your wedding announcement and was shocked to be shocked, crushed, and started a frightening multi week descent, worse for being so embarrassingly cliched; while in the bathroom at the SoHo Crate and Barrel--the finest semipublic restroom in lower Manhattan--I learned I'd been awarded a grant that would take me overseas for a summer, and so came to associate the corner of Broadway and Houston with all that transpired in Morocco; at Zucotti Park I heard my then-girlfriend was not--as she'd been convinced--pregnant; while buying discounted dress socks at the Century 21 department store across from Ground Zero, I was informed by text that a friend in Oakland had been hospitalized after the police had broken his ribs. And so on: each of these experiences of reception remained, as it were, in situ, so that whenever I returned to a zone where significant news had been received, I discovered that the news and an echo of its attendant affect still awaited me like a curtain of beads.
â
â
Ben Lerner (10:04)
â
The decisive factor dominating the morality of the crowd has not yet been clearly identified. One point of interest is the emergence in situ of a particular ethical fluctuation separate from the moral standard of the individuals who constitute the crowd. Certain crowds do not blench at the prospect of looting, murder, and rape, while on the other hand, others display a level of courage and altruism which those making up that same crowd would have had difficulty in achieving as individuals. The author argues that, rather than this latter type of crowd being made up of especially noble individuals, that nobility which is a fundamental human attribute is able to manifest itself through borrowing strength from the crowd; also, similarly, that the former case is one in which humanityâs essential barbarism is exacerbated not by the especially barbaric nature of any of the individuals involved, but through that magnification which occurs naturally in crowds.
â
â
Han Kang (Human Acts)
â
I try to plan my exits from the office so that I donât need to talk to anyone else on the way out. There are always so many questions. What are you up to tonight? Plans for the weekend? Booked a holiday yet? Iâve no idea why other people are always so interested in my schedule. Iâd timed it all perfectly, and was maneuvering my shopper over the threshold when I realized that someone had pulled the door back and was holding it open for me. I turned around. âAll right, Eleanor?â the man said, smiling patiently as I unraveled the string on my mittens from my sleeve. Even though they were not required in the current temperate atmosphere, I keep them in situ, ready to don as the eventual change in season requires. âYes,â I said, and then, remembering my manners, I muttered, âThank you, Raymond.â âNo bother,â he said. Annoyingly, we began walking down the path at the same time. âWhere are you headed?â he asked. I nodded vaguely in the direction of the hill. âMe too,â he said. I bent down and pretended to refasten the Velcro on my shoe. I took as long as I could, hoping that he would take the hint.
â
â
Gail Honeyman (Eleanor Oliphant Is Completely Fine)
â
L'affaiblissement de la part relative de l'Occident dans l'économie mondiale, tel qu'il s'est amorcé au crépuscule de la Guerre froide, est porteur de conséquences graves qui ne sont pas toutes mesurables dÚs à présent.
L'une des plus inquiétantes, c'est que la tentation paraßt désormais grande pour les puissances occidentales, et surtout pour Washington, de préserver par la supériorité militaire ce qu'il n'est plus possible de préserver par la supériorité économique ni par l'autorité morale.
LĂ se situe peut-ĂȘtre la consĂ©quence la plus paradoxale et la plus perverse de la fin de la Guerre froide; un Ă©vĂšnement qui Ă©tait censĂ© apporter paix et rĂ©conciliation, mais qui fut suivi d'un chapelet de conflits successifs, l'AmĂ©rique passant sans transition 'une guerre Ă la suivante, comme si c'Ă©tait devenu la "mĂ©thode de gouvernement" de l'autoritĂ© globale plutĂŽt qu'un ultime recours.
Les attentas meurtriers du 11 septembre 2001 ne suffisent pas à expliquer cette dérive; ils l'ont renforcée, et partiellement légitimée, mais elle était déjà largement amorcée.
En décembre 1989, six semaines aprÚs la chute du mur de Berlin, les Etats-Unis sont intervenus militairement au Panama contre le général Noriega, et cette expédition aux allures de descente de police avait valeur de proclamation: il fallait que chacun sache désormais qui commandait sur cette planÚte et qui devait simplement obéir. Puis ce fut, en 1991, la premiÚre guerre d'Irak; en 1992-1993, l'équipée malheureuse en Somalie; en 1994, l'intervention en Haïti pour installer au pouvoir le président Jean-Bertrand Aristide; en 1995, la guerre de Bosnie; en décembre 1998, la campagne de bombardements massifs contre l'Irak baptisée "Opération Désert Fox"; en 1999, la guerre du Kosovo; à partir de 2001, la guerre d'Afghanistan; à partir de 2003, la seconde guerre d'Irak; en 2004, une nouvelle expédition en Haïti, cette fois pour déloger le président Aristide...
â
â
Amin Maalouf
â
L'objectivitĂ©, vĂ©cue dans ce rĂȘve et dans ces visions, relĂšve de l'individuation accomplie. Elle est dĂ©tachement des jugements de valeur et de ce que nous dĂ©signons par attachement affectif. En gĂ©nĂ©ral, l'homme attribue une grande importance Ă cet attachement affectif. Or, celui-ci renferme toujours des projections et ce sont celles-ci qu'il s'agit de retirer et de rĂ©cupĂ©rer, pour parvenir Ă soi-mĂȘme et Ă l'objectivitĂ©. Les relations affectives sont des relations de dĂ©sir et d'exigences, alourdies par des contraintes et des servitudes : on attend quelque chose de l'autre, ce par quoi cet autre et soi-mĂȘme perdent leur libertĂ©. La connaissance objective se situe au-delĂ des intrications affectives, elle semble ĂȘtre le mystĂšre central. Elle seule rend possible la vĂ©ritable conjuctio*.
* Ces pensée de Jung soulÚvent beaucoup de problÚmes et il faut éviter les malentendus, surtout de la part des lecteurs jeunes.
La vie affective est d'importance ! Le fin du fin de la sagesse n'est pas du tout une maniÚre d'indifférence, indifférence qui, à des phases plus juvéniles de la vie, caractérise au contraire certaines maladies mentales. C'est à force d'indifférence et d'inaffectivité que le malade schizophrÚne, par exemple, se trouve coupé de la vie et du monde.
Ce que Jung veut dire, c'est qu'il s'agit, aprĂšs avoir vĂ©cu les liens affectifs dans leur plĂ©nitude, de les laisser Ă©voluer vers une sĂ©rĂ©nitĂ©, voire un dĂ©tachement. Car les liens affectifs ayant rempli leurs bons offices d'insertion au monde, et ayant fait leurs temps, comportent pour tous les partenaires, par leur maturitĂ© mĂȘme, d'ĂȘtre dĂ©passĂ©s.
Jung parle ici en tant qu'homme de grand ùge, d'expérience, de sagesse humaine, qui, en tant que tel, s'est détaché de ce que l'affectivité comporte nécessairement de subjectif et de contraignant.
Sand doute avait-il atteint, lorsqu'il écrivit ces pages, à travers son individuation à ce que nous appelons pour notre compte la "simplicité de retour". (Dr Roland Cahen)
p. 467
â
â
C.G. Jung (Memories, Dreams, Reflections)
â
usah kata ya jika hati dan lakumu bilang tidak karena sisi tak indahmu dan kekecewaan orang lain boleh jadi berawal dari situ
â
â
Sunarsih
â
usah kata ya jika hati dan lakumu bilang tidak karena sisi tak indahmu dan kecewa orang lain boleh jadi berawal dari situ
â
â
Sunarsih
â
L'Europe est depuis longtemps saisie dans les mailles d'une Ă©conomie unitaire; Ă chaque Ă©poque, sa vie matĂ©rielle tourne autour de centres autoritaires, privilĂ©giĂ©s. Durant les derniers siĂšcles du Moyen Ăge, tout conflue Ă Venise, tout en repart. Avec les dĂ©buts de l'Ăge moderne, le centre de gravitĂ© se situe un instant Ă Lisbonne, puis Ă SĂ©ville, ou mieux oscille entre cette derniĂšre ville et Anvers, jusqu'au dernier quart du XVI siĂšcle. Ensuite, avec les dĂ©buts du XVII, s'instaurent les suprĂ©maties marchandes d'Amsterdam, jusqu'aux premiĂšres annĂ©es du XVIII, puis celles de Londres qui dureront jusqu'en 1914, mĂȘme jusqu'en 1939. Il a toujours eu un orchestre et un chef d'orchestre.
â
â
Fernand Braudel (A History of Civilizations)
â
It was the perfect social drug. Unlike morphine, cocaine did not require a hypodermic, and was easy to take in situ, snorted from the knuckles or off nail files; chewing gum masked the teeth-grinding side-effect, and afterwards, alcohol calmed the sleep-depriving frenzy.
â
â
Philip Hoare (Oscar Wilde's Last Stand: Decadence, Conspiracy, and the Most Outrageous Trial of the Century)
â
Impian adalah gambaran kejayaan masa depan. Usaha adalah kenderaan yang membawa kita ke situ.
Kejayaan adalah milik pemberani, tidak gentar menghadapi segala macam bentuk cabaran yang datang mencabar.
Optimis dan positif! (
â
â
A.D. Rahman Ahmad
â
Grimesâs phone rang, and he picked it up, listening intently to the person on the other line. He hung up and shook his head as if trying to clear the cobwebs, then dragged his eyes back to Baldwin. âOkay then, let me fill you in on what theyâve got. A whole bunch of nothing, to be succinct. Sheriff wants us to meet him over at the hospital now. They want to tow Marniâs car to the impound lot, but they kindly agreed to wait for us. I know you like to look at your scenes in situ.â Baldwin nodded at him. âGreat, that will be a big help.
â
â
J.T. Ellison (All The Pretty Girls (Taylor Jackson, #1))
â
sur le mot situ, terme finnois qui dĂ©signe la ressource face Ă lâadversitĂ©, le courage et la tenacitĂ©, valeur partagĂ©e par tous les Finlandais, trĂšs importante dans le pays.
â
â
Le Monde diplomatique
â
Dengar dan lihat. Di situ ada sentuhan yang mengajar.
Bacalah... dengan nama Tuhanmu yang Maha Pengasih lagi Penyayang.
â
â
A.D. Rahman Ahmad
â
la pensĂ©e nâĂ©tant pas soumise Ă la condition spatiale, sa forme nâest aucunement «localisable» ; câest dans lâordre subtil quâelle se situe, non dans lâordre corporel.
â
â
René Guénon (The Symbolism of the Cross)
â
le symbolisme, il faut y insister, est une science rĂ©elle et rigoureuse, et rien nâest plus aberrant que de croire que son apparente naĂŻvetĂ© provient dâune mentalitĂ© fruste et « prĂ©logique ». Cette science, que nous pouvons qualifier de « sacrĂ©e », ne saurait sâadapter Ă la mĂ©thode expĂ©rimentale des modernes ; le domaine de la rĂ©vĂ©lation, du symbolisme, de lâintellection pure, transcende de toute Ă©vidence les plans physique et psychique et il se situe par consĂ©quent au-delĂ du domaine des mĂ©thodes dites scientifiques. Si nous pensons ne pas pouvoir accepter le langage du symbolisme traditionnel parce quâil nous apparaĂźt comme fantastique et arbitraire, cela montre que nous nâavons pas encore compris ce langage, et certes non que nous lâavons dĂ©passĂ©.
â
â
Frithjof Schuon (The Play of Masks (Library of Traditional Wisdom))
â
Aku tidak setuju kalau ada orang bilang, bahwa hidup itu cuma sebuah persinggahan dan sekedar menunggu mati. Semua orang bakal mati, itu pasti. Tapi mati bukanlah tujuan Nak, itu jelas. Apakah kematian akan membawa kita ke tempat yang lebih baik dan menyenangkan? (Aku tak dapat melihat ekspresinya, karena sebagian wajahnya tertutup masker) Lalu kenapa kita hidup? Pertanyaan sederhana itu semestinya membuat kita berpikir. (Ia masih terdiam dan tidak bereaksi, matanya seperti menerawang).
Kalau kita menyempatkan waktu untuk berpikir ya semestinya kita sadar. Bahwa kehidupan dan kematian hanyalah fase dari sebuah proses yang kita semua mesti jalani. Bukan tanpa maksud. Kamu paham apa yang aku katakan, Nak? Proses itu semestinya memberi arti bagi eksistensi keberadaan kita sebagai manusia. (Ia menelengkan kepalanya, seperti berusaha menyimak perkataanku).
Apakah hidup dan mati akan menjadi jalan pembuktian bagi kita, setidaknya bagi diri kita sendiri? Apakah menurutmu, hidupmu sudah memberimu makna? Dan apakah kematian akan meninggalkan jejaknya, bila satu saat nanti ia datang? Apakah kita akan dengan sengaja menjadikan semua itu lewat dengan sia sia?
Ayo Nak, jangan diam saja. Coba tutup matamu sejenak dan pasang kupingmu. Dengarkanlah keheningan ini, rasakan keberadaanmu. Satukan dirimu dengan semesta dan kamu akan tahu, bahwa kamu tidak pernah sendirian. Apakah kamu percaya kepada Tuhan? (Dan ia pun mengangguk) Nah bila demikian, setidaknya kamu bisa menemukan jawaban, bahwa ada nilai kebenaran dari tujuan hidupmu.
Kalau kamu percaya bila Tuhan itu Maha Baik, semestinya tidak boleh ada setitik pun keraguan di situ anakku. Dia mungkin akan mengijinkanmu jatuh, tapi Dia tidak akan membiarkanmu tergeletak. Percayalah, kalau kamu bisa memasrahkan dirimu pada apa yang Ia kehendaki. Maka Ia akan mengangkatmu dari beban tomat busuk yang terlanjur kamu kantongi dan kamu bawa kemana mana.
Dia akan mengangkatmu dari comberan. Memandikan dan membersihkanmu. Memberi kamu handuk yang hangat dan pakaian yang bersih. Dan Dia akan membuang semua kekhawatiranmu. Memberimu makanan hangat dan menjawab semua keragu raguanmu. Yang kamu lakukan adalah cukup berserah diri.
Jadi pesanku Nak, berhentilah menangisi masa lalu. Jangan berputus asa. Sebab selalu ada jawaban untuk semua masalah. Jangan biarkan hidupmu jadi hampa dan tidak berarti.
Cuma kamu yang bisa menjadikannya demikian. Kamu tidak boleh bergantung pada siapa pun, tidak juga dari kedua orangtuamu, kerabatmu atau orang orang yang kamu cintai. Karena semua orang mempunyai jalan hidupnya masing masing. Semua orang bebas dan berhak memilih jalan. (Aku menghela nafas sejenak).
Apakah engkau hendak berjalan lurus ke depan atau mundur ke belakang? Apakah engkau niat berbelok atau memilih berhenti? Jangan biarkan orang lain mendikte apa yang mesti kamu lakukan dan apa yang bakal kamu raih dengan hidupmu. Kamu bebas menentukan dan mewujudkan kebahagiaanmu sendiri.
Apakah kamu akan terus menerus menekuri nasib dan membiarkan dirimu menderita? Sudah saatnya kamu mengakhiri semua hal yang memaksamu menyakiti diri sendiri Nak. Coba lihat pergelangan tanganmu (aku menunjuk ke arah tangannya yang penuh dengan bekas luka luka sayatan pisau).
Apa yang membuatmu berpikir, bahwa tindakanmu itu akan memberimu kepuasan? Apakah beban masalahmu akan hilang begitu saja? (Matanya mulai berkaca kaca). Sudah saatnya kamu berdamai dengan amarah dan kejengkelan kejengkelan yang tidak mendatangkan kebaikan, Nak. Dan kamu bisa memulainya hari ini dengan belajar lagi untuk mencintai dirimu sendiri. Kalau kamu sayang pada ayah dan ibumu, berhentilah untuk menyakiti dirimu sendiri dan biarkanlah pisau cutter itu tetap ada padaku. Ijinkan aku menyimpannya untukmu, setidaknya untuk seminggu lagi, sebulan, setahun atau sampai kamu bisa melupakannya. Kalau kau bisa melupakan cutter itu, artinya kau sudah berdamai dengan dirimu sendiri.
â
â
Titon Rahmawan
â
If only humans could be grown in-situ. One day, they will.
â
â
Peter Cawdron (Losing Mars (First Contact))
â
à muito simbólico que no impedimento da circulação oral se situe o enfraquecimento do poder da mulher, que de potente feiticeira, douta nas poçÔes e falas mågicas, passa a assumir um lugar de passividade e fragilidade frente aos especialistas dos nervos, que naturalizam sua condição feminina à loucura.
â
â
Eliane de Christo (Mulher de palavra: encantada, mal dita, bem dita (Portuguese Edition))
â
En rĂ©alitĂ©, jâai lâimpression que la structure fondamentale du dĂ©sir se situe justement ici : il est propulsĂ© par lâexigence de mettre Ă portĂ©e quelque chose qui ne lâest pas (encore). Et lĂ se trouve peut-ĂȘtre la clĂ© permettant de nous soustraire au jeu de lâaccroissement sans limites auquel se livre la modernitĂ© et Ă son ambition de rendre tout et chacun disponible, de la priver de lâĂ©nergie de propulsion dont elle a besoin, de dĂ©brancher en quelque sorte sa « prise libineuse ». Ma thĂšse est que la structure fondamentale du dĂ©sir humain est un dĂ©sir de relation : nous voulons atteindre ou rendre atteignable quelque chose qui nâest pas « à notre disposition ». Ce quelque chose peut ĂȘtre, par exemple, une nouvelle guitare ou une tablette tactile, un lac ou un ĂȘtre aimĂ©. Dans tous ces cas, le dĂ©sir vise Ă entrer avec ce qui est dĂ©sirĂ© dans une relation responsive ; de placer la guitare, la personne ou le lac dans un rapport de rĂ©ponse, ou dâentrer avec la tablette dans des relations responsives avec le monde. Mais dans chaque cas, je lâaffirme, le dĂ©sir sâĂ©teint lorsquâil nây a plus rien à « dĂ©couvrir » sur ou avec le vis-Ă -vis, si nous maĂźtrisons et contrĂŽlons toutes ses propriĂ©tĂ©s, si nous en disposons totalement. Une fois de plus, nous pouvons donc aussi parler de « semi-disponibilité » : nous ne pouvons pas dĂ©sirer une personne ou une guitare si nous ne savons strictement rien dâelle et si nous ne lâavons jamais vue. Dans la premiĂšre dimension, lâobjet du dĂ©sir doit donc ĂȘtre au moins partiellement et temporairement disponible, sans quoi il renvoie Ă une « nostalgie sans nom », dans laquelle lâobjet du dĂ©sir est le dĂ©sir lui-mĂȘme. La disposition complĂšte, dans la totalitĂ© des quatre dimensions, provoque en revanche lâextinction du dĂ©sir : le jeu perd son objet, la musique son attrait, lâamour son ardeur. LâindisponibilitĂ© complĂšte est dĂ©pourvue de sens au regard du dĂ©sir, mais la disponibilitĂ© totale est sans attrait. Cela signifie quâune relation rĂ©ussie au monde vise Ă lâatteignabilitĂ©, pas Ă la disponibilitĂ©. Il faut quâun vis-Ă -vis soit atteignable sous une forme quelconque, il doit ĂȘtre possible de nouer avec lui un rapport de rĂ©ponse qui ne soit pas erratique, câest-Ă -dire complĂštement fortuit, mais qui ne soit pas non plus entiĂšrement contrĂŽlable, et qui, Ă partir de cette structure mĂȘme, enclenche lâinteraction entre lâinterpellation, lâefficacitĂ© personnelle et la transformation, permettant ainsi lâexpĂ©rience de la vitalitĂ©.
â
â
Hartmut Rosa (UnverfĂŒgbarkeit)
â
Dengan menggunakan konsep ruang naratif, seorang penganalisis akan dapat membezakan dengan mudah sebuah karya sastera, yang mengutamakan cerita, dengan karya persuratan, yang mengutamakan wacana. Dari situ akan lebih mudah dilihat bagaimana seorang pengarang membina novelnya, dan memberi makna kepada setiap aspek teknik yang dipilihnya. Melalui penggunaan konsep ruang naratif, seorang penulis novel akan dapat menentukan dari awal lagi bagaimana bentuk novelnya, jenis cerita yang akan dikemukakannya, dan bagaimana cerita itu dikembangkan melalui analisis wacana yang menjadi paksi naratif novelnya.
â
â
Mohd Affandi Hassan
â
Mon ami, kalau kau ingin menangkap kelinci, kau harus memasukkan musang ke liangnya, dan kalau kelinci itu benar ada di dalam situ-dia pasti lari. Cuma itu yang kulakukan.
â
â
Agatha Christie (Murder on the Orient Express)
â
Hypoinsulinemia with IGT and NGT identifies type 1 diabetes in-situ, (occult diabetes), prehyperglcemia.
â
â
Joseph R. Kraft (Diabetes Epidemic & You)
â
Dans ce monde dâabsurde relativisme ouÌ nous vivons, qui dit « notre temps » croit avoir tout dit ; identifier des pheÌnomeÌnes quelconques avec un « autre temps », ou qui plus est, un « temps reÌvolu », câest les liquider ; et notons le sadisme hypocrite que recouvrent des mots comme « reÌvolu », « suranneÌ Â» ou « irreÌversible », lesquels remplacent la penseÌe par une sorte de suggestion imaginative, une « musique de preÌjugeÌ Â» pourrions-nous dire. On constate par exemple que telle pratique liturgique ou ceÌreÌmonielle offense les gouÌts scientistes ou deÌmagogiÂques de notre eÌpoque, et on est tout heureux de se rappeler que lâusage en question date du Moyen AÌge, voire de « ByÂzance », ce qui permet de conclure sans autre forme de proceÌs quâil nâa plus droit aÌ lâexistence ; on oublie totalement la seule question qui ait aÌ se poser, aÌ savoir pourquoi les Byzantins ont pratiqueÌ telle chose ; il se trouve que ce pourquoi se situe le plus souvent en dehors du temps, quâil a une raison dâeÌtre qui releÌve de facteurs intemporels. Sâidentifier soi-meÌme avec un « temps » et enlever par laÌ aux choses toute valeur intrinseÌque ou presque, est une attitude toute nouvelle, que lâon projette arbitrairement dans ce que nous appelons reÌtrospectivement le « passeÌ Â» ; en reÌaliteÌ, nos anceÌtres ne vivaient pas dans un temps, subjectivement et intellectuellement parlant, mais dans un « espace », câest-aÌ- dire dans un monde de valeurs stables ouÌ le flux de la dureÌe nâeÌtait pour ainsi dire quâaccidentel ; ils avaient un merveilleux sens de lâabsolu dans les choses, et de lâenracinement des choses dans lâabsolu.
â
â
Frithjof Schuon (Light on the Ancient Worlds: A New Translation with Selected Letters (Library of Perennial Philosophy))
â
La condition du moine constitue une victoire sur l'espace et le temps, ou sur le monde et la vie, en ce sens que le moine se situe par son attitude au centre et dans le prĂ©sent : au centre par rapport au monde plein de phĂ©nomĂšnes, et dans le prĂ©sent par rapport Ă la vie pleine dâĂ©vĂšnements. Concentration de priĂšre et rythme de priĂšre: ce sont en un certain sens les deux dimensions de l'existence spirituelle en gĂ©nĂ©ral et monastique en particulier. Le religieux s'abstrait du monde, il se fixe en un lieu dĂ©fini et le lieu est centre parce qu'il est consacrĂ© Ă Dieu , il ferme moralement les yeux, et reste sur place en attendant la mort, comme une statue placĂ©e dans une niche, pour parler saint François de Sales ; par cette "concentration", le moine se situe sous l'axe divin, il participe dĂ©jĂ au Ciel en se rattachant concrĂštement Ă Dieu. Ce faisant, le contemplatif s'abstrait Ă©galement de la durĂ©e, car par l'oraison - cette actualisation permanente de la conscience de Dieu - , il se situe dans un instant intemporel : l'oraison (ou le souvenir de Dieu) est maintenant et toujours, elle est "toujours maintenant" et appartient dĂ©jĂ l 'ĂternitĂ©. La vie du moine, par l'Ă©limination des mouvements dĂ©sordonnĂ©s, est un rythme ; orl e rythme est la fixation d'un instant - ou du prĂ©sent - dans la durĂ©e, comme l'immobilitĂ© est la fixation d'un point -ou du centre - dans l'Ă©tendue ; ce symbolisme fondĂ© sur la loi de l'analogie devient concret en vertu de la consĂ©cration Ă Dieu.
â
â
Frithjof Schuon (Light on the Ancient Worlds: A New Translation with Selected Letters (Library of Perennial Philosophy))
â
As a pathologist, I considered it quite apropos and logical to designate the hyperinsulinemia, type 2 diabetes with the normal glucose tolerance, âdiabetes mellitus in-situ (occult diabetes).â Laboratory Medicine 6, no. 2 (February 1975).
â
â
Joseph R. Kraft (Diabetes Epidemic & You)
â
Escucha en silencio, porque situ corazon esta lleno con otras cosas no podras escuchar la voz de Dios.
â
â
Mother Teresa (Desde el corazon del mundo: Pensamientos, anecdotas, y oraciones)
â
To defend our national interests, sedemikian rupa tanpa merusak hubungan baik antara Indonesia dengan negara akreditasi. Di situ diperlukan approach, soft power misalnya.
â
â
Susilo Bambang Yudhoyono
â
Si vous avez des tentations de lassitude, cela prouve que vous mettez trop dâeffort psychique dans la pratique spirituelle, ce qui fatigue lâĂąme ; il faut invoquer dâune maniĂšre plus impersonnelle et plus dĂ©tachĂ©e, et ne pas trop sâengager dans lâindividualisme propre Ă la mystique volontariste ; il faut avoir le sens de la quiĂ©tude. Nos sentiments ne sont rien, la persĂ©vĂ©rance est tout.
Mais dâun autre cĂŽtĂ©, les hauts et les bas sont naturels Ă lâĂąme ; tout ce qui se situe dans la durĂ©e traverse des phases ; tout mouvement continu comporte des rythmes. De mĂȘme, les tentations et les rĂ©actions sont naturelles Ă lâĂąme ; il ne faut pas sâen Ă©tonner mais se confier au Ciel et demander son aide.
â
â
Frithjof Schuon (Vers l'Essentiel. Lettres d'un MaĂźtre spirituel)
â
Bangsa Jawa itu bangsa dongeng dan kenang-kenangan. Siapakah yang pada suatu ketika akan mengantarkan bangsa itu dari dunia hikayat dan legenda ke kehidupan yang nyata? Bukankah kita harus menuju ke situ? Dan dengan menyingkirkan takhayul itu, tidak perlulah karenanya mereka menginjak-injak keindahannya.
â
â
Sulastin Sutrisno (Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya)
â
Kami makhluk yang "mengerikan. Ah, tetapi tidakkah demikian juga pada yang beradab? Di situ pun orang ceoat cenderung untuk menghukum sesuatu yang tidak difahaminya.
Kami tidak boleh marah kepada orang-orang yang tidak tahu, yang patut dikasihani. Dan memang kami tidak berbuat demikian.
â
â
Sulastin Sutrisno (Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya)
â
Dan dimana urusan rumah tangga ada di tangan perempuan, di situ sudah barang tentu orang harus mulai mengajar perempuan agar hemat dulu, apabila orang ingin lihat rakyat hemat. Apa gunanya orang laki-laki belajar mengenal kebaikan itu kalau perempuannya sendiri sebagai pemegang rumah tangga tidak tahu nilai uang?
â
â
Sulastin Sutrisno (Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya)
â
The Parthenon was 228 feet long by 101 broad, and 64 feet high; the porticoes at each end had a double row of eight columns; the sculptures in the pediments were in full relief, representing in the eastern the Birth of Athene, and in the western the Struggle between that goddess and Poseidon, whilst those on the metopes, some of which are supposed to be from the hand of Alcamenes, the contemporary and rival of Phidias, rendered scenes from battles between the Gods and Giants, the Greeks and the Amazons, and the Centaurs and LapithÊ. Of somewhat later date than the Parthenon and resembling it in general style, though it is very considerably smaller, is the Theseum or Temple of Theseus on the plain on the north-west of the Acropolis, and at BassÊ in Arcadia is a Doric building, dedicated to Apollo Epicurius and designed by Ictinus, that has the peculiarity of facing north and south instead of, as was usual, east and west. Scarcely less beautiful than the Parthenon itself is the grand triple portico known as the PropylÊa that gives access to it on the western side. It was designed about 430 by Mnesicles, and in it the Doric and Ionic styles are admirably combined, whilst in the Erectheum, sacred to the memory of Erechtheus, a hero of Attica, the Ionic order is seen at its best, so delicate is the carving of the capitals of its columns. It has moreover the rare and distinctive feature of what is known as a caryatid porch, that is to say, one in which the entablature is upheld by caryatides or statues representing female figures. Other good examples of the Ionic style are the small Temple of Niké Apteros, or the Wingless Victory, situated not far from the PropylÊa and the Parthenon of Athens, the more important Temple of Apollo at BranchidÊ near Miletus, originally of most imposing dimensions, and that of Artemis at Ephesus, of which however only a few fragments remain in situ. Of the sacred buildings of Greece in which the Corinthian order was employed there exist, with the exception of the Temple of Jupiter at Athens already referred to, but a few scattered remains, such as the columns from Epidaurus now in the Athens Museum, that formed part of a circlet of Corinthian pillars within a Doric colonnade. In the Temple of Athena Alea at Tegea, designed by Scopas in 394, however, the transition from the Ionic to the Corinthian style is very clearly illustrated, and in the circular Monument of Lysicrates, erected in 334 B.C. to commemorate the triumph of that hero's troop in the choric dances in honour of Dionysos, and the Tower of the Winds, both at Athens, the Corinthian style is seen at its best. In addition to the temples described above, some remains of tombs, notably that of the huge Mausoleum at Halicarnassus in memory of King Mausolus, who died in 353 B.C., and several theatres, including that of Dionysos at Athens, with a well-preserved one of larger size at Epidaurus, bear witness to the general prevalence of Doric features in funereal monuments and secular buildings, but of the palaces and humbler dwelling-houses in the three Greek styles, of which there must have been many fine examples, no trace remains. There is however no doubt that the Corinthian style was very constantly employed after the power of the great republics had been broken, and the Oriental taste for lavish decoration replaced the love for austere simplicity of the virile people of Greece and its dependencies. CHAPTER III
â
â
Nancy R.E. Meugens Bell (Architecture)
â
Un certain groupe de mĂ©tiers â se caractĂ©risant par lâusage quâils font du feu pour transformer ou ennoblir des matiĂšres comme le mĂ©tal ou les minĂ©raux dont on fait du verre et des Ă©maux â sert de base Ă une tradition spirituelle qui se rattache Ă HermĂšs TrismĂ©giste dont le nom Ă©gyptien est Thot et que beaucoup de musulmans comptent au nombre des anciens prophĂštes. Lâart hermĂ©tiste par excellence, câest lâalchimie ; le plus souvent mal comprise, parce que la transmutation qui est son but et quâelle traduit en termes artisanaux, se situe en rĂ©alitĂ© au niveau de lâĂąme. Que lâalchimie ait Ă©tĂ© pratiquĂ©e par beaucoup dâartisans du feu, ne fait aucun doute ; son emblĂšme, le couple de dragons entrelacĂ©s â forme mĂ©diĂ©vale du caducĂ©e â orne de nombreux rĂ©cipients en cĂ©ramique ou en mĂ©tal.
Nombre dâartisans ou dâartistes, quâils aient reçu ou non une initiation correspondant Ă leur entrĂ©e dans une corporation professionnelle, adhĂ©raient ou adhĂšrent encore Ă un Ordre soufi (...) on peut Ă©galement dire que le soufisme se situe lĂ oĂč lâamour et la connaissance convergent. Or, lâobjet ultime et commun de lâamour comme de la connaissance nâest autre que la BeautĂ© divine. On comprendra dĂšs lors comment lâart, dans une civilisation thĂ©ocentrique comme celle de lâIslam, se rattache Ă lâĂ©sotĂ©risme, dimension la plus intĂ©rieure de la tradition.
Art et contemplation : lâart a pour objet la beautĂ© formelle, alors que lâobjet de la contemplation est la beautĂ© au-delĂ de la forme qui rĂ©vĂšle qualitativement lâordre formel, tout en le dĂ©passant infiniment. Dans la mesure oĂč lâart sâapparente Ă la contemplation, il est connaissance, la beautĂ© Ă©tant un aspect de la RĂ©alitĂ©, au sens absolu du terme.
Cela nous ramĂšne au phĂ©nomĂšne de scission entre art et artisanat, dâune part, et art et science, dâautre part, phĂ©nomĂšne qui a profondĂ©ment marquĂ© la civilisation europĂ©enne moderne : si lâart nâest plus considĂ©rĂ© comme une science, câest-Ă -dire comme une connaissance, câest que la beautĂ©, objet de contemplation Ă divers degrĂ©s, nâest plus reconnue comme un aspect du rĂ©el. En fait, lâordre normal des choses a Ă©tĂ© renversĂ© Ă un point tel quâon identifie volontiers la laideur Ă la rĂ©alitĂ©, la beautĂ© nâĂ©tant plus que l'objet dâun esthĂ©tisme aux contours parfaitement subjectifs et changeants.
Les consĂ©quences de cette dichotomie de lâexpĂ©rience du rĂ©el sont des plus graves : car câest finalement la beautĂ© â subtilement rattachĂ©e Ă lâorigine mĂȘme des choses â qui jugera de la valeur ou de la futilitĂ© dâun monde.
Ainsi que le ProphĂšte lâa dit :
« Dieu est beau et II aime la beauté. » p. 296-298
â
â
Titus Burckhardt (Art of Islam: Language and Meaning (English and French Edition))
â
La science moderne se prĂ©sente dans le monde comme le principal ou le seul facteur de vĂ©ritĂ© ; selon ce style de certitude, connaĂźtre Charlemagne, câest savoir combien a pesĂ© son crĂąne et quelle a Ă©tĂ© sa taille. Au point de vue de la vĂ©ritĂ© totale â redisons-le une fois de plus â il vaut mille fois mieux croire que Dieu a crĂ©Ă© le monde en six jours et que lâau-delĂ se situe sous le disque terrestre ou dans le ciel tournant, que de connaĂźtre la distance dâune nĂ©buleuse Ă une autre tout en ignorant que les phĂ©nomĂšnes ne font que manifester une RĂ©alitĂ© transcendante qui nous dĂ©termine de toutes parts et qui donne Ă notre condition humaine tout son sens et tout son contenu ; aussi les grandes traditions, conscientes de ce quâun savoir promĂ©thĂ©en mĂšnerait Ă la perte de la vĂ©ritĂ© essentielle et salvatrice, nâont-elles jamais prescrit ni encouragĂ© cette accumulation de connaissances tout extĂ©rieures et, en fait, mortelles pour lâhomme. On affirme couramment que telle ou telle prouesse scientifique « fait honneur au genre humain », et autres niaiseries de ce genre, comme si lâhomme faisait honneur Ă sa nature autrement quâen se dĂ©passant, et comme sâil se dĂ©passait ailleurs que dans la conscience dâabsolu et dans la saintetĂ©.
â
â
Frithjof Schuon (Light on the Ancient Worlds: A New Translation with Selected Letters (Library of Perennial Philosophy))
â
La mentalitĂ© contemporaine cherche en effet Ă tout rĂ©duire Ă des catĂ©gories temporelles : une oeuvre dâart, une pensĂ©e, une vĂ©ritĂ© nâont de valeur, non en elles-mĂȘmes et en dehors de toute classification historique, mais uniquement par le temps dans lequel on les situe Ă tort ou Ă raison ; tout est considĂ©rĂ© comme lâexpression dâun « temps », non dâune valeur intemporelle et intrinsĂšque, ce qui est tout Ă fait conforme au relativisme moderne, Ă ce psychologisme ou biologisme destructeur des valeurs essentielles. Cette philosophie tire le maximum dâoriginalitĂ© de ce qui, pratiquement, nâest pas autre chose que la haine de Dieu ; mais comme il est impossible dâinjurier directement un Dieu auquel on ne croit pas, on lâinjurie indirectement Ă travers les lois naturelles et on va jusquâĂ dĂ©nigrer la forme mĂȘme de lâhomme et son intelligence, celle avec laquelle on pense et on injurie. On nâĂ©chappe cependant pas Ă la VĂ©ritĂ© immanente : « Plus il blasphĂšme - dit MaĂźtre Eckhart - et plus il loue Dieu ».
â
â
Frithjof Schuon (Light on the Ancient Worlds: A New Translation with Selected Letters (Library of Perennial Philosophy))
â
La vie est un jeu, Lilly. Il y a des gagnants, des perdants et entre deux, les pauvres Ăąmes qui nâarrivent Ă rien.
â Et oĂč me situes-tu, Jeremy ? OĂč me situes-tu dans ta rĂ©partition perverse des choses ? OĂč me situes-tu ?
â Tu es au bord du gouffre. Malheureusement, tu es la seule Ă blĂąmer.
â
â
Scarlett Edwards (Liberation (Uncovering You #9))
â
Il est un classicisme bornĂ© qui, ne disposant dâaucun critĂšre objectivement valable et manquant dâimagination autant que dâintelligence et de goĂ»t, ne voit dans la civilisation chinoise que mesquinerie et routine : on croit les Chinois «infĂ©rieurs» parce quâils nâont eu ni de Michel-Ange ni de Corneille ou parce quâils nâont pas crĂ©Ă© la neuviĂšme Symphonie, etc.; or, si la grandeur de la civilisation chinoise nâa rien de promĂ©thĂ©en, câest quâelle se situe en des points oĂč le prĂ©jugĂ© classique est incapable de la dĂ©celer; sur le plan simplement artistique, il est des vieux bronzes qui rĂ©vĂšlent plus de grandeur et plus de profondeur que toute la peinture europĂ©enne du XIXe siĂšcle. La premiĂšre chose Ă comprendre, câest quâil nâest pas de grandeur rĂ©elle en dehors de la vĂ©ritĂ©, et que celle-ci nâa certes pas besoin dâexpression grandiloquentes.
â
â
Frithjof Schuon (Caste e Razze)
â
Kalau alutsista perlengkapan dan peralatan itu bisa kita bikin sendiri, wajib hukumnya jajaran TNI dan Polri membeli produksi dalam negeri. Kalau belum bisa kita bikin sendiri, tapi bisa kita laksanakan: joint production; joint research, innovation, and development; joint investment. Itu yang kita pilih. Kalau belum memang betul-betul sampai di situ and we have to puchase it dari negara mana pun think about transfer of technology, think about sekali lagi, kebersamaan, seperti yang kita lakukan dengan Korea misalnya, yang kita lakukan dengan negara- negara sahabat yang lain.
â
â
Susilo Bambang Yudhoyono
â
La premiĂšre prĂ©caution Ă prendre tient au fait que la majoritĂ© des patients est gĂ©nĂ©ralement en quĂȘte de sens lorsqu'elle consulte un professionnel de santĂ©. Elle voudrait qu'on lui explique pourquoi (au sens de pour quoi, en vertu de quelle cause) elle est malade, pourquoi elle souffre, quelle en est la raison. Or la science en gĂ©nĂ©ral et la mĂ©decine en particulier sont incapables de lui rĂ©pondre, et pour une raison simple : elles ne peuvent traiter que des causalitĂ©s contingentes, et non de causes ultimes ou de questions de sens. La science traite du comment, et apporte statistiques, mĂ©canismes d'action, biologie, biochimie et anatomie. Le pourquoi, lui est mĂ©taphysique, donc Ă©tymologiquement en dehors de la physique : pourquoi sommes-nous nĂ©s, pourquoi ce monde plutĂŽt qu'un autre, pourquoi vais-je mourir, et vers oĂč ? Le thĂ©rapeute ne sait rĂ©pondre Ă cela. Il peut nous dire quand nous avons de fortes chances de mourir, et par quels mĂ©canismes nous y parviendrons, et non pourquoi nous, pourquoi pas un autre, et pourquoi on meurt. C'est cette quĂȘte de sens, lĂ©gitime certes, mais hors de propos, que vient chercher le patient. Il arrive, c'est vrai, que le thĂ©rapeute devienne lui-mĂȘme mĂ©ta-thĂ©rapeute, et se prenant pour un prĂȘtre ou un haruspice lisant les entrailles d'animaux, prĂ©tende dĂ©chiffrer les arcanes du destin. Mais n'ayons guĂšre d'illusion Ă bon marchĂ©. Nous avons certes un grand respect pour ces questions, mais nous nous mĂ©fions des rĂ©ponses, ancrĂ©es dans le sol mouvant de la foi. D'une part, les vendeurs de sens privent l'individu de construire par lui-mĂȘme le sens existentiel qu'il prĂ©fĂšre. Car, rappelons-le, sur un plan factuel, la vie n'a que le but qu'on veut bien lui donner (et cela donne une immense libertĂ©, doublĂ©e d'une non moins grande responsabilitĂ©). D'autre part lorsque des thĂ©rapeutes proposent leur sens, ils le font du haut de leur statut de professionnel de santĂ©, ce qui est un argument d'autoritĂ© facilement contestable car ils n'ont aucune autoritĂ© en matiĂšre de mĂ©taphysique â et pour cause : personne n'a autoritĂ© en matiĂšre de mĂ©taphysique. C'est un peu comme si, sous prĂ©texte qu'il est mĂ©decin, il fallait adhĂ©rer aux goĂ»ts musicaux de notre toubib, ou aux goĂ»ts cinĂ©philes d'un physicien. Ainsi, en s'adressant au thĂ©rapeute responsable, qui assume les limites de son mandat, le patient risque-t-il de repartir avec des « comment » et des « pourquoi » insatisfaits, et de se tourner alors vers quiconque apportera une rĂ©ponse (mĂȘme partielle, sans fondements, et parfois payante) Ă son angoisse lĂ©gitime. Certaines thĂ©rapies, ornĂ©es de leur mĂ©taphysique, deviennent alors des refuges, des bouĂ©es, auxquelles s'arriment des patients apeurĂ©s. Ce n'est dĂšs lors plus le moment de crever la baudruche, laissant le patient encore plus dĂ©semparĂ©. Non, le travail se situe en amont, dans l'apprentissage du matĂ©riel auquel s'agripper.
â
â
NIcolas Pinsault (Tout ce que vous n'avez jamais voulu savoir sur le thérapies manuelles (Points de vue et débats scientifiques) (French Edition))
â
En effet, si les actes de prise de possession ou de construction imitent tous l'archĂ©type cosmique de la crĂ©ation du monde, alors ils doivent se passer au "centre" du monde puisque, selon de nombreuses traditions (nous les avons prĂ©sentĂ©es dans "Cosmologie Èi alchimie babilonianÄâ), la crĂ©ation a commencĂ© dans un centre. Le serpent tellurique sommeille lovĂ© sous la terre, mais sa tĂȘte se trouve exactement au centre du monde. La transpercer lors de la construction d'une maison signifie crĂ©er rituellement un centre. Celui-ci ne se situe Ă©videmment pas dans notre espace profane, pour lequel il ne peut pas y avoir plusieurs.
â
â
Mircea Eliade
â
Votre porte se ferme ou ne se ferme pas. Elle ne s'explique pas par elle-mĂȘme, mais en elle on s'explique une chose par une autre, indĂ©finiment. Ainsi a-t-elle forcĂ©ment besoin du jugement que les autres portent sur ce qu'elle fait, et elle y est d'autant plus sensible qu'elle situe au-dehors ceux qui la jugent.
â
â
GhĂ©rasim Luca (LevĂ©e dâĂ©crou)
â
Le "dor" est donc plus ambigu que la nostalgie : il est tournĂ© aussi bien vers le passĂ© que vers l'avenir ; le regret de l'impossible retour in illo tempore n'est pas obligatoire. C'est un dĂ©sir mĂȘlĂ© de souffrance, une aspiration qui ne connaĂźtra pas d'accomplissement, car celui qui l'Ă©prouve se situe dans une indĂ©termination dont il ne connaĂźt pas les possibilitĂ©s de rĂ©alisation. Il ne peut que les pressentir, mais il n'en exige pas la manifestation. L'objet du "dor" est fondamentalement indĂ©finissable. Vivre ce qu'on souhaite advenir comme une douce souffrance est plus important que de voir ses souhaits accomplis, car la qualitĂ© de cette langueur est supĂ©rieure Ă ce qu'on peut obtenir par la satisfaction de ses dĂ©sirs.
Cioran emploie rarement le mot roumain "dor", sauf pour se livrer à une sorte d'exercice de ce qu'il appelle "l'appréhension de l'essence des peuples par leur façon de participer au vague" ("Oeuvres", p. 607)
("Triste avec méthode", par Constantin Zaharia)
â
â
Various (Le Magazine Littéraire, n°508 : Cioran, Désespoir, mode d'emploi)
â
El astrĂłlogo asumiĂł aquĂ una voz profesional de agente de turismo:
âCacodelphia âme anunciĂłâ es una vĂa helicoidal en descenso: la constituyen nueve pasos de hĂ©lice o espiras, en cada una de las cuales se alza un barrio infernal o cacobarrio. Donde acaba una espira comienza la otra, sin mĂĄs inconvenientes que un acceso difĂcil cuyos peligros debe afrontar y vencer el curioso turista. El eje vertical del Helicoide es un tubo que atraviesa los nueve cacobarrios y cuyas virtudes le harĂ© conocer a su hora. En cuanto a los asombrosos detalles de la construcciĂłn, no figuran en el prospecto, y le serĂĄn revelados in situ por el agente de la compañĂa,
â
â
Leopoldo Marechal (AdĂĄn Buenosayres)
â
if you have kept your frameworks at armâs length, then you should be able to unit-test all those use cases without any of the frameworks in place. You shouldnât need the web server running to run your tests. You shouldnât need the database connected to run your tests. Your Entity objects should be plain old objects that have no dependencies on frameworks or databases or other complications. Your use case objects should coordinate your Entity objects. Finally, all of them together should be testable in situ, without any of the complications of frameworks.
â
â
Robert C. Martin (Clean Architecture: A Craftsman's Guide to Software Structure and Design)
â
Healing from trauma is also facilitated by rhythmic action shared with others, such as music, song and dance. In ancient Athens, Athena was celebrated with choral dance and song, and similar practices can still be witnessed today in traditional womenâs circle dances of Greece and the Balkans. Through my lifetime of researching these dances in situ, I have come to believe these dances provide essential comfort and healing support for women who must live under patriarchal oppression.
The dance circle itself is like Athenaâs temple, the polis, the round enclosure within which the women are safe. To protect the city is to protect the cityâs women, and this was Athenaâs special domain: she was the guardian of the sacred space, the temple, the walled city or polis within which the women are kept secure.
â
â
Laura Shannon (Re-visioning Medusa: from Monster to Divine Wisdom)
â
Cinta itu datang sesuka hati, kapan dan di mana aja. Masalahnya bukan di situ, tapi gimana caranya lo ambil tindakan atas perasaan lo. Office romance tuh udah biasa, kan gue pernah bilang dulu. Yang penting isu di antara kalian dulu diselesaiin. Gimanapun, lo dan dia yang bisa work things out. Jangan dipikirin sendirian.
Dita
â
â
Arata Kim (Asmaraloka)
â
Fra Angelico fue uno de los primeros en adoptar las leyes sobre la perspectiva de Brunelleschi y se sirviĂł de ellas cuando pintĂł (no sin la ayuda de sus amigos dominicos) los nuevos frescos que Cosme habĂa encargado para el convento de San Marcos. Estos frescos, vistos en conjunto, son uno de los grandes logros del Renacimiento florentino. El mĂĄs conocido es la ya mencionada AnunciaciĂłn, con el que los monjes se encontrarĂan, de seguro, a diario, al subir las empinadas escaleras que conducĂan a sus dormitorios en el primer piso. En la actualidad, a este tipo de obras se las conoce como site-specific-artworks,[9] lo que significa que, para apreciarlas en toda su magnitud, hay que verlas in situ. Evidentemente,
â
â
Will Gompertz (Mira lo que te pierdes: El mundo visto a través del arte (Spanish Edition))
â
Matahari dan Bulan
Ketika aku berusaha menjadi orang yang luar biasa bagimu, tak kusangka bahwa itu bukanlah hal yang engkau mau. Selalu ada kata tak cukup untuk menjadi sempurna. Betapa susahnya untuk menjaga hati agar tak melukai, agar tidak pernah mengecewakan.
Sekalipun aku berupaya sepenuh hati menjagamu. Senantiasa berikhtiar, semoga aku bisa memahami apa yang engkau mau, selalu mengerti apa yang engkau inginkan. Walaupun aku sadar, bahwa meminta dan menuntut jauh lebih mudah daripada berkorban dan lebih banyak memberi perhatian.
Namun selama itu berangkat dari kemauan dan kehendak kita sendiri, maka tidak ada hal yang muskil atau mustahil untuk dilakukan. Bila sungguh kamu adalah takdirku dan aku adalah takdirmu, maka semoga kita selalu menemukan kebaikan dan keindahan dari kekurangan kita masing-masing.
Bahwa kekurangan bukanlah bentuk kesengajaan demi mengasihani diri sendiri atau alasan pembenaran ego pribadi, melainkan harus jadi semangat menumbuhkan keinginan untuk memperbaiki diri. Baru dari situlah aku belajar, bahwa pada akhirnya hidup menghendaki agar kita menjadi orang yang biasa-biasa saja. Untuk tidak pernah berpura-pura menjadi orang lain selain dari diri sendiri.
Bagaimana kita menjadikan segala sesuatu yang sederhana menjadi istimewa. Kesulitan dan tantangan yang kita hadapi berubah menjadi indah manakala kita berdua mampu mengatasinya. Aku merasakan apa yang engkau rasakan. Engkau memikirkan apa yang aku pikirkan.
Dan kita menyatukan hati menjalani hal-hal yang sederhana setiap hari. Lewat puisi dan catatan yang kita buat, buku-buku yang kita baca, makanan yang kita santap, musik yang kita dengar, film yang kita tonton, perjalanan dan petualangan yang kita lalui. Semuanya menjadi realitas yang menyenangkan, karena kita tak pernah lupa membubuhkan kata "kita" dalam setiap momen kebersamaan itu. Selalu ada kamu dan aku di situ.
Apa yang engkau sukai akan menjadi kesukaanku juga Apa yang engkau benci menjadi kebencianku pula. Aku yang orang rumahan menjadi gemar jalan-jalan gara-gara kamu. Dan kamu yang dulu tak doyan membaca jadi mencintai sastra karena diriku. Begitulah bagaimana kita menerjemahkan kesederhanaan itu dan mengubahnya jadi istimewa.
Ijinkan aku jadi matahari penerang hari-harimu dan engkau jadi rembulan penghias malam-malamku. Kita hadir bukan untuk saling meniadakan, melainkan justru untuk saling melengkapi. Aku ada untuk dirimu dan engkau ada untuk diriku. Kita berusaha saling membahagiakan dan selamanya mencintai sampai maut memisahkan.
â
â
Titon Rahmawan
â
Geram
Amarah adalah sesuatu yang tidak dimengerti oleh kesederhanaan. Aku tidak sedang bicara tentang dirimu, melainkan tentang orang-orang yang tidak aku temui hari ini. Mengapa
Mereka mempunyai pikiran-pikiran busuk dan kedengkian seperti itu? Mendatangi sebuah rumah yang bukan miliknya dan lalu membuang kotoran seenaknya. Aku
Mencium bau kencing dan kotoran anjing di situ. Sesungguhnya aku tak ingin menyimpan murka pada apa yang tak sepatutnya. Aku tak hendak menyimpan remah-remah kedegilan hanya untuk menahan kegusaranku sendiri. Bukan
Kebencian yang ingin aku berikan pada istri dan anak-anakku, melainkan kelembutan dan kasih sayang. Tapi kita tidak bisa berdiri tanpa alas kaki di atas caci maki dan sumpah serapah yang nyata-nyata hanya ingin melukai perasaan. Kita
Tak mengundang tamu ke rumah hanya untuk menginjak-injak harga diri dan kehormatan keluarga kita. Tak ada silaturahmi yang dibangun dengan cemooh, ejekan dan kata-kata yang menyakitkan hati. Tak
Ada persaudaraan di antara kawanan domba dan serigala.
â
â
Titon Rahmawan
â
Peristiwa - Peristiwa yang Aku Alami Sendiri Hari ini Tanpa Kehadiranmu
Aku menyelami pagi seperti menelusuri rutinitas sehari-hari yang menyakitkan seluruh panca inderaku.
Sudah beberapa saat lamanya sejak aku tak lagi dapat melihat realitas, tak bisa mendengar kebenaran dan tak mampu berbicara fakta.
Segala hal berubah toksik dan menakutkan. Aku terpaksa harus mengenakan kacamata dan masker kemana-mana.
Aku memaknai siang seperti menjalani momen yang sama berulang-ulang. Tak ada kutemukan kegembiraan atau keceriaan di situ. Seperti dipaksa minum jamu yang pahit rasanya dan membuat kerongkonganku terbakar.
Sudah sebulan ini aku mencerna sore hari tak lebih menyenangkan dari membaca koran pagi, menyeruput segelas kopi dan lalu berdiam diri seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Aku menakrifkan malam seperti mengeja kata-kata yang berloncatan dari balik kaca jendela yang terbuka menghadap ke langit yang gelap gulita. Kata-kata berguguran menjelma nir makna, bermula dari kekosongan berjalan beriringan menuju kehampaan.
Demikianlah, tak aku temukan jejakmu dari semua liputan berita di televisi, tayangan drama sinetron, panorama senja yang berlarian dari laju kendaraan yang bersicepat di jalan atau dari kabar-kabar hoax yang bertebaran di mana-mana.
Namamu tak aku dapati di antara butiran partikel yang berterbangan di udara, di dalam hembusan asap rokok atau dalam lembaran pamflet yang
tertempel di dinding-dinding kota.
Sudah lama sekali aku tidak pernah lagi merasakan getaran hatimu sebagai kerinduan yang ditawarkan kegelapan yang terbaring mati di luar sana.
Entah mengapa aku merasa, ada semacam ironi dari rintik hujan yang baru saja turun sebagai isyarat yang selalu gagal kutangkap maknanya saat aku sedang sendirian memikirkan keberadaanmu.
Bukankah kita sudah tidak pernah menangis lagi seperti dulu? Sebagaimana kita tak pernah bertengkar lagi setelah masing-masing merasa kehilangan perasaan yang dulu pernah sama-sama kita percayai.
Malam ini adalah malam terakhir aku memutuskan untuk menunggu kepulanganmu. Aku melihat troli-troli berjalan sendiri di pusat perbelanjaan bersama sarat beban kemarahan yang mesti ditanggungnya.
Seperti ingatan yang tak mampu melupakan beberapa petikan kalimat yang dulu pernah kamu pertanyakan;
1. Menunggu kedatangan kereta adalah sebuah pekerjaan yang membosankan, tapi mengapa tetap saja engkau lakukan?
2. Waktu adalah hal yang paling artifisial di era digital ini. Apa yang mesti kita bantah dari pernyataan serupa itu?
3. Benarkah cinta sudah menjadi komoditi yang sangat murah, tak ubahnya barang kodian yang banyak dijajakan di pinggir jalan?
4. Apakah ada puisi yang sengaja ditulis melulu hanya untuk mempertanyakan eksistensinya sendiri?
5. Kebahagiaan, apa itu kebahagiaan? Entahlah!
Marilah kita sama-sama rehat sejenak dan melupakan semua masalah yang hanya menghadirkan kesedihan ini.
â
â
Titon Rahmawan
â
Sore itu mengantarkanku pada hari-hari lalu, saat semua terasa begitu sederhana
Percakapan yang mengalir deras, bising klakson yang bersahutan di depan lapas, suara azan yang sesekali terputus saat sang muazzin menarik nafas
Alun-alun malam itu masih tak terasa dingin walau hujan tak henti-hentinya mengguyur tubuh
Sampai semua kesepian itu memelukku di penghujung jalan memasuki Tarogong
rasa dingin terasa menusuk tulang saat melewati jalanan Dangdeur yang gelap
Sesekali kulirik percakapan kita dan mencari kehangatan di situ, saat dada mulai remuk oleh rasa kehilangan yang menghantui sepanjang gang
Aku benci saat mengingatnya, tak pernah menyadari kata-katamu yang bagai sembilu, menggores luka yang tak henti-hentinya mengeluarkan darah
Tak pernah kurasakan sakit saat itu, dan pikirku, mungkin semua akan baik-baik saja pada akhirnya
Tak ada sesuatu yang menanti di ujung jalan itu selain rayuan dan tipuanmu, mengatasnamakan luka seorang wanita
Aku tersesat di labirin gelap dengan kaki yang membusuk
Dan kau di sana, dalam kehangatan di dalam selimut ranjang dalam pelukan seseorang, mengantarkan huruf-demi huruf, baris-demi-baris, bualan penuh muslihat
Aku terlena dalam kehangatan palsu sepanjang tahun-tahun yang kelak akan kau buang dengan sia-sia
Aku terlena dalam kata-katamu bahwa aku adalah satu-satunya
Namun aku tak punya kuasa untuk memutar waktu, pun tak sanggup membuang semua racun itu yang telah membusukkanku dari dalam
Sore ini mengantarkanku pada hari-hari lalu, saat semua terasa begitu sederhana
Dan aku membencimu
(Untuk Fadila Nazian)
â
â
Hurairo-san
Faith Martin (Murder on the Oxford Canal (DI Hillary Greene, #1))
â
La loi et la lĂ©gitimitĂ© sont problĂ©matiques si on les considĂšre du point de vue le plus Ă©levĂ©, c'est-Ă -dire du point de vue de la sagesse. Dans la mesure oĂč la citĂ© est la communautĂ© dont la loi maintient la cohĂ©sion et mĂȘme que la loi constitue, elle ne peut mĂȘme pas aspirer Ă ce niveau intellectuel et moral suprĂȘme auquel peuvent atteindre certains individus. Par consĂ©quent, la meilleure citĂ© se situe moralement et intellectuellement sur un plan infĂ©rieur Ă celui du meilleur individu. La citĂ© comme telle existe sur un plan infĂ©rieur Ă celui de l'individu comme tel. L'individualisme ainsi compris est au fond du cosmopolitisme de XĂ©nophon.
â
â
Leo Strauss (On Tyranny: An Interpretation Of Xenophon's Hiero)
â
Los casos de Voltaire, Montesquieu y Dumas, tres de los grandes difamadores antiespañoles, resultan paradigmĂĄticos. Ignorantes de la realidad española, escribĂan despectivamente sobre ella sin conocerla de primera mano ni haberla visitado nunca. Voltaire se atreviĂł incluso a mofarse de la victoria de Lepanto considerando que no habĂa servido para nada. Y Montesquieu se dedicĂł gratuitamente a criticarnos sin molestarse a viajar mĂĄs acĂĄ de los Pirineos para comprobar in situ si sus juicios se correspondĂan con la realidad ni mantener apenas correspondencia con españoles. Mucho menos sabĂa de las Indias, y lo que conocĂa de ellas procedĂa de fuentes indirectas y por tanto sesgadas. Montesquieu fue tambiĂ©n uno de los primeros en atribuir al clima una funciĂłn determinante en la creaciĂłn de la cultura nacional y en utilizar, de paso, este criterio para desprestigiar a España.
â
â
Alberto Gil Ibåñez (La leyenda negra: Historia del odio a España (Spanish Edition))
â
Sarnia, completed after Ireland had spent a year living on Guernsey,14 is closely connected to the pagan origins of Guernseyâs store of prehistoric burial chambers and rock monuments, imagining the kind of rites and jamborees that might have occurred round the tumbled stones such as Le TrĂ©pied. The score for the first part, âLe Catiorocâ, contains a passage from De Situ Orbis, a text by Roman writer Pomponius Mela dating from 50 BCE: âAll day long, heavy silence broods, and a certain hidden terror lurks there. But at nightfall gleams the light of fires; the chorus of Ăgipans [fauns] resounds on every side: the shrilling of flutes and the clash of cymbals re-echo the waste shores of the sea.â That mini-narrative encapsulates the motion of many of Irelandâs pieces, as a calm surface is overrun by more mysterious elemental forces, beings or visions.
â
â
Rob Young (Electric Eden: Unearthing Britain's Visionary Music)